Dosen Pembimbing :
Ratna Yunita Sari, S.Kep.Ns., M.Kep
Oleh : Istikomah
NIM.1120023099
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dikarenakan
hambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, ppok juga
merupakan penyakit respiratori yang menghambat pada saluran nafas progresif
serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
beracun dan berbahaya (Ridho,2017).
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit paru
terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Asma kronis
yang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga dapat menyebabkan
PPOK (Hurst,2016).
PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang
tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat
progresif dan dikaitkan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,
hipersekresi mucus, dan perubahan pada system pembuluh darah paru. Penyakit
lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asma yang sebelumnya
diklasifikasikan dalam jenis COPD kini diklasifikasikan paru kronis, meskipun
gejala tumpang tindih dengan COPD lain. Merokok singaret, polusi udara, dan
pajanan ditempat kerja (batubara, katun, biji-bijian padi) merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang
waktu 20-30 tahun (Suddarth, 2015)
2. Etiologi
Penyebab dari timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik berdasarkan
(Djojodibroto,2016):
3. Manifestasi
Menurut GINA (2016) tanda dan gejala pasien dengan PPOK
mengeluh/memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
• Batuk
• Sesak nafas, mengi inspira (stridor)
• Sesak saat beraktifitas
• Mudah kelelahan
Menurut penelitian Ridho (2017), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Menurut penelitian Ridho (2017) tanda dan
gejala bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema
yaitu suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Sedangkan tanda
dan gejala lainnya yaitu:
a. Pink Puffer yaitu timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum
yang berarti. Biasanya dispneu pada antara usia 30 – 40 tahun dan semakin
lama semakin berat.
b. Penurunan nafsu makan pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan
kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah
kurus.
c. Bentuk dada barrel chest berupa kondisi letak dari diafragma lebih rendah dan
bergerak tidak lancar, kifosis, diameter antero posterior bertambah, jarak
tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga
lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah
4. Patofiologi dan Pathway
6. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan kepada penderita PPOK yaitu terapi non
farmakologi dan farmakologi (Kristiningrum,2019):
a. Terapi Non Farmakologi
1) Berhenti merokok. Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok
adalah 5A:
a) Ask (Tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b) Advise (Nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti
merokok.
c) Assess (Nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam
30 hari ke depan).
d) Assist (Bimbing). Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmako
terapi.
e) Arrange (Atur). Buat jadwal kontak lebih lanjut.
2) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan
kedalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai simptom pernapasan berat, beberapa kali
masuk ruang gawat darurat, kualitas hidup yang menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial
dan latihan pernapasan.
3) Terapi Oksigen.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ-organ lainnya.
4) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hiper metabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi
dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan
fisik dan status kesehatan. Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang
menyimpulkan bahwa obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat memodifikasi
penurunan fungsi paru jangka panjang. Pemilihan obat dalam setiap golongan
obat tergantung ketersediaan dan biaya, respons klinis, dan efek samping. Setiap
terapi memerlukan regimen individual terkait keparahan, limitasi aliran udara, dan
tingkat keparahan eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
1) Bronkodilator
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas
dan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan
napas daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan
hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki
performa latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK
berat dan sangat berat, tidak mudah diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat.
Peningkatan dosis bronkodilator,khususnya yang diberikan dengan nebulizer,
tampaknya memberikan manfaat subjektif pada episode akut,tetapi tidak
membantu pada penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan
reguler untuk mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan
bronkodilator kerja singkat pada basis reguler secara umum tidak dianjurkan.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik
(antagonismuskarinik) (Kristiningrum,2019).
a) β2 Agonist(short-actingdanlong-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Angios β2
adalah obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada otot
polos saluran napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga
membantu pembersihan mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance) otot
pernapasan(LeMoneetal., 2016).
b) Anti kolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitroprium
dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek
asetilkolin pada reseptor muskarinik (LeMoneet al.,2016).
2) Anti inflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal
sekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi)
mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat
anti inflamasi. Anti inflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah
corticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan
bahwa inflamasi terkait PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap
corticosteroid, namun beberapa obat seperti agonis β2, theophylline, atau
macrolide dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas corticosteroid. Data
invivo menunjukkan bahwa kaitan dosis respons dengan keamanan jangka
panjang ( >3 tahun ) corticosteroid inhalasi pada pasien PPOK masih belum
jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
a) Corticosteroid inhalasi(ICS)
Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsi
paru, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1
diprediksi < 60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi
reguler dengan corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1
atau mortalitas jangka panjang pada pasien PPOK (Kristiningrum,2019).
b) Glucocorticoid oral
Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada
pasien dirawat di rumah sakit,atau selama di unit gawat darurat,
menurunkan tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps,dan memperbaiki
fungsi paru dan sesak napas,namun penggunaannya pada terapi harian
jangka panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik
yang tinggi. Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping seperti
miopati steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan
fungsionalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat
berat(Kristiningrum,2019).
c) Phosphodiesterase-4inhibitor
Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan C-AMP intraseluler. Roflumilast merupakan obat
golongan ini yang diberikan sekali sehari secara oral. Roflumilast tidak
mempunyai efek bronkodilator langsung, namun bisa menurunkan
eksaserbasi sedang dan berat pada pasien dengan bronkitis kronik, PPOK
berat hingga sangat berat dan riwayat eksaserbasi, yang diterapi dengan
corticosteroid sistemik. Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilas
tditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak
terkontrol dengan kombinasi tetap LABA/ICS.
c. Terapi Farmakologi Lain
1) Vaksin : Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK
usia > 65 tahun (Kristiningrum,2019).
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda
dengan defisiensi alpha-1 anti tripsin herediter berat.Terapi ini sangat
mahal, dan tidak tersedia dihampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan
defisiensi alpha-1antitripsin (Kristiningrum,2019).
2) Antibiotik : Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
3) Mukolitik (mukokinetik,mukoregulator)dan anti oksidan : Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionatedglycerol dan N-acetyl cystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
4) Immunoregulators ( immunostimulators, immunomodulator )
(Kristiningrum,2019).
5) Antitusif : Golongan obat ini tidak direkomendasikan (Kristiningrum,2019).
6) Vasodilator.
b. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001, kategori fisiologis, sub
kategori respirasi. Hal 18)
2) Gangguan pertukaran gas (D.0003, kategori fisiologis, sub kategori
respirasi, hal 22)
3) Defisit nutrisi (D. 0019, kategori fisiologis, sub kategori nutrisi dan
cairan, hal 56)
4) Intoleransi aktivitas (D.0056, kategori fisiologis, sub kategori
aktivitas dan istirahat, hal 128)
5) Nyeri akut (D.0077, kategori psikologis, sub kategori nyeri dan
kenyamanan. Hal 172)
6) Hipertermia (D. 0130, kategori lingkungan, sub kategori keamanan
dan proteksi. Hal 284) (SDKI, 2016)
b. Intervensi keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif
a) Observasi
- Monitor pola napas
- Monitor bunyi napas
- Monitor sputum
- Identifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala saluran napas
- Monitor input dan output cairan
b) Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Atur posisi semi fowler atau fowler
- Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
- Buang secret pada tempat sputum
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan penghisapan lendri kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep mcgill
- Berikan oksigen
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dengan bibir
mecucu selama 8 detik
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ketiga
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak ada
kontraindikasi
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau espektoran (Hal 142
dan 186)
2) Gangguan pertukaran gas
a) Observasi
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
- Monitor pola napas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil X-Ray thoraks
b) Terapeutik
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu (hal 247)
3) Defisit nutrisi
a) Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan toleransi makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
- Identifikasi penggunaan selang nasogastric
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b) Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum makan jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
- Sajikan makanan dengan menarik dan suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Berikan suplemen makanan jika perlu
- Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastric
jika asupan oral dapat ditoleransi
c) Edukasi
- Anjurkan posisi duduk jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan jika perlu (hal, 200)
4) Intoleransi aktivitas
a) Observasi
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
- Monitor kelelahan fisik dan emosional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
b) Terapeutik
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak pasif dana tau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
c) Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
d) Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan (hal 176)
5) Nyeri akut
a) Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon verbal dan non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
b) Terapeutik
- Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
c) Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik (hal 201)
6) Hipertermia
a) Observasi
- Identifikasi penyebab hipertermia
- Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Monitor komplikasi akibat hipertermia
b) Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis
- Lakukan pendinginan eksternal
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
- Berikan oksigen jika perlu
c) Edukasi
- Anjurkan tirah baring
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan elektrolit intravena jika perlu(Hal 181)
(SLKI, 2018)
c. Implementasi Keperawatan
Merupakan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah dibuat untuk mencapai
hasil yang efektif. Pada implementasi tindakan yang dilakukan mengacu pada intervensi
yang dibuat.
d. Evaluasi
Tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan
terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan/kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan
DAFTAR PUSTAKA
Majid, Abdul. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.
Kristiningrum,Esther. (2019). Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK). Departemen Medical. Jakarta.
Rahayu, I. S. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Tn. U Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Ruang
Kenanga RSUD Ciamis. Naskah Publikasi, 1-47.
Djojodibroto, D. (2016). Respirologi (Respiratory Medecine). (J. Suyono &
E.Melinda, Eds.) (2nd ed.). Jakarta : EGC.
Kumagai, deWit. 2013. Medical Surgical Concept and Practice.
Amsterdam : Elsevier.
Wahid,A.&Suprapto,I. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada
Gangguan Respirasi. Jakarta : CV.Trans Info Media
Potter, P. A & Perry, A. G. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi ke-
7. Jakarta: EGC.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi Dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI