2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri
adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra, 2010).
Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema
paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis.
2.2 Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru
dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang
dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang
menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya
tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK
saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin
berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan
yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang
cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam
sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena
lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
2.4 Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Sumber : http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-55cac88875ac1.html
2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah infeksi
nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik,
gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-
pulmonale.
a. Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan
karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau
keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
b. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel
kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung
ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada
penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan
ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih
kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi
atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi
hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema
perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau
sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada
penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara
sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga
pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis
antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk
membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung.
Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk
pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya
kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga
pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru.
Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas
menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi
pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu
berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin
meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2002) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau
tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide
250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5
g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk
meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan
hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang
diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan
efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik,
radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis
adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi
gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi
fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu
termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi
untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya
dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang
terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan
pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas,
pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk
memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.
2. Sirkulasi
Gejala :
a. Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
a. Peningkatan tekanan darah.
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c. Distensi vena leher atau penyakit berat.
d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f. Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
g. Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Peningkatan faktor resiko.
b. Perubahan pola hidup.
Tanda :
a. Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan atau Cairan
Gejala :
a. Mual atau muntah.
b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda :
a. Mual atau muntah.
b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
5. Hygiene
Gejala :
a. Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehai-hari.
Tanda :
a. Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala :
a. Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk
bernafas (asma).
b. Lapar udara kronis.
c. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun
selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d. Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini
meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e. Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan
pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap
misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f. Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
7. Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :
a. Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b. Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan
eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c. Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d. Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e. Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area
paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f. Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h. Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan
emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal
meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i. Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :
a. Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b. Adanya atau berulangnya infeksi.
c. Kemerahan atau berkeringan (asma)
9. Seksualitas
Gejala :
a. Penurunan libido.
10. Interaksi Sosial
Gejala :
a. Hubungan ketergantungan.
b. Kurang sistem pendukung.
c. Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d. Penyakit lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
a. Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
b. Keterbatasan mobilitas fisik.
c. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala :
a. Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b. Kesulitan menghentikan merokok.
c. Penggunaan alkohol secara teratur.
d. Kegagalan untuk membaik
Intervensi :
Mandiri :
1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi,
krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi
manifestasi adanya bunyi nafas adventisius.
2. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau
ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3. Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah,
ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala
tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek,
basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi
jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah
pengeluaran.
Kolaborasi :
a. Berikan obat sesuai indikasi.
b. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
c. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
d. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan
8. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan
spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori,
nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya
proses penyakit.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir
sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan
napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya
hipoksemia.
4. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas
pada jalan nafas.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi.
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di
kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara
bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan
rasa sehat.
9. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1. Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga
hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4. Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke
ICU sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.
Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi
sputum, dan obat.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan
peningkatan kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan
konstipasi.
4. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan
muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
5. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
6. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7. Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan,
dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Kolaborasi :
1. Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau
selang, nutrisi parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan
energi.
2. Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan
masukan
.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Intervensi :
Mandiri :
1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan
masukan cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5. Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan
pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1. Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan
terhadap berbagai antimikrobial.
2. Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
I. IDENTIFIKASI
A.KLIEN
Nama : Tn. MS
Tempat tanggal Lahir : Alang 6 maret 1937
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Duda
Jumlah anak :-
Agama/Suku : Kristen Protestan/Maluku
Warga Negara : Indonesia
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah
Pendidikan : SR
Pekerjaan : Tani
Alamat rumah : Passo
B. PENANGGUNG JAWAB
Nama :
Alamat : Hative kecil
Hubungan dengan klien : keponakan
B. TANDA-TANDA VITAL :
1. Kesadaran :
Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif
Skala Coma Glasgow :
Respon motoric :6
Respon bicara :5
Respon membuka mata :4
Jumlah : 15
C. PENGUKURAN
1. Lingkar lengan atas 21,9 cm 3. Tinggi badan 155,5cm
2. Lipat kulit triseps - 4. Berat badan 40 kg
XXX0
84
Keterangan :
: Laki laki
: Perempuan
84 : pasien
: Meninggal
-- -- -- -- -- : Tinggal serumah
IV. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN
A. KAJIAN PERSEPSI KESEHATAN –PEMELIHARAAN KESEHATAN
Riwayat penyakit yang pernah dialami :
Klien pernah masuk RS otoquick pada tahun 2018 dengan keluhan sesak napas ,
dari hasil pemeriksaaan dokter mengataka klien menderita Asma berat dan waktu
pulang klien diberi obat semprot bila sesak, obat tersebut masih dipakai klien
sampe skarang.
