Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA Tn. S (59 Tahun) DENGAN DIAGNOSA COPD DI RUANG


KEMUNING RSUD KARSA HUSADA BATU

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh :
DEDIK BUDI YANTO
NIM. 2114314901047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL


BEDAH PADA Tn. S (59 Tahun) DENGAN DIAGNOSA COPD DI RUANG
KEMUNING RSUD KARSA HUSADA BATU

Oleh :
DEDIK BUDI YANTO
NIM. 2114314901047

Laporan ini telah disetujui dan disahkan :


Hari / Tanggal :

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

(Ns. Ganda Adi Setiyawan, S.Kep) (Ns. Regista Trigantara, M.Kep)


NIP. NIK. 07314314074
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN COPD

1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah salah satu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh perilaku merokok
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kusumawardani 2017). Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang mempunyai karakteristik
keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah
keterbatasan saluran nafas yang dialami biasanya progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang disebabkan bahan atau gas yang merugikan. COPD bukan penyakit
tunggal tapi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang
kronis yang dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara dalam paru. Kelainan utama
yang tampak pada orang dengan COPD adalah bronkitis, emfisema dan asma (el Naser,
2016).

Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dikarenakan


hambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, ppok juga
merupakan penyakit respiratori yang menghambat pada saluran nafas progresif serta
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun
dan berbahaya (Ridho,2017)

Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dikarenakan


hambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, ppok juga
merupakan penyakit respiratori yang menghambat pada saluran nafas progresifserta
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun
dan berbahaya (Ridho,2017). PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika
dua penyakit paruterjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema.
Asma kronisyang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga dapat
menyebabkanPPOK (Hurst, 2016).
PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak
dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
di kaitkan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas
berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,hipersekresi mucus, dan
perubahan pada system pembuluh darah paru. Penyakitlain seperti kistik fibrosis,
bronkiektasis, dan asama yang sebelumnya diklasifikasiakan dalam jenis COPD kini
di klasifikasikan paru kronis, meskipun gejala tupang tindih dengan COPD lain.
Merokok singaret, polusi udara, danpajanan di tempat kerja (batu bara, katun,
biji-bijian padi) merupakan factor penting yang menyebabkan terjadinya COPD, yang
dapat terjadi dalam rentang waktu 20-30 tahun (Suddarth, 2015).

2. Etiologi

Menurut Kholifah (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang
menyebabkan COPD yaitu:

a. Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara


berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi
jalan napas kronik. Sejumlah zat iritan yang ada di dalam rokok menstimulasi
produksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
inflamasi,serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok
pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
b. Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang palingkuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan
asappembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan
sepedamotor di jalan raya pada dekade terakhir ini, saat ini telah
mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan
seluruh dunia. Pada negara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah
tangga di masyarakat menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah
dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi
kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio respiratory, khususnya pada
perempuan yang tidak merokok.
c. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin). Faktor risiko dari genetic
memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK.
d. Infeksi kronis pada penyakit emfisema yang disebabkan oleh menghisap rokok
atau bahan-bahan lain yang mengiritasi bronkus dan bronkiolus. Infeksikronis
ini sangat mengacaukan mekanisme pertahanan normal saluran napas,
termasuk kelumpuhan sebagian silia epitel pernapasan oleh efek nikotin. Efek
yang diakibatkan oleh zat nikotin ini membuat keadaan paru menjadi
abnormal,yaitu adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang bersifat
permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan akibat infeksi
kronis tersebut. Kerusakan pada alveoli yang disebabkan karena adanya
proteolysis (degredasi) oleh enzim elastase juga banyak ditemukan pada makrofag
dan leukosit paru pada pasien perokok.
e. Infeksi bakteri pada penyakit bronkitis, eksaserbasi bronkitis disangka
paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi
sekunder bakteri. Penyebab yang paling sering adalah virus seperti
virusinfluenza, parainfluenza, adenovirus, serta rhinovirus. Bakteri yang
sering menjadi penyebab tercetusnya penyakit ini adalah mycoplasma
pneumonia. Dikarenakan banyak factor seperti infeksi bakteri berulang, gejala
eksaserbasi dan merokok maka menyebabkan penyakit menjadi progresif dan
berjangkit dalam waktu lama sehingga disebut bronkitis kronis.

