Reguler 4 B
Kelompok 2:
Silvana mokoginta
Anjeli lapian
Oktavia dwiyana olii
Nurlela huata
Cindy gijoh
Cindi limbanadi
Marlina makalalag
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu
keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomi.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian.
Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis
pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.Persahabatan
Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia
termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir
semua klien adalah bekas perokok yaitu 10 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah
tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok
pasif.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang 4 Paru RSPAD Gatot Soebroto”.
Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan
pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk
dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit
ini akan terus mengalami perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara
total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita
penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri
adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra, 2010).
Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema
paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis.
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005). Sedangkan menurut T.M.Marrelli, Deborah
S.Harper (2008), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang
berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma dan bronchitis.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit paru
obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya keterbatasan
udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam
paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis kronis, asma dan emfisema.
2.2 Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
4
2.4 Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).
5
Sumber : http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-55cac88875ac1.html
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) antara lain :
a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat
dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal
atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang
terlihat pada bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.
2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia
kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit
cor-pulmonale.
7
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2002) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
9
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem.
Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama
fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan
tingkatkan sesuai toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan
tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1. Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga
hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan
toleransi pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-
hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan
konsumsi oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4. Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan
ke ICU sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya
tindakan penyelamatan hidup.
Mandiri :
1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan
cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5. Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan
pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1. Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan
terhadap berbagai antimikrobial.
2. Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
18
BAB III
TINJAUAN KASUS
Klien Tn. E (67 tahun) masuk RS melalui IGD pada hari kamis tanggal 01 Oktober
2015, dengan keluhan sesak nafas sudah seminggu SMRS. Saat dilakukan pengkajian pada
tanggal 05 Oktober 2015 klien mengatakan nafas terasa berat, dada terasa sesak, batuk-batuk
namun dahak tidak bisa keluar, sakit di tenggorokan dan dada, skala nyeri 5, sakit saat
bernafas dan batuk, sakit di bagian dada saja, nafas terasa capek, klien mampu tidur malam 5
jam hanya terbangun bila batuk saja, klien merasa sedih akan penyakitnya dan ingin cepat
sembuh. Keluarga mengatakan klien pernah dilakukan operasi dan radiasi tiroid bulan juni
2015 lalu, klien riwayat DM tipe 2 dengan sudah meminum obat DM 4 bulan lalu dan
meminum obat-obatan rutin (Glimepiride, Actalipid, Metformin, LPG), saat klien ke kamar
mandi klien tampak ngos-ngosan, porsi makan klien habis setengah porsi tidak ada mual atau
muntah, klien nafsu makan menurun,BB menurun 2 kilo sejak sakit,BB saat ini 44 kg dengan
TB 167 cm, klien tampak sulit saat bernafas dan memegangi dada saat bernafas, klien tampak
cemas, klien sering memainkan kakinya ketika sulit bernafas, suara pernafasan klien
wheezing, pernafasan klien dalam dan cepat, ronchi +, batuk +, TTV klien TD 140/90
mmHg, RR 27 x/menit, N 88 x/menit, S 36,80C, klien terpasang IVFD asering 20 tpm.
Terapi obat yang klien dapatkan Bricasma 2 amp, Metyl Prednisolon 3x62,5 gram, Lasal
ekspektoran syrup 3x1, Cefriaxon 1x2 amp, Amlodipin 1x5 mg, Inhalasi pilmicont 2xsehari.
