Disusun oleh:
1 Dewi Marlianti ST211009
2 Dini Sepi Pratiwi ST211010
3 Dwi Ridwan Ridho Muladi ST211011
4 Endar Dyah Sulistyowati ST211012
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang timbul akibat
dari adanya respon inflamasi kronis yang tinggi pada saluran nafas dan paru yang
biasanya bersifat progresif dan persisten. Penyakit ini memiliki ciri berupa terbatasnya
aliran udara yang masuk dan umumnya dapat di cegah dan di rawat (GOLD, 2015).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang ditandai dengan
obstruksi kronis aliran udara di paru yang mengganggu pernafasan normal yang bisa
mengancam jiwa. Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) PPOK adalah penyakit paru yang ditandai dengan gejala pernafasan persisten
dan keterbatasan aliran udara akibat saluran nafas tersumbat dan atau kelainan alveolar
yang disebabkan partikel atau gas yang berbahaya. PPOK juga disebut dengan Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) (WHO, 2019).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2018, menunjukkan bahwa 3,17
juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2016, yakni sebesar 6% dari semua
kematian global. Hasil prevalensi tahun 2018 PPOK di Indonesia sebesar 2.4% dari
penyakit lainnya (Riskesdas, 2018). Hal ini menunjukkan frekuensi penyakit PPOK
masih tinggi. PPOK di Jawa Tengah menempati urutan ketujuh dengan jumlah kasus
31.817 atau sebesar 2.1%. Hasil prevalensi Jawa Tengah tahun 2017 kasus PPOK
ditemukan sebesar 25.390 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Pasien dengan PPOK harus segera diberikan tindakan pengobatan yang tepat
sehingga gejala tidak bertambah parah. Pengobatan bagi pasien PPOK harus diberikan
secara komprehensif semenjak serangan sampai perawatan di rumah sakit. Selain itu
diberikan juga pengetahuan dan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga
tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal
ini diperlukan perawatan yang komprehensif dari tenaga kesehatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi PPOK
Menurut Djojodibroto (2014) istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelompokkan
penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan.
Masalah yang menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran
pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah
bronkitis kronik (masalah pada saluran pernapasan), emfisema (masalah pada parenkim).
Sedangkan menurut Padila (2012) Penyakit Paru Obstruktif Menahun/Kronik merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara. Ketiga penyakit yang
membentuk kesatuan PPOK adalah bronkitis kronis, emfisema dan asma bronkial.
2. Klasifikasi PPOK
1. Asma
Jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan
peradangan dan penyempitan saluran nafas yang menimblkan sesak atau sulit bernafas,
selain sesak nafas penderita juga mengalami nyeri dada, batuk batuk dan juga nyeri
2. Bronkitis kronik
Peradangan yang terjadi pada saluran udara atau saluran bronkus, serangan bronchitis
yang terjadi berulang kali dan berlanjut lebih dari beberapa minggu dapat
mengidentifikasikan terjadinya brinkitis kronik
3. Emfisema
Penyakit kronis akibat kerusakan kantong udara atau Alveolus pada paru-paru, seiring
waktu kerusakan kantong udara semakin parah sehingga sehingga membentuk kantong
besar dari beberapa kantong kecil yang pecah.
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif Lung Disease
(GOLD) (2011):
1. Derajat I (PPOK Ringan): Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
2. Derajat II (PPOK Sedang): Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
3. Derajat III (PPOK Berat): Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan
serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV (PPOK Sangat Berat): Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau
gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal napas
kronik.
3. Etiologi
Etiologi ketiga penyakit yang menjadi penyebab PPOK yaitu asma, emfisema paru-paru dan
bronchitis.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronchial atau sering disebut faktor
pencetus adalah :
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan
serangan asma misalnya debu, spora, jamur, bulu binatang, makanan laut dan sebagainya
b. Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran pernafasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza merupakan
salah satu factor pencetus yang paling menimbulkan asma bronchial. Diperkirakan dua
pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernafasan 8 Poltekkes Kemenkes Padang
c. Olahraga atau kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma akan mendapakan serangan asma bila melakukan olahraga atau
aktifitas fisk yang berlebihan.
d. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti
penisilin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
e. Polusi uadara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap
yang mengandung hasil pembakaran.
f. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15 %
klien dengan asma (Muttaqin, 2012).