3. Patofisiologis

Menurut Djojodibroto (2009: 121) patofisiologi terjadinya obstruksi adalah


peradangan pada saluran pernafasan yang kecil. Pada COPD yang stabil, terdapat ciri
peradangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh interleukin.
Walaupun jumlah limfosit meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1.
Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosionofil, sel mast, dan sel T CD4helper tipe 2.
Ketika terjadi eksaserbasi akut pada COPD, jumlah eosinofil meningkat 30 kali lipat.
Perbedaan jenis sel yang menginfiltrasi inilah yang menyebabkan perbedaan respon
terhadap kortikosteroid. Penurunan FEV1, per ttahun pada COPD adalah antara 50-70
mL/detik. Jika akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter, angka kesakitannya mencapai
10%.
Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,
sekarang ada pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit yang mendasari
pada COPD mengarah ke karakteristik kelainan dan gejala fisiologis. Misalnya,
peradangan dan penyempitan saluran udara perifer menyebabkan penurunan FEV1.
Penghancuran parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap pembatasan aliran
udara dan menyebabkan penurunan transfer gas. Ada juga bukti yang muncul untuk
menunjukkan bahwa selain penyempitan jalan napas, ada hilangnya saluran udara kecil, yang
dapat berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara.
Chronic Obstructive Pulmonaly Disease atau biasa disebut COPD merupakan keadaan
yang diandai dengan kelemahan kemampuan bernafas, mereka yang menderita COPD akan
merasakan akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam sirkulasi serta pada
jaringan tubuh, menempatkan pasien pada resiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius
lainnya.
Bila COPD menunjukkan keadaan ketidak seimbangan antara perbaikan paru dan
mekanisme pertahanan diri sehingga menyebabkan fibrosis pada jalan nafas perifer,
sehingga dapat menyebabkan rusaknya struktur bronkiolus dan melebarnya alveoli yang
nantinya akan menyebabkan tahanan dijalan nafas perifer, sehingga memperberat penyempitn
jalan nafas akibat adanya edema dan hiperesekresi mucus ((Brunner & Suddarth, dikutip dalam
Wahyuni 2017)).

4. Klasifikasi
Berdasarkan (GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018)
terdapat 4 klasifikasi derajat COPD yaitu :
• Stage I : COPD ringan
FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa keluhan batuh kronis (batuk, sputum produktif).
• Stage II : COPD sedang
50% ≤ FEV1 < 80%
Dengan keluhan nafas pendek terutama saat latihan, terkadang ada keluhan
batuk dengan seputum produktif.
• Stage III : COPD berat

30% ≤ FEV1 < 50%


Keluhan nafas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, dan
eksaserbasi berulang hingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.
• Stage IV : COPD Sangat Berat
FEV1 < 30%
Gejala gagal jantung kanan dan atau pulmonal. Kualitas hidup sangat terganggu
dan eksasrbasi bisa menyebabkan kematian.
5. Phatway
6. Manifestasi

Menurut GINA (2016) tanda dan gejala pasien dengan PPOK mengeluh memiliki
tanda dan gejala :

- Batuk
- Sesak nafas, mengi inspira (stridor)
- Sesak saat beraktifitas
- Mudah kelelahan

Menurut penelitian Ridho (2017), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Menurut penelitian Ridho (2017) tanda dan gejala
bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai olehbatuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema yaitu suatu kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Sedangkan tanda dan gejala lainnya yaitu :

a. Pink Puffer yaitu timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang
berarti. Biasanya dispneu pada antara usia 30 – 40 tahun dan semakin lama semakin
berat.

b. Penurunan nafsu makan pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan
kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah
kurus.

c. Bentuk dada barrel chest berupa kondisi letak dari diafragma lebih rendah dan
bergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteroposterior bertambah, jarak tulang rawan
krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan
sudut subkostal bertambah.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Prasetyo, A (2020) pemeriksaan pada pasien PPOK melaluibeberapa


pemeriksaan untuk menemukan diagnosa :

a. Anamnesis

1) Riwayat batuk kronik atau berulang, produksi dahak, sesak, wheezing,atau


infeksi saluran napas bawah berulang.
2) Memiliki riwayat diagnosis asma atau PPOK.

