Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN PPOK

2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri
adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra, 2010).
Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.

PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema
paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis.

PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan


istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005). Sedangkan menurut T.M.Marrelli, Deborah
S.Harper (2008), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang
berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma dan bronchitis.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit paru
obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya keterbatasan
udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam
paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis kronis, asma dan emfisema.

2.2 Etiologi

Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru
dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang
dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang
menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya
tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK
saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin
berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.

2.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves
(2001)
adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi
dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami
perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang
semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan
yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang
cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam
sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena
lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.4 Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada


paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Sumber : http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-55cac88875ac1.html

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) antara lain :
a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema),
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi
abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya
paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan
emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan
diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat),
disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis,
emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi
paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program
latihan.

2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah infeksi
nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik,
gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-
pulmonale.
a. Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan
karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau
keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
b. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel
kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung
ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada
penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan
ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih
kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi
atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi
hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema
perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau
sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada
penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara
sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga
pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis
antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk
membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung.
Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk
pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya
kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga
pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru.
Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas
menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi
pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu
berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin
meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2002) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau
tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide
250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5
g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk
meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan
hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang
diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan
efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik,
radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis
adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi
gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi
fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu
termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi
untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya
dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang
terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan
pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas,
pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk
memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.

2.8 Asuhan Keperawatan


2.8.1 Pengkajian
Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah :
1. Aktivitas dan istirahat :
Gejala :
a. Keletihan, kelemahan, malaise.
b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c. Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d. Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda :
a. Keletihan.
b. Gelisah, insomnia.
c. Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

2. Sirkulasi
Gejala :
a. Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
a. Peningkatan tekanan darah.
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c. Distensi vena leher atau penyakit berat.
d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f. Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
g. Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Peningkatan faktor resiko.
b. Perubahan pola hidup.
Tanda :
a. Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan atau Cairan
Gejala :
a. Mual atau muntah.
b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda :
a. Mual atau muntah.
b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
5. Hygiene
Gejala :
a. Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehai-hari.
Tanda :
a. Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala :
a. Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk
bernafas (asma).
b. Lapar udara kronis.
c. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun
selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d. Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini
meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e. Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan
pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap
misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f. Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
7. Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :
a. Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b. Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan
eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c. Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d. Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e. Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area
paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f. Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h. Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan
emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal
meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i. Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :
a. Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b. Adanya atau berulangnya infeksi.
c. Kemerahan atau berkeringan (asma)
9. Seksualitas
Gejala :
a. Penurunan libido.
10. Interaksi Sosial
Gejala :
a. Hubungan ketergantungan.
b. Kurang sistem pendukung.
c. Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d. Penyakit lama atau kemampuan membaik.

Tanda :
a. Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
b. Keterbatasan mobilitas fisik.
c. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala :
a. Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b. Kesulitan menghentikan merokok.
c. Penggunaan alkohol secara teratur.
d. Kegagalan untuk membaik

2.8.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi
jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.

2.8.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan


mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :
Mandiri :
1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi,
krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi
manifestasi adanya bunyi nafas adventisius.
2. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau
ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3. Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah,
ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala
tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek,
basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi
jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah
pengeluaran.
Kolaborasi :
a. Berikan obat sesuai indikasi.
b. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
c. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
d. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan
8. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan
spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien


menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil
pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau
situasi.

Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori,
nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya
proses penyakit.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir
sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan
napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya
hipoksemia.
4. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas
pada jalan nafas.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi.
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di
kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara
bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan
rasa sehat.
9. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1. Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga
hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4. Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke
ICU sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,


kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien


menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan atau mempertahankan berat yang tepat.

Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi
sputum, dan obat.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan
peningkatan kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan
konstipasi.
4. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan
muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
5. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
6. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7. Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan,
dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Kolaborasi :
1. Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau
selang, nutrisi parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan
energi.
2. Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan
masukan
.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien


menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil
pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko
infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.

Intervensi :
Mandiri :
1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan
masukan cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5. Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan
pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.

Kolaborasi:
1. Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan
terhadap berbagai antimikrobial.
2. Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.  
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis


NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

2. Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP.


IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

3. Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan


Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

4. Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

5. Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


Nama Mahasiswa Yang Mengkaji : Meyta P Gomies NIM : N2007046

Ruangan : unit I Tanggal pengkajian : 23 Juni 2021

Kamar : Ruang Dahlia Waktu pengkajian : Jam 10.00 wit

Tgl Masuk RS: Auto Anamnese :

I. IDENTIFIKASI
A.KLIEN
Nama : Tn. MS
Tempat tanggal Lahir : Alang 6 maret 1937
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Duda
Jumlah anak :-
Agama/Suku : Kristen Protestan/Maluku
Warga Negara : Indonesia
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah
Pendidikan : SR
Pekerjaan : Tani
Alamat rumah : Passo

B. PENANGGUNG JAWAB
Nama :
Alamat : Hative kecil
Hubungan dengan klien : keponakan

II. DATA MEDIK


A. Dikirim oleh : UGD
B. Diagnose medis :
 Saat masuk : suspek pleura efusi
 Saat pengkajian : PPOK

III. KEADAAN UMUM


A. KEADAAN SAKIT : Klien tampak sakit sedang
Alasan : Klien dalam posisi duduk dan sesak napas
penggunaan alat medik :-

B. TANDA-TANDA VITAL :
1. Kesadaran :
 Kualitatif : Compos Mentis
 Kuantitatif
Skala Coma Glasgow :
Respon motoric :6
Respon bicara :5
Respon membuka mata :4

Jumlah : 15

Kesimpulan : klien dalam keadaan Normal

 Flaping Tremor/asterixis : negatif


2. Tekanan darah : 140/80 mmhg
MAP : 100 mmhg
Kesimpulan : Nilai MAP normal (70-110)
3. Suhu : 36,5 C axillar
4. Nadi : 80x/m
5. Pernapasan frekwensi : 24x/m, irama kusmaul, jenis pernapasan
perut

C. PENGUKURAN
1. Lingkar lengan atas 21,9 cm 3. Tinggi badan 155,5cm
2. Lipat kulit triseps - 4. Berat badan 40 kg

Indeks Massa Tubuh (IMT) : 14,69 kg/m2

Kesimpulan : berdasarkan standar Internasional IMT


klien te masuk dalam kategori kurus
D. GENOGRAM

XXX0

84

Keterangan :

: Laki laki

: Perempuan

84 : pasien
: Meninggal

-- -- -- -- -- : Tinggal serumah
IV. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN
A. KAJIAN PERSEPSI KESEHATAN –PEMELIHARAAN KESEHATAN
Riwayat penyakit yang pernah dialami :
Klien pernah masuk RS otoquick pada tahun 2018 dengan keluhan sesak napas ,
dari hasil pemeriksaaan dokter mengataka klien menderita Asma berat dan waktu
pulang klien diberi obat semprot bila sesak, obat tersebut masih dipakai klien
sampe skarang.

1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Sebelum sakit klien adalah seorang perokok berat, sering batuk tapi klien
tidak pernah sesak napas dan berobat ke fasilitas kesehatan , klien dapat
melakukan semua aktifitas sendiri tanpa bantuan.
b. Keadaan sejak sakit :
Semenjak sakit semua aktifitas klien dibantu oleh keluarga maupun
perawat seperti mandi maupun mengangkat barang, klien sama sekali
tidak bisa melakukan aktifitas berat.

2. Data Obyektif
Observasi
 Kebersihan rambut : rambut klien dicuci tiap kali mandi
 Kulit kepala : tampak agak kotor
 Hygiene rongga mulut : mulut tampak kotor dan bau
 Kebersihan genetalia dan anus tidak dikaji klien tidak bersedia
 Tidak ada tanda scar maupun vaksinasi

B. KAJIAN NUTRISI METABOLIK


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Sebelum sakit klien nafsu makan klien baik, porsi makan selalu
dihabiskan terdiri dari nasi, ikan, sayur dan buah, klien tidak ada
pantangan terhadap makanan apapun
b. Keadaan sejak sakit :
Setelah sakit nafsu makan klien kurang, pasien makan 3x sehari terdiri
dari nasi, ikan/daging, sayur dan buah namun porsi makan tidak pernah
dihabiskan, saat ini klien tidak bisa makan makanan yang pedas maupun
berminyak karena dapat menbuat klien batuk. Klien dulu gemuk namun
dalam kurun waktu 2 tahun BB klien turun.

2. Data obyektif
a. Observasi
Klien makan 3x sehari, makanan klien bervariasi setiap hari terdiri dari
nasi, ikan dan sayur, porsi makan klien tidak dihabiskan hanya ½ dari
porsi yang diberikan.

b. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan rambut : tampak agak kotor, panjang dan tampak
berminyak
 Hidrasi kulit : kulit tampak kering dan keriput
 Palpebrae : tidak tampak oedem palpebrae, conjungtiva
warna merah muda
 Sclera : tidak Nampak icterus pada sclera
 Hidung : fungsi penciuman baik, klien dapat
membedakan berbagai macam bau, klien tampak menarik napas
panjang setiap kali bernapas.
 Rongga mulut dan gusi tampak kotor dan bau.
 Gigi geligi klien banyak yang sudah tanggal, klien tidak
menggunakan gigi palsu.
 Kemampuan mengunyah keras : klien sudah tidak bisa mengunyah
makanan yang keras karena sebagian giginya sudah tidak ada.
 Lidah tampak kotor tidak ada pembesaran tonsil.
 Pharing klien tidak ada gangguan dalam menelan makanan.
 Kelenjar getah bening leher tidak ada pembengkakan pada kelenjar
getah bening.
 Kelenjar parotis dan kelenjar tyroid tidak tampak pembengkakan
maupun nyeri tekan.
 Abdomen
 Inspeksi :
- bentuk normal
- Tidak tampak bayangan vena pada perut.
- Tidak ada benjolan vena.
 Auskultasi :
- perilstaltik 20x/m.
 Palpasi :
- tanda nyeri umum tidak ada
- Tidak teraba massa pada daerah perut
- Hidrasi kulit klien kurang, kulit tampak kering
- Nyeri tekan pada R. epigastrica
- Hepar dan lien tidak Nampak pembesaran dan
nyeri tekan

 Perkusi :
- Ascites negatif
 Kelenjar limfe inguinal tidak teraba dan tidak tampak pembesaran
 Kulit :
- Spider naevi negatif
- Uremic frost nrgatif
- Edema positif pada kedua tungkai bawah
- Tanda radang tidak tampak tanda-tanda
peradangan pada kulit
- Tidak tampak icteric pada kulit
 Lesi : tidak tampak lesi pada kulit
c. Pemeriksaan diagnostic
 Laboratorium
HB : 11 gr%, leuco 10.000, LED 25mm/jam
 Terapy
- Lanzoprazole 2x1
- Kapsul sesak 3x1
- Levofloxacin 1x 1
- Nebulizer pentolin 1x 1 amp

C. KAJIAN POLA ELIMINASI


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Sebelum sakit klien tidak ada gangguan dengan pola BAK maupun BAB
tidak mengalami gangguan , klien BAB setiap hari diwaktu
pagi ,konsistensi lembek warna coklat , BAK 4-5x /hari warna kuning
muda dan tidak ada kesulitan dalam BAB maupun BAK.
b. Keadaan sejak sakit
Klien mengatakan sejak sakit klien BAB 2-3 hari sekali konsistensi keras,
warna coklat, kadang-kadang klien sesak tiba2 karena memaksakan diri
BAB, BAK klien 4-5x sehari, klien tidak mau dipasangi kateter dan
memilih menggunakan pot karena kadang sesak napas bila bolak balik
kamar mandi.

2. Data obyektif
a. Observasi
Selama klien sakit klien dibantu oleh petugas maupun teman sekamar
untuk BAK, klien sering sesak napas bila sering bolak balik kamar mandi.

b. Pemeriksaan fisik
 Perilstatik usus 20x/menit
 Palpasi suprapubik teraba kosong
 Anus
Peradangan : -
Fissure :-
Haemoroid :-
Prolapses recti : -
Fistula ani :-
 Masa tumor : -

D. KAJIAN POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
Sebelum sakit klien rajin mengikuti setiap kegiatan social maupun olah
raga yang dilakukan baik di sekitar lingkungan tempat tinggal maupun
diluar.

b. Keadaan sejak sakit


Semenjak sakit dari 2 tahun yang lalu klien sudah tidak bisa melakukan
kegiatan aktif diluar rumah karena sesak napas yang dialami klien tiap kali
melakukan aktifitas seperti berjalan jauh, naik tangga.

2. Data obyektif
a. Observasi
 Aktivitas harian
- Makan 2
- Mandi 3
- Berpakaian 0
- Kerapihan 4
- BAB 0
- BAK 3
- Mobilisasi 3
- Ambulasi mandiri 1
 Postur tubuh : klien berjalan agak membungkuk
 Gaya jalan : pasien berjalan pelan dengan langkah pendek
 Anggota gerak yang cacat tidak ada
 Tracheostomie maupun fiksasi tidak ada
b. Pemeriksaan fisik
 JVP 10 cmH20, kesimpulan JVP meningkat klien mempunyai
riwayat hypertensi yang lama dan menandakan adanya tanda gagal
jantung
 Perfusi pembuluh perifer kuku tampak agak kebiruan
 Thorax dan pernapasan
 Inspeksi
- Bentuk thorax simetris
- Stridor negatif
- Ada Dyspnea d’effort
- Sianosis (-)
 Palpasi : vocal premitus taktil ketika pasien
mengatakan aaa dan uuu
 Perkusi : pekak
 Auskultasi
- Suara napas terdengar ronchi basah ++/+
- Suara ucapan
- Suara tambahan ronchi basah
 Jantung
 Inspeksi
- Ictus cordis tidak terlihat
- Klien tidak menggunakan alat pacu jantung
 Palpasi
- Thrill negatif
 Perkusi
- Batas atas jantung SIC II
- Batas kanan jantung linea parastemalis dextra
- Batas kiri jantung 1 jarimedial linea
midelavicularis
- Batas bawah jantung SIC V
 Auskultasi
- Bunyi jantung I dan II regular, bising jantung (-)
- Bunyi jantung III irama gallop (-), murmur (-)
- HR 78x/m
- Bruit aorta (-)
- A. renalis (-)
- A. femoralis (-)
 Lengan dan tungkai
- Atrofi otot (-)
- Rentang gerak (+)
- Uji kekuatan otot 5 5
5 5
- Reflex fisiologis (+)
- Reflex patologi (R. Babinski kiri kanan(+)
- Cubing jari-jari (-)
- Varises tungkai (-)

 Columa vertebralis
 Inspeksi : tidak ada kelainan bentuk tulang
belakang
 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Nervus III,IV,VI :bentuk isikor, ukuran pupil 3 mm, reaksi
terhadap cahaya (+), fungsi pergerakan bola mata baik<
pandangan klien dapat mengikuti jari perawat.
 Nervus VIII : Romberg test (+)
 Nervus XI tes: (+)
 Kaku kuduk: (-)

E. KAJIAN POLA TIDUR DAN ISTIRAHAT


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
Klien mengatakan sebelum sakit klientidak ada masalah dengan tidur,
tidur malam 7-8 jam , klien biasa istirahat siang sekitar 1 jam
b. Keadaan sejak sakit
Istirahat klien sering terganggu karena batuk dimalam hari terutama saat
suhu dingin , bila sudah terbangun maka klien sulit untuk memulai tidur
kembali. Istirahat malam 3-4 jam , klien jarang tidur siang
2. Data obyektif
a. Observasi
- Expresi wajah mengantuk (+)
- Banyak menguap (+)
- Palpebrae inferior berwarna gelap (+)

F. KAJIAN POLA PERSEPSI KOGNITIF


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
Klien adalah orang yang ramah , aktif mengikuti semua kegiatan social
dan keagamaan di sekitar lingkungan tempat tinggal.
b. Keadaan sejak sakit
Klien jarang untuk mengikuti kegiatan social bila jauh dari rumahnya,
karena sesak bila berjalan jauh.

