Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

Tugas Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan


Medikal Bedah

Disusun oleh :

SIFA BADRIYANSAH

PRODI STUDI PROFESI NERS REGULER


STIKES KHARISMA KARAWANG
JL. PANGKAL PERJUANGAN KM. 1 BY PASS KARAWANG
41316 TELP. (0267) 412480, FAX : (0267) 410842

TAHUN AJARAN 2020-2021


A. Konsep Teori

a. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas
karena bronkitis kronis atau emfisema.Obstruksi tersebut umumnya
bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian
bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk
hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3
bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2
tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

b. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.

Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan


penyakit paru obstruksi kronis adalah :

1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15%
perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan
mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap
rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama
perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen
alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan
awal emfisema.

2
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak
berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang
bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa.
Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia
mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan
peningkatan resiko morbiditas PPOK.

c. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas
dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini ,
kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat
jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang
dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang
lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi
menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena
metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru.Alveoli yang
berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan
penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara
permanen akibat batuk hebat.Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi
tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi
kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan
dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru

3
sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran
udara.Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah.Keseimbangan
normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo
menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan
ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental
atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi
perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan
perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida.Obstruksi
jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang
meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-
paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida.
Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida
meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya
pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme
anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan
menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang
yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah
permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan
patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis
respiratori.Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi
vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary
mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan
tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.

4
d. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas.

Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah


malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin
menjadi di saat pagi hari.Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi
nafas pendek akut.Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami
perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan


berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut
tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah
tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien
mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan
tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem
(GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak

5
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.

e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,
untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma,
penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi
kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit
kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun
pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema),
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk
meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.

6
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian
gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis
vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam
mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi
bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
f. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1) Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi,
polusi udara.
2) Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan
jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B.
Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut
terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-
10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan
antibiotic yang lebih kuat.

7
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan
karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap
CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan
atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3) Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang,
ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian
eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi
saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini
dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal
nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja,
merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan
sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

8
2. Terapi non farmakologi
1) Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan,
rehabilitasi psikososial
2) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK
derajat IV, AGD.
a) PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa
hiperkapnia
b) PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi
pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.
3) Nutrisi
4) Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís
paru atau gerakan mekanik paru)
B. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Riwayat atau faktor penunjang :
● Merokok merupakan faktor penyebab utama.
● Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
● Riwayat alergi pada keluarga
● Riwayat Asthma pada anak-anak.
2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
● Alergen.
● Stress emosional.
● Aktivitas fisik yang berlebihan.
● Polusi udara.
● Infeksi saluran nafas.
3. Pemeriksaan fisik :
a) Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
● Peningkatan dyspnea
● Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot
abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping
hidung).

9
● Penurunan bunyi nafas.
● Takipnea.
b) Gejala yang menetap pada penyakit dasar
1) Asthma
● Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan
perasaan dada seperti terikat.
● Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat
terdengar tanpa stetoskop.
● Pernafasan cuping hidung.
● Ketakutan dan diaforesis.
2) Bronkhitis
● Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-
abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari.
● Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
● Sesak nafas
3) Bronkhitis (tahap lanjut)
● Penampilan sianosis
● Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan
oleh edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari
kor pulmunal).
4) Emphysema
● Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest”
(diameter thoraks anterior posterior meningkat sebagai
akibat hiperinflasi paru-paru).
● Fase ekspirasi memanjang.
● Emphysema (tahap lanjut)
● Hipoksemia dan hiperkapnia.
● Penampilan sebagai “pink puffers”

4. Pemeriksaan diagnostik
a) Test faal paru

10
● Kapasitas inspirasi menurun
● Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis
dan asthma
● FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
● FVC awal normal ® menurun pada bronchitis dan astma.
● TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emphysema).
b) Transfer gas (kapasitas difusi).
● Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif
baik.
● Pada emphysema : area permukaan gas menurun.
● Transfer gas (kapasitas difusi).menurun
c) Darah :
● Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
● Jumlah darah merah meningkat
● Eo dan total IgE serum meningkat.
● Analisa Gas Darah ® gagal nafas kronis.
● Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun.
● Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada
cor pulmunale.
d) Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada
astma.PH normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder.
e) Sputum :
● Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi
campuran.
● Kuman patogen >> :
o Streptococcus pneumoniae.
o Hemophylus influenzae.
o Moraxella catarrhalis.

11
f) Radiologi :
● Thorax foto (AP dan lateral).
● Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan
area paru-paru.
g) Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale
pada ekspirasi kuat.
h) EKG.
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise
jantung.Bila sudah terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi
aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II, III dan
aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di
V6 V1 rasio R/S kurang dari 1.Sering terdapat RBBB
inkomplet.
5. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet
harian.
a) Aktivitas dan Istirahat
● Gejala
Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernafas.Perlu tidur dalam posisi duduk cukup tingi.
Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas
atau latihan
● Tanda
Kelelahan, gelisah, insomnia, kelemahan
umum/kehilangan masa otot
b) Sirkulasi
● Gejala
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
● Tanda
Peningkatan tekanan darah, Peningkatan frekuensi jantung,
Distensi vena leher, sianosis perifer
c) Hygiene