3) Memiliki riwayat pengobatan dengan obat inhalasi.

4) Pasien juga memiliki riwayat merokok.

5) Serta paparan terhadap zat berbahaya.

b. Pada Pemeriksaan Fisik

Pada pasien PPOK berat biasanya dapat ditemukan bunyi mengi dan ekspirasi yang
memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis,
kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien
dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting,
kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat
progresifitas PPOK.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Uji Faal Paru

Uji faal paru dengan spirometri bertujua untuk menegakkan diagnosis,


mengobservasi perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan
digunakan untuk melihat secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang
dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity(FVC).
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK rasio
pengukuran FEV FVC < 0,7.

2) Radiologi

Abnormalitas pada rontgen toraks atau CT scan, yaitu hiperinflasi, penebalan dinding
jalan napas, air trapping, hiperlusensi, bullae, atau gambaran lain emfisema
namun pada stadium awal dapat normal. Sehingga teridentifikasi diagnosis
lain yaitu bronkiektasis, infeksi paru seperti tuberkulosis, penyakit paruinterstisial atau
gagal jantung.

3) Analisis Gas Darah

Analisa Gas Darah dilakukan untuk mengetahui kadar pH dalam darah, atau bersama
radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK.
4) Computed Tomography

(CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa
studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien
PPOK maupun asma.

8. Penatalaksanaan

Terapi yang dapat diberikan kepada penderita PPOK yaitu terapi nonfarmakologi
dan farmakologi (Kristiningrum, 2019):

a. Terapi Non Farmakologi

1) Berhenti merokok Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok adalah 5A:

a) Ask (Tanyakan).

Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.

b) Advise (Nasihati).

Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.

c) Assess (Nilai).

Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam30 hari ke depan).

d) Assist (Bimbing).

Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,menyediakan konseling praktis,


merekomendasikan penggunaanfarmakoterapi.

e) Arrange (Atur).

Buat jadwal kontak lebih lanjut.

2) Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan dan


memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan kedalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai : simptom pernapasan berat, bebarapa kali masuk ruang gawat darurat,
kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisik, psikososial, dan latihan pernafasan.
3) Terapi Oksigen.

Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk


mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya.

4) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan


energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi
malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

b.Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi dan tingkat
keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan fisik dan status
kesehatan. Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang menyimpulkan bahwa
obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat memodifikasi penurunan fungsi paru jangka
panjang. Pemilihan obat dalam setiap golongan obat tergantung ketersediaan dan biaya,
respons klinis, dan efek samping. Setiap terapi memerlukan regimen individual terkait
keparahan, limitasi aliran udara, dan tingkat keparahan eksaserbasi (Kristiningrum, 2019)