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan erat antara merokok
dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).
b. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema
kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1- antitripsin.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hampir selalu 9 Poltekkes Kemenkes Padang menyebabkan infeksi paru bagian
bawah dan menyebabkan kerusakan paru bertambah.
d. Hipotesis Elastase-Antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase
agar tidak tejadi kerusakan pada jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya
akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan
terjadilah emfisema. Pada bronchitis kronis terjadi penumpukan lendir, sekresi yang
banyak sehingga terjadi sumbatan jalan nafas, pada emfisema obstruksi pada pertukaran
oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan
oleh overekstensi ruang udara dalam paru dan pada asma jalan nafas bronchial
menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir kedalam paru sehingga ketiga
penyebab ini akan menyebabkan PPOK ( Muttaqin, 2012).
4. Patofisiologi
bergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis, terjadi penumpukan lendir dari sekret
yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada
pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang
disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkial
menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru. Protokol
pengobatan tertentu digunakan dalam semua kelainan ini, meski patofisiologi dari
lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan di tempat kerja (terhadap batu bara,
kapas, dan padi padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang terjadinya
penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga
ditemukan pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah
bertahun tahun untuk menunjukkan awitan (onset) gejala klinisnya seperti kerusakan
fungsi paru. PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi
paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun
sejalan dengan peningkatan usia. PPOK dapat memperburuk keadaan fisiologi yang
berakitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada
bronkitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema.
Oleh karena itu, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien
a. “Smoker Cough”
biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin kemudian berkembang menjadi
sepanjang tahun.
b. Sputum
biasanya banyak dan lengket berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi
infeksi.
c. Dyspnea,
terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan Gejala ini mungkin terjadi beberapa
tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi semakin nyata yang membuat pasien
mencari bantuan medik .
6. Penatalaksanaan PPOK
2. Pengobatan penunjang
a. Rehabilitasi
Edukasi
Berhenti merokok
Latihan fisik dan respirasi
Nutrisi
b. Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualiti hidup
c. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat
d. Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
e. Vaksinasi influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain:
1. Radiologi (foto toraks)
2. Spirometri
3. Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik)
4. Analisa gas darah
5. Mikrobiologi sputum diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila terjadi eksaserbasi.
8. Komplikasi
Komplikasi penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) menurut irman soemantri, (2009) :
1. Hipoksemia
Hipoksemia di definisikan sebagai penurunan nilai paO2 mengalami perubahan mood
penurunan konsentrasi dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat peningkatan nilai paCO2 (Hipercapnea). Tanda yang muncul antara lain
nyeri kepala, fatigue, letargi, dizznes, takipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus dan rangsangan
otot polos bronchial serta edema mukosa
4. Gagal Jantung
Teutama kor pulmunal (Gagal jantung kanan akibat penyakit paru). Harus di obserfasi
terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini seringkali berhubungan dengan
bronchitis kronis tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami ini.
5. Kardia Disritmia
Timbul karena hipoksemia penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayr yang berhubungan asma bronchial. Penyakit ini sangat
berat, potensian mengancam kehidupan, dan seringkali tidak berespon terhadap terapi
yang biasa diberikan
9. Pathway
Resiko
tinggi infeksi
pernapasan Keluhan sistemis, mual, keluhan psikososial,
intake nutrisi tidak kecemasan,
adekuat, malaise, ketidaktahuan akan
kelemahan dan keletihan prognosis
fisik
Peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia Kecemasan
secara reversibel Perubahan
pemenuh Gangguan
a n nutrisi pemenuhan Ketidaktahuan / pemenuhan
kurang ADL kebutuhan
Gangguan pertukaran gas dari
kebutuha
n
Kematian
Penyebab:
Objektif : batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi,
wheezing dan atau ronkhi kering, mekonium dalam jalan nafas (pada neonatus).
Objektif : Gelisah, Sianosis, bunyi nafas menurun, frekuensi nafas berubah, pola
nafas berub
b. Sklerosis multliple
c. Myasthenia gravis
f. Cidera kepala
g. Stroke
h. Kuaddriplegia
a. Diagnosis gangguan rasa nyaman ditegakkan apabila rasa tidak nyaman muncul
tanpa cidera jaringan.
b. Apabila ketidaknyamanan muncul akibat kerusakan jaringan, maka diagnosis yang
disarankan ialah nyeri akut atau kronis.