12
● Gejala
Penurunan Kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas tubuh
● Tanda
Kebersihan buruk, bau badan
d) Pernafasan
● Gejala
Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau
episode serangan asthma, rasa dada
tertekan/ketidakmampuan untuk bernafas.Batuk menetap
dengan produksi sputum setiap hari selama 3 bulan
berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2 tahun.Sputum
hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak (bronchitis),
episode batuk hilang timbul dan tidak produktif
(empisema), riwayat Pneumonia, riwayat keluarga
defisiensi alfa antitrypsin.
● Tanda
Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fas ekspirasi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (empisema),
pengguanaan otot Bantu pernafasan, Dada barell chest,
gerakan diafragma minimal. Bunyi nafas, Ronki, wheezing,
redup perkusi hypersonor pada area paru (udara terjebak,
dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan),
Kesulitan bicara 94 – 5 kalimat 0, Sianosis bibir dan dasar
kuku, jari tabuh, Seksualitas, Libido menurun.
e) Interaksi sosial
● Gejala
Hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukung
● Tanda
Keterbatasan mobilitas fisik, Kelalaian hubungan antar
keluarga
b. Diagnosa Keperawatan

13
1. Gangguan Pertukaran Gas
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
3. Pola Napas Tidak Efektif

c. Intervensi Keperawatan
Diagnosa : Gangguan Pertukaran Gas

Intervensi utama

1. Pemantauan respirasi

Observasi :

● Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


● Monitor pola napas (seperti bradipneu, takipneu,
hipervemtilasi, kussmaul, cheyne-stokes, buot, ataksik)
● Monitor kemampuan batuk efektif
● Monitor adanya produkdi sputum
● Monitor adanya sumbatan jalan napas
● Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
● Auskultasi bunyi napas
● Monitor saturasi oksigen
● Monitor nilai AGD
● Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik :

● Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


● Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :

● Jelaskan prosedur dan tujuan pemantauan


● Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

14
2. Terapi oksigen

Observasi :

● Monitor kecepatan aliran oksigen


● Monitor posisi alat terapi oksigen
● Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
● Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, AGD), jika
perlu
● Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
● Monitor tanda-tanda hipoventilasi
● Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan etelektasis
● Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
● Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen

Terapeutik :

● Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu


● Pertahankan kepatenan jalan napas
● Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
● Berikan oksigen tambahan, jiak perlu
● Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
● Gunakan perasngkat oksigen yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien

Edukasi :

● Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di


rumah

Kolaborasi :

● Kolaborasi penentuan dosis oksigen


● Kolaborasi pengguanaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur

15
Diagnosa : Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

Intervesi Utama

1. Latihan Batuk EfektiF


Rasional : Melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk
secara efektif untuk membersihkan laring, trakea dan bronkiolus
dari sekret atau benda asing di jalan napas

Observasi

▪ Identifikasi kemampuan batuk


▪ Monitor adanya retensi sputum
▪ Monitor input dan output cairan

Terapeutik

▪ Atur posisi semi-fowler atau fowler


▪ Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
▪ Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi

▪ Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


▪ Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan
bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
▪ Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali

Kolaborasi

▪ Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

2. Manajemen Jalan Napas


Rasional : Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas

Observasi

16
▪ Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
▪ Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering)
▪ Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

▪ Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-


lift (Jawa-thrust, jika curiga trauma servikal)
▪ Posisikan semi-fowler atau fowler
▪ Berikan minum hangat
▪ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
▪ Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
▪ Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
▪ Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill

Edukasi

▪ Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi


▪ Anjurkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

▪ Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,


jika perlu

3. Pemanatuan Respirasi
Rasional : Mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran gas.

Observasi

▪ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas

17
▪ Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
▪ Monitor kemampuan batuk efektif
▪ Monitor adanya produksi sputum
▪ Monitor adanya sumbatan jalan napas
▪ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
▪ Auskultasi bunyi napas
▪ Monitor saturasi oksigen
▪ Monitor nilai AGD

Terapeutik

▪ Atur interval pemantuan respirasi sesuai kondiri pasien


▪ Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

▪ Jelaskan tujuan dari prosedur pemantauan


▪ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Diagnosa : Pola Napas Tidak Efektif


1. Manajemen Jalan Nafas
Observasi
● Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas).
● Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
wheezing, rhonki kering)
● Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
● Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
● Posisikan semi-Fowler atau Fowler
● Berikan minum hangat
● Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

18
● Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
● Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
● Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
● Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
● Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
● Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

2. Pemantauan Respirasi
Observasi
● Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
● Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes, Biot, ataksik)
● Monitor kemampuan batuk efektif
● Monitor adanya produksi sputum
● Monitor adanya sumbatan jalan napas
● Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
● Auskultasi bunyi nafas
● Monitor saturasi oksigen
● Monitor nilai AGD
● Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
● Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
● Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
● Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
▪ Informasikan hasil pemantauan

19
DAFTAR PUSTAKA

Brashers, V.L. (2007). Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan


Manajemen. Jakarta: EGC
Mansjoer, A (2000) Kapita Selekta Kedokteran jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Reeves, CJ, Roux G and Lockhart R. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Buku 1
(Penerjemah Joko Setyono). Jakarta : Salemba Medika
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep
Klinis Proses - Proses Penyakit.EGC. Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia :
Jakarta
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia :
Jakarta

20
21

Anda mungkin juga menyukai