Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN PPOK

DI RUANG IGD RUMAH SAKIT INDRIATI SOLO BARU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Profesi Ners

Disusun oleh:
KANA SABELA ROSYAD
SN211074

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM


PROFESI FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA
SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN PPOK
DI RUANG IGD RUMAH SAKIT INDIRIATI SOLO BARU

I. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Menurut Smeltzer (2017), Penyakit paru obstruksi kronik adalah
klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronik,
bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk
dan keluar udara paru-paru.
Menurut Barbara (2018), Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu
penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya
ialah asma, bronkitis kronis dan emfisema pulmonum.
Kesimpulannya, penyakit paru-paru obstruksi kronis merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.

2. Etiologi
Menurut Darmojo (2019), Etiologi dari penyakit ini belum diketahui.
Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada
penderita antara lain:
1. Merokok yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK
adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling
dominan.

3. Manifestasi klinik
Menurut Putra (2017) Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) adalah seperti susah bernapas, kelemahan badan, batuk kronik,
nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya sputum dalam
saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala yang paling umum
dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau
dyosnea. Pada tahap lanjutan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita sedang
istirahat atau tidur.3
Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini
adalah sesak nafas yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Internasional (2018), pasien
dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami perubahan
bentuk dada. Perubahan bentuk yang terjadi yaitu diameter bentuk dada
antero-posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest.
Kesulitan bernafas juga terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) yaitu bernafas dengan menggunakan otot bantu pernafasan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi hipertropi otot dan pelebaran di
sela-sela iga atau daerah intercostalis. Bila telah mengalami gagal jantung
kanan, tekanan vena jugularis meninggi dan akan terjadi edema pada
ekstremitas bagian bawah. Hal ini menandakan bahwa terlah terjadi
penumpukan cairan pada tubuh akibat dari gagalnya jantung memompa
darah dan sirkulasi cairan ke seluruh tubuh. Palpasi tektil fremitus tada
emfisema akan teraba lemah, perkusi terdengar suara hipersonor, batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah.
Bunyi nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi pada waktu nafas biasa
atau ekspirasi paksa. Ekspirasi akan terdengar lebih panjang dari pada
inspirasi dan bunyi jangtung juga terdengar menjauh.

4. Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoksemia adalah kondisi turunya konsentrasi oksigen dalam darah
arteri. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia
dapat terjadi jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau
hipoventilasi terjadi karena daya regang paru menurun atau atelektasis
(Corwin, 2019).
b. Asidosus Respiratori
Timbul Akibat dari penoingkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea
(Somantri, 2017). Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat
pernapasan misalnya (akibat obat, anestesi, penyakit neurologi) kelainan
atau penyakit yang mempengaruhi otot atau dinding dada, penurunan
area pertukaran gas, atau ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan
obstruksi jalan napas (Warsi et al., 2016).
c. Infeksi Respiratori
Infeksi Pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus
dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya
dyspnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru, harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat). Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering
kali tidak berspons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan disertai vena leher sering kali terlihat pada klien
dengan asma (Somantri, 2017).

5. Patofisiologi dan Pathway


Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran
nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau
inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan
normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah
yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini
maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai
peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu
partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran
pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut
mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga
menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi
mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga
merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi
hyperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus
yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan
terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk
kronis yang produktif.
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa
rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus
yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain
membentuk abnormal largeairspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi
anti-protease pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi
erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan
obstruksi ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti
pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan
hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang
menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis
emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan
emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus
dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas permukaan
alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan
daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok.
6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Berhenti Merokok
b. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator (Aminophilin
dan adrenalin)
c. Pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala yang muncul
d. Penanganan terhadap komplikasi – komplikasi yang timbul
e. Pengobatan oksigen bagi yang memerlukan O2 harus diberikan dengan
aliran lambat : 1-3 liter / menit f. Mengatur posisi dan pola pernafasan
untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap
f. Memberi pengajaran tentang teknik-tekni relaksasi dan cara-cara untuk
menyimpan energy
g. Tindakan rehabilitasi
1) Fisioterapi terutama ditujukan untuk membantu pengeluaran sekret
bronkus
2) Latihan pernafasan untuk melatih penderita agar bias melakukan
pernafasan yang paling efektif baginya 18 Poltekkes Kemenkes
Padang
3) Latihan dengan beban olahraga tertentu dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmaninya
4) Vocational suidance : usaha yang dilakukan terhadap penderita agar
kembali dapat mengerjakan pekerjaan seperti semula.
5) Pengelolaan psikososial , terutama ditujuakn untuk penyesuaian diri
penderita dengan penyakit yang diseritanya.
Penatalaksanaan Keperawatan
a. Mencapai bersihan jalan nafas
1) Pantau adanya dyspnea dan hipoksemia pada pasien.
2) Jika bronkodilator atau kortikosteroid diprogramkan berikan obat
secara tepat dan waspadai kemungkinan efek sampingnya.
3) Pastikan bronkospasme telah berkurang dengan mengukur
peningkatan kecepatan aliran ekspansi dan volume (kekuatan
ekspirasi, lamanya waktu untuk ekhalasi dan jumlah udara yang
diekhalasi) serta dengan mengkaji adanya dyspnea dan memastikan
bahwa dyspnea telah berkurang.
4) Dorong pasien untuk menghilangkan atau mengurangi semua iritan
paru, terutama merokok sigaret.
5) Fisioterapi dada dengan drainase postural, pernapasan bertekanan
positif intermiten, peningkatan asupan cairan.
b. Meningkatkan pola nafas
1) Latihan otot inspirasi dan latihan ulang pernapasan dapat membantu
meningkatkan pola pernafasan
2) Latihan pernafasan diafragma dapat mengurangi kecepatan respirasi
3) Memantau dan menangani komplikasi
3) Kaji pasien untuk mengetahui adanya komplikasi
4) Pantau perubahan kognitif, peningkatan dyspnea, takipnea dan
takikardia
5) Pantau nilai oksimetri nadi dan berikan oksigen sesuai kebutuhan
6) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi atau
komplikasi lain dan laporkan perubahan pada status fisik atau kognitif
(Susan, 2018)

II. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses
keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan
kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses
keperawatan. Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada diagnosa
keperawatan, dan tanpa diagnose keperawatan, tidak ada tindakan
keperawatan mandir (Herman, 2015) Pengkajian meliputi: Identitas Klien
meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, nomer register, tanggal masuk Rumah
Sakit, diagnosa medis.
a. Pengkajian Primer
Menurut Paul Krisanty (2016) Setelah klien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan
dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing, Circulation, Disability
Limitation, Exposure (ABCDE).
1) Airway : Penilaian kelanaran airway pada klien yang mengalami
fraktur meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
dapat disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus melindungi vertebral servikal karena kemungkinan
patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi
leher.
2) Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjamin ventilasi
yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka uantuk melihat
pernapasan yang baik.
3) Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi
area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling
dekat dengan perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural,
parasardial, atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya
cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan
fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda- tanda
syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi
halus.
4) Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah
tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen dan penurunan
perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan
kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan
ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
5) Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika
perlu dapat membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk
melakukan pemeriksaan fisik thoraks. Di Rumah Sakit klien harus di
buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi klien. Setelah pakain
dibuka, penting agar klien tidak kedinginan klien harus diberikan
slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena.
b. Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada klien cidera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cidera - cidera lain yang mungkin terjadi pada klien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila klien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat SAMPLE
dari klien, yaitu Subyektif, Allergies, Medication, Past Medical History,
Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme
kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh klien, terutama jika kita
masih curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary survey, Selain
riwayat SAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum klien sampai di rumah sakit.
1. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada klien fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lama serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri di
gunakan:
a. Provoking Incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presitasi nyeri.
b. Quality Of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan. Apakah
seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
c. Region : Apakah rasaa sakit bias reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scalr) Of Pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau menerangkkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini biasa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehinga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan member
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit -
penyakit tersebut seperti kangker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sulit untuk menyambung.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang nerhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan
dan kangker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : dikaji GCS klien
b. System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
c. Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada
nyeri kepala
d. Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek
menelan.
e. Muka : kaji ekspresi wajah klien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f. Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi
perdarahan).
g. Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran.
h. Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping
hidung.
i. Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil,
perdarahan gusi, kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j. Paru :
Inspeksi : kaji ada tidaknya pernapasan meningkat. Palpasi : kaji
pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. Perkusi : kaji
ada tidaknya redup atau suara tambahan. Auskultasi : kaji ada
tidaknya suara nafas tambahan.
k. Jantung
Inspeksi : kaji ada tidaknya iktus jantung. Palpasi : kaji ada
tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak. Perkusi : kaji
suara perkusi pada jantung Auskultasi : kaji adanya suara tambahan
l. Abdomen
Inspeksi : kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia Auskultasi : kaji
suara Peristaltik usus klien Perkusi : kaji adanya suara Palpasi : ada
atau tidak nyeri tekan
m. Ekstremitas
Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile,
perubahan bentuk tulang
Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillary refile, dan
perubahan bentuk tulang
2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Sekresi yang
tertahan D.0001
b. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan Hambatan upaya napas
(mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan) D.0005

3. Perencanaan keperawatan
a. Latihan Batuk Efektif (I.01006)
1) Observasi
 Identifikasi kemampuan batuk
 Monitor adanya retensi sputum
 Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
 Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah dan karakteristik)
2) Terapeutik
 Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
 Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
 Buang sekret pada tempat sputum
3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
 Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
b. Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
1) Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu

3) Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan fase akhir dalam proses keperawatan
untuk dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan (Tarwoto
and Wartonah, 2015). Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan
dalam bentuk SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Planing).
a. Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien.
b. Objective, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga.
c. Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasanya ditulis
dalam bentuk masalah keperawatan).
d. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
analisis.

III. DAFTAR PUSTAKA


Nurmayanti, N., Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Azzam, R. (2019). Pengaruh
Fisioterapi Dada, Batuk Efektif dan Nebulizer terhadap Peningkatan
Saturasi Oksigen dalam Darah pada Pasien PPOK. Jurnal Keperawatan
Silampari, 3(1), 362-371.
Prastika, D. (2018). Efektifitas Pemberian Posisi Fowler dan Semifowler
Terhadap Skala Sesak Nafas Pada Pasien PPOK Saat Menjalani Terapi
Nebulizer Di RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
Rumampuk, E., & Thalib, A. H. (2020). Efektifitas terapi nebulizer terhadap
bersihan jalan napas tidak efektif pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Jurnal Mitrasehar, 10(2), 250–259.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
9

Merokok
Genetik: Defisiensi
antitrypsin alfa-1
Mengandung zat – zat berbahaya
Mengandung radikal bebas
Penurunan
netralisasi elastase Faktor lingkungan

Induksi aktivasi makrofag dan leukosit


Peningkatan stress oksidatif
Polusi udara

Peningkatan pelepasan Pelepasan faktor PeningkatanPeningkatan apoptosis dan nekrosis dari sel yang terpapar
pelepasan oksidan
elastase kemotaktik neutrofil

Peningkatan jumlah neutrofil didaerah yang terpapar


Cedera Sel Respon Inflamasi Cedera Sel
Kolaps saluran napas kecil saat ekspirasi
Penumpukan lender dan sekresi berlebihan PPOK

Hipersekresi mukus Lisis dinding alveoli Fibrosa paru


Emfisema

Bronkitis Kerusakan alveolar Obstruksi paru

Nye
ri
Penurunan
Kompensasi nafsudengan
tubuh makanpeningkatan RR
batuk jalanHipoksemia
Merangsang refleksObstruksi napas
Gangguan Pertukaran Gas
Gangguan pertukaran O2 dan CO2 dari dan ke paru
Ketidakefektifan Pola Napas
Pe↓ perfusi O2 ke jaringan
Penurunan berat badan
Mengantuk, lesu Bersihan Jalan Napas
Ketidakefektifan
Sesak napas Ganggu
Intoleran Aktivitas Timbul reflek batuk
Penurunan asupan O2 an Pola
Keletihan Tidur
Ketidakseimbangan Nutrisi:
Tidur tidak efektif
Kurang Dari Kebutuhan

(Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016)

Gambar 2. 1 Pathway

Anda mungkin juga menyukai