Klien di diagnosa Medis dengan PPOK Eksaserbasi + atelektaksis lobus atas paru kanan + Ca
tiroid pasca radiasi dengan suspek metastasis tumor di paru.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan:
- Hematologi
Hemoglobin 11,7 g/dL
Hematokrit 37 %
Eritrosit 54 juta/mL
Leukosit 9160 /mL
Trombosit 363 000 /mL
MCV 68 /L
MCH 22 pg
MCHC 32 g/Dl
- Kimia klinis
Ureum 29 mg/dL
Kreatinin 1.1 mg/dL
GDS 184 mg/dL
Natrium 142 mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L
Klorida 97 mmol/L
- Analisa darah
PH 7,362
PCO2 26,5 mmHg
19
3.1 Pengkajian
3.1.1 Analisa Data
Data Fokus Problem Etiologi
DS : Perubahan pola nafas Obstruksi jalan nafas oleh
- Klien mengatakan sekret dan tumor paru
nafas terasa berat
- Klien mengatakan
dada terasa sesak
- Klien mengatakan
nafas terasa capek
DO:
- Keluarga
mengatakan saat
klien ke kamar
mandi klien
tampak ngos-
ngosan
- Klien tampak sulit
saat bernafas
- Suara pernafasan
klien wheezing
- Pernafasan klien
dalam dan cepat
- Ronchi (+)
- TTV klien:
TD :140/90 mmHg
RR 27 x/menit
N 88 x/menit
S 36,8oC
- Hasil Rontgen AP
thoraks
Atelektaksis lobus
atas paru kanan,
Penyempitan
20
saluran pernafasan
(sisa 1cm) dengan
susp,metastasis
tumor di paru,
PPOK eksaserbasi
akut
DS: Bersihan jalan nafas tidak Peningkatan produksi
- Klien mengatakan efektif sekret
batuk-batuk namun
dahak tidak bisa
keluar
DO:
- Suara pernapasan
klien ronchi
- Batuk (+)
- TTV
TD 140/90 mmHg
RR 27 x/menit
N 88 x/menit
S 36,80C
DS: Gangguan rasa nyaman: Obstruksi jalan nafas oleh
- Klien mengatakan nyeri sekret dan tumor paru
tenggorokan terasa
sakit
- Klien mengatakan
sakit saat bernafas
dan batuk
- Klien mengatakan
sakit di bagian
dada saja
DO:
- Skala nyeri 5
- Klien memegangi
dada saat bernafas
- TTV
TD 140/90 mmHg
RR 27 x/menit
N 88 x/menit
S 36,80C
- Hasil Rontgen AP
thoraks :
Atelektaksis lobus
atas paru kanan,
21
Penyempitan
saluran pernafasan
(sisa 1cm) dengan
susp,metastasis
tumor di paru,
PPOK eksaserbasi
akut
DS: Ansietas Ketidakmampuan untuk
- Klien mengatakan bernafas dengan normal :
merasa sedih akan proses penyakit
penyakitnya
- Klien mengatakan
ingin cepat sembuh
DO:
- Klien tampak
cemas
- Klien sering
memainkan
kakinya ketika sulit
bernafas
- TTV
TD 140/90 mmHg
RR 27 x/menit
N 88 x/menit
S 36,80C
DS: Resiko perubahan nutrisi Meningkatnya kebutuhan
- Keluarga klien kurang dari kebutuhan energi metabolik : Dispnea
mengatakan porsi tubuh
makan klien habis
setengah porsi
- Keluarga
mengatakan tidak
ada mual dan
muntah
- Keluarga klien
mengatakan BB
menurun 2 kilo
sejak sakit
DO:
- BB sebelum sakit
= 47 kg
- BB sesudah sakit =
44 kg
22
- IMT = 15, 77
- TTV
TD 140/90 mmHg
RR 27 x/menit
N 88 x/menit
S 36,80C
S : 36,5 -37,5oC
2. Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV klien
nafas tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam 2. Auskultasi dada untuk
berhubungan masalah keperawatan bersihan karakteristik bunyi nafas
dengan jalan nafas sedikit teratasi. dan adanya sekret
peningkatan KH : 3. Ajarkan klien untuk
produksi sekret - Klien mengatakan melakukan batuk efektif
sudah dapat 4. Anjurkan klien untuk
mengeluarkan dahak meminum air putih
- Klien mengatakan hangat
batuk berkurang 5. Lakukan kolaborasi
- Batuk efektif dan untuk dilakukan
mengeluarkan sekret nebulizer (pulmicont
- TTV 1cc)
TD : 120/80 -140/90 6. Lakukan kolaborasi
mmHg untuk pemberian terapi
N : 60-100 x/menit obat lasal ekspektoran
RR :18-22 x/menit syrup 3x1
S : 36,5 -37,5oC
3. Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV klien
nyaman : nyeri keperawatan selama 3x24 jam 2. Kaji karakteristik nyeri
berhubungan masalah gangguan rasa nyaman klien (PQRST)
dengan obstruksi nyeri berkurang 3. Dorong klien untuk
jalan nafas oleh KH : menyatakan perasaan
sekret dan tumor - Klien mengatakan nyeri perasaan tentang nyeri
paru berkurang 4. Ajarkan klien teknik
- Klien mengatakan nyeri relaksasi nafas dalam.
jika batuk jarang 5. Ajarkan klien teknik
muncul distraksi.
- Skala nyeri <5 6. Berikan tindakan
- Klien tidak kenyamanan : sokongan
meringis/tenang bantal didada klien saat
- TTV batuk
TD : 120/80 -140/90 7. Lakukan kolaborasi
mmHg untuk pemberian terapi
N : 60-100 x/menit obat metyl prednisolon
RR :18-22 x/menit 3x62,5 gr
S : 36,5 -37,5oC
4. Ansietas Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV klien
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 2. Kaji tingkat pemahaman
dengan masalah keperawatan ansietas klien dan orang terdekat
ketidakmampuan teratasi. tentang
untuk bernafas KH: diagnosa/penyakit
24
A:
- Masalah keperawatan gangguan
rasa nyaman:nyeri belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
- Kaji karakteristik nyeri klien
(PQRST)
- Melakukan kolaborasi untuk
pemberian terapi obat metyl
prednisolon 3x62,6 grm,
ceftriaxon 1x2 gr, amlodipin 1x5
gr
S:
- Klien mengatakan cemas karna
susah bernafas
- Klien mengatakan sedih karena
penyakitnya dan kondisi saat ini
- Keluarga mengatakan belum
paham tentang sesak klien karena
penyakit yang mana
O:
- Klien tampang tegang
- Raut wajah klien tampak sedih
Ansietas berhubungan dengan
- TTV : TD 140/80 mmHg, N 76
ketidakmampuan untuk bernafas
x/menit RR 24 x/menit, S 360C
dengan normal : proses penyakit
A:
- Masalah keperawatan ansietas
belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
- Dorong klien dalam
mengungkapkan perasaannya
- Beri kesempatan klien untuk
bertanya dan menjawab
pertanyaan
Resiko perubahan nutrisi S:
berhubungan dengan - Klien mengatakan malas untuk
meningkatnya kebutuhan energi makan banyak karena capek
metabolik : Dispnea nafas
O:
- Porsi makan klien habis ½ porsi
31
S 360C
A:
- Masalah keperawatan perubahan
pola nafas sedikit teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV klien
- Observasi frekuensi, irama dan
bunyi nafas klien
- Pertahankan oksigenasi
tambahan klien
- Lakukan kolaborasi dilakukan
nebulizer (pulmicont 2x1 hari)
- Lakukan kolaborasi untuk
pemberian terapi obat bricasma 2
amp, metyl prednisolon 3x62,6
gr, lasal ekspektoral syrup 3x1,
ceftriaxon 1x2 gr, amlodipin 1x5
gr
Bersihan jalan nafas tidak efektif S:
berhubungan dengan - Klien mengatakan dahak banyak
peningkatan produksi sekret keluar
- Klien mengatakan batuk sudah
jarang
O:
- Batuk dengan sekret berwarna
putih dan tidak berdarah
- Klien membuang sekret diwadah
kusus/kom sputum
- Obat masuk lasal ekspektoran
syrup 3x1
- Nebulizer masuk dengan
pulmicont 2x1cc
- TTV
TD 140/90 mmHg
N 100 x/menit
RR 25 x/menit
S 360C
A:
- Masalah keperawatan bersihan
jalan nafas sedikit teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
33
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV klien
- Kaji pola makan klien saat ini
- Lakukan kolaborasi dengan ahli
gizi untuk nutrisi yang baik
untuk klien
Rabu, 07 Perubahan pola nafas S:
Oktober 2015 berhubungan dengan obstruksi - Klien mengatakan sesak makin
jalan nafas oleh sekret dan tumor teratas berat hari ini
paru - Klien mengatakan setelah
dilakukan uap masih terasa sesak
dan sesak tidak berkurang
- Klien mengatakan nafas terasa
berat dan susah
- Klien mengatakan dahak sudah
banyak keluar tapi tetap terasa
sesak
O:
- Klien bernafas dalam dan cepat
- Klien bernafas wheezing
- Klien tampak sulit bernafas
- Oksigen masuk 3L/menit
- Nebulizer masuk masuk dengan
pulmicont 1cc
- Obat bricasma masuk 2amp
- TTV
TD 150/80 mmHg
N 96 x/menit
RR 25 x/menit
S 37,30C
A:
- Masalah keperawatan perubahan
pola nafas sedikit teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV klien
- Observasi frekuensi, irama dan
bunyi nafas klien
- Pertahankan oksigenasi
tambahan klien
- Lakukan kolaborasi dilakukan
nebulizer (pulmicont 2x1 hari)
36
O:
- Klien habis ½ porsi
- Tidak ada mual dan muntah
- IMT klien 15,77
- TTV
TD 150/80 mmHg
N 96 x/menit
RR 25 x/menit
S 37,30C
A:
- Masalah keperawatan resiko
perubahan nutrisi sedikit teratsi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV klien
- Kaji pola makan klien saat ini
- Lakukan timbang BB
39
O:
- Klien mengatakan perasaannya
- Klien tampak gelisah
- Klien mering kanan dan kiri terus
menerus
- Klien memeluk bantal
- TTV
TD 150/90 mmHg
N 103 x/menit
RR 26 x/menit
S 36,80C
A:
- Masalah keperawatan ansietas
sedikit teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV klien
- Kaji tingkat kecemasan klien
- Kaji perasaan dan pandangan
klien terhadap penyakit
- Beri semangat klien dalam
proses penyembuhan
- Antar klien ke ruang OK untuk
dilakukan trakeostomi
Resiko perubahan nutrisi S:
berhubungan dengan - Klien mengatakan makan sedikit
meningkatnya kebutuhan energi - Klien mengatakan nafsu makan
metabolik : Dispnea berkurang
O:
- Porsi makan klien habis ½ porsi
- Tidak ada mual dan muntah
- BB klien stabil 44 kg
- IMT 15, 77
- TTV
TD 150/90 mmHg
N 103 x/menit
RR 26 x/menit
S 36,80C
A:
- Masalah keperawatan resiko
perubahan nutrisi sedikit teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
43
- Observasi TTV
- Kaji pola makan klien setiap hari
- Kaji ada mual atau muntah
- BB stabil atau penaikan
- IMT stabil atau dalam batas
normal
- Antar klien ke ruang OK untuk
dilakukan trakeostomi
44
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas masalah yang muncul dalam Asuhan
Keperawatan pada Tn. E dengan Gangguan Sistem Pernafasan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis di Ruang 4 Paru RS Gatot Soebroto. Adapu yang menjadi lingkup pembahasan
meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. Penulis
mengelola Tn. E selama 6 hari yaitu dari tanggal 5 Oktober sampai 10 Oktober 2015. Penulis
menggunakan pengkajian langsung pada klien dengan metode wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik pada Tn. E serta studi dokumentasi dengan pembelajaran rekam medis dan
studi kepustakaan. Penulis menemukan adanya kesenjangan antara teori dan resume kasus
yang terjadi pada klien sabagai berikut :
4. 1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses sistematis dalam mengumpulkan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Nursalam, 2001). Dalam pengkajian ini penulis menggunakan beberapa cara untuk
memperoleh data yang digunakan sebagai berikut :
a. Wawancara
Pengertian wawancara menurut Nazir (2000) adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interviev guide (panduan wawancara).
Dari hasil pengkajian pada tanggal 5 Oktober 2014 dengan metode wawancara
penulis mendapatkan kesulitan karena pasien sulit bicara, sulit mengeluarkan kata
atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya melakukan wawancara terhadap pasien,
tetapi juga ke anggota keluarga pasien seperti ke istri dan anak nya serta anggota
keluarga lain yang kooperatif. Saat dilakukan pengkajian istri klien mengatakan
bahwa klien mengeluh nafas terasa berat, dada terasa sesak, batuk-batuk namun dahak
tidak bisa keluar, sakit di tenggorokan dan dada.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2012) pada pengkajian pernafasan pasien mengalami rasa dan
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas, batuk yang menetap, adanya produksi
sputum (hijau,putih,kuning) adanya penggunaan otot bantu pernafasan seperti
meninggikan bahu.
Pada pola fungsional Gordon pada pola aktivitas latihan pasien mengatakan
letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan benafas.
Menurut teori Doengoes (2012) pada pengkajian aktivitas atau latihan
pasiemengalami keletihan, kelemahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena kesulitan bernafas.
Pada pola fungsional Gordon pada pola istirahat tidur pasien mengatakan
kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan
tidak dapat beristirahat dengan baik.
45
Dari pengkajian pada pola istirahat tidur terdapat kesamaan anatar teori
dengan kasus, klien terganggu dengan batuk yang terkadang muncul ketika tidur.
Menurut teori Engram ( 2000) pasien mengalami batuk yang menetap dan bertambah
saat malam hari, batuk selama waktu tidur, keluhan ketidakmampuan untuk tidur
karena batuk.
b. Observasi
Observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati perilaku dan keadaan
pasien untuk memperleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan pasien.
Kegiatan tersebut mencakup aspek fsik mental, social dan spiritual. Pedoman
observasi ini penulis mengembangkan dari pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 5 Oktober 2015 penulis mendapatkan data
yaitu pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi
atau berpindah temapat, mandi, dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doengoes (2012) pada pengkajian pernafasan pasien mengalami batuk dengan
produksi sputum (putih, kuning, hijau) kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4atau 5
kata sekaligus pada pengkajian aktivitas atau istirahat pasien mengalam keletihan dan
kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur
selama 5 jam sehari. Berdasarkan data tersebut didapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami batuk yang menetap pada
waktu tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 5 Oktober 2015 penulis juga mendapakan
data yitu tidak ditemukan tanda-tanda anoreksia seperti mual, muntah, nafsu makn
buruk, penurunan berat badan menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus.
Menurut Doengoes (2012) pasien dapat mengalami penurunan berat badan, mengeluh
gangguan sensasi pengecap dan keengganan untuk makan atau kurang tertarik pada
maknan. Pada saat dilakukan pengkajian penulis tidak mengalami mual dan muntah,
pasien juga diberikan mengalami muntah dan mual oasien juga dberikan injeksi
ranitin 30mmHg untuk mencegah terjadi nya anoresia.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan pemeriksaan
fisik pasien untuk menentukan masalah kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik dapat
dilakukan dengan menggunakan 4 tekhnik yaitu :
1) Inspeksi yaitu proses observasi yang dilaksanakan secarasistematil
dilaksananakan dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan
penciuman. Dari hasil pengkajian pada tanggal 5 Oktober 2015 dengan
tekhnik inpeksi penulis mendapatkan data yitu adanya bentuk dada seperti
tong terlihat meninggikan bahu untuk bernafas.
d. Studi Dokumentasi
46
Studi dokumentasi menurut Arikunto (2002) adalh mencari data mengenai hal-
hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku dan sebagainya sebagai data
penunjang.
Pada studi dokuemntasi diperoleh identitas pasien, pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium yaitu
Hemoglobin:11,7 g/dL, Hematokrit 37 %, Eritrosit : 54 juta/mL, Leukosit :
9160 /mL, Trombosit 363 000 /mL,MCV : 68 /L,MCH :22 pg, MCHC : 32 g/Dl,
Ureum : 29 mg/dl,Kreatinin : 1.1 mg/dL,GDS :84 mg/dL, Natrium : 142mmol/L,
Kalium : 3,8 mmol/L, Klorida: 97 mmol/L.
Analisa darah
PH 7,362
PCO2 26,5 mmHg
PO2 137,7 mmHg
HCO3- 15,2 mmol/L
BE -8,6 mmol/L
Saturasi O2 99,1 %
4. 2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2012) yaitu cara mengidentifikasikan,
memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah actual
dan resiko tinggi serta untuk mengekspresikan bagian identifikasi maslaah dari proses
keperawatan.
Diagnosa keperawatan menurut teori Doenges (2012) untuk kasus penykit paru
obstruksi kronis ada 4 diagnosa yaitu Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply
47
oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.Resiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja
silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan
pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi. Untuk itu penulis
menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan diagnosa keperawatan tersebut diidentifikasi sebagai
masalah yang peru dipecahkan.
a. Diagnose keperawatan yang tercantum pada teori dan ditemukan dalam kasus
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
secret
Bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk
mempertahakan kebersihan jalan napas (Amin,2013). Batasan karakteristiknya
antara lain pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman atau
kecepatan pernafasan, penggunaan otot aksesori bunti nafas tidak normal
misalnya mengi, ronchi, krekels, batuk (menetap) dengan atau tanpa produksi
sputum (Doenges,2012).
Diagnose ini muncul karena adanya data penunjang yaitu Klien mengatakan
batuk-batuk namun dahak tidak bisa keluar, Batuk (+), TTV : TD 140/90
mmHg, RR 27 x/menit, N 88 x/menit, S 36,80C. Klien mendapat terapi obat
Lasal ekspektoran syrup 3x1. Klien mengatakan riwayat merokok, klien
terlihat mengalami kesulitan bernafas, klien terlihat kesulitan berbicara,
adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas,
auskultasi : ronchi pada paru bagian kanan, terpasang oksigen 3-5 liter
permenit, respirasi 28x/menit.Penulis mengambil diagnose keperawatan
bersihan jalan tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sputum sebagai
diagnose kedua. Penulis lebih memprioritaskan perubahan pola nafas
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru. Karena
pada klien terjadi perubahan pola nafas yang disebabkan oleh adanya tumor,
selain itu klien juga membutuhkan oksigen dan salah satu kebutuhan fisiologis
manusia menurut Hidayat (2008) adalah oksigen dan bernafas. Dan apabila
diagnose ini tidak diatasi maka dapat mengancam nyawa klien.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Doenges (2012) tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan
nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.Intervensi yang
diimplementasikan oleh penulis pada tanggal 5-10 Oktober 2015 antara lain :
Mengkaji frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan klien, rasional :
takipnea biasanya ada pada beberapa derajat obstruksi jalan nafas, pernafasan
dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi,
Mengauskultasi bunyi nafas dan mencatat bunyi nafas klien catat adanya
bunyi nafas misalnya mengi, ronchi, krekels. Rasional : obstruksi jalan jalan
48
nafas redup ditandai dengan bunyi nafas krekels, bunyi nafas redup dengan
ekspirasi mengi. Mencatat adanya penggunaan otot bantu pernafasan, rasional
menandakan adanya infeksi atau reaksi alergi. Memberikan posisi semi
fowler, rasional pasien meas nyaman dan memudahkan pengembangan paru
untuk bernafas. Membantu latihan nafas dengna bibir dimonyongkan, rasional
mengatasi sesak nafas. Mengobservasi karakteristik batuk dan mengajarkan
batuk efektif, rasional membantu mengeluarkan secret dan mempermudah
pengeluaran secret.
Kekuatan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan adalah pasien dan
keluarga sangat kooperatif terhadap semua tindakan keperawatan yang
dilakukan untuk mengatasi sesak nafasnya. Kelemahannya penulis
membutuhkan ketelatenan, ketelitian dan kesabaran untuk mengatasi sesak
nafas yang dialami pasien.
Evaluasi untuk diagnose keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi secret pada hari Kamis, 8 Oktober
2015 adalah :
S : Klien mengatakan sesak nafas berkurang, klien mengatakan lega setelah
dilakukan nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien
mengatakan batuk berkurang setelah minum obat Lasal exp syp 3x1, respirasi
24x/menit.
O : Nebulizer pulmicort 1 ampul masuk via inhalasi, secret keluar berwarna
putih purulent, suara nafas mengi dan ronchi pada paru kanan nasih ada,
pasien dapat mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnose keperawatan bersihan jalan nafas belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi dengan auskultasi suara nafas tambahan, berikan
terapi nebulizer dan anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan
minum air matang hangat agar secret dapat keluar.
tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan
pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Penulis memprioritaskan diagnose kelima karena pada saat dilakukan
pengkajian diagnose ini baru resiko belum terjadi perubahan berat badan yang
signifikan oleh klien, namun sebagai perawat harus mencegah hal ini sampai
terjadi.
Intervensi yang dimplementasikan antara lain Mengkaji pola makan klien saat
ini, Melakukan timbang BB, Mengkaji IMT klien.
Evaluasi untuk diagnose keperawatan resiko perubahan nutrisi pada Sabtu, 10
Oktober 2015
S : Klien mengatakan makan sedikit, Klien mengatakan nafsu makan
berkurang.
O : Porsi makan klien habis ½ porsi, Tidak ada mual dan muntah, BB klien
stabil 44 kg, IMT 15, 77, TTV : TD 150/90 mmHg, N : 103 x/menit, RR 26
x/menit, S 36,80C
A:Masalah keperawatan resiko perubahan nutrisi sedikit teratasi
P:Intervensi dilanjutkan dengan Kaji pola makan klien setiap hari, kaji ada
mual atau muntah, BB stabil atau penaikan, IMT stabil atau dalam batas
normal.
b. Diagnose keperawatan yang tercantum dalam teori tetapi tidak muncul dalam kasus
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan oksigenasi
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Kerusakan pertukaran gas adalah kelebihan atau deficit pada oksigenasi dan
atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolar-kapiler (Amin,2013).
Batasan karakteristik menurut Doenges (2012) antara lain dyspnea, bingung,
gelisah, ketidakmampuan membuang secret, nilai AGD tidak normal,
perubahan tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Diagnose keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena didalam kamus
tidak peroleh data-data pendukung untuk menegakkan diagnose ini antara lain
pada pasien tidak mengalami bingungdan gelisah, pasien mampu membuang
secret walaupun dengan usaha minimal, tidak ada perubahan pada tanda-tanda
vital pasien.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya secret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses
penyakit kronis, malnutrisi.
Resiko tinggi terhadap infeksi menurut Amin (2013) adalah mengalami
peningkatan resiko tentang organisme patogenik. Batasan karakteristik
menurut Doenges (2012) adalah tidak ada tanda-tanda dan gejala resiko
infeksi.
50
Diagnose keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena tidak diperoleh
data pendukung untuk diagnose keperawatan ini. Pengkajian yang dilakukan
penulis yaitu paisen tidak mengalami tanda dan gejala infeksi, leukosit
9160/UL, suhu tubuh selama 7hari dalam batas normal (36,5-37,5oC)
51
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan Tn. E dengan PPOK, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa :
5.1.1 Melakukan pengkajian pada Tn. E terkait dengan PPOK
Dalam melakukan pengkajian pada Tn. E, penulis mengalami kesulitan dalam
melakukan komunikasi dengan Tn. E karena Tn. E kesulitan berbicara. Maka dari
itu, penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien saja, tetapi juga pada
anggota keluarga Tn. E
5.1.2 Merumuskan diagnose keperawatan pada Tn. E
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3
diagnosa yaitu Perubahan pola nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
oleh sekret dan tumor paru. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi sekret. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru
5.1.3 Melakukan perencanaan terhadap Tn. E
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga intervensi
yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik terkait dukungan dan kerjasama dari
Tn. E dalam mengatasi penyakit yang dideritanya. Saat penulis melakukan
kontrak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan yang akan dilakukan
selanjutnya, klien dan keluarga klien juga kooperatif.
5.1.4 Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. E terkait penyakit PPOK yang dialami
Tn. E
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. E sangat kooperatif saat dilakukan
injeksi, fisioterapi dada, diajarkan tekhnik mengeluarkan secret dengan batuk
efektif dan pasien juga memperhatikan saran yang diberikan oleh penulis antara
lain minum air hangat matang untuk memudahkan keluarnya secret.
5.1.5 Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. E
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 7 hari, untuk diagnose
pertama sampai ketiga belum teratasi sedangkan diagnose keempat sedikit teratasi.
5.1.6 Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. E
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan tindakan
tersebut dalam catatan yang penulis buat.
5.2 Saran
9.2.1 RSPAD Gatot Soebroto
Penulis memberikan saran kepada Rumah Sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah
sakit dapat terjaga.
9.2.2 STiKes Jayakarta
52
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan
penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan seminar
kecil dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan teruatama dengan pembuatan
asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
9.2.3 Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih
ramah lagi tehadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan
sebaik-baiknya.
53
DAFTAR PUSTAKA