Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYAKIT


PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

OLEH:

NAMA : NI KOMANG AYU SETIAWATI


NIM : P07120121001
KELAS : 2.1 D-III KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

I. KONSEP DASAR PPOK


A. PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan
dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible. Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang
sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010).
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan
persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok
ini seperti bronkhitis, asma terutama yang menahun. (Arita Murwani
2011).

B. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
1) Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang cukup tinggi sebagai
penyebab gejala pada sistem respirasi. Perokok adalah seseorang yang
dalam hidupnya pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang atau
lebih dan saat ini masih merokok, sedangkan bekas perokok adalah
seseorang yang telah meninggalkan kebiasaan merokok selama 1
tahun. Perokok yang menggunakan pipa atau cerutu mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bukan perokok, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perokok sigaret (GOLD, 2018).
2) Polusi Udara
Berbagi macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar
dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara dan dapat memberikan
efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya PPOK. Polusi udara
terbagi menjadi (PDPI,2016):
1. Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap dapur (kompor, kayu, arang, dll)
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
c. Polusi pada tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3) Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri berperan juga dalam patogenesis serta
progretivitas pada PPOK. Kolonisasi bakteri yang menyebabkan
inflamasi jalan napas, dapat berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas bawah yang berulang saat anak,
akan mengakibatkan penurunan fungsi paru dan meningkatnya gejala
pada sistem respirasi saat dewasa. (PDPI, 2016)
4) Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan pada saat proses selama
kehamilan, kelahiran dan pajanan polusi sewaktu kecil. Kecepatan
penurunan fungsi paru pada seseorang adalah penyebab terjadinya
PPOK. (PDPI, 2016)

C. TANDA DAN GEJALA


Penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK adalah nama untuk
sekelompok kondisi paru yang menyebabkan kesulitan bernapas. Kondisi
ini menyebabkan aliran udara ke paru-paru terhalang, penyakit ini
termasuk kondisi yang sering menyerang orang dewasa, terutama yang
memiliki kebiasaan merokok.
Untuk gejala penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK seringkali
tidak muncul sampai terjadi kerusakan paru-paru yang signifikan. Kondisi
ini biasanya memburuk dari waktu ke waktu, terutama jika paparan rokok
terus berlanjut. Untuk bronkitis kronis, gejala utama adalah produksi batuk
dan lendir (sputum) setidaknya selama tiga bulan dalam dua tahun
berturut-turut. Berikut adalah gejala dari PPOK yang lain di antaranya
yaitu:
 Sesak napas, terutama saat aktivitas fisik.
 Sesak pada dada.
 Mengi atau Suara siulan bernada tinggi yang muncul saat bernapas.
 Kelebihan lendir pada paru-paru
 Batuk kronis yang menghasilkan lendir (dahak) yang mungkin jernih,
putih, kuning atau kehijauan
 Kuku dan bibir pucat
 Penurunan berat badan secara drastic
 Pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki

Tingkat Keparahan Penyakit PPOK :