4. Defisit Pengetahuan tentang ( Spisifikkan)
Definisi: Ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu.
Penyebab
a. Keterbatasan kognitif
b. Gangguan fungsi kognitif
c. Kekeliruan mengikuti anjuran
d. Kurang terpapar informasi
e. Kurang minat dalam belajar
f. Kurang mampu mengingat
g. Ketidaktahuan menemukan sumber informasi
3. Perencanaan Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis berdasarkan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2018 dan Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI), 2019 adalah
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Intervensi :
a. Intervensi Utama
c) Pemantauan respirasi
b. Intervensi Pendukung
d) Fisioterap dada
h) Pengaturan posisi
j) Terapi oksigen
2. Gangguan Pertukaran Gas
a. Intervensi Utama:
a) Pemantauan Respirasi
b) Terapi oksigen
b. Intervensi Pendukung
b) Dukungan ventilasi
d) Edukasi fisioterap
e) Fisioterapi dada
a. Intervensi Utama
a) Managemen nyeri
b) Pengaturan posisi
c) Terapi relakasi
b. Intervensi Pendukung
a) Latihan pernafasan
e) Edukasi aktifitas/istirahat
f) Terapi relaksasi
4. Defisit Pengetahuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam tingkat pengetahuan klien dan
keluarga bertambah.
a. Intervensi Utama
Edukasi Kesehatan
b. Intervensi pendukung
a) Edukasi pengukuran respirasi
b) Edukasi tehnik nafas
c) Edukasi perawatana diri
d) Edukasi ambulasi
e) Edukasi program pengobatan
f) Edukasi efek samping obat
g) Edukasi fisioterapi dad
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus:
Seorang laki-laki berusia 46 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosa medis penyakit
paru obstruksi kronis. Pasien mengatakan batuk berdahak, kalau tidur terasa sesek. Kondisi pasien saat
ini sesak nafas, batuk berdahak, gangguan nafas saat berbaring tapi saat duduk sesak nafas berkurang
dan tampak gelisah. Tekanan darah 130/85mmHg, RR: 29 x per menit S= 37,5 C Nadi= 89x/menit.
Hasil pemeriksaan fisik didapat ronkhi pada paru kana kiri. Tampak terpasang oksigen 3l/menit.
Pembahasan:
4. Keadaan umum
Keadaan umum pasien: lemas
Kesadaran: Composmentis
Pemeriksaan TTV:
TD: 130/85 mmHG
Nadi : 89 x permenit
Respirasi: 49 x permenit
Suhu: 37.5 C
Skala Nyeri: 0.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kepala dan wajah
Inspeksi : kebersihan terjaga dan rambut memutih, wajah nampak lesu karena keletihan
dan kurang tidur, terdapat area gelap disekitar kelopak mata
Palpasi : tidak terjadi nyeri saat ada tekanan
b. Pemeriksaan telinga
Inspeksi: telinga kanan dan kiri simetris, telinga kanan dan kiri tampak bersih serta
tidak ada kelainan bentuk pada telinga.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan tidak ada benjolan abnormal.
c. Hidung
Inspeksi : tidak terdapat cuping hidung, tidak ditemukan sekret, hidung simetris,
terpasang nasal kanul 3 lpm
Palpasi : tidak terjadi nyeri saat ada tekanan.
d. Pemeriksaan mata
Inspeksi : sklera tidak ikterus, konjungtiva tidak anemis, mata terlihat cekung, nampak
lelah/layu/kurang bersemangat.
Palpasi : tidak terjadi nyeri saat ada tekanan.
Penglihatan : penglihatan normal, tidak mengalami gangguan
e. Pemeriksaan mulut
Inspeksi : mulut bersih, bibir kering, lidah bersih, mukosa basah
f. Pemeriksaan Kulit
Kulit kering, turgor elastis, tidak ada edema, warna kulit sawo matang
g. Pemeriksaan leher
Tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak ada pembesaran kelenjar tyroid
h. Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi: payudara kanan dan kiri simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan tidak ada benjolan abnormal.
i. Pemeriksaan thoraks
Inspeksi : simetris antara kiri dan kanan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : ada ronchi di paru kanan dan kiri
j. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi: tidak ada asites dan lesi
Palpasi: tidak teraba nyeri tekan dan massa pada abdomen
Auskultasi:. bising usus 26 x permenit
Perkusi: tidak ada kembung.
