(PPOK)
D. Klasifikasi
Ada tiga tipe klasifikasi PPOK menurut Darmanto (2009), yaitu:
a. Tipe 1
Adanya salah satu gejala utama :
1) bertambahnya dispnea
2) bertambahnya sputum purulen
3) bertambahnya volume sputum dan disertai salah satu dari:
a) infeksi sistem pernapasan 5 hari terakhir
b) demam yang tidak diketahui penyebabnya
c) bertambahnya suara mengi
d) bertambahnya gejala batuk
e) bertambahnya frekuensi napas dan detak jantung >20% dari baseline
b. Tipe 2
Adanya dua dari tiga gejala utama.
c. Tipe 3
Adanya 3 gejala utama.
E. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronik atau chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai peningkatan resestensi
terhadap aliran udara terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu
istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan referensi aliran udara. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang membentuk satu kesatuan yang di
tandai dengan sebutan PPOM adalah bronkhitis, emifisema paru-paru dan asma
bronchial. Perjalanan PPOK yang khas adalah panjang dimulai dari usia 20-30
tahun dengan 20-30 tahun dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai
pembentukan sedikit mukoid (Padila, 2012). Riwayat infeksi saluran napas
berulang: Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut
adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan
pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa
dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Berdasarkan kajian teori, Klien PPOK mengalami penurunan kapasitas
angkut oksigen darah arteri, kelemahan dari otot bantu napas, cardiac output yang
rendah, deconditioning serta adanya gangguan ventilasi dan perfusi sehingga
beban kerja pernapasan meningkat. Disamping itu kebutuhan oksigen pada pasien
PPOK tinggi, sehingga apabila terjadi kekurangan pada ambilan oksigen maka
akan terjadi juga peningkatan beban kerja pernapasan. Latihan pernapasan dan
latihan endurance dengan ergocycle sama sama mempunyai pengaruh
peningkatan dalam ambilan oksigen maksimal dan peningkatan volume tidal serta
penurunan frekuensi pernafasan sehingga otot pernafasan lebih efektif dan terjadi
penurunan beban kerja pernafasan karena tidak banyak energi yang terbuang
maka pasien tidak mudah lelah sehingga dapat melakukan aktivitas sehari hari
dan kualitas hidupnya dapat meningkat. Latihan endurance diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan, menurunkan ventilasi dan sesak nafas selama aktivitas
serta dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk menghantarkan lebih banyak
oksigen menuju otot, hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan yang terjadi
pada otot dan sistem kardiovaskuler. Hal ini akan mengakibatkan cardiac output
dan stroke volume menjadi meningkat serta denyut nadi istirahat menjadi turun
sehingga terjadi peningkatan efisiensi kerja jantung dan pasien dapat melakukan
aktivitas sehari hari dan kualitas hidupnya meningkat.
Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur
frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki
fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran
gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax,
mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih
efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang dan
mengakibatkan kualitas hidupnya meningkat . Status gizi pasien PPOK yang
normal kemungkinan karena pasien dalam keadaan stabil dan hanya datang untuk
kontrol serta tidak terjadinya penurunan nafsu makan mungkin juga menjadi
penyebab tidak terjadinya penurunan berat badan sehingga didapatkan status gizi
yang normal pada pasien PPOK (Permatasari et al., 2016).
F. Pathway
H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk menegakkan diagnosis PPOK
adalah uji faal paru sedang pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto
toraks untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pemeriksaan spirometri
dilakukan untuk memeriksa VEP1, KVP dan VEP1/KVP. VEP1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Disebut obstruksi apabila %VEP1 (VEP1/VEP1
prediksi) <80% atau VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. Apabila spirometri tidak
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, bisa dilakukan pemeriksaan APE (arus
puncak ekspirasi), dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore tidak
melebihi 20%. (Riyanti et al, 2008).
I. Penatalaksanaan
Walaupun tidak dapat disembuhkan (incurable) dan sering menjadi
ireversibel, dapat diupayakanagar progrestifitas perburukan fungsi pernapasan
diperlambat dan exercise tolerance ditingkatkan. Penatalaksanaan PPOK
mencakup penghentian merokok, imunisasi terhadap influenza, vaksin
pneumokokus, pemberian antibiotik (pada beberapa negara bahkan sampai
profilaksis), bronkodilator, dan kortikosteroid, terapi oksigen, pengontrolan
sekresi, serta latihan dan rehabilitasi yang berupa latihan fisik, latihan napas
khusus dan bantuan psikis (Darmanto, 2009).
Patofisiologi terjadinya eksaserbasi akut adalah edema mukosa,
peradangan dan bronkokonstriksi. Pemberian inhalasi agonis β2 short-acting
maupun long-acting dan antikolinergik dapat berfungsi sebagai bronkodilator,
lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan metilxantin. Pada praktiknya
yang paling baik adalah pemberian kombinasi ipratropium (antikolinergik)
dengan albuterol (agonis β2). Metilxantin diperkirakan mempunyai pengaruh
dalam memperkuat kontraksi diafragma (Darmanto, 2009).
A. Pengkajian
Pengkajian menurut Runiari (2010) merupakan tahap awal dalam
proses keperawatan, merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Tujuan dari tahap pengkajian
adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien
serta sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan individu.
1) Kaji kepatenan jalan nafas. Mempertahankan jalan napas selalu menjadi
prioritas pertama, terutama dalam kasus-kasus trauma , dekompensasi
neurologis akut , atau serangan jantung.
2) Auskultasi paru-paru untuk mengkaji adanya suara napas tambahan, seperti
berikut :
a) Penurunan atau tidak ada suara nafas. ini mungkin menunjukkan adanya
lendir atau obstruksi jalan napas
b) Mengi. ini mungkin menunjukkan peningkatan resistensi saluran napas
c) Suara ngorok, ini mungkin menunjukkan adanya cairan di sepanjang
saluran nafas atas
d) Menilai pernapasan , kualitas, tingkat , pola , kedalaman , lubang hidung
terbakar, dyspnea saat beraktivitas, penggunaan otot aksesori, dan posisi
untuk bernafas. Kelainan menunjukkan gangguan pernapasan
e) Kaji perubahan status mental . Meningkatkan kelesuan , kebingungan ,
gelisah dan / atau mudah marah bisa menjadi tanda awal hipoksia
serebral.
f) Kaji perubahan tanda-tanda vital. Takikardia dan hipertensi mungkin
berhubungan dengan peningkatan kerja pernapasan. Demam dapat
berkembang sebagai respon terhadap melekatnya sekret / atelektasis.
g) Kaji efektivitas dan produktivitas batuk. Pertimbangkan kemungkinan
penyebab batuk tidak efektif ( misalnya, kelelahan otot pernafasan ,
bronkospasme berat, atau sekresi ulet tebal) .
h) Catatan adanya sputum , menilai kualitas, warna, jumlah, bau dan
konsistensi. Hal ini mungkin akibat dari infeksi, bronkitis, merokok
kronis, atau kondisi lainnya. Tanda infeksi ialah berubahnya warna
dahak ( tidak lagi bening atau putih ), bau mungkin ada.
i) Kirim spesimen sputum untuk dikultur dan atau tes sensitivitas. Infeksi
saluran pernapasan meningkatkan kerja pernapasan, perlu pemberian
antibiotik.
j) Memantau analisa gas darah ( GDA ). Peningkatan dan penurunan
PaCO2 PaO2 adalah tanda-tanda kegagalan pernapasan .
k) Kaji nyeri . Nyeri pasca operasi dapat menyebabkan pernapasan dangkal
dan batuk tidak efektif .
l) Jika pasien menggunakan ventilasi mekanik, pantau peak airway
pressures dan resistensi saluran napas. Peningkatan parameter tersebut
diatas merupakan sinyal akumulasi sekret / cairan dan kemungkinan
ventilasi tidak efektif.
m) Kaji pengetahuan pasien terhadap penyakitnya. Pendidikan pasien akan
bervariasi tergantung pada keadaan penyakit akut atau kronis serta
tingkat kognitif pasien (Muttaqin, 2012).
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons individu,
keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual
maupun situasi kehidupan. Diagnosis keperawatan menjadi dasar dalam
memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh perawat (Carol, 2012).
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Definisi: Ketidakmampuan untuk membersihkan secret atau obstruksi
saluran napas guna mempertahankan jalan napas yang bersih
Factor yang berubungan
1) Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
2) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan
napas
3) Fisiologis; kelainan dan penyakit
Batasan karakteristik
Subjektif: Dispne
Objektif
1) Suara napas tambahan
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif
4) Sianosis
5) Kesulitan untuk berbicara
6) Penurunan suara napas
7) Ortopnea
8) Gelisah
9) Sputum berlebihan
10) Mata terbelalak (Judith, 2012).
C. Intervensi Keperawatan
Penentuan intervensi keperawatan yang difokuskan pada diagnosa
keperawatan yang telah disusun. Dalam melakukan asuhan keperawatan
perlu suatu perencanaan yang baik. Rencana keperawatan diartikan sebagai
suatu dokumen tulisan tangan yang berisi tentang cara menyelesaikan
masalah, tujuan, dan intervensi (Runiari, 2010).
D. Implementasi
Pada fase implementasi, perawat menyampaikan rencana asuhan kepada
anggota tim lain dan melaksanakan atau mendelegasikan intervensi yang akan
direncanakan. Tindakan akhir pada fase ini adalah mencatat asuhan yang
diberikan dan respons Klien terhadap asuhan tersebut (Carol, 2012).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya berhasil tercapai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawatan memonitor “kealpaan” yang terjadi selama
tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan pelasanaan tindakan
(Runiari, 2010).
Evaluasi terhadap masalah bersihan jalan napas tidak efektif secara
umum dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1) Mempertahankan jalan napas pasien.
2) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3) Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
4) Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
5) Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat
(Muttaqin, 2012).
DAFTAR PUSTAKA