1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Sebelum sakit klien adalah seorang perokok berat, sering batuk tapi klien
tidak pernah sesak napas dan berobat ke fasilitas kesehatan , klien dapat
melakukan semua aktifitas sendiri tanpa bantuan.
b. Keadaan sejak sakit :
Semenjak sakit semua aktifitas klien dibantu oleh keluarga maupun
perawat seperti mandi maupun mengangkat barang, klien sama sekali
tidak bisa melakukan aktifitas berat.
2. Data Obyektif
Observasi
Kebersihan rambut : rambut klien dicuci tiap kali mandi
Kulit kepala : tampak agak kotor
Hygiene rongga mulut : mulut tampak kotor dan bau
Kebersihan genetalia dan anus tidak dikaji klien tidak bersedia
Tidak ada tanda scar maupun vaksinasi
2. Data obyektif
a. Observasi
Klien makan 3x sehari, makanan klien bervariasi setiap hari terdiri dari
nasi, ikan dan sayur, porsi makan klien tidak dihabiskan hanya ½ dari
porsi yang diberikan.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan rambut : tampak agak kotor, panjang dan tampak
berminyak
Hidrasi kulit : kulit tampak kering dan keriput
Palpebrae : tidak tampak oedem palpebrae, conjungtiva
warna merah muda
Sclera : tidak Nampak icterus pada sclera
Hidung : fungsi penciuman baik, klien dapat
membedakan berbagai macam bau, klien tampak menarik napas
panjang setiap kali bernapas.
Rongga mulut dan gusi tampak kotor dan bau.
Gigi geligi klien banyak yang sudah tanggal, klien tidak
menggunakan gigi palsu.
Kemampuan mengunyah keras : klien sudah tidak bisa mengunyah
makanan yang keras karena sebagian giginya sudah tidak ada.
Lidah tampak kotor tidak ada pembesaran tonsil.
Pharing klien tidak ada gangguan dalam menelan makanan.
Kelenjar getah bening leher tidak ada pembengkakan pada kelenjar
getah bening.
Kelenjar parotis dan kelenjar tyroid tidak tampak pembengkakan
maupun nyeri tekan.
Abdomen
Inspeksi :
- bentuk normal
- Tidak tampak bayangan vena pada perut.
- Tidak ada benjolan vena.
Auskultasi :
- perilstaltik 20x/m.
Palpasi :
- tanda nyeri umum tidak ada
- Tidak teraba massa pada daerah perut
- Hidrasi kulit klien kurang, kulit tampak kering
- Nyeri tekan pada R. epigastrica
- Hepar dan lien tidak Nampak pembesaran dan
nyeri tekan
Perkusi :
- Ascites negatif
Kelenjar limfe inguinal tidak teraba dan tidak tampak pembesaran
Kulit :
- Spider naevi negatif
- Uremic frost nrgatif
- Edema positif pada kedua tungkai bawah
- Tanda radang tidak tampak tanda-tanda
peradangan pada kulit
- Tidak tampak icteric pada kulit
Lesi : tidak tampak lesi pada kulit
c. Pemeriksaan diagnostic
Laboratorium
HB : 11 gr%, leuco 10.000, LED 25mm/jam
Terapy
- Lanzoprazole 2x1
- Kapsul sesak 3x1
- Levofloxacin 1x 1
- Nebulizer pentolin 1x 1 amp
2. Data obyektif
a. Observasi
Selama klien sakit klien dibantu oleh petugas maupun teman sekamar
untuk BAK, klien sering sesak napas bila sering bolak balik kamar mandi.