k. Pemeriksaan ektremitas
Atas : akral hangat, tidak ada edema, dan tangan kanan terpasang infuse
Bawah : akral hangat dan tidak ada edema
l. Pemeriksaan genetalia
Tidak terpasang kateter dan bersih
6. Pola aktivitas sehari-hari
I. Pola Persepsi Kesehatan
Pasien memandang kesehatan sebagai hal yang penting dan perlu di prioritaskan. Jika
pasien sakit, pasien akan pergi berobat ke dokter, puskesmas, maupun fasilitas kesehatan
lainnya. Saat ini pasien tahu mengenai penyakit yang dideritanya karena pasien sudah
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya dengan keluhan yang sama.
II. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Sebelum sakit
Sebelum masuk rumah sakit, pasien makan 3 kali sehari dengan porsi cukup. Setiap
makan juga selalu habis. Nafsu makan normal. Dalam satu hari pasien dapat
menghabiskan minum 1 sampai 2 liter.
Saat sakit
Saat sakit, pasien makan 3 kali sehari dengan jenis makanan bubur kasar. Namun
pasien tidak habis 1 porsi setiap makan. Pasien hanya makan setengah porsi yang
diberikan oleh rumah sakit. Bubur yang diberikan hanya habis setengah, tetapi lauk
yang diberikan habis. Dalam sehari pasien dapat minum sekitar 500 ml sampai 1 liter
air. Pasien terpasang infus dan nasal kanul.
III. Pola Eleminasi
Sebelum sakit
Pasien BAK 3-4 kali sehari dengan warna kekuningan. Pasien BAB 1 kali sehari
dengan konsistensi lunak dan warna kuning kecoklatan.
Saat sakit
Pasien tidak mengalami kesulitan BAK, pasien BAK 2 - 3 kali sehari dengan warna
kuning jernih. Pasien BAB 2 kali sehari dengan konsistensi lunak dan warna kuning.
Keduanya dapat dilakukan secara normal di kamar mandi. Pasien tidak terpasang
kateter.
IV. Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum sakit
Sebelum sakit, pasien memiliki kualitas tidur yang cukup baik. Pasien dapat tidur
pada siang dan malam hari. Pasien dapat tidur selama 2 jam saat siang hari dan 6
sampai 7 jam saat malam hari.
Saat sakit
Saat sakit, pasien kurang mendapatkan tidur. Pasien mengeluh susah tidur dan sering
terbangun saat malam hari karena merasa tidak nyaman yang dikarenakan sesak yang
dirasakan. Pasien mengatakan saat sudah tidur lalu terbangun, berulang terjadi hingga
pagi hari. Saat siang hari pasien dapat tidur siang walau sebentar sekitar 1 jam. Lalu
saat malam hari pasien hanya dapat tidur sebentar, 1 jam sampai 2 jam dan lalu
terbangun-bangun karena merasakan sesak. Pasien mengeluh lelah karena kurang
tidur.
V. Pola Aktifitas dan Latihan
Sebelum sakit
Sebelum sakit, pasien menjalankan aktifitasnya seperti biasa, pergi bekerja. Untuk
aktivitas lainnya, pasien dapat melakukannya secara mandiri.
Saat sakit
Saat sakit, pasien tidak dapat menjalankan aktivitasnya secara optimal. Aktivitas
terbatas sebagian karena terpasang infus dan nasal kanul serta rasa sesak yang
dirasakan. Pasien merasa sesak saat melakukan aktivitas yang berat sehingga pasien
sekarang ini sudah tidak bekerja lagi karena sesak yang dialaminya. Pasien tidak dapat
bekerja seperti sebelumnya dikarenakan sakit dan dirawat di rumah sakit.
VI. Pola Peran dan Hubungan
Pasien berperan sebagai seorang suami dan ayah dalam keluarganya. Pasien menjadi suami
dan ayah dari 1 orang anak. Pasien berhubungan baik dengan keluarga, orang lain, dan
masyarakat. Pasien termasuk orang yang terbuka dan mudah bersosialisasi dengan orang
lain.
VII. Pola Presepsi Sensori
Pasien tidak mengalami gangguan pada kelima indera. Penglihatan, pendengar baik,
merasa, mencium dan meraba dengan normal. Semua indera tidak menunjukkan adanya
gejala gangguan.