1) Bronkodilator
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan
memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan napas
daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan hiperinflasi
dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki performa
latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK berat dan
sangat berat, tidak mudah diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat. Peningkatan
dosis bronkodilator, khususnya yang diberikan dengan nebulizer tampaknya
memberikan manfaat subjektif pada episode akut, tetapi tidak membantu pada
penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan reguler untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan bronkodilator kerja
singkat pada basis reguler secara umum tidak dianjurkan. Bronkodilator yang
digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik(antagonis muskarinik)
(Kristiningrum, 2019).
a) β2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Angios β2adalah
obat simtimimetik yang bekerja pada adrenoreseptor β2 pada ototpolos saluran
napas dan menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga membantu pembersihan
mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance) otot pernapasan (LeMone et al.,
2016).
b) Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropriumdan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efekasetilkolin
pada reseptor muskarinik (LeMone et al., 2016).
2) Antiinflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal
sekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi)
mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat anti
inflamasi. Anti inflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah
corticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan
bahwa inflamasi terkait PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap
corticosteroid, namun, beberapa obat seperti agonis β2, theophylline,
ataumacrolide dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas corticosteroid. Data
invivo menunjukkan bahwa kaitan dosisrespons dengan keamanan jangka
panjang (>3 tahun) corticosteroid inhalasi pada pasien PPOK masih belum
jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
a) Corticosteroid inhalasi (ICS)
Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsiparu,
kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1
diprediksi < 60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi
reguler dengan corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1
atau mortalitas jangka panjang pada pasien PPOK (Kristiningrum, 2019).
b) Glucocorticoid oral
Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada pasien
dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat, menurunkan
tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps, dan memperbaiki fungsi paru
dan sesak napas, namun penggunaannya pada terapi harian jangka
panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik yang
tinggi. Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping sepertimiopati
steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan fungsi
onalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat berat
(Kristiningrum, 2019).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1) Identitas
COPD lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan
tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari
paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang digunakan untuk
memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin, penyakit ini sekarang
mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017).
2) Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadang-kadang
disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada
(Oemiati, 2013).
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik.
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK (Nabella,
2018).
4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan,
riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja. Dan memiliki riwayat
penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi,sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya. Riwayat
eksaserbasi atau pernah dirawat dirumah sakit untuk penyakit respirasi (Nabella,
2018)
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut
Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pernafasan (B1: Breathing)
• Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibatudara yang
tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan
penggunaan otot-otot bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif
dengan sputum puru lendir sertai demam mengindikasikan adanya
tanda pertama infeksi pernafasan.
• Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
• Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan
diafrgama menurun.
• Auskultasi.
Adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif
pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen
yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan
gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat tali
sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya.
b) Kardiovaskuler(B2:Blood)
Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama
ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan ventilasi spontan b.d penurunan fungsi ventrikel b.d kesadaran menurun atau
tidak sadar
2. Hipervolemia b.d kelebihan asupan natrium b.d edema perifer / edema anasarka
3. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas d.d dipsnea
C. Intervensi

Gangguan ventilasi Setelah dilakukan tindakan Observasi :


spontan b.d penurunan keperawatan selama 3 x 24 Identifikasi efek
fungsi ventrikel d.d jam dengan kriteria hasil : perubahan posisi
kesadaran menurun atau Dipsnea menurun terhadap status
tidak sadar Gelisah menurun pernapasan
Monitor status
Takikardia membaik respirasi
Terapeutik
Berikan posisi semi
fowler atau fowler
Berikan oksigenasi
sesuai kebutuhan
Gunakan bag valve
mask jika perlu
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkhodilator
Hipervolemia b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi
kelebihan asupan keperawatan selama 3x24 Identifikasi
natrium b.d edema jam dngn kriteria hasil :
kemungkinan
perifer / edema anasarka Tingkat kesadaran membaik penyebab
Edema menurun ketidakseimbangan
elektrolit
Dehidrasi menurun
Monitor kadar
Tekanan darah membaik
elektrolit serum
Turgor kulit membaik
Monitor kehilangan
cairan
Monitor tanda dan
gejala hipokalemia
Teraupetik
Atur interval waktu
pemantauan sesuai
dengan kondisi
pasien
Dokumentasi hasil
pemantauan
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi
b.d hambatan upaya keperawatan selama 3 x 24
napas d.d dipsnea jam dengan kriteria hasil : Monitor pola nafas
Monitor bunyi
Dispnea menurun napas tambahan
Tekanan ekspirasi membaik
Tekanan inspirasi membaik Monitor sputum
Frekuensi napas membaik Terapeutik
Posisikan semi
fowler atau fowler
Lakukan fisioterapi
dada
Lakukan
penghisapan lendir
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator
Ekspektoran dan
mukolitik
D. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan kepada perawat
untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan dari pelaksanaan
adalah membantu klien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan meliputi peningkatan
kesehatan atau mencegah penyakit, pemulihan kesehatan dari fasilitas yang dimiliki.
Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika klien
mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatn.
Selama keperawatan atau pelaksanaan perawat terus melakukan pengumpulan data dan
memilih tindakan perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien dan
memprioritaskannya. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam format yang telah
ditetapkan institusi. Adapun tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan meliputi peningkatan kesehatan atau pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dari fasilitas yang dimiliki. Perencanaan tindakan
keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk
berpartisipasi dalam tindakan keperawatan (Smeltzer, S.C & Bare, 2017).
E. Evaluasi
S: Data yang diperoleh dari pasien / keluarga secara langsung
O: Data yang diperoleh perawat dengan mengamati langsung
A: Penilaian yang dilakukan perawat apakah kriteria hasil berhasil dicapai
P: Rencana tindakan yang akan dilakukan apabila masih terdapat hal yang yang belum
teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Asthma (GINA). (2016). Global Stategy forAsthmaManagement


