Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DENGAN PENYAKIT PARU OBSTUKTIF KRONIK

DI RUANGAN HCU RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT SAMUEL J. MOEDA KUPANG

OLEH

SEFRIANTI WULAN NINEF, S.Kep


78302722

CT Institusi CI Ruangan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2023
A. Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik

1. Defenisi

Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang

dikarenakanhambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

ppok jugamerupakan penyakit respiratori yang menghambat pada saluran nafas

progresifserta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel

atau gasberacun dan berbahaya (Ridho,2017).

PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit

paruterjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Asma

kronisyang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga dapat

menyebabkanPPOK (Hurst, 2016).

PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yangtidak

dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifatprogresif

dan di kaitkan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadappartikel atau gas

berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,hipersekresi mucus, dan

perubahan pada system pembuluh darah paru. Penyakitlain seperti kistik fibrosis,

bronkiektasis, dan asama yang sebelumnyadiklasifikasiakan dalam jenis COPD

kini di klasifikasikan paru kronis, meskipungejala tupang tindih dengan COPD

lain. Merokok singaret, polusi udara, danpajanan di tempat kerja (batu bara,

katun, biji-bijian padi) merupakan factorpenting yang menyebabkan terjadinya

COPD, yang dapat terjadi dalam rentangwaktu 20-30 tahun (Suddarth, 2015).

2. Etiologi
Penyebab dari timbulnya penyakit Penyakit Paru Obstruksi Kronikberdasarkan

(Djojodibroto, 2016):

a) Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di

negaraberkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan

obstruksijalan napas kronik. Sejumlah zat iritan yang ada di dalam rokok

menstimulasiproduksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan

inflamasi,serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok pasif

juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan

peningkatankerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.

Merokokpada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan

mempengaruhipertumbuhan paru-parunya.

b) Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang palingkuat

menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan

asappembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan

sepedamotor di jalan raya pada dekade terakhir ini, saat ini telah

mengkhawatirkansebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan

seluruh dunia. Padanegara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah

tangga di masyarakatmenggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah

dan kayu bakar, polusiindoor dari bahan sampah biomassa telah memberi

kontribusi untuk PPOK danpenyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan

yang tidak merokok.

c) Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin). Faktor risiko dari

geneticmemberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK.


d) Infeksi kronis pada penyakit emfisema yang disebabkan oleh menghisaprokok atau

bahan-bahan lain yang mengiritasi bronkus dan bronkiolus. Infeksikronis ini

sangat mengacaukan mekanisme pertahanan normal saluran napas,termasuk

kelumpuhan sebagian silia epitel pernapasan oleh efek nikotin. Efekyang

diakibatkan oleh zat nikotin ini membuat keadaan paru menjadi abnormal,yaitu

adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang bersifat

permanen.Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan akibat infeksi kronis

tersebut.Kerusakan pada alveoli yang disebabkan karena adanya proteolysis

(degredasi)oleh enzim elastase juga banyak ditemukan pada makrofag dan leukosit

paru padapasien perokok

e) Infeksi bakteri pada penyakit bronkitis, eksaserbasi bronkitis

disangkapaling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan

infeksisekunder bakteri. Penyebab yang paling sering adalah virus seperti

virusinfluenza, parainfluenza, adenovirus, serta rhinovirus. Bakteri yang

seringmenjadi penyebab tercetusnya penyakit ini adalah mycoplasma

pneumonia.Dikarenakan banyak factor seperti infeksi bakteri berulang, gejala

eksaserbasi dan merokok maka menyebabkan penyakit menjadi progresif dan

berjangkit dalamwaktu lama sehingga disebut bronkitis kronis.

3. Manifestasi

Menurut GINA (2016) tanda dan gejala pasien dengan PPOK

mengeluhmemiliki tanda dan gejala :

 Batuk

 Sesak nafas, mengi inspira (stridor)


 Sesak saat beraktifitas

 Mudah kelelahan

Menurut penelitian Ridho (2017), PPOK terdiri dari bronkitis kronik

danemfisema atau gabungan keduanya. Menurut penelitian Ridho (2017) tanda

dangejala bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai

olehbatuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya

duatahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan

emfisemayaitu suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga

udaradistal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Sedangkan tandadan

gejala lainnya yaitu :

a) Pink Puffer yaitu timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputumyang

berarti. Biasanya dispneu pada antara usia 30 – 40 tahun dan semakinlama semakin

berat.

b) Penurunan nafsu makan pada penyakit yang sudah lanjut pasien

akankehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya

bertambahkurus. Pada pasien ini mengalami penurunan berat badan yang

signifikan, dari65 kg menjadi 55 kg.

c) Bentuk dada barrel chest berupa kondisi letak dari diafragma lebih rendah

danbergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteroposterior bertambah, jarak

tulangrawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga

lebihhorizontal dan sudut subkostal bertambah.