Tingkat Nilai FEV1 dan gejala
0 Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum dan
Beresiko dispnea.
Ada paparan terhadap faktor resiko (rokok, polusi),spirometri normal.
I FEV1/FVC < 70%, FEV1≥ 80%, dan umumnya, tapi tidak selalu ada
Ringan gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien
biasanya bahkan belum berasa paru-parunya bermasalah.
II FEV1/FVC < 70%, 50% < FEV1 < 80%, gejalamya biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang
Berat yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien
mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau
serangan penyakit.
IV FEV1/FVC < 70%, FVE1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi
Sangat kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1
berat > 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafaasan atau gagal
jantung kanan/cor pulmonary. Pada tahap ini, kualitas hidup sangat
terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.
D. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut :
1. Bronkitis Kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hamper setiap
hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam
satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
a. Etiologi:
Terdapat 3 jenis bronkitis akut, yaitu:
 Infeksi : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus,
haemophilus influenza
 Alergi
 Rangsang : missal asap pabrik, asap mobil, asap rokok, dan
lain-lain.
Bronkitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan
patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
 Penyakit jantung menahun, baik pada katup maupun
myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus
melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi
 Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber
bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus
 Dilatasi bronchus (bronchietasi) menyebabkan gangguan
susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri
mudah terjadi
 Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar
selaput lenderbronchus sehingga drainase lendir terganggu.
Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.
b. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau
dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronkitis kronis.
Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali
merupakan awal dari serangan bronkitis akut. Dkter akan
mendiagnosis akut bronkitis kronis jika klien mengalami batuk atau
produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan
paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronkitis timbul sebagai
akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-
infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan
timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi,
kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.
Klien dengan bronkitis kronis akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mucus pada bronchi
besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi ciliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan
untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus
akan menjadi hipertropi dan hyperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan
menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan
mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama
dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat
beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara
besar. Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh nafas akan terkena.
Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan
mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas
mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal
dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan
oksigen jaringan: ratio ventilasi dapat juga meningkatkan nilai
PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari
hypoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit).
Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang
hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien
mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan
FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangu, hypoxemia akan
timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.
2. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomic paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa
disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak
termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
a. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya
kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan
overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu
akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) diantaranya alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan
kehilangan elastisitas kecil. Pada saat alveoli dan septa kollaps,
udara akan tertahan di antara ruang alveolar (disebut blebs) dan
diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan
menyebabkn peningkatan ventilator pada “dead space” atau area
yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas
meningkat dikarenakan terjadinya kekuranga fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut
terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada
beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia,
tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda),
biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
b. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada
klien emfisema, yaitu :
 Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau
merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan
merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung
alveolar kehilangan elatisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi
kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang
lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
 Hyperinflation Paru Pembesaran Alveoli mencegah paru-paru
untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi
 Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan
berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat
udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan x ray
 Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap. Ketika klien
berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak
akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
c. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
 Emfisema Centriolobular merupakan tipe yang sering muncul,
menghasilkan kerusakan bronchioles, biasanya pada region
paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi
biasanya kantung alveolar tetap bersisa
 Emfisema Panlobular (Panacinar) merusak ruang udara pada
seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah.
Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul
sangat sering pada seorang perokok.
 Emfisema Paraseptal merusak alveoli pada lobus bagian bawah
yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru.
Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan
klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan
lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner,
sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis
rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi debagai penyempitan saluran-
saluran nafas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik
yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru
dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-
benda dari saluran pernafasan atas, dan tekanan terhadap tumor,
pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
E. POHON MASALAH
F. PEMERIKSAAN FISIK
a) Manifestasi klinik PPOM:
 Peningkatan dyspnea
 Penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (retraksi otot-otot
abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung)
 Penurunan bunyi napas
 Takipnea
 Gejala yang menetap pada penyakit dasar
b) Asthma
 Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada
seperti terikat
 Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop
 Pernapasan cuping hidung
 Ketakutan dan diaphoresis
c) Bronkhitis
 Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang
biasanya terjadi pada pagi hari
 Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing
 Sesak napas
d) Bronkhitis (tahap lanjut)
 Penampilan sianosis
 Pembengkakaan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh
edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal)
e) Emfisema
 Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter
thoraks anterio posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi
paru-paru)
 Fase ekspirasi memanjang
f) Emfisema (tahap lanjut)
 Hipoksemia dan hiperkapnia
 Penampilan sebagai “pink puffers”, dan jari-jari tubuh
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Chest X-Ray :
Dapat menunjukan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular/bulla
(emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, missal Bronchodilator.
3. TLC
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun
pada emfisema.
4. Kapasitas inspirasi :
Menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC :
Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs :
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang
atau asthma).
7. Bronchogram :
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar
usus (bronchitis).
8. Darah komplit :
Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinophil
(asthma).
9. Kimia darah :
Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer.
10. Sputum Kultur :
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen,
pemeriksaan sitology untuk menentukan penyakit keganasan atau
allergi.
11. ECG :
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertical (emfisema).
12. Exercise ECG, Stress Test :
Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
13. Palpasi :
Palpasi pengurangan pengembangan dada?
Adakah fremitus taktil menurun?
14. Perkusi :
Adakah hiperesonansi pada perkusi?
Diafragma bergerak hanya sedikit?
15. Auskultasi :
Adakah suara wheezing yang nyaring?
Adakah suara ronkhi?
Vocal fremitus normal atau menurun?

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
a) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
paralel, keluar dari hilus menuju apeks baru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
b) Corak paru yang bertambah.
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada, yaitu:
a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary
oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada
emfisema panlobular dan pink puffer.
b. Corakan baru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VE1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi
maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF
dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan di atas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedangkan pada stadium dini perubahan
hanya pada saluran nafas kecil (small airways). Pada emfisema
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi
berkurang.
3. Analisa gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokontriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan
eritropoetin sehingga meninmbulkan polisitemia. Pada kondisi umur
55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmunol terdapat deviasi aksis kekanan dan P
pulmonal pada hantaran II, III, dan avF. Voltase QRS rendah Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat
RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
 Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya
pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
 Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera
menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus
tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih controversial.
5. Pengobatan simtomatik
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1-2 liter/menit.
 Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
2. Latihan pernafasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernafasan yang paling efektif.
3. Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance , yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
5. Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis).
 Pencegahan:
Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara Terapi eksaserbasi
akut dilakukan dengan:
1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi .
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisili 4x0.25-0.56/hari atau
eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat)
dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H.
Influenza dab B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase
pemberian antibiotik seperti kontrimaksasol, amoksilin, atau
doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut tebukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda- tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik
4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,56 IV
secara perlahan.
 Terapi jangka panjang dilakukan:
1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
3. Fisioterapi.
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
5. Mukolitik dan ekspektoran.
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
nafas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi.
 Rehabilitas untuk pasien PPOK adalah:
1. Fisioterapi.
2. Rehabilitasi psikis.
3. Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482).

J. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari
55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien
akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa.
Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Penyakit ini timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain Nyeri kepala, fatique,
lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit
paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan
dan seringkali tidak berespon terhadap terapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam
mengumpulkan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001). Di dalam
pengkajian keperawatan terdapat data berupa biodata klien, keluhan utama
klien, riwayat penyakit sekarang dan penyakit yang terdahulu, riwayat
kesehatan keluarga, riwayat pekerjaan dan kebiasaan dan pemeriksaan
fisik klien.
 Anamnesis
Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) diantaranya adalah :
1. Batuk yang berlangsung sudah lama dan berulang, dapat disertai
dengan produksi sputum yang awal mula sedikit dan berwarna putih
hingga kemudian menjadi banyak dan berubah warna menjadi kuning
keruh.
2. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok atau menjadi
perokok pasif, paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak.
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor pencetus
pada masa kecil misalnya berat badan lahir rendah ( BBLR ), infeksi
saluran pernafasan yang berulang, lingkungan dengan asap rokok dan
atau polusi.
4. Sesak nafas semakin lama semakin memburuk terutama saat sedang
melakukan aktivitas berat hingga terengah-engah, sesak berlangsung
lama, hingga gejala sesak nafas yang tidak hilang sama sekali, bahkan
ketika penderita sedang beristirahat, disertai dengan mengi ataupun
tidak disertai mengi.
 Identitas
1. Biodata klien (umur, sex, pekerjaan, pendidikan)
Umur klien dapat menunjukan tahap perkembangan klien baik
secara fisik maupun psikologi, jenis kelamin dan pekerjaan juga
berpengaruh terhadap terjadinya penyakit yang diderita klien, dan
tingkat pengetahuan klien terhadap penyakit yang dideritannya.
2. Keluhan utama
Keluhan utama ialah keluhan yang paling menganggu klien.
Keluhan utama digunakan untuk menentkan prioritas intervensi dan
mengkaji pengetahuan klien terhadap penyakitnya.
3. Riwayat kesehatan saat ini dan terdahulu
Pengkajian yang dilakukan dimulai dengan perawat menanyakan
tentang perjalanan penyakit sejak timbul keluhan hingga alasan dibawa
ke rumah sakit, seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan
berapa kali keluhan dirasakan, bagamana sifat dan hebatnya keluhan
yang dirasakan, dimana pertama kali keluhan di rasakan, apa yang
dilakukan ketika keluhan tersebut timbul, keadaan apa yang
memperberat atau memperingan keluhan, usaha apa yang dilakukan
untuk mengurangi keluhan tersebut apakah usaha yang dilakukan
berhasil. Sedangkan untuk riwayat kesehatan masa lalu Tanyakan klien
tentang pengobatan masalah pernapasan sebelumnya. Kaji pula kapan
kapan penyakit terjadi dan waktu perawatannya. Tanyakan apakah
klien pernah melakukan pemeriksaan rongten dan kapan terakhir
dilakukan.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dicari apakah riwayat keluarga memberikan faktor
predisposisi seperti adanya riwayat sesak napas, batuk lama, batuk
darah dari anggota keluarga yang lain. Adanya penyakit darah tinggi
dan kencing manis dapat memperberat keluhan penderita.
5. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Perawat harus menanyakan bagaimana lingkungan kerja klien dan
juga kebiasaan sosial yang dilakukannya. Seperti menanyakan
kebiasaan merokok, menanyakan apakah pekerjaan penuh stress,
apakah lingkungan dipenuhi dengan polusi udara dan lain sebagainya
(Andarmoyo, 2012).
6. Pemeriksaan fisik fokus
Menurut Muttaqin (2014), pemeriksaan fisik pada klien dengan
PPOK dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
1) Inspeksi
Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
terlihat adanya peningkatan dari usaha nafas dan frekuensi
pernafasan, serta pernafasan disertai dengan penggunaan otot bantu
nafas (sternocleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasanya terlihat
bentuk dada pasien seperti tong atau biasa disebut barrel chest
akibat udara yang terperangkap di ruang paru-paru dan tidak bisa
dikeluarkan, penipisan masa otot, bernafas dengan bibir yang
dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif. Pada tahap
lanjut, dypsnea terjadi pada saat beraktifitas sehari-hari seperti
berjalan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dikaji dengan
melihat sputum purulent disertai dengan demam yang
mengindikasikan adanya gejala terjadinya infeksi pernafasan.
2) Palpasi
Pada pemeriksaan dengan cara palpasi, ekspansi dada pasien
meningkat dan pada pemeriksaan traktil fremitus biasanya
mengalami penurunan.
3) Perkusi
Saat dilakukan perkusi dada sering didapatkan suara dada normal
hingga terdengar suara hipersonor, sedangkan diafragma mendatar
atau menurun.
4) Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai
dengan tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
7. Pengkajian Diagnostik
a. Chest X-Ray
Pemeriksaan Chest X-Ray dapat menunjukkan hiperinflation paru
flattened diafragma, peningkatan ruangan udara retrosternal,
penurunan tanda vaskuler atau bullac ( emfisema ), peningkatan
suara ( bronchitis ), normal ditemukan saat periode remisi ( asma ),
bronkovaskuler.
b. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat
obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan
mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC)
Meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma, namun
menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi
Menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC
Rasio tekanan volume eksperasi ( FEV ) terhadap tekanan
kapasitas vital ( FVC ) menurun pada beonkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs)
Pemeriksaan Arterial Blood Gasses atau ABGs menunjukkan
proses penyakit kronis. sering kali PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau meningat (bronkitis kronis dan emfisema) tetepi sering
kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asma).
g. Bronkogram
Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi,
kolaps bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran
kelenjar mukus (bronchitis).
h. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan jika terjadi peningkatan
hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil (asma).
i. Kimia Darah
Alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisemal primer
j. Sputum Kultur
Pemeriksaan sputum kultur dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi dan mengidentifikasi patogen, sedangkan pemeriksaan
sitologi digunakan untuk menemukan penyakit kaganasan atau
alergi.
k. Electrokardiogram (ECG)
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggil (asma berat), artial
disritmia (bronchitis), gelombang P pada leads II, III, dan AVF
panjang, tinggi (pada bronkitis dan (emfisema) dan aksis QRS
ventrikal (emfisema).
l. Exercise ECG, Stress Test
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam mengkaji
tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat
bronkodilator,dan merencanakan atau evaluasi program.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia ( SDKI ) tahun 2017,
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan diagnosa Penyakit
Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) adalah
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi
peningkatan produksi seputum, batuk tidak efektif, kelebihan/
berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen,
napas pendek, mukus, bronkokontriksi, iritan jalan napas, kerusakan
pada alveoli.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan mengatur
posisi.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen

C. RENCANA KEPERAWATAN
No Standar Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi Rasional
Keperawatan Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
Indonesia ( SLKI ) ( SIKI )
( SDKI )
1. Bersihan Jalan Nafas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif Latihan Batuk Efektif
Tidak Efektif tindakan keperawatan (I.01006) Observasi :
( D. 0001) selama…x…jam Observasi : 1. Mengetahui
berhubungan dengan diharapkan Bersihan 1. Identifikasi kemampuan kemampuan batuk
bronkokontriksi Jalan Nafas ( L.01001) batuk. 2. Untuk mengetahui
peningkatan produksi Pasien meningkat dengan 2. Monitor adanya retensi adanya retensi
seputum, batuk tidak Kriteria Hasil : sputum. sputum.
efektif, kelebihan/ 1. Pasien dapat 3. Monitor tanda dan gejala 3. Mengetahui tanda
berkurangnya tenaga mengeluarkan secret. infeksi saluran nafas dan gejala infeksi
dan infeksi 2. Mengi atau wheezing 4. Monitor input dan output saluran nafas.
bronkopulmonal. hilang atau menurun. cairan ( mis. jumlah dan 4. Mengetahui input
3. Frekuensi dan pola karakteristil ) dan output cairan
nafas teratur 12- Terapeutik Terapeutik
20x/menit. 5. Atur Posisi Semi-Fowler 5. Untuk
4. Gelisah menurun atau Fowler mempertahankan
5. Tidak ada dipsnea. 6. Pasang perlak dan kenyamanan posisi
6. Napas cuping hidung bengkok di pangkuan klien
menurun pasien 6. Untuk mencegah
7. Tidak menggunakan 7. Buang sekret pada keluarnya cairan
otot bantu nafas. tempat sputum sehingga tidak
8. Sianosis membaik Edukasi membasahi atau
9. Tidak terjadi 8. Jelaskan tujuan dan mengotori bed atau
obstruksi jalan nafas prosedur batuk efektif matras
9. Anjurkan tarik nafas 7. Agar tidak tercemar
dalam melalui hidung secret pasien
selama 4 detik, ditahan Edukasi
selama 2 detik kemudian 8. Agar klien atau
keluarkan dari mulut keluarga klien
dengan bibir mencucu mengetahui tujuan
(dibulatkan selama 8 dan prosedur batuk
detik) efektif
10. Anjurkan mengulangi 9. Agar pasien tau
tarik nafas dalam hingga cara melakukan
yang ke-3 batuk efektif
Kolaborasi 10. Untuk
11. Kolaborasi pemberian merileksasikan
mukolitik atau pernafasan
ekspektoran, jika perlu Kolaborasi
11. Pemberian
mukolitik atau
Fisioterapi Dada (I.01004) ekspektoran dapat
Observasi : meringankan napas
1. Identifikasi indikasi klien agar lebih
dilakukan fisioterapi lega
dada ( ms. Hipersekresi
sputum, sputum kental,
dan tertahan, tirah baring
lama )
2. Identifikasi Fisioterapi Dada
kontraindikasi fisioterapi Observasi :
dada ( ms. Eksaserbasi 1. Mengetahui
ppok akut, pneumonia indikasi
tanpa produksi sputum dilakukannya
berlebih, kanker paru- fisioterapi dada
paru ) 2. Mengetahui
3. Monitor status kontraindikasi saat
pernafasan ( ms. akan melakukan
Kecepatan irama suara fisioterapi dada
nafas dan kedalaman 3. Mengetahui status
nafas ) pernafasan klien
4. Periksa sekmen paru 4. Mengetahui
yang mengandung sekmen paru yang
sekresi berlebih mengandung
5. Monitor jumlah dan sekresi berlebih
karakter sputum 5. Mengetahui jumlah
6. Monitor toleransi selama dan karakter
dan setelah prosedur sputum
Terapeutik : 6. Mengetahui
7. Gunakan bantal untuk perasaan klien baik
membantu pengaturan setelah maupun
posisi sebelum prosedur
8. Lakukan perkusi dengan dilakukan
posisi telapak tangan Terapeutik
ditangkupkan selama 3-5 7. Agar klien merasa
menit nyaman
9. Lakukan vibrasi dengan 8. Untuk mengajarkan
posisi telapak tangan rata kepada klien cara
bersamaan ekspirasi mengeluarkan
melalui mulut secret
10. Lakukan fisioterapi dada
setidaknya 2 jam setelah Edukasi
makan 9. Agar klien bisa
11. Hindari perkusi pada batuk secara
tulang belakang, ginjal, mandiri
payudara wanita, insisi, 10. Agar klien bisa
dan tulang rusuk yang lebih rileks
patah
12. Lakukan penghisapan
lendir untuk
mengeluarkan secret, jika
perlu
13. Lakukan penghisapan
lendir untuk
mengeluarkan secret, jika
perlu
Edukasi :
14. Anjurkan batuk setelah
prosedur selesai
15. Ajarkan inspirasi
perlahan dan dalam
melalui hidung selama
proses fisioterapi
2 Pola Nafas Tidak Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas Manajemen Jalan
Efektif (D.0005) tindakan keperawatan (I.01011) Nafas
berhubungan dengan selama….x…jam Observasi Observasi :
gangguan suplai diharapkan Pola Nafas 1. Monitor pola nafas 1. Mengetahui pola
oksigen, napas pendek, (L.01004) (frekuensi, kedalaman, nafas pasien
mukus, Pasien membaik dengan usaha nafas) 2. Mengetahui apakah
bronkokontriksi, iritan Kriteria Hasil : 2. Monitor bunyi nafas ada bunyi nafas
jalan napas, kerusakan 1. Tidak menggunakan tambahan (mis. gurgling, tambahan
pada alveoli. otot bantu nafas. mengi, wheezing, ronkhi 3. Mengetahui jumlah,
2. Dispnea menurun kering) warna, dan aroma
3. Pemanjangan fase 3. Memonitor sputum dari sputum
ekspirasi menurun (jumlah, warna, aroma) Terapeutik
4. Frekuensi nafas Terapeutik 4. Agar klien bisa
mebaik 4. Pertahankan kepatenan bernapas dengan
5. Pernapasan pursed- jalan nafas dengan head lancar
lip menurun tilt dan chint- lift (jaw 5. Untuk
6. Pernapasan cuping thrust jika curiga trauma mempertahankan
hidung menurun servikal). kenyamanan posisi
7. Kedalaman napas 5. Posisikan Semi-fowler klien
membaik atau fowler. 6. Agar klien rileks
8. Tekanan ekspirasi 6. Berikan minum hangat. 7. Untuk
membaik 7. Lakukan Fisioterapi mengeluarkan
9. Tekanan inpirasi dada, jika perlu lendir
membaik 8. Lakukan penghisapan 8. Untuk memenuhi
lendir kurang dari 15 asupan cairan klien
detik 9. Agar klien bisa
9. Lakukan hiperoksigenasi bernapas secara
sebelum penghisapan normal
endotrakea Edukasi
10. Keluarkan sumbatan 10. Agar asupan cairan
benda padat dengan klien terpenuhi
forest McGill 11. Untuk
11. Berikan Oksigen, jika mengeluarkan
perlu. secret dan agar
Edukasi klien merasa
12. Anjurkan asupan cairan nyaman saat
2000 ml/hari, jika tidak bernapas
kontraindikasi. Kolaborasi
13. Ajarkan teknik batuk 12. Pemberian
efektif. bronkodilator
Kolaborasi ,mukolitik, atau
14. Pemberian bronkodilator, ekspektoran dapat
ekspektoran, mikotik, meringankan napas
jika perlu. klien agar lebih
lega
3 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi Pemantauan
pertukaran gas tindakan keperawatan (I.01014) Respirasi
(D.0003) selama….x…jam Observasi : Observasi :
berhubungan dengan diharapkan Pertukaran 1. Monitor frekuensi, irama, Untuk mengetahui
ketidaksamaan Gas (L.01002) kedalaman, dan upaya frekuensi, irama,
ventilasi perfusi. Pasien Meningkat napas kedalaman, dan upaya
Dengan Kriteria Hasil : 2. Monitor pola napas napas
1. Tingkat kesadaran (seperti bradipnea, 1. Untuk mengetahui
meningkat takipnea, hiperventilasi, pola napas (seperti
2. Dispne manurun Kussmaul, Cheyne- bradipnea,
3. Bunyi nafas Stokes, Biot, ataksik0 takipnea,
tambahan menurun 3. Monitor kemampuan hiperventilasi,
4. Pusing meuerun batuk efektif Kussmaul, Cheyne-
5. Penglihatan kabur 4. Monitor adanya produksi Stokes, Biot,
menurun sputum ataksik0
6. Nafas cuping hidung 5. Monitor adanya 2. Untuk mengetahui
menurun sumbatan jalan napas kemampuan batuk
7. Pola nafas membaik 6. Palpasi kesimetrisan efektif
ekspansi paru 3. Monitor adanya
7. Auskultasi bunyi napas produksi sputum
8. Monitor saturasi oksigen 4. Monitor adanya
9. Monitor nilai AGD sumbatan jalan
10. Monitor hasil x-ray napas
toraks 5. Untuk mengetahui
Terapeutik kesimetrisan
11. Atur interval waktu ekspansi paru
pemantauan respirasi 6. Untuk mengetahui
sesuai kondisi pasien bunyi napas
12. Dokumentasikan hasil 7. Untuk mengetahui
pemantauan saturasi oksigen
Edukasi 8. Untuk mengetahui
13. Jelaskan tujuan dan nilai AGD
prosedur pemantauan 9. Untuk mengetahui
14. Informasikan hasil hasil x-ray toraks
pemantauan, jika perlu Terapeutik
Terapi Oksigen (I.01026) 10. Untuk mengetahui
Observasi : pemantauan
1. Monitor kecepatan aliran respirasi sesuai
oksigen kondisi pasien
2. Monitor posisi alat terapi 11. Untuk
oksigen mendokumentasika
3. Monitor aliran oksigen n hasil pemantauan
secara periodic dan Edukasi
pastikan fraksi yang 12. Untuk mengetahui
diberikan cukup tujuan dan prosedur
4. Monitor efektifitas terapi pemantauan
oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah ), jika Terapi Oksigen