2. Data obyektif
a. Observasi
Klien tampak ramah terhadap perawat maupun orang sekitarnya.
b. Pemeriksaan fisik
 Penglihatan
- Cornea : bersih
- Visus : 03/060 (pemeriksaan menggunakan
jari)
- Pupil : (+)
- Lensa mata : agak keruh
 Pendengaran
- Pina : tidak ada kelainan
- Canalis :
- Membrane tympani
- Tes pendengaran
 Pengenalan rasa posisi pada gerakan lengan dan tungkai (+)
 Nervus I : klien dapat membedakan antara bau kopi, sabun ,
minyak kayu putih maupun parfum
 Nervus II : pada jarak 2 meter klien masih bisa melihat waktu
pada jam dinding.
 Nervus V sensorik: klien masih bisa membedakan antara rasa nyeri
dan suhu ketika dilakukan pemeriksaan tes rasa.
 N.VII sensorik: klien masih bisa membedakan rasa antara rasa
mani, asam dan asin
 N. VIII pendengaran: klien tidak bisa mendengar detik arloji
kurang dari ½ m.
 Tes Romberg : klien masih dapat berdiri tegak selama melakukan
tes

G. KAJIAN POLA PERSEPSI DAN KONSEP DIRI


1. Data subyektif
a. keadaan sebelum sakit
klien mengatakan sebelum sakit klien merupakan orang yang aktif dalam
berorganisasi baik masyarakat maupun gereja, klien merupakan salah satu
tua-tua adat di kampong sebelum sakit.
b. Keadaan sakit
Semenjak sakit klien sudah tidak bisa melakukan kegiatan aktif di
masyarakat maupun di gereja karena kondisi kesehatan klien yang
semakin menurun, klien senang meskipun sakit masih dikunjungi oleh
keluarga maupun orang sekampungnya.

2. Data obyektif
a. Observasi
 Kontak mata : selama wawancara berlangsung klien dapat
melakukan kontak mata dengan baik.
 Rentang perhatian: klien dapat memperhatikan dan menyimak apa
yang dibicarakan dengan baik.
 Suara dan cara bicara : jelas dan sopan
 Postur tubuh : saat wawancara duduk dengan sopan dan santai
b. Pemeriksaan fisik
 Tidak tampak kelainan bawaan.
 Abdomen :
- Bentuk rata, tidak tampak bayangan vena
maupun massa.
 Kulit :
- Lesi pada kulit (-)
 Tidak terdapat penggunaan protesa pada klien.

H. KAJIAN POLA PERAN DAN HUBUNGAN DENGAN SESAMA


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
klien mengatakan sebelum sakit klien merupakan orang yang aktif dalam
berorganisasi baik masyarakat maupun gereja, klien merupakan salah satu
tua-tua adat di kampong sebelum sakit.
b. Keadaan sesudah sakit
Semenjak sakit klien sudah tidak bisa melakukan kegiatan aktif di
masyarakat maupun di gereja karena kondisi kesehatan klien yang
semakin menurun, klien sudah tidak memegang jabatan atau peran penting
dalam organisasi kemasyarakatan maupun gerejawi.
2. Data obyektif
a. Observasi
Klien tampak sedih karena tidak bisa beraktivitas seperti sebelum sakit,
klien berharap bisa sembuh sehingga dapat melakukan aktivitas seperti
biasa, klien tampak ragu-ragu bila hendak meminta bantuan pada orang
lain.

I. KAJIAN MEKANISME KOPING DAN TOLERANSI TERHADAP STREs


1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
Klien mengatakan bila banyak pikiran klien sering membicarakan bersama
istri atau keluarganya.
b. Keadaan sejak sakit
Klien cemas dengan sakit dideritannya, klien takut penyakitnya tiba-tiba
kambuh bila dia sendirian dan tidak ada orang yang membantunya upaya
mengatasinya klien hanya berdoa agar tidak terlalu menyusahkan banyak
orang dengan kondisinya, klien berharap bisa sembuh dari penyakitnya
2. Data obyektif
a. Observasi
Klien tampak cemas, expresi wajah terlihat sedih ketika menceritakan
kondisinya kepada perawat.
b. Pemeriksaan fisik
 Tekanan darah :
- Berbaring : mmHg
- Duduk : mmHg
- Berdiri : mmHg
Keimpulan hypotensi ortostatik negatif
 HR : x/menit
 Kulit : tampak kering
J. KAJIAN POLA SISTEM NILAI KEPERCAYAAN
1. Data subyektif
a. Keadaan sebelum sakit
Klien percaya kepada Tuhan dan rajin beribadah setiap minggu
b. Keadaan sejak sakit
Klien percaya bahwa penyakit yang dideritanya adalah merupakan ujian
dari Tuhan dan klien hanya bisa berserah pada kehendak yang maha
kuasa.
2. Data obyektif
a. Observasi
Klien tampak pasrah dengan keadaan yang ada
FORMAT DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama /Umur : Tn. MS

Ruang /Kamar : unit I /Dahlia

No DIAGNOSA KEPERAWATAN NAMA JELAS

1 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Adriana Saija


penumpukan secret.

2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum. Adriana Saija

3. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan proses Adriana Saija
penyakit
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NAMA /UMUR : Tn. MS

RUANGAN/KAMAR : unit I/ wisma dahlia

TGL DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL TTD


KEPERAWATAN
Bersihan jalan napas Setelah dilakukan 1. Auskultasi Mengetahui adanya obstruksi
tidak efektif b/d tindakan keperawatn bunyi napas jalan napas yang menjadi
penumpukan secret. selama 3x8 jam manefestasi adanya bunyi napas
diharapkan adventius.
masalahan bersihan 2. Observasi
jalan napas teratasi karakteristik Dapat membantu menentukan
dengan kriteria hasil : batuk tindakan yang akan dilakukan
- RR dalam
batas normal
- Secret dapat 3. Atur posisi
nyaman sesuai Mempermudah fungsi
keluar
kebutuhan pernapasan dengan
- Klien tidak
pasien menggunakan gravitasi
batuk lagi
4. Dorong atau
bantu latihan
napas Mengatasi dan mengontrol
dyspnea dan menurunkan
5. Edukasi pasien jebakan udara
untuk banyak
konsumsi Membantu menurunkan
cairan sesuai kekentalan secret sehingga dapat
toleransi mudah dikeluarkan
jantung
1 2 3 4 5 6

6. Pemberian Mempercepat proses


terapi sesuai penyembuhan
indikasi yang
ada

Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan 1. Kaji Mempengaruhi pilihan


berhubungan dengan asuhan keperawatan kemampuan intervensi yang akan dilakukan
kelemahan umum. selama 3x8 jam pasien untuk
diharapkan klien melakukan
dapat meningkatkan aktivitas
partisipasi dalam normal catat
aktivitas dengan laporan
kriteria hasil kelemahan
menunjukkan keletihan.
peningkatan toleransi
Manifestasi upaya
aktivitas 2. Awasi TTV kardiopulmonal dari jantung dan
paru untuk membawa jumlah
oksigen ke jaringan

Mengurangi jumlah kebutuhan


3. Bantu pasien
oksigen yang diperlukan
dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADL
1 2 3 4 5 6

4. Bantu pasien Membantu memilih latihan


memilih gerak sesuai kemampuan pasien.
aktifitas sesuai
kemampuan

5. Motivasi Mendukung pasien untuk


keluarga untuk memenuhi kebutuhan ADL
membantu
ADL pasien

Gangguan pola Setelah dilakukan Mengetahui penyebab gangguan


istirahat dan tidur tindakan 1. Kaji faktor
yang istirahat dan tidur
berhubungan dengan keperawatan selama
proses penyakit 3x8 jam klien menyebabkan
mengatakan gangguan tidur
Dapat membantu proses istirahat
gangguan tidur dapat yang baik
diatsi dengan kriteria 2. Ciptakan
hasil : suasana
nyaman Memberikan rasa nyaman dan
- Pasien tidak
tidur terjaga rileks
3. Ajarkan
- Waktu tidur distraksi
6-8 jam relaksasi
- Susu mengandung vitamin,
kalsium dan magnesium yang
4. Kolaborasi membantu menstimulasi otot
dengan gizi dan memberikan efek relaksasi
untuk
pemberian
susu hangat
sebelum tidur
FORMAT PELAKSANAAN KEPERAWATAN

NAMA /UMUR : Tn. MS

RUANG/KAMAR : UNIT I/ WISMA DAHLIA

No Diagnosa Waktu Implementasi Nama jelas


keperawatan
1 2 3 4 5
1. Bersihan jalan napas 1. Melakukan Auskultasi buntyi napas paru
tidak efektif b/d klien
penumpukan secret. Hasil : bunyi Ronchi ++/-

2. Mengobservasi karakteristik batuk klien


Hasil : klien batuk berdahak aktif namun
lendir sulit untuk dikeluarkan.

3. Mengatur posisi sesuai kenyamanan pasien


Hasil : pasien duduk dengan sandaran bantal

4. Motivasi pasien untuk melakukan tiupan


panjang saat melakukan expirasi
Hasil : pasien mengerti dan melakukan
tindakan yang diminta

5. Motivasi pasien untuk banyak minum air


hangat.
Hasil : pasien mau mengikuti anjuran
perawat

6. Memberikan terapi sesuai indikasi yang


ada .
Hasil :
2. Intoleransi aktifitas - nebulizer ventolin 1 amp
berhubungan dengan - Caps sesak 1 tablet
kelemahan umum. - Levofloxacin 1 tablet

1. Mengkaji kemampuan klien dalam


melakukan aktifitas
Hasil : klien hanya dapat melakukan
aktifitas ringan dengan pelan.

2. Mengobservasi TTV pasien


Hasil : TD 140/80mmHg, N.
88x/m,RR.24x/m

3. Membantu klien dalam melakukan ADL


Hasil : membantu klien mandi, menyiapkan
pakaian dan makanan .

4. membantu pasien memilih aktifitas sesuai


kemampuan.
Hasil : pasien dapat mandi dan makanan
dengan mandiri asalkan dilakukan secara
perlahan
3. Gangguan pola
istirahat dan tidur
5. Memotivasi keluarga untuk membantu ADL
berhubungan dengan
pasien
proses penyakit
Hasil : keluarga bersedia membantu klien
dalam melakukan ADL

1. Mengkaji faktor yang menyebabkan


gangguan tidur pada klien
Hasil : klien terganggu tidurnya karena
sering batuk pada malam hari terutama bila
cuaca dingin

2. Menciptakan suasana nyaman


Hasil : membatasi jumlah kunjungan
keluarga pada waktu jam tidur klien baik
siang maupun malam.

3. Mengajarkan klien teknik relaksasi napas


dalam
Hasil : klien mau melakukan teknik
relaksasi bila kesulitan tidur

4. Melakukan kolaborasi dengan petugas gizi


untuk pemberian susu hangat pada pasien
sebelum.
Hasil : implementasi telah dilaksanakan
FORMAT EVALUASI KEPERAWATAN

NAMA /UMUR : Tn. MS

RUANG/KAMAR : UNIT I/ WISMA DAHLIA

Tanggal No EVALUASI (SOAP) Nama jelas


DX
1 2 3 4
1 S:
- pasien mengatakan sesak berkurang,
- batuk lendir (+), lendir sulit keluar

O:
- pasien lebih tampak tenang ,
- TTV : TD 140/80mmHg, N : 90x/m, RR.24x/m

A:
- Masalah belum teratasi
P:
- Intervensi dilanjutkan

2.
S:-
- Pasien mengatakan bisa melakukan aktifitasnya secara mandiri asalkan
secara perlahan2.
O:
- Aktifitas bisa dilakukan dengan bantuan minimal oleh perawat
A:
- Masalah belum teratasi
P:
3. - Intervensi dilanjutkan

S:
- Pasien mengatakan sudah bisa tidur dengan nyenyak
- Batuk di malam hari sesekali
O:
- Klien tampak segar dan tidak mengantuk di siang hari
A:
- Masalah teratasi sebagian
P:
- Intervensi dilanjutkan

Anda mungkin juga menyukai