4. Patofisiologi

Penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK ditandai dengan

obstruksiprogresif lambat pada jalan nafas. PPOK merupakan salah satu

eksaserbasiperiodik, sering kali berkaitan dengan infeksi pernapasan dengan

peningkatangejala dyspnea dan produksi sputum. Tidak seperti proses akut

yangmemungkinkan jaringan paruh pulih, jalan napas dan parenkim paru tidak

kembaike normal setelah eksernbasi. Bahkan, PPOK menunjukkan perubahan

destruktifyang progresif (LeMone et al., 2016).

Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK biasanya

mencakupkomponen bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang jauh

berbeda.Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil, juga merupakan

bagiankompleks PPOK. Melalui mekanisme yang berbeda, proses ini

menyebabkanjalan napas menyempit, resistensi terhadap aliran udara untuk

meningkat, danekpirasi menjadi lambat dan sulit (LeMone et al., 2016).

Menurut Djojodibroto (2016), PPOK adalah penyakit pernapasan yang

terjadikarena inflamasi kronik akibat zat-zat beracun dan polusi yang terinhalasi

kedalam tubuh. Zat-zat berbahaya yang dmaksud dapat berupa asap roko,

asappabbrik dan debu-debu polusi. Dari semu faktor-faktor resiko zat

berbahayapenyebab PPOK tersebut, faktor zat berbahaya berasal dari rokok yaitu

nikotinadalah faktor utama penyebab orang terkena PPOK. Zat nikotin yang

terdapatdalam rokok merupakan zat pencetus terbesar orang terkena PPOK

sepertibronkitis maupun emfisema. Bronkitis kronis dan emfisema biasanya

diawalidengan terpanajnnya seorang individu terhadap zat-zat berbahaya seperti


nikotinatau roko secara terus-menerus sehingga bronkus dan brokiolus menjadi

teriritasi.

Iritasi kronis oleh bahan-bahan berbahaya menyebabkan hipertrofi

kelenjarmukosa bronkial dan peradangan peribronkial. Pelebaran asinus

merupakancontoh kelainan akibat dari peradangan pada bronkial. Kelaian dan

peradanganpada bronkial menyebabkan kerusakan lumen bronkus, silia menjadi

abnormal,hyperplasia otot polos saluran napas dan hipersekresi mukus. Semua

kelaiantersebut menyebabkan terjadinya obstruksi pada saluran napas, dimaa

memilikisifat kronis dan progresif sehingga masuk ke dalam kategori PPOK

(Djojodibroto,2016).

5. Phatway
6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Prasetyo, A (2020) pemeriksaan pada pasien PPOK melaluibeberapa

pemeriksaan untuk menemukan diagnosa :

a) Anamnesis

1) Riwayat batuk kronik atau berulang, produksi dahak, sesak,

wheezing,atau infeksi saluran napas bawah berulang.

2) Memiliki riwayat diagnosis asma atau PPOK.

3) Memiliki riwayat pengobatan dengan obat inhalasi.

4) Pasien juga memiliki riwayat merokok.

5) Serta paparan terhadap zat berbahaya.

b) Pada Pemeriksaan Fisik

Pada pasien PPOK berat biasanya dapat ditemukan bunyi mengi dan

ekspirasiyang memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin

ditemukan.Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips

breathing biasamuncul pada pasien dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-

tanda penyakitkronis seperti muscle wasting, kehilangan berat badan,

berkurangnya jaringanlemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK.

c) Pemeriksaan Penunjang

1) Uji Faal Paru

Uji faal paru dengan spirometri bertujua untuk menegakkan

diagnosis,mengobservasi perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.

Pemeriksaandigunakan untuk melihat secara obyektif adanya obstruksi saluran

nafas dalamberbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume


maksimal udarayangdikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut

Forced vital capacity(FVC). Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang

definitif untuk diagnosisPPOK rasio pengukuran FEV FVC < 0,7.