and Prevention. Diakses dari http://ginasthma.org.Hurst, M,. (2016).

Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah. Vol.1.Jakarta:EGC.Ismail, L., Sahrudin &


Ibrahim, K. (2017).

Analisis Faktor REsiko KejadianPenyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOk) Di Wilayah


Kerja PuskesmasLepo-Lepo Kota Kendari Tahun 2017.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa KesehatanMasyarakat, Vol.2, No.6.Kristian. AS. (2019).

Asuhan keperawatan pasien penyakit paru obstruktif kronik(ppok) pada Tn. M dan Tn. J
dengan masalah keperawatan ketidakefektifanbersihan jalan napas di ruang melati rsud dr.
Haryoto lumajang. Jember:Universitas Jember.Kristiningrum, Esther. (2019).
Hasil Pemeriksaan Penunjang

1. Hematologi (tanggal 27/11/2022 jam 03:26)


• Darah Lengkap
Hasil Unit Nilai
Rujukan
HGB 14,1 g/dL 12,3 – 15,3
RBC 4,67 106/uL 4,1 – 5,1
HCT 42,5 % 34,0 – 47,0
MCV 85,1 fL 80,0 – 97,0
MHC 30,4 pg 26,5 – 33,5
MCHC 32,1 g/dL 31,5- 35,0
RDW-SD 45,6 fL 35 – 47
RDW-CV 13,6 % 11,5 – 14,5
WBC H 18,20 103/uL 4,4 – 11,3
• Hitung Jenis
Hasil Unit Nilai Rujukan
EO% L 1,2 % 2–4
BASO% 0,4 % 0–1
NEUT% H 78,6 % 50 – 70
LYMPH% L 9,0 % 25 – 40
MONO% H 10,8 % 2–8
EO# 0,08 103/uL
BASO# 0,01 103/uL
NEUT# 4,49 103/uL
LYMPH# 1,40 103/uL
MONO# 0,33 103/uL
IG% H 0,7 % < 0,5
IG# H 0,12 103/uL < 0,03
PLT 265 103/uL 150 - 450
PDW 11,3 fL 10 -18
MPV `10,2 fL 6,6 – 11
P-LCR H 26,3 % 15,0 – 25,0
PCT 0,27 % 0,150 – 0,400
LED H 22 mm/jam 0 - 15

• Kimia Darah
Hasil Unit Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 132 Mg/dL <200
Ureum L 17.0 Mg/dL 20-40
Creatinin P 0,67 Mg/dL <1,3

• Elektrolit
Hasil Unit Nilai Rujukan
Na 136,8 Mmol/L 135-145
K 3,62 Mmol/L 3,5-5,5
Cl 103,0 Mmol/L 98-108

2. USG thorax AP maker tanggal 27-11-2022 jam 03.15


• Mengarah pada keradangan proses spesifik (mohon korelasi klinis)
• Aorta dilatasi dan sklerotic
• Osteochondroma costae 7 posterior dextra dan costae 6 posterior sinistra DD
old fraktur

Terapi Pengobatan

1. IVFD Nacl 0,9%


2. Ceftriaxone 2x1 g drip IV
3. Resfar 3x 400 mg IV
4. Combivent 3x1
5. Metylprednislone 3x 62,5 mg

Anda mungkin juga menyukai