VIII. Pola Persespsi Diri / Konsep Diri
Pasien memiliki persepsi positif mengenai keadaan kesehatannya saat ini. Pasien optimis
akan kesembuhannya. Pasien mengerti mengenai keadaan penyakit yang dideritanya, serta
pasien tahu dan mengerti mengenai tindakan dan perawatan yang dilakukan oleh perawat
kepada pasien.
IX. Pola Seksual dan Reproduksi
Pasien adalah seorang laki-laki normal dan sudah menikah. Dari pernikahannya pasien
dikaruniai 1 orang anak serta satu orang istri.
X. Pola Mekanisme Koping
Dalam mengatasi masalah, pasien kadang meminta bantuan orang lain untuk
menyelesaikannya jika memang diperlukan bantuan dari orang lain. Pasien menyerahkan
sepenuhnya kepada Tuhan dan tim medis tentang penyakitnya dan menyerahkan segala
kesembuhannya pada Tuhan Yang Maha Esa.
XI. Pola Nilai & Kepercayaan
Pasien beragama Islam dan menjalankan ibadah dengan teratur. Selama sakit pasien
terbatas untuk melakukan ibadah karena pasien dalam keadaan sakit serta terpasang infus
dan nasal kanul yang dapat menghambat kegiatan yang dilakukan oleh pasien.
1 DS: Bersihan
Jumat 1. pasien mengatakan
jalan nafas Hipersekresi
tidak jalan nafas
21 Feb 2020 batuk berdahak efektif
sulit keluar, bila D.0001
17.30 WIB
tidur terasa sesak.
DO:
1. Pasien tampak
sesak nafas
2. Batuk berdahak
3. Gelisah, saat
berbaring ada
gangguan nafas,
bila duduk sesak
nafas berkurang,
terpasang Oksigen
3 lpm
4. Ronkhi pada paru
kanan dan kiri,
5. Tanda vital sign:
Tekanan darah
130/85mgHg, Suhu
37,5 Respirasi
49x/menit, Nadi 89
x/menit
DO:
1. Pasien tampak
gelisah.
2. Mata pasien terlihat
cekung
3. nampak
lelah/layu/kurang
bersemangat.
PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas ditandai
dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, ada ronchi, dispneu, ortopnea, tampak gelisah
dan frekuensi nafas berubah. (D.0001)
b. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit ditandai dengan pasien tampak gelisah,
mengeluh tidak nyaman, mengeluh sulit tidur dan mengeluh lelah (D.0074)
Hari/Tanggal No Tanda
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Jam Dx TTD
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika
perlu
2. Manajemen Jalan
Nafas
Observasi
Terapeutik
Posisikan semi-
fowler atau fowler
Berikan minum
hangat
Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
Lakukan
penghisapan lender
kurang dari 15
detik
Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari
jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
3. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu
4. Pemantauan
Respirasi
Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman
dan upaya napas
Monitor pola napas
( seperti bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot,
ataksik)
Monitor
kemampuan batuk
efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil X-
Ray Thorax
Terapeutik
Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
Edukasi
Informasikan saat
akan dilakukan
perubahan posisi
Ajarkan cara
menggunakan postur
yang baik dan
mekanika tubuh yang
baik selama
melakukan
perubahan posisi
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
premedikasi sebelum
mengubah posisi,
jika perlu
2. Terapi Relaksasi
Observasi
Identifikasi
penurunan tingkat
energy,
ketidakmampuan
berkonsentrasi atau
gejala lain yang
mengganggu
kemampuan
kognitif
Identifikasi teknik
relaksasi efektif
yang pernah
digunakan
Identifikasi
kesediaan,
kemampuan, dan
penggunaan teknik
sebelumnya
Periksa ketegangan
otot, frekuensi
nadi, tekanan darah
dan suhu sebelum
dan sesudah latihan
Monitor respon
terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik
Ciptakan
lingkungan yang
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan
suhu ruang
nyaman, jika
memungkinkan
Berikan informasi
tertulis tentang
persiapan dan
prosedur teknik
relaksasi
Gunakan pakaian
longgar
Gunakan nada
suara lembut
dengan irama
lambat dan
berirama
Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau
tindakan medis
lainnya, jika sesuai
Edukasi
Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan
dan jenis relaksasi
yang tersedia ( mis.