2) Radiologi

Abnormalitas pada rontgen toraks atau CT scan, yaitu hiperinflasi,

penebalandinding jalan napas, air trapping, hiperlusensi, bullae, atau

gambaran lainemfisema namun pada stadium awal dapat normal.

Sehingga teridentifikasi diagnosis lain yaitu bronkiektasis, infeksi paru seperti

tuberkulosis, penyakit paruinterstisial atau gagal jantung.

3) Analisa Gas Darah

Analisa Gas Darah dilakukan untuk mengetahui kadar pH dalam darah,

ataubersama radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis

PPOK.

4) Computed

Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya

emfisema padaalveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan

α-1 antitripsin dapatdiperiksa pada pasien PPOK maupun asma.

7. Komplikasi

a) Hipoksemia

Hipoksemia adalah kondisi turunya konsentrasi oksigen dalam darah arteri.

Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia dapat terjadi jika

terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau hipoventilasi terjadi karena

daya regang paru menurun atau atelektasis (Corwin, 2009).


b) Asidosus Respiratori

Timbul Akibat dari penoingkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul

antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea (Somantri, 2012).

Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat pernapasan misalnya

(akibat obat, anestesi, penyakit neurologi) kelainan atau penyakit yang

mempengaruhi otot atau dinding dada, penurunan area pertukaran gas, atau

ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan obstruksi jalan napas (Warsi et al.,

2013).

c) Infeksi Respiratori

Infeksi Pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus dan

rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan

menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dyspnea.

d) Gagal Jantung

Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru, harus

diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat). Komplikasi ini sering kali

berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi dengan emfisema berat juga dapat

mengalami masalah ini.

e) Kardiak disritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratori.

f) Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak
berspons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan

dan disertai vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma (Somantri,

2012).

8. Penatalaksanaan

Terapi yang dapat diberikan kepada penderita PPOK yaitu

terapinonfarmakologi dan farmakologi (Kristiningrum, 2019):

a) Terapi Non Farmakologi

1) Berhenti merokok. Strategi untuk membantu pasien berhenti

merokokadalah 5A :

a. Ask (Tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.

b. Advise (Nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk

berhentimerokok.

c. Assess (Nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam30

hari ke depan).

d. Assist (Bimbing). Bantu pasien dengan rencana berhenti

merokok,menyediakan konseling praktis, merekomendasikan

penggunaanfarmakoterapi.

e. Arrange (Atur). Buat jadwal kontak lebih lanjut.

2) Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan

danmemperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan

kedalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan

pengobatanoptimal yang disertai: simptom pernapasan berat, beberapa kali


masuk ruang gawat darurat, kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitasi

terdiri dari 3komponen yaitu: latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.

3) Terapi Oksigen

Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untukmempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di

ototmaupun organ-organ lainnya.

4) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena

bertambahnyakebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang

meningkat karenahipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi

hipermetabolisme.Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena

berkorelasi denganderajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas

darah

b) Terapi Farmakologis

Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan

frekuensidan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap

latihanfisik dan status kesehatan. Hingga saat ini, belum ada bukti uji

klinik yangmenyimpulkan bahwa obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat

memodifikasipenurunan fungsi paru jangka panjang. Pemilihan obat dalam

setiap golonganobat tergantung ketersediaan dan biaya, respons klinis, dan efek

samping. Setiapterapi memerlukan regimen individual terkait keparahan, limitasi

aliran udara, dantingkat keparahan eksaserbasi (Kristiningrum, 2019).


1) Bronkidolator

Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau

memperbaikivariabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos

jalan napasdan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan

pelebaran jalannapas daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator

cenderung menurunkanhiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan

fisik, serta memperbaikiperforma latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya

pada pasien dengan PPOKberat dan sangat berat, tidak mudah diprediksi dari

perbaikan FEV1 saat istirahat.Peningkatan dosis bronkodilator, khususnya

yang diberikan dengan nebulizer, tampaknya memberikan manfaat

subjektif pada episode akut, tetapi tidakmembantu pada penyakit stabil.