perlu Observasi :
5. Monitor kemampuan 1. Untuk mengetahui
melepaskan oksigen saat kecepatan aliran
makan oksigen
6. Monitor tanda-tanda 2. Untuk mengetahui
hipoventilasi posisi alat terapi
7. Monitor tanda dan gejala oksigen
toksikasi oksigen dan 3. Untuk mengetahui
atelektasis aliran oksigen
8. Monitor tingkat secara periodic dan
kecemasan akibat terapi pastikan fraksi yang
oksigen diberikan cukup
9. Monitor integritas 4. Untuk mengetahui
mukosa hidung akibat efektifitas terapi
pemasangan oksigen oksigen (mis.
Terapeutik oksimetri, analisa
10. Bersihkan secret pada gas darah ), jika
mulut, hidung dan perlu
trachea, jika perlu 5. Untuk mengetahui
11. Pertahankan kepatenan kemampuan
jalan nafas melepaskan
12. Berikan oksigen oksigen saat makan
tambahan, jika perlu 6. Untuk mengetahui
13. Tetap berikan oksigen tanda-tanda
saat pasien ditransportasi hipoventilasi
14. Gunakan perangkat 7. Untuk mengetahui
oksigen yang sesuai tanda dan gejala
dengat tingkat mobilisasi toksikasi oksigen
pasien dan atelektasis
Edukasi 8. Untuk mengetahui
15. Ajarkan pasien dan tingkat kecemasan
keluarga cara akibat terapi
menggunakan oksigen oksigen
dirumah 9. Untuk mengetahui
Kolaborasi integritas mukosa
16. Kolaborasi penentuan hidung akibat
dosis oksigen pemasangan
17. Kolaborasi penggunaan oksigen
oksigen saat aktivitas Terapeutik
dan/atau tidur 10. Untuk
membersihkan
secret pada mulut,
hidung dan trachea,
11. Untuk
mempertahankan
kepatenan jalan
nafas
12. Untuk memberikan
oksigen tambahan,
13. Untuk memberikan
oksigen saat pasien
ditransportasi
14. Untuk memberikan
kenyamanan pada
pasien
Edukasi
15. Agar pasien dan
keluarga
menegtahui cara
menggunakan
oksigen dirumah
Kolaborasi
16. Mengkolaborasi
penentuan dosis
oksigen
17. Mengkolaborasi
penggunaan
oksigen saat
aktivitas dan/atau
tidur
4 Gangguan Pola Tidur Setelah dilakukan Dukungan Tidur (L.05174) Dukungan Tidur
(D.0055) tindakan keperawatan Observasi Observasi :
berhubungan dengan selama….x…jam 1. Identifikasi pola aktivitas 1. Untuk menegtahui
ketidaknyamanan diharapkan Pola Tidur dan tidur pola aktivitas dan
mengatur posisi. (L.05045) pasien 2. Identifikasi fak tor tidur pasien
membaik dengan Kriteria penganggu tidur 2. Untuk mengetahui
Hasil : 3. Identifikasi makanan dan faktor penganggu
1. Keluhan sulit minuman yang tidur
tidur menurun mengganggu tidur 3. Untuk mengetahui
2. Keluhan sering 4. Mengidentifikasi obat makanan dan
terjaga menurun tidur yang dikonsumsi minuman yang
3. Keluhan tidak pus Terapeutik mengganggu tidur
tidur menurun 5. Modifikasi lingkungan 4. Untuk mengetahui
4. Keluhan pola 6. Batasi waktu tidur siang obat tidur yang
tidur berubah 7. Fasilitasi menghilangkan dikonsumsi
menurun stres sebelum tidur Terapeutik
5. Keluhan istirahat 8. Tetapkan jadwal rutin 5. Agar pasien merasa
tidak cukup tidur nyaman
mnurun 9. Lakukan prosedur untuk 6. Agar pasien tidak
6. Kemampuan eningkatkan kenyamanan terjaga saat malam
beraktifitas 10. Sesuaikan jadwal hari
meningkat pemberian obat dan/atau 7. Agar jadwal tidur
tindakan unruk pasien teratur
menunjang siklus tidur 8. Untuk
terjaga meningkatkan
Edukasi kenyamanan
11. Jelaskan pentingnya 9. Sesuaikan jadwal
tidurcukup selama sakit pemberian obat
12. Anjurkan menepati dan/atau tindakan
kebiasaan tidur unruk menunjang
siklus tidur terjaga
Edukasi
10. Agar psien
mengetahui
pentingnya
tidurcukup selama
sakit
5 Intoleransi aktivitas Setelah diberikan asuhan Manajemen Energi Manajemen Energi
(D.0056) keperawatan selama (I.05178) Observasi :
berhubungan dengan …x24 jam diharapkan Observasi : 1. Agar dapat
ketidakseimbangan toleransi aktivitas 1. Identifikasi gangguan mengidentifikas
antara suplai dengan meningkat dengan fungsi tubuh yang i gangguan
kebutuhan oksigen kriteria hasil : menyebabkan fungsi tubuh
 Frekuensi nadi kelelahan yang
meningkat 1. Monitor kelelahan menyebabkan
 Keluhan lelah fisik dan emosional kelelahan
menurun 2. Monitor pola dan jam 2. Untuk monitor
 Dyspnea saat tidur kelelahan fisik
aktivitas menurun 3. Monitor lokasi dan dan emosional

 Dyspnea setelah ketidaknyamanan 3. Agar dapat

aktivitas menurun selama melakukan memonitor pola


aktivitas dan jam tidur
Terapeutik : 4. Untuk
4. Sediakan lingkungan memonitor
nyaman dan rendah lokasi dan
stimulus ketidaknyamana
5. Lakukan latihan n selama
rentang gerak pasif melakukan
dan atau aktif aktivitas
6. Berikan aktivitas Terapeutik :
distraksi yang 5. Menyediakan
menenangkan lingkungan
7. Fasilitasi duduk di nyaman dan
sisi tempat tidur, jika rendah stimulus
tidak dapat berpindah 6. Agar dapat
atau berjalan malukan latihan
Edukasi : rentang gerak
8. Anjurkan tirah baring pasif dan atau
9. Anjurkan melakukan aktif
aktifivas secara 7. Agar dapat
bertahap diberikan
10. Anjurkan aktivitas
menghubungi distraksi yang
perawat jika tanda menenangkan
dan gejala kelelahan 8. Untuk
tidak berkurang memfasilitasi
11. Ajarkan strategi duduk di sisi
koping untuk tempat tidur,
mengurangi jika tidak dapat
kelelahan berpindah atau
Kolaborasi : berjalan
12. Kolaborasi dengan Edukasi :
ahli gizi dengan cara 9. Menganjurkan
meningkatkan asupan tirah baring
makanan 10. Dianjurkan
melakukan
aktifivas secara
bertahap
11. Dapat
dianjurkan
menghubungi
perawat jika
tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
12. Agar dapat
melakukan
strategi koping
untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi :
13. Kolaborasi
dengan ahli gizi
dengan cara
meningkatkan
asupan
makanan

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tahap keempat proses keperawatan.
Tahap ini akan muncul bila perencanaan diaplikasikan pada pasien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda dengan
urutan yang dibuat pada perencaan sesuai dengan kondisi pasien (Debora,
2012) Implementasi keperawatan akan sukses sesuai dengan rencana
apabila perawat mempunyai kemampuan kognitif, kemampuan hubungan
interpersonal, dan ketrampilan dalam melakuka tindakan yang berpusat
pada kebutuhan pasien (Dermawan, 2012).

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah tahap akhir pada proses keperawatan ketika
perawat menentukan kemajuan klien dalam mencapai tujuan/hasil dan
keefektifan rencana asuha keperawatan (Kozier, B.,et al , 2010) Format
yang dapat digunakan untuk evaluasi keperawatan menurut (Dinarti, 2009)
yaitu format SOAP yang terdiri dari :
1. Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien. Pada pasien
PPOK dengan gangguan pertukaran gas diharapkan pasien tidak
mengeluh sesak napas, tidak mengeluh pusing, penglihatan kabur
menurun
2. Objective, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga.
Pada pasien dengan pola napas tidak efektif indikator evaluasi menurut
Moorhead et al. (2013) yaitu :
a. Dipsnea menurun
b. Bunyi napas tambahan menurun
c. Diaforesis menurun
d. Napas cuping hidung menurun
e. PCO2 membaik (35-45 mmHg)
f. PO2 membaik (80-100 mmHg)
g. Takikarida membaik
h. pH arteri membaik (7,35-7,45)
i. Sianosis membaik
j. Pola napas membaik
k. Warna kulit membaik
3. Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasaya ditulis
dala bentuk masalah keperawatan). Ketika menentukan apakah tujuan
telah tercapai, perawat dapat menarik satu dari tiga kemungkinan
simpulan :
a. Tujuan tercapai; yaitu, respons klien sama dengan hasil yang
diharapkan
b. Tujuan tercapai sebagian; yaitu hasil yang diharapkan hanya
sebagian yang berhasil dicapai (4 indikator evaluasi tercapai)
c. Tujuan tidak tercapai
4. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
analisa
DAFTAR PUSTAKA
Afien Mukti, dr. M. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia, 32. Terdapat pada:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf. Diakses
pada tanggal 13 Maret 2023.
CORNELIS YOHNI MENGKO. 2018. ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) PADA PASIEN Tn. “T” DI
RUANG BOUGENVIL RUMAH SAKIT dr. SOEDJONO MAGELANG.
Terdapat pada:
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2128/1/KTI%20CORNELIS%20YOHN
I%20MENGKO.pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2023.
Ikawati, Z. (2016). Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernafasan (1st ed.).
Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & J. Snyder, S. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Salemba Medika.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika. 56
Turbaga, G. A. (2013). Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Penyakit
Paru Obstruktif Kronis Pada Wanita Di Rumah Sakit HA. Rotinsulu
Bandung Periode 2011-2012.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI). Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tabanan, 14 Maret 2023
Nama Pembimbing / CI: Nama Mahasiswa

Ni Made Juli Maharini S.Kep,Ns Ni Komang Ayu Setiawati


NIP. 19790728 200604 2 020 NIM. P07120121001

Nama Pembimbing / CT

I Dw. Pt. Gd. Putra Yasa, S.Kep.Sp.MB


NIP. 197108141994021001
Tabanan, 14 Maret 2023
Nama Pembimbing / CI: Nama Mahasiswa

Ni Made Juli Maharini S.Kep,Ns Ni Kadek Sindi Ariyanti


NIP. 19790728 200604 2 020 NIM. P07120121035

Nama Pembimbing / CT

I Dw. Pt. Gd. Putra Yasa, S.Kep.Sp.MB


NIP. 197108141994021001

Anda mungkin juga menyukai