b. Pemeriksaan fisik
Perilstatik usus 20x/menit
Palpasi suprapubik teraba kosong
Anus
Peradangan : -
Fissure :-
Haemoroid :-
Prolapses recti : -
Fistula ani :-
Masa tumor : -
2. Data obyektif
a. Observasi
Aktivitas harian
- Makan 2
- Mandi 3
- Berpakaian 0
- Kerapihan 4
- BAB 0
- BAK 3
- Mobilisasi 3
- Ambulasi mandiri 1
Postur tubuh : klien berjalan agak membungkuk
Gaya jalan : pasien berjalan pelan dengan langkah pendek
Anggota gerak yang cacat tidak ada
Tracheostomie maupun fiksasi tidak ada
b. Pemeriksaan fisik
JVP 10 cmH20, kesimpulan JVP meningkat klien mempunyai
riwayat hypertensi yang lama dan menandakan adanya tanda gagal
jantung
Perfusi pembuluh perifer kuku tampak agak kebiruan
Thorax dan pernapasan
Inspeksi
- Bentuk thorax simetris
- Stridor negatif
- Ada Dyspnea d’effort
- Sianosis (-)
Palpasi : vocal premitus taktil ketika pasien
mengatakan aaa dan uuu
Perkusi : pekak
Auskultasi
- Suara napas terdengar ronchi basah ++/+
- Suara ucapan
- Suara tambahan ronchi basah
Jantung
Inspeksi
- Ictus cordis tidak terlihat
- Klien tidak menggunakan alat pacu jantung
Palpasi
- Thrill negatif
Perkusi
- Batas atas jantung SIC II
- Batas kanan jantung linea parastemalis dextra
- Batas kiri jantung 1 jarimedial linea
midelavicularis
- Batas bawah jantung SIC V
Auskultasi
- Bunyi jantung I dan II regular, bising jantung (-)
- Bunyi jantung III irama gallop (-), murmur (-)
- HR 78x/m
- Bruit aorta (-)
- A. renalis (-)
- A. femoralis (-)
Lengan dan tungkai
- Atrofi otot (-)
- Rentang gerak (+)
- Uji kekuatan otot 5 5
5 5
- Reflex fisiologis (+)
- Reflex patologi (R. Babinski kiri kanan(+)
- Cubing jari-jari (-)
- Varises tungkai (-)
Columa vertebralis
Inspeksi : tidak ada kelainan bentuk tulang
belakang
Palpasi : nyeri tekan (-)
Nervus III,IV,VI :bentuk isikor, ukuran pupil 3 mm, reaksi
terhadap cahaya (+), fungsi pergerakan bola mata baik<
pandangan klien dapat mengikuti jari perawat.
Nervus VIII : Romberg test (+)
Nervus XI tes: (+)
Kaku kuduk: (-)
2. Data obyektif
a. Observasi
Klien tampak ramah terhadap perawat maupun orang sekitarnya.
b. Pemeriksaan fisik
Penglihatan
- Cornea : bersih
- Visus : 03/060 (pemeriksaan menggunakan
jari)
- Pupil : (+)
- Lensa mata : agak keruh
Pendengaran
- Pina : tidak ada kelainan
- Canalis :
- Membrane tympani
- Tes pendengaran
Pengenalan rasa posisi pada gerakan lengan dan tungkai (+)
Nervus I : klien dapat membedakan antara bau kopi, sabun ,
minyak kayu putih maupun parfum
Nervus II : pada jarak 2 meter klien masih bisa melihat waktu
pada jam dinding.
Nervus V sensorik: klien masih bisa membedakan antara rasa nyeri
dan suhu ketika dilakukan pemeriksaan tes rasa.
N.VII sensorik: klien masih bisa membedakan rasa antara rasa
mani, asam dan asin
N. VIII pendengaran: klien tidak bisa mendengar detik arloji
kurang dari ½ m.
Tes Romberg : klien masih dapat berdiri tegak selama melakukan
tes
2. Data obyektif
a. Observasi
Kontak mata : selama wawancara berlangsung klien dapat
melakukan kontak mata dengan baik.
Rentang perhatian: klien dapat memperhatikan dan menyimak apa
yang dibicarakan dengan baik.
Suara dan cara bicara : jelas dan sopan
Postur tubuh : saat wawancara duduk dengan sopan dan santai
b. Pemeriksaan fisik
Tidak tampak kelainan bawaan.
Abdomen :
- Bentuk rata, tidak tampak bayangan vena
maupun massa.
Kulit :
- Lesi pada kulit (-)
Tidak terdapat penggunaan protesa pada klien.
3. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan proses Adriana Saija
penyakit
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
O:
- pasien lebih tampak tenang ,
- TTV : TD 140/80mmHg, N : 90x/m, RR.24x/m
A:
- Masalah belum teratasi
P:
- Intervensi dilanjutkan
2.
S:-
- Pasien mengatakan bisa melakukan aktifitasnya secara mandiri asalkan
secara perlahan2.
O:
- Aktifitas bisa dilakukan dengan bantuan minimal oleh perawat
A:
- Masalah belum teratasi
P:
3. - Intervensi dilanjutkan
S:
- Pasien mengatakan sudah bisa tidur dengan nyenyak
- Batuk di malam hari sesekali
O:
- Klien tampak segar dan tidak mengantuk di siang hari
A:
- Masalah teratasi sebagian
P:
- Intervensi dilanjutkan