Obat bronkodilator paling sering diberikanreguler untuk mencegah atau

mengurangi gejala. Namun, penggunaanbronkodilator kerja singkat pada

basis reguler secara umum tidak dianjurkan.Bronkodilator yang digunakan

pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik(antagonis muskarinik)

(Kristiningrum, 2019).

a. β2 Agonist (short-acting dan long-acting)

Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan

napasdengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan C-AMP

danmenghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.Angios

β2adalah obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada

ototpolos saluran napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini


jugamembantu pembersihan mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance)

ototpernapasan (LeMone et al., 2016).

b. Antikolinergik

Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropriumdan

tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade

efekasetilkolin pada reseptor muskarinik (LeMone et al., 2016).

2) Anti Inflamasi

Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan

minimalsekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami

eksaserbasi)mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai

efikasi obatantiinflamasi. Antiinflamasi yang dapat digunakan pada PPOK

adalahcorticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro

menunjukkanbahwa inflamasi terkait PPOK mempunyai responsivitas

terbatas terhadapcorticosteroid, namun, beberapa obat seperti agonis β2,

theophylline, ataumacrolide dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas

corticosteroid. Data invivo menunjukkan bahwa kaitan dosisrespons dengan

keamanan jangkapanjang (>3 tahun) corticosteroid inhalasi pada pasien

PPOK masih belumjelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

a. Corticosteroid inhalasi (ICS)

Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsiparu,

kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan

FEV1diprediksi < 60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa

terapireguler dengan corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan


FEV1atau mortalitas jangka panjang pada pasien PPOK (Kristiningrum,

2019).

b. Glucocorticoid oral

Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut padapasien

dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat

darurat,menurunkan tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps, dan

memperbaikifungsi paru dan sesak napas, namun penggunaannya

pada terapi harianjangka panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena

komplikasi sistemikyang tinggi. Glucocorticoid oral dapat menyebabkan

efek samping sepertimiopati steroid, yang dapat berkontribusi pada

kelemahan otot, penurunanfungsionalitas, dan gagal napas pada pasien

PPOK yang sangat berat(Kristiningrum, 2019).

c. Phosphodiesterase-4 inhibitor

Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi

denganmenghambat pemecahan C-AMP intraseluler. Roflumilast merupakan

obatgolongan ini yang diberikan sekali sehari secara oral. Roflumilast

tidakmempunyai efek bronkodilator langsung, namun bisa

menurunkaneksaserbasi sedang dan berat pada pasien dengan bronkitis

kronik, PPOKberat hingga sangat berat dan riwayat eksaserbasi, yang

diterapi dengancorticosteroid sistemik. Efek pada fungsi paru juga tampak

jika roflumilastditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada

pasien yang tidakterkontrol dengan kombinasi tetap LABA/ICS.

c) Terapi Farmakologi Lain


1) Vaksin : Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOKusia

> 65 tahun (Kristiningrum, 2019).

2) Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia

mudadengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat

mahal,dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak

direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan

defisiensi alpha-1antitripsin (Kristiningrum, 2019).

3) Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial

yangmencetuskan eksaserbasi (Kristiningrum, 2019).

4) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:

Ambroksol,erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein

dapatmengurangi gejala eksaserbasi (Kristiningrum, 2019).

5) Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)

(Kristiningrum,2019).

6) Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan (Kristiningrum, 2019).

7) Vasodilator.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas

Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena

peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan

risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya

bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama

(Ismail et al., 2017). Kebanyakan penderita PPOK terjadi pada individu di atas usia

40 tahun (PDPI, 2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi

pada umur 30-40 tahun (Oemiati, 2013).

b. Keluhan Utama

Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadangkadang

disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada

(PDPI, 2011).

c. Riwyat Penyakit Sekarang

Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi

mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang

terhadap symptom saluran napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru

akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan

bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan

bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai

35% dapat memicu terjadinya PPOK.

Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk dengan

ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit

dalam dua tahun berturut-turut dapat memicu terjadinya PPOK (Somantri, 2012).

d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan,
riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja (PDPI, 2011). Dan

memiliki riwayat penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi,

sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit

respirasi lainya. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk

penyakit respirasi (Soeroto & Suryadinata, 2014).

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011). Riwayat keluarga

PPOK atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto & Suryadinata, 2014). Riwayat

alergi pada keluarga (Mutaqqin, 2008).

f. Pola Fungsi Kesehatan

Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK menurut

Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:

a) Pola Nutrisi dan Metabolik

Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia, ketidakmampuan

untuk makan, penurunan atau peningkatan berat badan.

Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.

b) Aktivitas / Istrahat

Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari,

ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau istirahat.

Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.

c) Sirkulasi

Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardi


berat, distensi vena leher, edema dependent, bunyi jantung redup, warna

kulit/membran mukosa normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.

d) Intragitas Ego

Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.

Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.

e) Hygiene

Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene.

Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.

f) Pernapasan

Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama minimum 3

bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang timbul.

Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan, bentuk dada

barel chest atau normo chest, gerakan diafragma minimal, bunyi nafas ronchi,

perkusi hypersonan pada area paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan

kuku, abu-abu keseluruhan.

g) Keamanan

Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan, adanya /

berulangnya infeksi.

h) Seksualitas

Gejala: Penurunan libido

i) Interaksi Sosial

Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap

pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena penyakit lama.


Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena disstres

pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota

keluarga lain.

g. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut Wahid

& Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:

1) Pernafasan (B1: Breathing).

a) Inspeksi.

Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta

penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang

tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan pernapasan

dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan penggunaan

otototot bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea

terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti

makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen

disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.

b) Palpasi.

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

c) Perkusi.

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan

diafrgama menurun.

d) Auskultasi.

Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar

oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi

(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan

gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat tali sepatu,

mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang

mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus

tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien

rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini.

Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat

ekspirasi.

2) Kardiovaskuler (B2 Blood)

Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi

takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami

pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.

Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.

3) Persyarafan (B3 Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit

yang serius.

4) Perkemihan (B4: Bladder).

Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem

perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang merupakan

salah satu tanda awal dari syok.


5) Pencernaan (B5: Bowel)

Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak nafsu

makan. Kadang disertai penurunan berat badan.

6) Tulang, otot dan integument (B6: Bone)

Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan,

sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity

Day Living).

h. Psikososial

Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, diagnosa

yang mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa penyakit paru obstruktif

(PPOK) adalah :

1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas

dan sekresi yang tertahan,

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi.

3) Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan.

4) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer

(statis cairan tubuh).

5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen dan dyspnea


3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa SLKI SIKI


Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
napas tidak efektif keperawatan selama 3 x 24 Observasi:
berhubungan jam diharapkan bersihan ▪ Monitor pola napas
dengan jalan nafas pasien ▪ Monitor bunyi napas tambahan
hipersekresi jalan meningkat dengan kriteria ▪ Monitor sputum (jumlah, warna,
nafas dan sekresi hasil : aroma).
yang tertahan 1. Batuk efektif Terapeutik
meningkat ▪ Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Produksi sputum ▪ Posisikan semi fowler atau fowler
menurun ▪ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
3. Mengi atau ronchi ▪ Lakukan penghisapan lendir
menurun kurang dari 15 detik
4. Tidak ada sianosis ▪ Berikan oksigen, jika perlu
5. Pola nafas membaik Edukasi
▪ Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi
Observasi:
▪ Monitor pola nafas
▪ Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
▪ Monitor saturasi oksigen, monitor
nilai AGD
▪ Monitor adanya sumbatan jalan
nafas
▪ Monitor produksi sputum
Terapeutik
▪ Atur Interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi ps
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Terapi Oksigen (I.01026)
pertukaran gas keperawatan selama 3 x 24 Observasi
berhubungan jam diharapkan pertukaran  Monitor kecepatan aliran
dengan gas pasien meningkat oksigen
ketidakseimbangan dengan kriteria hasil :  Monitor posisi alat terapi
ventilasi-perfusi. 1. PO2 membaik (80-100 oksigen
mmHg)  Monitor aliran oksigen secara
2. PCO2 membaik (36-44 periodik dan pastikan fraksi
mmHg) yang diberikan cukup
3. Pola nafas membaik  Monitor efektifitas terapi
4. Tidak ada sianosis oksigen (mis. oksimetri, analisa
5. Frekuensi nadi 60- 100 gas darah), jika perlu
x/menit  Monitor kemampuan
6. Tidak ada bunyi nafas melepaskan oksigen ketika
tambahan makan
7. Tidak menggunakan  Monitor tanda-tanda
otot bantu nafas hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan atelektasis
 Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
 Monitor integritas mukosa
akibat pemasangan oksigen
Terapeutik
 Bersihkan sekret pada hidung,
mulut, dan trakea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan
nafas
 Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
 Berikan oksigen tambahan, jika
perlu
 Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi
 Gunakan pernagkat oksigen
yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen di
rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen
saat aktivitas dan/atau tidur
Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi (I.05178)
aktivitas keperawatan selama 3 x Observasi:
berhubungan 24 jam diharapkan ▪ Identifikasi gangguan fungsi tubuh
dengan toleransi aktivitas pasien yang mengakibatkan kelelahan
ketidakseimbangan meningkat dengan kriteria ▪ Monitor pola dan jam tidur
antara suplai dan hasil : ▪ Monitor kelelahan fisik dan
kebutuhan oksigen 1. Keluhan lelah menurun emosional
dan dyspnea 2. Dispnea menurun Edukasi
▪ Anjurkan tirah baring
▪ Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
Terapeutik:
▪ Sediakan lingkungan nyaman dan
rendah stimulus
▪ Lakukan latihan rentang gerak
pasif dan/atau aktif
▪ Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
▪ Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah tahap tindakan dalam proses keperawatan dimana harus

membutuhkan pencapaian intelektual, interpersonal, dan teknis. Implementasi

keperawatan adalah suatu tindakan keperawatan yang sebelumnya telah di rencanakan

pada intervensi keperawatan. Setelah melakukan implementasi hendaklah perawat

melihat respon subjektif maupun objektif pasien.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir proses keperawatan yang meliputi evaluasi proses

(formatif) dan evaluasi hasil (sumatif) dan mencakup penilaian hasil tindakan asuhan

keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan

setelah perawat melakukan tindakan keperawatan yang dilakukan terus menerus


hingga mencapai tujuan. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap hari

setelah semua tindakan sesuai diagnosa keperawatan dilakukan.

Evaluasi somatif terdiri dari SOAP ( subjektif, objektif, analisis dan planing).

Subjek berisi respon yang diungkapkan oleh pasien dan objektif berisi respon

nonverbal dari pasien, respon-respon tersebut didapatkan setelah perawat melakukan

tindakan keperawatan. Analisis merupakan kesimpulan dari tindakan dalam

perencanaan masalah keperawatan dilihat dari kriteria hasil apakah teratasi, teratasi

sebagian atau belum teratasi. Sedangkan planing berisi perencanaan tindakan

keperawatan yang harus dilakukan selanjutnya.

Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan keberhasilan tujuan

tindakan yaitu tujuan tercapai apabila pasien menunjukan perubahan sesuai dengan

kriteria hasil yang telah ditentukan, tujuan tercapai sebagian apabilah pasien

menunjukan perubahan pada sebagian kriteria hasil yang telah ditetapkan dan tujuan

tidak tercapai jika pasien menunjukan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama

sekali.
DAFTAR PUSTAKA

A.Wisman, B., Mardhiyah, R. & Tenda, E.D., 2015. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana
Penyakit Paru Obstruktif Kronik GOLD D: Sebuah Laporan Kasus. Ina J CHEST Crit
and Emerg Med , Vol. 2, No. 4, p.182.

Andayani, K. & Supriyadi, 2014. Pengaruh Pemberian Teknik Clapping dan Batuk Efektif
Terhadap Bersihan Jalan Nafas pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di
BP4 Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Surya Medika, Volume 10. No.1.

Black, J.M. & Hawks, J.H., 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan, Edisi 8-Buku 3. Indonesia: Elsevier.

Corwin, E.J., 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed.3. Jakarta: EGC.

Faisal, A., 2017. Pengaruh Batuk Efektif Terhadap Perubahan Derajat Sesak Napas Pada Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Poliklinik Paru Rsud Dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin. Manuskrip.

Hurst, M., 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah, Vol.1.Jakarta: Egc.

Ismail, L., Sahrudin & Ibrahim, K., 2017. Analisis Faktor REsiko Kejadian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOk) Di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo-Lepo Kota Kendari Tahun
2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Vol.2, No.6.

Kusumawardani, N., Rahajeng, E., Mubasyiroh, R. & Suhardi, 2016. Hubungan Antara
Keterpajanan Asap Rokok Dan Riwayat Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 15 No 3.

LeMone, P., Burke, K.M. & Bauldoff, G., 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah, Ed. 5,
Vol. 4. Jakarta: EGC.

Muhamad, R. et al., 2018. The effect of Tualang honey on the quality of life of patients with
chronic obstruktive pulmonary disase: A randomized controlled trial. Journal of Taibah
University Medical Sciences, 13(1), pp.42-50.

Anda mungkin juga menyukai