Music, meditasi,
napas dalam,
relaksasi otot
progresif)
Jelaskan secara
rinci intervensi
relaksasi yang
dipilih
Anjurkan
mengambil posisi
nyaman
Anjurkan rileks
dan merasakan
sensasi relaksasi
Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik
yang dipilih
Demonstrasikan
dan latih teknik
relaksasi (mis.
Napas dalam,
peregangan, atau
imajinasi
terbimbing)
IV. IMPLEMENTASI
IV. Implementasi Keperawatan
Nama : Tn. X No. CM : 0145XXXX
Umur : 46 Tahun Diagnosa Medis :
Penyakit Paru
Obstruksi
2 Mengidentifikasi penurunan
Gangguan rasa nyaman
Desember tingkat energy,
berhubungan dengan gejala
ketidakmampuan
2021 berkonsentrasi atau gejala
penyakit ditandai dengan
lain yang mengganggu
Jam pasien tampak gelisah,
kemampuan kognitif
07.00 – mengeluh tidak nyaman,
Memonitor respon terhadap
14.00 mengeluh sulit tidur dan
terapi relaksasi
WIB mengeluh lelah (D.0074)
Menciptakan lingkungan
yang tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
Mengatur posisi tidur untuk
mengurangi sesak (semi
fowler)
Meninggikan tempat tidur
bagian kepala
Memberikan bantal yang
tepat pada leher
Menganjurkan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
V. EVALUASI
Nama : Tn. X No. CM : 0145XXXX
Umur : 46 Tahun Diagnosa Medis :
Penyakit Paru
Obstruksi
Terpasang O2 3 LPM
P : Intervensi dilanjutkan
P : Intervensi dilanjutkan
Hasil pengkajian ini mempunyai tanda gejala sesak nafas, batuk yang
disertai dahak yang sulit untuk di keluarkan pasien tampak menggunakan
otot bantu pernafasan dan susah tidur sering terbangun saat malam hari
karena merasa tidak nyaman yang dikarenakan sesak yang dirasakan.
Menurut Somantri (2009) Iritan akan memicu timbulnya respon inflamasi
yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema dan
bronkospasme. Oleh karena mucocilliary defence dari paru mengalami
kerusakan, maka meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi,
ketika infeksi timbul kelenjer mukus akan menjadi hipertropi dan
hiperplasia, sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronkial
meradang dan menebal (sampai dua kali ketebalan normal ) dan
mengganggu aliran udara. Mucus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara
kecil dan mempersempit saluran udara besar
Hal ini sesuai dengan teori Ikawati (2016) menyebutkan manifestasi
klinis dari PPOK adalah peningkatan volume sputum, perburukan
pernafasan secara akut, lelah dan lesu, penurunan toleransi terhadap
gerakan fisik dan cepat lelah dan menurut Potter dan Perry (2005)
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sebelum dirawat di rumah sakit pasien pernah mengalami keluhan yang
serupa pasien terakhir dirawat di rumah sakit beberapa bulan yang lalu
dengan keluhan yang sama. Pasien mengatakan sebelumnya tidak
mempunyai penyakit menular, suka merokok dari remaperokoja. Hasil
analisa menunjukan seorang perokok aktif. Hal ini sesuai dengan
penyebab utama terjadinya PPOK menurut Ikawati (2016) meroko
merupakan penyebab utama terjadinya PPOK dan memiliki resiko 30 kali
lebih besar dari pada bukan perokok dan 85-90% perokok mengalami
PPOK.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarganya tidak ada yang mempunyai seperti yang dia derita saat ini,
tidak mempunyai penyakit menular serta tidak mempungai penyakit DM
dan jantung. Menurut analisa perawat PPOK bukan merupakan penakit
keturunan tetapi ada beberapa penyakit yang dapat memperburuk
keadaan pasien seperti asma, diabetes mellitus, hipertensi dan jantung
coroner. Menurut Muttaqin (2012) sebagai pengkajian untuk
predisposisi
e. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ini didapatkan kondisi thoraks melalui Inspeksi dada
tampak simetris antara kiri dan kanan. Palpasi : tidak ada nyeri
tekan dan uskultasi : ada ronchi di paru kanan dan kiri. Berdasarkan
teori muttaqin (2012) pada pemeriksaan paru penderita PPOK biasanya
akan di temukan keadaan paru pada pemeriksaan inspeksi biasanya
terlihat penggunaan otot bantu pernafasan pada pemeriksaan palpasi
biasanya premitus kanan dan kiri melemah pada pemeriksaan perkusi
biasanya hipersonor dan pada auskultasi biasanya terdapat ronkhi dan
wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif.
f. Pemeriksaan Penunjang
Didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin 13,2g/dl,
Leukosit 15.260/mm3, Trombosit 203.000/mm3, hematokrit 40%, Gula
darah sewaktu 145mg/dl.
Hasil Radiologi: terdapat gambaran hiperinflasi dan hiperlusen pada paru
kiri dan kanan
Adanya leukosit yang tinggi dan gambaran hiperinflasi paru dapat
disimpulkan mengalami resiko infeksi yang menyebabkan kerusakan
paru lebih parah. Pada kondisi konis terjadi penumpukan lendir sekresi
yang banyak sehingga terjadi sumbatan pada jan nafas, empisema
obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida akibat kerusakan
dinding alveoli, (Muttaqin, 2012)
II. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Gangguan pertukaran gas
c. Gangguan rasa nyaman
d. Defisit Pengetahuan
Dari data yang diperoleh saat pengkajian maka dalam asuhan keperwatan ini
muncul 2 diagnosa keperawatan aktual
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Etiologi: hipersekresi jalan nafas
Gejala mayor: batuk berdahak, terdapat ronchi, batuk tidak efektif
Gejala minor : gelisah, frekuensi nafas meningkat
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
nafas/mukus berlebih, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
penggunaan otot bantu pernafasan, ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen ke jaringan,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurang asupan makanan, intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi.
b. Gangguan rasa nyaman
Etiologi : gejala penyakit
Gejala dan tanda mayor : mengeluh tidak nyaman, gelisah
Gejala dan tanda minor: mengeluh sulit tidur, tidur sebentar bangun karena
sesak nafas, mengeluh letih. Dari gejala yang muncul dapat dianalisa
disebabkan adanya sesak nafas akibat batuk tidak efektif sehingga terjadi
penumpukan sekret, menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini sesuai yang
dikemukakan leh (Keliat, 2015) gangguan nyaman nyeri mempunyai batasan
karakteristik yaitu ansientas, berkeluh kesah, pola tidur, gatal, gejala distres,
gelisah, ketidak mapuan untuk rilek, kurag puas dengan keadaan, menagis,
merasa dingin, merasa kurang senang dengan situasi, merasa hangat, merasa
lapar, merasa tidak nyaman dan merintih.
III. Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan disusun berdasar diagnosa keperawatan yang
ditemukan pada kasus dan treatment yang dikerjakan berdasar pada
pengetahuan dan pencapaian klinis luaran .berikut intervensi yang muncul pada
kasus Tn X. Adapun rencana tindakan keperawatan menurut Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia, tindakan-tindakan pada intervensi terdiri dari
observasi,teraupetik,edukasi dan kolaburasi (Bermen, 2015)
Perencanaan tindakan keperawatan untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan hipesekresi jalan nafas yaitu, posisi
pasien untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan fisioterapi dada sebagai mana
mestinya, buang secret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau
menyedot lender, instruksikan bagaimana agar bias melakukan batuk efektif ,
auskultasi suara nafas, posisikan untuk meringankan sesak nafas, gunakan
alat pelindung, tentukan perlunya suksion mulut atau trachea, auskultasi suara
naafs sebelum dan setelah tindakan suction, instruksikan kepada pasien untuk
menarik nafas dalam sebelum dilakukan suction, monitor adanya nyeri, monitor
status oksigenasi pasien, monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi
secret, ,monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas, catat
pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi otot, monitor suara nafas tambahan, monitor pola nafas, auskultasi
suara nafas, catat area dimana terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara nafas tambahan, kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas
dengan auskultasi suara nafas ronki di paru, monitor kemampuan batuk efektif
pasien, berikan bantuan terapi nafas jika diperlukan (misalnya nebulizer).
Sedangkan perencanaan untuk diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman
berhubungan dengan gejala penyakit diantaranya pengaturan posisi dengan
monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi , tempatkan pada
posisi teraupetik, tempatkan objek yang sering digunakan mudah dijangkau , atur posisi
tidur untuk mengurangi sesak (semi fowler) , tinggikan tempat tidur bagian kepala,
ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan mekanika tubuh yang baik selama
melakukan perubahan posisi. Selanjutnya bisa dilakukan terapi relaksasi, diawali
dengan identifikasi teknik relaksasi efektif yang pernah digunakan, periksa
ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu sebelum dan sesudah
latihan. monitor respon terhadap terapi relaksasi. Untuk tindak teraupeti bisa
dengan menciptakan lingkungan yang nyaman, beri alunan musik lembut
denfan irama lamabat, tehnik relaksasi juga sebagai strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis lainnya.
