Disusun oleh:
KANA SABELA ROSYAD
SN211074
I. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Menurut Smeltzer (2017), Penyakit paru obstruksi kronik adalah
klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronik,
bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk
dan keluar udara paru-paru.
Menurut Barbara (2018), Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu
penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya
ialah asma, bronkitis kronis dan emfisema pulmonum.
Kesimpulannya, penyakit paru-paru obstruksi kronis merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
2. Etiologi
Menurut Darmojo (2019), Etiologi dari penyakit ini belum diketahui.
Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada
penderita antara lain:
1. Merokok yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK
adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling
dominan.
3. Manifestasi klinik
Menurut Putra (2017) Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) adalah seperti susah bernapas, kelemahan badan, batuk kronik,
nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya sputum dalam
saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala yang paling umum
dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau
dyosnea. Pada tahap lanjutan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita sedang
istirahat atau tidur.3
Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini
adalah sesak nafas yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Internasional (2018), pasien
dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami perubahan
bentuk dada. Perubahan bentuk yang terjadi yaitu diameter bentuk dada
antero-posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest.
Kesulitan bernafas juga terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) yaitu bernafas dengan menggunakan otot bantu pernafasan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi hipertropi otot dan pelebaran di
sela-sela iga atau daerah intercostalis. Bila telah mengalami gagal jantung
kanan, tekanan vena jugularis meninggi dan akan terjadi edema pada
ekstremitas bagian bawah. Hal ini menandakan bahwa terlah terjadi
penumpukan cairan pada tubuh akibat dari gagalnya jantung memompa
darah dan sirkulasi cairan ke seluruh tubuh. Palpasi tektil fremitus tada
emfisema akan teraba lemah, perkusi terdengar suara hipersonor, batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah.
Bunyi nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi pada waktu nafas biasa
atau ekspirasi paksa. Ekspirasi akan terdengar lebih panjang dari pada
inspirasi dan bunyi jangtung juga terdengar menjauh.
4. Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoksemia adalah kondisi turunya konsentrasi oksigen dalam darah
arteri. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia
dapat terjadi jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau
hipoventilasi terjadi karena daya regang paru menurun atau atelektasis
(Corwin, 2019).
b. Asidosus Respiratori
Timbul Akibat dari penoingkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea
(Somantri, 2017). Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat
pernapasan misalnya (akibat obat, anestesi, penyakit neurologi) kelainan
atau penyakit yang mempengaruhi otot atau dinding dada, penurunan
area pertukaran gas, atau ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan
obstruksi jalan napas (Warsi et al., 2016).
c. Infeksi Respiratori
Infeksi Pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus
dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya
dyspnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru, harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat). Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering
kali tidak berspons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan disertai vena leher sering kali terlihat pada klien
dengan asma (Somantri, 2017).
3. Perencanaan keperawatan
a. Latihan Batuk Efektif (I.01006)
1) Observasi
Identifikasi kemampuan batuk
Monitor adanya retensi sputum
Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah dan karakteristik)
2) Terapeutik
Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
Buang sekret pada tempat sputum
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
b. Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
1) Observasi
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2) Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
Posisikan semi-Fowler atau Fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
Lakukan hiperoksigenasi sebelum
Penghisapan endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
Berikan oksigen, jika perlu
3) Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
Ajarkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan fase akhir dalam proses keperawatan
untuk dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan (Tarwoto
and Wartonah, 2015). Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan
dalam bentuk SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Planing).
a. Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien.
b. Objective, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga.
c. Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasanya ditulis
dalam bentuk masalah keperawatan).
d. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
analisis.
Merokok
Genetik: Defisiensi
antitrypsin alfa-1
Mengandung zat – zat berbahaya
Mengandung radikal bebas
Penurunan
netralisasi elastase Faktor lingkungan
Peningkatan pelepasan Pelepasan faktor PeningkatanPeningkatan apoptosis dan nekrosis dari sel yang terpapar
pelepasan oksidan
elastase kemotaktik neutrofil
Nye
ri
Penurunan
Kompensasi nafsudengan
tubuh makanpeningkatan RR
batuk jalanHipoksemia
Merangsang refleksObstruksi napas
Gangguan Pertukaran Gas
Gangguan pertukaran O2 dan CO2 dari dan ke paru
Ketidakefektifan Pola Napas
Pe↓ perfusi O2 ke jaringan
Penurunan berat badan
Mengantuk, lesu Bersihan Jalan Napas
Ketidakefektifan
Sesak napas Ganggu
Intoleran Aktivitas Timbul reflek batuk
Penurunan asupan O2 an Pola
Keletihan Tidur
Ketidakseimbangan Nutrisi:
Tidur tidak efektif
Kurang Dari Kebutuhan
Gambar 2. 1 Pathway