Oleh :
DEDIK BUDI YANTO
NIM. 2114314901047
Oleh :
DEDIK BUDI YANTO
NIM. 2114314901047
1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah salah satu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh perilaku merokok
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kusumawardani 2017). Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang mempunyai karakteristik
keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah
keterbatasan saluran nafas yang dialami biasanya progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang disebabkan bahan atau gas yang merugikan. COPD bukan penyakit
tunggal tapi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang
kronis yang dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara dalam paru. Kelainan utama
yang tampak pada orang dengan COPD adalah bronkitis, emfisema dan asma (el Naser,
2016).
2. Etiologi
Menurut Kholifah (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang
menyebabkan COPD yaitu:
3. Patofisiologis
4. Klasifikasi
Berdasarkan (GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018)
terdapat 4 klasifikasi derajat COPD yaitu :
• Stage I : COPD ringan
FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa keluhan batuh kronis (batuk, sputum produktif).
• Stage II : COPD sedang
50% ≤ FEV1 < 80%
Dengan keluhan nafas pendek terutama saat latihan, terkadang ada keluhan
batuk dengan seputum produktif.
• Stage III : COPD berat
Menurut GINA (2016) tanda dan gejala pasien dengan PPOK mengeluh memiliki
tanda dan gejala :
- Batuk
- Sesak nafas, mengi inspira (stridor)
- Sesak saat beraktifitas
- Mudah kelelahan
Menurut penelitian Ridho (2017), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Menurut penelitian Ridho (2017) tanda dan gejala
bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai olehbatuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema yaitu suatu kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Sedangkan tanda dan gejala lainnya yaitu :
a. Pink Puffer yaitu timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang
berarti. Biasanya dispneu pada antara usia 30 – 40 tahun dan semakin lama semakin
berat.
b. Penurunan nafsu makan pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan
kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah
kurus.
c. Bentuk dada barrel chest berupa kondisi letak dari diafragma lebih rendah dan
bergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteroposterior bertambah, jarak tulang rawan
krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan
sudut subkostal bertambah.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis
Pada pasien PPOK berat biasanya dapat ditemukan bunyi mengi dan ekspirasi yang
memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis,
kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien
dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting,
kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat
progresifitas PPOK.
c. Pemeriksaan Penunjang
2) Radiologi
Abnormalitas pada rontgen toraks atau CT scan, yaitu hiperinflasi, penebalan dinding
jalan napas, air trapping, hiperlusensi, bullae, atau gambaran lain emfisema
namun pada stadium awal dapat normal. Sehingga teridentifikasi diagnosis
lain yaitu bronkiektasis, infeksi paru seperti tuberkulosis, penyakit paruinterstisial atau
gagal jantung.
Analisa Gas Darah dilakukan untuk mengetahui kadar pH dalam darah, atau bersama
radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK.
4) Computed Tomography
(CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa
studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien
PPOK maupun asma.
8. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan kepada penderita PPOK yaitu terapi nonfarmakologi
dan farmakologi (Kristiningrum, 2019):
1) Berhenti merokok Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok adalah 5A:
a) Ask (Tanyakan).
b) Advise (Nasihati).
c) Assess (Nilai).
d) Assist (Bimbing).
e) Arrange (Atur).
2) Rehabilitasi PPOK
4) Nutrisi
b.Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi dan tingkat
keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan fisik dan status
kesehatan. Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang menyimpulkan bahwa
obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat memodifikasi penurunan fungsi paru jangka
panjang. Pemilihan obat dalam setiap golongan obat tergantung ketersediaan dan biaya,
respons klinis, dan efek samping. Setiap terapi memerlukan regimen individual terkait
keparahan, limitasi aliran udara, dan tingkat keparahan eksaserbasi (Kristiningrum, 2019)
1) Bronkodilator
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan
memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan napas
daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan hiperinflasi
dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki performa
latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK berat dan
sangat berat, tidak mudah diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat. Peningkatan
dosis bronkodilator, khususnya yang diberikan dengan nebulizer tampaknya
memberikan manfaat subjektif pada episode akut, tetapi tidak membantu pada
penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan reguler untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan bronkodilator kerja
singkat pada basis reguler secara umum tidak dianjurkan. Bronkodilator yang
digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik(antagonis muskarinik)
(Kristiningrum, 2019).
a) β2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Angios β2adalah
obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada ototpolos saluran
napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga membantu pembersihan
mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance) otot pernapasan (LeMone et al.,
2016).
b) Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropriumdan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efekasetilkolin
pada reseptor muskarinik (LeMone et al., 2016).
2) Antiinflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal
sekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi)
mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat anti
inflamasi. Anti inflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah
corticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan
bahwa inflamasi terkait PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap
corticosteroid, namun, beberapa obat seperti agonis β2, theophylline,
ataumacrolide dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas corticosteroid. Data
invivo menunjukkan bahwa kaitan dosisrespons dengan keamanan jangka
panjang (>3 tahun) corticosteroid inhalasi pada pasien PPOK masih belum
jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
a) Corticosteroid inhalasi (ICS)
Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsiparu,
kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1
diprediksi < 60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi
reguler dengan corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1
atau mortalitas jangka panjang pada pasien PPOK (Kristiningrum, 2019).
b) Glucocorticoid oral
Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada pasien
dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat, menurunkan
tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps, dan memperbaiki fungsi paru
dan sesak napas, namun penggunaannya pada terapi harian jangka
panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik yang
tinggi. Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping sepertimiopati
steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan fungsi
onalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat berat
(Kristiningrum, 2019).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Identitas
COPD lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan
tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari
paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang digunakan untuk
memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin, penyakit ini sekarang
mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017).
2) Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadang-kadang
disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada
(Oemiati, 2013).
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik.
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK (Nabella,
2018).
4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan,
riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja. Dan memiliki riwayat
penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi,sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya. Riwayat
eksaserbasi atau pernah dirawat dirumah sakit untuk penyakit respirasi (Nabella,
2018)
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut
Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pernafasan (B1: Breathing)
• Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibatudara yang
tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan
penggunaan otot-otot bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif
dengan sputum puru lendir sertai demam mengindikasikan adanya
tanda pertama infeksi pernafasan.
• Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
• Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan
diafrgama menurun.
• Auskultasi.
Adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif
pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen
yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan
gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat tali
sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya.
b) Kardiovaskuler(B2:Blood)
Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama
ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan ventilasi spontan b.d penurunan fungsi ventrikel b.d kesadaran menurun atau
tidak sadar
2. Hipervolemia b.d kelebihan asupan natrium b.d edema perifer / edema anasarka
3. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas d.d dipsnea
C. Intervensi
Asuhan keperawatan pasien penyakit paru obstruktif kronik(ppok) pada Tn. M dan Tn. J
dengan masalah keperawatan ketidakefektifanbersihan jalan napas di ruang melati rsud dr.
Haryoto lumajang. Jember:Universitas Jember.Kristiningrum, Esther. (2019).
Hasil Pemeriksaan Penunjang
• Kimia Darah
Hasil Unit Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 132 Mg/dL <200
Ureum L 17.0 Mg/dL 20-40
Creatinin P 0,67 Mg/dL <1,3
• Elektrolit
Hasil Unit Nilai Rujukan
Na 136,8 Mmol/L 135-145
K 3,62 Mmol/L 3,5-5,5
Cl 103,0 Mmol/L 98-108
Terapi Pengobatan