IV. IMPLEMENTASI
Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan tidak semua tindakan dilaksanakan
oleh peneliti karna peneliti tidak merawat klien 24 jam. Implementasi
dilakukan studi dokumentasi terhadap tindakan yang telah dilakukan perawat
ruangan umumnya sudah sesuai dengan intervensi yang ada pada SIKI. Adapun
implementasi dilakukan selama 2 hari pada tanggal 1-2 Desember 2021.
Implementasi dari bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan nafas ditandai dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih,
ada ronchi, dispneu, ortopnea, tampak gelisah dan frekuensi nafas berubah.
Diantaranya mengidentifikasi kemampuan batuk, memonitor: pola nafas
frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas, bunyi napas tambahan, jumlah
sputum; mengatur posisi semi-fowler, memberikan oksigen 3 lpm, mengajarkan
batuk efektif, melakukan fisioterapi dada; memberikan terapi kolaboratif
pemberian ekspetoran (nebulizer), memberikan minum hangat,
mendokumentasikan hasil pemantauan kondisi umum.
Sedangkan untuk gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit
ditandai dengan pasien tampak gelisah, mengeluh tidak nyaman, mengeluh sulit
tidur dan kelelahan implementasinya ; Memonitor status oksigenasi sebelum
dan sesudah mengubah posisi, menempatkan objek yang sering digunakan
mudah dijangkau, mengatur posisi tidur untuk mengurangi sesak (semi fowler),
memonitor saturasi oksigen, menciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan,
mendemonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. Napas dalam, peregangan,
atau imajinasi terbimbing)
V. EVALUASI
Evaluasi keperawatan secara teori merujuk pada Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI). Berdasarkan hasil observasi peneliti perawat ruangan tidak
melakukan evaluasi secara komprehensif. Catatan pekembangan pada pasien
mengikuti catatan sebelumnya dan berkesinambungan. Adapun evaluasi pada Tn X
sebagai berikut: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan menunjukan perubahan Pasien
mengatakan dahak sudah bisa dikeluarkan dengan batuk efektif dan produksi
berkurang, dahak berwarna kekuningan, pernafasan pasien 28 x/menit, tampak sesak
dan sedikit gelisah, pasien menggunakan otot bantu pernafasan, auskultasi terdengar
ronkhi menurun. Dengan gambaran tersebut maka masalah teratasi sebagian dan
direncanakan ulang untung tindakan selanjutnya. Untuk gangguan rasa nyaman
berhubungan dengan gejala penyakit, setelah dilakukan Pasien mengatakan sudah bisa
tidur sedikit semalam dan jarang terbangun, malam hari bisa tidur 4 jam dan merasa
merasa lebih nyaman karena sesak sudah berkurang. Pasien mengatakan lelah juga
berkurang dan tampak sedikit gelisah, lelah berkurang.
.
DAFAR PUSTAKA
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep &
Kerangka Kerja (1sted.). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Dinkes Jateng. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2018. Semarang: Dinkes Jateng.
Djojodibroto, R. D. 2012. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, M. E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:
EGC.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2015).
Global Strategy For The Diagnosis Management And Prevention Of
peChronic Obstructive Pulmonary Disease. GOLD USA.
Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD). 2011. Inc.
Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention.
http://www.goldcopd.com.
Grace A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3.
Pt Gelora Aksara Pratama.
Ikawati, Zullies. 2016. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem
Pernafasan . Yogyakarta : Bursa Ilmu
Jackson, D. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 1. Yogyakarta.
Rapha Pubising Jakarta : Salemba Medika.Kemenkes
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :EGC Buku
Kedokteran
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan . Jakarta : Salemba Medika
Padila, S. K. N. (2012). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta: Nuha Medika.Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen
Penelitian Keperawatan. Jilid
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018
WHO. 2019. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
http://www.who.int/mediacent re/factsheets/fs315/en/index.h tml
Rahmadi, Y. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Tn. W Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di
Ruang Anggrek Bougenvile RSUD Pandan Arang Boyolali. Hal: 4-7.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standart keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standart keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia