Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PRAKTIKUM KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN Tn. “S”


DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS DI RSUD
Dr. SOEWANDHIE SURABAYA

Dosen Pembimbing :
Ratna Yunita Sari, S.Kep.Ns., M.Kep

Oleh : Istikomah

NIM.1120023099

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS

KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS

NAHDATUL ULAMA SURABAYA2023


LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA

PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS DI RUANG

DAHLIA RSUD Dr. M. SOEWANDHIE SURABAYA

A. Konsep Penyakit

1. Definisi
Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dikarenakan
hambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, ppok juga
merupakan penyakit respiratori yang menghambat pada saluran nafas progresif
serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
beracun dan berbahaya (Ridho,2017).
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit paru
terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Asma kronis
yang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga dapat menyebabkan
PPOK (Hurst,2016).
PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang
tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat
progresif dan dikaitkan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,
hipersekresi mucus, dan perubahan pada system pembuluh darah paru. Penyakit
lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asma yang sebelumnya
diklasifikasikan dalam jenis COPD kini diklasifikasikan paru kronis, meskipun
gejala tumpang tindih dengan COPD lain. Merokok singaret, polusi udara, dan
pajanan ditempat kerja (batubara, katun, biji-bijian padi) merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang
waktu 20-30 tahun (Suddarth, 2015)
2. Etiologi
Penyebab dari timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik berdasarkan
(Djojodibroto,2016):

a. Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara


berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi
jalan napas kronik. Sejumlah zat iritan yang ada di dalam rokok menstimulasi
produksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan inflamasi,
serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok pasif juga
menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan
kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok
pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-parunya.
b. Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling
kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda
motor di jalan raya pada dekade terakhir ini, saat ini telah mengkhawatirkan
sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada
negara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah bio massa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok.
c. Genetik (defisiensi Alpha 1 – anti trypsin). Faktor risiko dari genetik
memberikan kontribusi 1– 3% pada pasien PPOK.
d. Infeksi kronis pada penyakit emfisema yang disebabkan oleh menghisap
rokok atau bahan-bahan lain yang mengiritasi bronkus dan bronkiolus. Infeksi
kronis ini sangat mengacaukan mekanisme pertahanan normal saluran napas,
termasuk kelumpuhan sebagian silia epitel pernapasan oleh efek nikotin. Efek
yang diakibatkan oleh zat nikotin ini membuat keadaan paru menjadi abnormal,
yaitu adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang bersifat permanen.
Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan akibat infeksi kronis tersebut.
Kerusakan pada alveoli yang disebabkan karena adanya proteolysis (degredasi)
oleh enzim elastase juga banyak ditemukan pada makrofag dan leukosit paru pada
pasien perokok.
e. Infeksi bakteri pada penyakit bronkitis, eksaserbasi bronkitis disangka
paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi
sekunder bakteri. Penyebab yang paling sering adalah virus seperti virus
influenza, parainfluenza, adenovirus, serta rhinovirus. Bakteri yang sering
menjadi penyebab tercetusnya penyakit ini adalah mycoplasma pneumonia.
Dikarenakan banyak faktor seperti infeksi bakteri berulang, gejala eksaserbasi dan
merokok maka menyebabkan penyakit menjadi progresif dan berjangkit dalam
waktu lama sehingga disebut bronkitis kronis.

3. Manifestasi
Menurut GINA (2016) tanda dan gejala pasien dengan PPOK
mengeluh/memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
• Batuk
• Sesak nafas, mengi inspira (stridor)
• Sesak saat beraktifitas
• Mudah kelelahan
Menurut penelitian Ridho (2017), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Menurut penelitian Ridho (2017) tanda dan
gejala bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema
yaitu suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Sedangkan tanda
dan gejala lainnya yaitu:
a. Pink Puffer yaitu timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum
yang berarti. Biasanya dispneu pada antara usia 30 – 40 tahun dan semakin
lama semakin berat.
b. Penurunan nafsu makan pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan
kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah
kurus.

c. Bentuk dada barrel chest berupa kondisi letak dari diafragma lebih rendah dan
bergerak tidak lancar, kifosis, diameter antero posterior bertambah, jarak
tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga
lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah
4. Patofiologi dan Pathway

Penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK ditandai dengan obstruksi


progresif lambat pada jalan nafas.PPOK merupakan salah satu eksaserbasi
periodik, sering kali berkaitan dengan infeksi pernapasan dengan peningkatan
gejala dyspnea dan produksi sputum.Tidak seperti proses akut yang
memungkinkan jaringan paruh pulih, jalan napas dan parenkim paru tidak kembali
ke normal setelah ekserbasi. Bahkan, PPOK menunjukkan perubahan destruktif
yang progresif(LeMoneetal., 2016).
Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK biasanya mencakup
komponen bronchitis kronik dan emfisema,dua proses yang jauh berbeda.
Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil, juga merupakan bagian
kompleks PPOK. Melalui mekanisme yang berbeda,proses ini menyebabkan jalan
napas menyempit, resistensi terhadap aliran udara untuk meningkat, dan ekpirasi
menjadi lambat dan sulit (LeMoneetal., 2016).
Menurut Djojodibroto (2016), PPOK adalah penyakit pernapasan yang terjadi
karena inflamasi kronik akibat zat-zat beracun dan polusi yang terinhalasi ke
dalam tubuh. Zat-zat berbahaya yang dimaksud dapat berupa asap rokok, asap
pabrik dan debu-debu polusi. Dari semua faktor-faktor resiko zat berbahaya
penyebab PPOK tersebut, faktor zat berbahaya berasal dari rokok yaitu nikotin
adalah faktor utama penyebab orang terkena PPOK. Zat nikotin yang terdapat
dalam rokok merupakan zat pencetus terbesar orang terkena PPOK seperti
bronkitis maupun emfisema. Bronkitis kronis dan emfisema biasanya diawali
dengan terpanjannya seorang individu terhadap zat-zat berbahaya seperti nikotin
atau rokok secara terus-menerus sehingga bronkus dan brokiolus menjadi iritas.

Iritasi kronis oleh bahan-bahan berbahaya menyebabkan hipertrofi kelenjar


mukosa bronkial dan peradangan peribronkial.Pelebaran asinus merupakan contoh
kelainan akibat dari peradangan pada bronkial. Kelainan dan peradangan pada
bronkial menyebabkan kerusakan lumen bronkus, silia menjadi abnormal,
hyperplasia otot polos saluran napas dan hipersekresi mukus. Semua kelainan
tersebut menyebabkan terjadinya obstruksi pada saluran napas, dimana memiliki
sifat kronis dan progresif sehingga masuk ke dalam kategori PPOK
(Djojodibroto,2016).
WOC
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Prasetyo,A (2020) pemeriksaan pada pasien PPOK melalui beberapa
pemeriksaan untuk menemukan diagnosa:
a. Anamnesis
1) Riwayat batuk kronik atau berulang, produksi dahak, sesak, wheezing,
atau infeksi saluran napas bawah berulang.
2) Memiliki riwayat diagnosis asma atau PPOK.
3) Memiliki riwayat pengobatan dengan obat inhalasi.
4) Pasien juga memiliki riwayat merokok.
5) Serta paparan terhadap zat berbahaya.
b. Pada pemeriksaan fisik
Pada pasien PPOK berat biasanya dapat ditemukan bunyi mengi dan ekspirasi
yang memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan.
Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa
muncul pada pasien dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit
kronis seperti muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan
lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan spirometri bertujuan untuk menegakkan diagnosis,
mengobservasi perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan
digunakan untuk melihat secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara
yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity(FVC). Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk
diagnosis PPOK rasio pengukuran FEVFVC< 0,7.
2) Radiologi
Abnormalitas pada rontgen toraks atau CT scan, yaitu hiperinflasi, penebalan
dinding jalan napas, air trapping, hiperlusensi, bullae, atau gambaran lain
emfisema namun pada stadium awal dapat normal. Sehingga teridentifikasi
diagnosis lain yaitu bronkiektasis, infeksi paru seperti tuberkulosis, penyakit paru
interstisial atau gagal jantung.
3) Analisis Gas Darah
Analisa Gas Darah dilakukan untuk mengetahui kadar pH dalam darah, atau
bersama radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK.
4) Computed
Tomography(CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada
alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1 anti tripsin
dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun asma.

6. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan kepada penderita PPOK yaitu terapi non
farmakologi dan farmakologi (Kristiningrum,2019):
a. Terapi Non Farmakologi
1) Berhenti merokok. Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok
adalah 5A:
a) Ask (Tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b) Advise (Nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti
merokok.
c) Assess (Nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam
30 hari ke depan).
d) Assist (Bimbing). Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmako
terapi.
e) Arrange (Atur). Buat jadwal kontak lebih lanjut.

2) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan
kedalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai simptom pernapasan berat, beberapa kali
masuk ruang gawat darurat, kualitas hidup yang menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial
dan latihan pernapasan.
3) Terapi Oksigen.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ-organ lainnya.
4) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hiper metabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi
dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan
fisik dan status kesehatan. Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang
menyimpulkan bahwa obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat memodifikasi
penurunan fungsi paru jangka panjang. Pemilihan obat dalam setiap golongan
obat tergantung ketersediaan dan biaya, respons klinis, dan efek samping. Setiap
terapi memerlukan regimen individual terkait keparahan, limitasi aliran udara, dan
tingkat keparahan eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
1) Bronkodilator
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas
dan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan
napas daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan
hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki
performa latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK
berat dan sangat berat, tidak mudah diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat.
Peningkatan dosis bronkodilator,khususnya yang diberikan dengan nebulizer,
tampaknya memberikan manfaat subjektif pada episode akut,tetapi tidak
membantu pada penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan
reguler untuk mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan
bronkodilator kerja singkat pada basis reguler secara umum tidak dianjurkan.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik
(antagonismuskarinik) (Kristiningrum,2019).
a) β2 Agonist(short-actingdanlong-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Angios β2
adalah obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada otot
polos saluran napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga
membantu pembersihan mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance) otot
pernapasan(LeMoneetal., 2016).
b) Anti kolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitroprium
dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek
asetilkolin pada reseptor muskarinik (LeMoneet al.,2016).
2) Anti inflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal
sekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi)
mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat
anti inflamasi. Anti inflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah
corticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan
bahwa inflamasi terkait PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap
corticosteroid, namun beberapa obat seperti agonis β2, theophylline, atau
macrolide dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas corticosteroid. Data
invivo menunjukkan bahwa kaitan dosis respons dengan keamanan jangka
panjang ( >3 tahun ) corticosteroid inhalasi pada pasien PPOK masih belum
jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
a) Corticosteroid inhalasi(ICS)
Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsi
paru, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1
diprediksi < 60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi
reguler dengan corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1
atau mortalitas jangka panjang pada pasien PPOK (Kristiningrum,2019).
b) Glucocorticoid oral
Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada
pasien dirawat di rumah sakit,atau selama di unit gawat darurat,
menurunkan tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps,dan memperbaiki
fungsi paru dan sesak napas,namun penggunaannya pada terapi harian
jangka panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik
yang tinggi. Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping seperti
miopati steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan
fungsionalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat
berat(Kristiningrum,2019).
c) Phosphodiesterase-4inhibitor
Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan C-AMP intraseluler. Roflumilast merupakan obat
golongan ini yang diberikan sekali sehari secara oral. Roflumilast tidak
mempunyai efek bronkodilator langsung, namun bisa menurunkan
eksaserbasi sedang dan berat pada pasien dengan bronkitis kronik, PPOK
berat hingga sangat berat dan riwayat eksaserbasi, yang diterapi dengan
corticosteroid sistemik. Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilas
tditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak
terkontrol dengan kombinasi tetap LABA/ICS.
c. Terapi Farmakologi Lain
1) Vaksin : Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK
usia > 65 tahun (Kristiningrum,2019).

Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda
dengan defisiensi alpha-1 anti tripsin herediter berat.Terapi ini sangat
mahal, dan tidak tersedia dihampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan
defisiensi alpha-1antitripsin (Kristiningrum,2019).
2) Antibiotik : Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
3) Mukolitik (mukokinetik,mukoregulator)dan anti oksidan : Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionatedglycerol dan N-acetyl cystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi (Kristiningrum,2019).
4) Immunoregulators ( immunostimulators, immunomodulator )
(Kristiningrum,2019).
5) Antitusif : Golongan obat ini tidak direkomendasikan (Kristiningrum,2019).
6) Vasodilator.

7. Asuhan Keperawatan PPOK


a. Pengkajian
1) Identitas
PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena peningkatan
penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan risiko
yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya
bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-
negara miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismailetal.,2017). KebanyakanpenderitaPPOK
terjadi pada individu di atas usia 40 tahun. Hal ini bisa dihubungkan
bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun (Oemiati,2013).
2) Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah sesak napas yang bertambah berat bila
aktivitas, kadang-kadang disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak
yang produktif, rasa berat di dada (Oemiati,2013).
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan
napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran
napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap
partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan
biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan
bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi
sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK(Nabella,2018).
4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja. Dan
memiliki riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi,
sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa kanak-kanak dan
penyakit respirasi lainnya. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di
rumah sakit untuk penyakit respirasi (Nabella,2018).
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya (Nabella,2018).
6) Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid &Suprapto(2013) adalah sebaga berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan berat
badan.
Tanda : Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
b) Aktivitas/Istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari,
ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau
istirahat.
Tanda : Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan
massa otot.
c) Sirkulasi
Gejala : pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependent, bunyi
jantung redup, warna kulit/membran mukosa normal/cyanosis,
pucat,dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego
Gejala : peningkatan faktor resiko dan perubahan pola
hidup. Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
e) Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hygiene. Tanda : Kebersihan buruk, baubadan.
f) Pernapasan
Gejala : Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2tahun,
episode batuk hilang timbul.
Tanda : pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan,
bentuk dada barel chest atau normoc hest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area paru,
warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu keseluruhan.
g) Keamanan
Gejala : riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan, adanya
/berulangnya infeksi.
h) Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i) Interaksi Sosial
Gejala : hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap
pasangan/orangterdekat, ketidakmampuan membaik karena penyakit
lama.
Tanda : ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena
disstres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan
dengan anggota keluarga lain.
7) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pernafasan (B1: Breathing)
• Inspeksi. Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel
chest (akibat udara yang tertangkap) atau bisa juga normo chest,
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan.
Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu
nafas (sterno cleido mastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi
saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti
makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum
purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama
infeksi pernafasan.
• Palpasi.Padapalpasi,ekspansimeningkatdantaktilfremitusbiasanya
menurun.
• Perkusi. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper
sonorsedangkan diafrgamamenurun.
• Auskultasi. Adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut
penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikattali sepatu, mengakibatkan dispnea dan
keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang mengalami emfisematosa
tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan
secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya.
b) Kardiovaskuler (B2: Blood)
Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung
tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami
distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya
sianosis.
c) Persyarafan (B3: Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis.
d) Perkemihan (B4: Bladder)
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan. Namun perawat perlu
memonitor adanya oliguria yang merupakan salah satu tanda
awaldari syok.
e) Pencernaan (B5: Bowel)
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan
pasien tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat
badan.
f) Tulang,otot dan integument (B6: Bone)
Penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat
keletihan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (ActivityDayLiving).

b. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001, kategori fisiologis, sub
kategori respirasi. Hal 18)
2) Gangguan pertukaran gas (D.0003, kategori fisiologis, sub kategori
respirasi, hal 22)
3) Defisit nutrisi (D. 0019, kategori fisiologis, sub kategori nutrisi dan
cairan, hal 56)
4) Intoleransi aktivitas (D.0056, kategori fisiologis, sub kategori
aktivitas dan istirahat, hal 128)
5) Nyeri akut (D.0077, kategori psikologis, sub kategori nyeri dan
kenyamanan. Hal 172)
6) Hipertermia (D. 0130, kategori lingkungan, sub kategori keamanan
dan proteksi. Hal 284) (SDKI, 2016)
b. Intervensi keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif
a) Observasi
- Monitor pola napas
- Monitor bunyi napas
- Monitor sputum
- Identifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala saluran napas
- Monitor input dan output cairan
b) Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Atur posisi semi fowler atau fowler
- Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
- Buang secret pada tempat sputum
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan penghisapan lendri kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep mcgill
- Berikan oksigen
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dengan bibir
mecucu selama 8 detik
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ketiga
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak ada
kontraindikasi
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau espektoran (Hal 142
dan 186)
2) Gangguan pertukaran gas
a) Observasi
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
- Monitor pola napas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil X-Ray thoraks
b) Terapeutik
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu (hal 247)
3) Defisit nutrisi
a) Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan toleransi makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
- Identifikasi penggunaan selang nasogastric
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b) Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum makan jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
- Sajikan makanan dengan menarik dan suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Berikan suplemen makanan jika perlu
- Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastric
jika asupan oral dapat ditoleransi
c) Edukasi
- Anjurkan posisi duduk jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan jika perlu (hal, 200)
4) Intoleransi aktivitas
a) Observasi
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
- Monitor kelelahan fisik dan emosional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
b) Terapeutik
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak pasif dana tau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
c) Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
d) Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan (hal 176)
5) Nyeri akut
a) Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon verbal dan non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
b) Terapeutik
- Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
c) Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik (hal 201)
6) Hipertermia
a) Observasi
- Identifikasi penyebab hipertermia
- Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Monitor komplikasi akibat hipertermia
b) Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis
- Lakukan pendinginan eksternal
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
- Berikan oksigen jika perlu
c) Edukasi
- Anjurkan tirah baring
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan elektrolit intravena jika perlu(Hal 181)
(SLKI, 2018)
c. Implementasi Keperawatan

Merupakan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah dibuat untuk mencapai

hasil yang efektif. Pada implementasi tindakan yang dilakukan mengacu pada intervensi

yang dibuat.

d. Evaluasi

Tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan

terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan/kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan
DAFTAR PUSTAKA

Majid, Abdul. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.
Kristiningrum,Esther. (2019). Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK). Departemen Medical. Jakarta.
Rahayu, I. S. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Tn. U Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Ruang
Kenanga RSUD Ciamis. Naskah Publikasi, 1-47.
Djojodibroto, D. (2016). Respirologi (Respiratory Medecine). (J. Suyono &
E.Melinda, Eds.) (2nd ed.). Jakarta : EGC.
Kumagai, deWit. 2013. Medical Surgical Concept and Practice.
Amsterdam : Elsevier.
Wahid,A.&Suprapto,I. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada
Gangguan Respirasi. Jakarta : CV.Trans Info Media
Potter, P. A & Perry, A. G. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi ke-
7. Jakarta: EGC.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi Dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi Dan


Kriteria HasilKeperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi danIndikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai