Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

(PPOK)

I. Konsep Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik atau chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai peningkatan resestensi
terhadap aliran udara terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu
istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan referensi aliran udara. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang membentuk satu kesatuan yang di
tandai dengan sebutan PPOM adalah bronkhitis, emifisema paru-paru dan asma
bronchial. Perjalanan PPOK yang khas adalah panjang dimulai dari usia 20-30
tahun dengan 20-30 tahun dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai
pembentukan sedikit mukoid (Padila, 2012).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan gangguan progresif
lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran pernafasan yang menetap atau
sedikit reversible, tidak seperti obstruksi saluran pernafasan reversible pada asma
(Davey, 2008)
Bronkitis kronik merupakan gangguan yang ditandai pembengkakan saluran
napas dan peningkatan sekresi mukus. Sehingga gejala bronkitis kronik ialah
batuk berdahak yang lama. Gejala ini dapat bertahan hingga tiga bulan lebih.
Sedangkan enfisema adalah kerusakan pada kantung paru-paru. Hal ini
mengakibatkan kelenturan pada kantung udara menurun akibatnya jumlah udara
yang masuk ke paru tidak cukup untuk kebutuhan oksigen tubuh. Seseorang dapat
menderita salah satunya atau dapat juga keduanya (Samuel, 2016).
B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
menurut Mansjoer (2008) adalah :
a. faktor lingkungan
1) Merokok yang merupakan penyebab utama, disertai resiko tambahan
akibat polutan udara ditempat kerja atau didalam kota. Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok
pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK
dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan
gas-gas berbahaya.
2) Polusi indoor seperti memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi
dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO
yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik
yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan
alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasip (Oemiati, 2013)
3) Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
4) Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri
tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung). Selain itu penyebab
PPOK yang lain adalah
b. faktor genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin)
c. riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas
akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran
pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
Selanjutnya adalah jenis kelamin, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas
fisik (Oemiati, 2013).
C. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda PPOK berupa batuk akibat produksi sputum berlebihan (pada
jenis bronkitis kronik), dispnea, obstruksi saluran napas progresif. Pada
pemeriksaan Spirometri, FEV, di bawah predicted, FEV/FVC dibawah predicted,
perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilato <12% (Darmanto,
2009).
Gejala yang dialami oleh penderita PPOK berbeda antara bronkitis kronik
dengan emfisema. Penderita Bronkitis kronik biasanya mengeluhkan batuk kronik
yang produktif (mengeluarkan dahak) serta sesak napas, sering terkena infeksi
paru berulang, cenderung mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan,
bengkak pada kaki, dan memiliki kecenderungan gagal napas (Samuel, 2016).

D. Klasifikasi
Ada tiga tipe klasifikasi PPOK menurut Darmanto (2009), yaitu:
a. Tipe 1
Adanya salah satu gejala utama :
1) bertambahnya dispnea
2) bertambahnya sputum purulen
3) bertambahnya volume sputum dan disertai salah satu dari:
a) infeksi sistem pernapasan 5 hari terakhir
b) demam yang tidak diketahui penyebabnya
c) bertambahnya suara mengi
d) bertambahnya gejala batuk
e) bertambahnya frekuensi napas dan detak jantung >20% dari baseline
b. Tipe 2
Adanya dua dari tiga gejala utama.
c. Tipe 3
Adanya 3 gejala utama.
E. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronik atau chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai peningkatan resestensi
terhadap aliran udara terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu
istilah yang sering di gunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan referensi aliran udara. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang membentuk satu kesatuan yang di
tandai dengan sebutan PPOM adalah bronkhitis, emifisema paru-paru dan asma
bronchial. Perjalanan PPOK yang khas adalah panjang dimulai dari usia 20-30
tahun dengan 20-30 tahun dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai
pembentukan sedikit mukoid (Padila, 2012). Riwayat infeksi saluran napas
berulang: Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut
adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan
pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa
dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Berdasarkan kajian teori, Klien PPOK mengalami penurunan kapasitas
angkut oksigen darah arteri, kelemahan dari otot bantu napas, cardiac output yang
rendah, deconditioning serta adanya gangguan ventilasi dan perfusi sehingga
beban kerja pernapasan meningkat. Disamping itu kebutuhan oksigen pada pasien
PPOK tinggi, sehingga apabila terjadi kekurangan pada ambilan oksigen maka
akan terjadi juga peningkatan beban kerja pernapasan. Latihan pernapasan dan
latihan endurance dengan ergocycle sama sama mempunyai pengaruh
peningkatan dalam ambilan oksigen maksimal dan peningkatan volume tidal serta
penurunan frekuensi pernafasan sehingga otot pernafasan lebih efektif dan terjadi
penurunan beban kerja pernafasan karena tidak banyak energi yang terbuang
maka pasien tidak mudah lelah sehingga dapat melakukan aktivitas sehari hari
dan kualitas hidupnya dapat meningkat. Latihan endurance diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan, menurunkan ventilasi dan sesak nafas selama aktivitas
serta dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk menghantarkan lebih banyak
oksigen menuju otot, hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan yang terjadi
pada otot dan sistem kardiovaskuler. Hal ini akan mengakibatkan cardiac output
dan stroke volume menjadi meningkat serta denyut nadi istirahat menjadi turun
sehingga terjadi peningkatan efisiensi kerja jantung dan pasien dapat melakukan
aktivitas sehari hari dan kualitas hidupnya meningkat.
Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur
frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki
fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran
gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax,
mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih
efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang dan
mengakibatkan kualitas hidupnya meningkat . Status gizi pasien PPOK yang
normal kemungkinan karena pasien dalam keadaan stabil dan hanya datang untuk
kontrol serta tidak terjadinya penurunan nafsu makan mungkin juga menjadi
penyebab tidak terjadinya penurunan berat badan sehingga didapatkan status gizi
yang normal pada pasien PPOK (Permatasari et al., 2016).

F. Pathway

Sumber: (Muttaqin, 2012).


G. Komplikasi
Komplikasi penyakit paru obstruksi kronis menurut Irman Somantri (2012)
adalah :
a. Hipoksemia.
b. Asidosis Respiratori.
c. Infeksi Respiratori.
d. Gagal Jantung.
e. Kardiak distrimia.
f. Status Asmatikus.

H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk menegakkan diagnosis PPOK
adalah uji faal paru sedang pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto
toraks untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pemeriksaan spirometri
dilakukan untuk memeriksa VEP1, KVP dan VEP1/KVP. VEP1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Disebut obstruksi apabila %VEP1 (VEP1/VEP1
prediksi) <80% atau VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. Apabila spirometri tidak
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, bisa dilakukan pemeriksaan APE (arus
puncak ekspirasi), dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore tidak
melebihi 20%. (Riyanti et al, 2008).

I. Penatalaksanaan
Walaupun tidak dapat disembuhkan (incurable) dan sering menjadi
ireversibel, dapat diupayakanagar progrestifitas perburukan fungsi pernapasan
diperlambat dan exercise tolerance ditingkatkan. Penatalaksanaan PPOK
mencakup penghentian merokok, imunisasi terhadap influenza, vaksin
pneumokokus, pemberian antibiotik (pada beberapa negara bahkan sampai
profilaksis), bronkodilator, dan kortikosteroid, terapi oksigen, pengontrolan
sekresi, serta latihan dan rehabilitasi yang berupa latihan fisik, latihan napas
khusus dan bantuan psikis (Darmanto, 2009).
Patofisiologi terjadinya eksaserbasi akut adalah edema mukosa,
peradangan dan bronkokonstriksi. Pemberian inhalasi agonis β2 short-acting
maupun long-acting dan antikolinergik dapat berfungsi sebagai bronkodilator,
lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan metilxantin. Pada praktiknya
yang paling baik adalah pemberian kombinasi ipratropium (antikolinergik)
dengan albuterol (agonis β2). Metilxantin diperkirakan mempunyai pengaruh
dalam memperkuat kontraksi diafragma (Darmanto, 2009).

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada berbagai
tatanan pelayanan kesehatan, dalam usaha pemenuhan kebutuhan dasar manusia
dengan menggunakan metodologi proses keperawatan, berpedoman pada standar
praktik keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan, dalam lingkup
wewenang serta tanggung jawab keperawatan.
Proses keperawatan secara umum diartikan sebagai pendekatan dalam
pemecahan masalah yang sistematis untuk memberikan asuhan keperawatan
terhadap setiap orang. Dalam proses keperawatan terdapat lima tahapan yaitu:
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.
(Suharyanto, 2009).

A. Pengkajian
Pengkajian menurut Runiari (2010) merupakan tahap awal dalam
proses keperawatan, merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Tujuan dari tahap pengkajian
adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien
serta sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan individu.
1) Kaji kepatenan jalan nafas. Mempertahankan jalan napas selalu menjadi
prioritas pertama, terutama dalam kasus-kasus trauma , dekompensasi
neurologis akut , atau serangan jantung.
2) Auskultasi paru-paru untuk mengkaji adanya suara napas tambahan, seperti
berikut :
a) Penurunan atau tidak ada suara nafas. ini mungkin menunjukkan adanya
lendir atau obstruksi jalan napas
b) Mengi. ini mungkin menunjukkan peningkatan resistensi saluran napas
c) Suara ngorok, ini mungkin menunjukkan adanya cairan di sepanjang
saluran nafas atas
d) Menilai pernapasan , kualitas, tingkat , pola , kedalaman , lubang hidung
terbakar, dyspnea saat beraktivitas, penggunaan otot aksesori, dan posisi
untuk bernafas. Kelainan menunjukkan gangguan pernapasan
e) Kaji perubahan status mental . Meningkatkan kelesuan , kebingungan ,
gelisah dan / atau mudah marah bisa menjadi tanda awal hipoksia
serebral.
f) Kaji perubahan tanda-tanda vital. Takikardia dan hipertensi mungkin
berhubungan dengan peningkatan kerja pernapasan. Demam dapat
berkembang sebagai respon terhadap melekatnya sekret / atelektasis.
g) Kaji efektivitas dan produktivitas batuk. Pertimbangkan kemungkinan
penyebab batuk tidak efektif ( misalnya, kelelahan otot pernafasan ,
bronkospasme berat, atau sekresi ulet tebal) .
h) Catatan adanya sputum , menilai kualitas, warna, jumlah, bau dan
konsistensi. Hal ini mungkin akibat dari infeksi, bronkitis, merokok
kronis, atau kondisi lainnya. Tanda infeksi ialah berubahnya warna
dahak ( tidak lagi bening atau putih ), bau mungkin ada.
i) Kirim spesimen sputum untuk dikultur dan atau tes sensitivitas. Infeksi
saluran pernapasan meningkatkan kerja pernapasan, perlu pemberian
antibiotik.
j) Memantau analisa gas darah ( GDA ). Peningkatan dan penurunan
PaCO2 PaO2 adalah tanda-tanda kegagalan pernapasan .
k) Kaji nyeri . Nyeri pasca operasi dapat menyebabkan pernapasan dangkal
dan batuk tidak efektif .
l) Jika pasien menggunakan ventilasi mekanik, pantau peak airway
pressures dan resistensi saluran napas. Peningkatan parameter tersebut
diatas merupakan sinyal akumulasi sekret / cairan dan kemungkinan
ventilasi tidak efektif.
m) Kaji pengetahuan pasien terhadap penyakitnya. Pendidikan pasien akan
bervariasi tergantung pada keadaan penyakit akut atau kronis serta
tingkat kognitif pasien (Muttaqin, 2012).

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons individu,
keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual
maupun situasi kehidupan. Diagnosis keperawatan menjadi dasar dalam
memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh perawat (Carol, 2012).
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Definisi: Ketidakmampuan untuk membersihkan secret atau obstruksi
saluran napas guna mempertahankan jalan napas yang bersih
Factor yang berubungan
1) Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
2) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan
napas
3) Fisiologis; kelainan dan penyakit
Batasan karakteristik
Subjektif: Dispne
Objektif
1) Suara napas tambahan
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif
4) Sianosis
5) Kesulitan untuk berbicara
6) Penurunan suara napas
7) Ortopnea
8) Gelisah
9) Sputum berlebihan
10) Mata terbelalak (Judith, 2012).
C. Intervensi Keperawatan
Penentuan intervensi keperawatan yang difokuskan pada diagnosa
keperawatan yang telah disusun. Dalam melakukan asuhan keperawatan
perlu suatu perencanaan yang baik. Rencana keperawatan diartikan sebagai
suatu dokumen tulisan tangan yang berisi tentang cara menyelesaikan
masalah, tujuan, dan intervensi (Runiari, 2010).

Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif


Tujuan dan kriteria hasil (NOC)
Setelah diberikan perawatan pasien akan menunjukkan:
1) Menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif yang dibuktikan oleh,
pencegahan aspirasi, status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dan status
pernapasan: kepatenan jalan napas
2) Menunjukkan status pernapasan: kepatenan jalan napas, yang dibuktikan
oleh indicator sebagai berikut: Gangguan eksterm, Berat, Sedang, Ringan,
Tidak ada gangguan
Pasien akan:
1) Batuk efektif
2) Mengeluarkan secret secara efektif
3) Mempunyai jalan napas yang paten
4) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
5) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
6) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
7) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah

Intervensi keperawatan (NIC)


Pengisapan jalan napas (NIC):
1) Tentukan pkebutuhan pengisapan oral atau trakeal
2) Pantau status oksigen pasien dan status hemodinamik dan irama jantung
sebelum, selama dan setelah pengisapan
3) Catat jenis dan jumlah sekrat yang dikumpulkan
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
1) Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung
2) Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok
didalam ruangan perawatan
3) Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam
4) Ajarkan pasien untuk mengganjal luka insisi saat batuk, kalau ada
5) Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan sputum
6) Pengisapan jalan napas (nic): instruksikan kepada pasien dan keluarga
tentang cara melakukan pengisapan, jika perlu
Aktivitas kolaboratif :
1) Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
2) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau
peralatan pendukung
3) Berikan oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai dengan instruksi
4) Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer, dan perawatan paru
lainnya sesuai protocol
5) Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal
Aktivitas lain :
1) Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran secret
2) Anjurkan penggunaan spirometer insentif
3) Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi tempat
tidur kesisi yang lainnya setiap dua jam
4) Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur untuk
menurunkan kecemasan dan control diri
5) Berikan pasien dukungan emosi
6) Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal
rongga dada
7) Pengisapan nasoparing atau oroparing setiap….
8) Lakukan pengisapan endotrakea atau nasotrakea jika perlu
9) Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan secret
10) Singkirkan atau tangani factor penyebab, seperti nyeri, keletihan dan
secret yang kental
Perawatan dirumah :
1) Instruksikan pasien dan keluarga terlibat dalam perencanaan untuk
perawatan dirumah
2) Kaji kondisi rumah untuk keberadaan factor allergen
3) Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi cara menghindari
allergen
Untuk bayi dan anak-anak :
1) Beri penekanan kepada orangtua bahwa batuk sangat penting bagi anak-
anak dan bahwa batuk tidak harus diredakan dengan obat
2) Seimbangkan kebutuhan terhadap pembersihan jalan napas dengan
kebutuhan untuk menghindari keletihan
3) Biarkan anak memegang stetoskop dan mendengarkan buni napasnya
sendiri (Judith, 2012).

D. Implementasi
Pada fase implementasi, perawat menyampaikan rencana asuhan kepada
anggota tim lain dan melaksanakan atau mendelegasikan intervensi yang akan
direncanakan. Tindakan akhir pada fase ini adalah mencatat asuhan yang
diberikan dan respons Klien terhadap asuhan tersebut (Carol, 2012).

E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya berhasil tercapai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawatan memonitor “kealpaan” yang terjadi selama
tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan pelasanaan tindakan
(Runiari, 2010).
Evaluasi terhadap masalah bersihan jalan napas tidak efektif secara
umum dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1) Mempertahankan jalan napas pasien.
2) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3) Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
4) Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
5) Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat
(Muttaqin, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo.2016. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing


Asmadi (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 1
Jakarta : EGC
Doengoes Marilynn E (2012). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Guide, P and COPD, T.O. (2010) “Global Initiative for Chronic Obstructive Lung A
Guide for Health Care Professional Global Initiative for Chronic Obstructive
Disease”. (di akses pada tanggal 1 Maret 2018)
Herman, T. H.., & Kamitsuru, Shigemi. (2015). Diagnosis Keperawatan 2015-2017
Edisi 10. Jakarta : EGC
Ira. 2017. Riset Keperawatan. (di akses pada tanggal 1 Maret 2018)
J Green, Carol. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Judith. 2012. Diagnosa Keperawatan NANDA dengan pendekatan NIC NOC Jakarta:
EGC
Muttaqin, 2008. “Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terhadap Frekuensi Pernafasan
Pasien TB Paru Di Instalasi Rawaat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit
Pelabuhan Palembang” Dalam Jurnal Sasono Mardiono 2013. Diakses tanggal
1 Maret 2018.
Muttaqin, Arif. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Mutaqqin Arif, 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
pernafasan. Jakarta: salemba medika
Nugroho, Y.A. & Kristiani, E.E. 2011. Batuk Efektif Dalam Pengeluaran Dahak Pada
Pasien Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas. Diakses pada tanggal
15 Mei 2018.
Nurliza, Laila. 2016. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan pada Pasien PPOK di
Rumah Sakit Raden Mataher Jambi.
Padila. 2013. Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika
Putri, Patricia. 2016. “Penyakit Paru Obstruksi Kronik”. (di akses pada tanggal 1 Maret
2018)
Somantri, Irman. 2012. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Susilawaty, Lukman. 2016. Asuhan Keperawatan PPOK. (di akses pada tanggal 1 Maret
2018)
Suyanto, et al. 2015. Profil Penderita PPOK yang dirawat Inap Di RSUD Arifin Ahmad
Riau. JOM FK Volume 1, No 2.
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai