Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIK (PPOK)

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh :

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA 1


PRODI DII KEPERAWATAN

2020/2021
A. KONSEP PENYAKIT

1. Pengertian

Penyakit paru-paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru paru yang berlangsung lama (Grace &
Borlay, 2011) yang ditandai oleh adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang berbahaya (Padila, 2012). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan
respon inflamasi paru yang abnormal terhadap pertikel ataupun gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus dan perubahan pada sistem
pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2013). Decramer (2012), Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dikarakteristikan dengan adanya
sumbatan jalan napas secara progresive dan hanya sebagian yang bisa kembali normal,
terjadinya inflamasi pada jalan napas, dan berpengaruh terhadap sistemik. Sari dan
Suhartono (2016), PPOK adalah penyakit paru kronik yang dicirikan oleh hambatan
aliran udara khususnya ekspirasi yang bersifat kronis, progresif dan semakain memburuk
dan tidak dapat diubah. Li dan Huang (2012), COPD atau PPOK adalah penyakit
inflamasi jalan napas yang dikarakteristikan dengan pembatasan jalan napas yang bersifat
tidak bisa kembali dan mengakibtkan hipoksemia dan hipercapnea.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (Kemenkes, Keputusan Menteri
Kesehatan repoblik Indonesia no 6 1022/menkes/sk/XI/ 2008 tentang pedoman
pengendalian penyakit paru obstruktif kronik,2008)

Adapun pendapat lain mengenai PPOK adalah kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru
(Smeltzer & Bare, 2008) yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Edward. 2012).
2. Jenis

Ada beberapa Jenis yang dapat di golongkan menjadi Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Yaitu, Sebagai berikut :

1. Bonkitis kronis
Adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hiperproduksi mukus dari
percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang menahun. Simtom tersebut
terus terdapat setiap hari selama 2 tahun berturut-turut. Hal ini terdapat pada TBC
paru, tumor paru, dan abses paru (Muwarni,2011).
2. Emfisema
Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang udara distal dari
bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan dan kerusakan di dinding
alveoli (Muwarni, 2011).
3. Bronkitis emfisema
Adalah campruran bronkitis menahun dan emfisema (Muwarni, 2011).
4. Asma kronis dan bronkitis asmatis
 Asma menahun pada asma bronkial menahun yang menunjukan adanya
obstruksi jalan nafas.
 Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian menunjukan
tanda-tanda hiperaktifitas bronkus, yang di tandai dengan sesak nafas dan
wheezing (Muwarni, 2011).
5. Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM (Muwarni,2011).

3. Klasifikasi

Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif Lung
Disiase (GOLD) 2011.

1. Derajat I (PPOK Ringan) : Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi
tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita
PPOK.
2. Derajat II (PPOK Sedang) : Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan
kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya
pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
3. Derajat III (PPOK Berat) : Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa
lelah dan serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup
pasien.
4. Derajat IV (PPOK Sangat Berat) : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal
napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini
kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa
biasanya disertai gagal napas kronik.

4. Etiologi

Menurut (Wahid & Suprapto, 2013) ada tiga faktor yang mempengaruhi
timbulnya masalah berisihan jalan nafas tidak efektif pada pasien PPOK yaitu rokok,
infeksi dan polusi udara.

1. Rokok
Menurut (Danusantoso, 2013) Merokok adalah salah satu penyebab utama
terjadainya PPOK. Komponen dari asap rokok dapat menyebabkan iritasi pada
jalan nafas. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar
mukus bronkus. 10
2. Infeksi
Eksasebasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang
kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling
banyak adalah Haemophilius influenza dan Streptococcus pneumonia
3. Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab bersihan jalan
nafas tidak efetif pada PPOK, tetapi bila ditambah merokok risiko akan lebih
tinggi. Zat – zat kimia juga dapat menyebabkan PPOK adalah zat – zat pereduksi
O2, zat – zat pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.

5. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami 7 kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. (Jackson, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang
di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps. (Grace & Borley, 2011).

6. Komplikasi

1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat
7. Pemeriksaan Diagnostik

1. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru ,flattened diafragma,


peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae
(emfisema), peningkatan suara bronkovaskuler (bronkitis), normal ditemukan
saat periode remisi (asma).
2. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek terapi, misalnya
bronkodilator.
3. Total Lung Capacity (TLC): meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada
asma, namun menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC: rasio tekanan volume eksperasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada beonkitis dan asma
6. Arterial Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis sering kali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningat (bronkitis kronis dan
emfisema) tetepi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang
atau asma)
7. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronkitis)
8. Darah Lengkap: terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil
(asma)
9. Kimia Darah: alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer
10. Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi patogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menemukan penyakit
kaganasan atau alergi
11. Electrokardiogram (ECG): deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma
berat), artial disritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan AVF
panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema) dan aksis QRS ventrikal
(emfisema)
12. Exercise ECG, Stress Test: membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan/evaluasi program.(Arif Muttaqin, 2008; 158)
8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis dari PPOM adalah


1. Berhenti merokok harus menjadi prioritas
2. Bronkodilatori (β-agonis dan antiklolinergik) bermanfaat pada 20- 40% kasus
3. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam memperpanjang usia
pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa
dan FEV 1 sebesar 1,5 L)
4. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan manfaat simtomatik
yang singnifikan pada pasien dengan penyakit sedang – berat.
5. Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan dengan
meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan potensijalan nafas
9. Prognosis

Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara
permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam
waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh karena
kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru (Tomas, 2008).
Prognosis paien pasien PPOM tergantung juga dengan berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
( konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus
kasus yang berat dan tidak diobatiprognosisnya jelek ,survivalnya tidak akan lebih
dari 5-10 tahun

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Identitas, meliputi: nama, tempat tanggal Iahir, umur, berat badan Iahir, jenis
kelamin, anak keberapa, jumlah saudara dan identitas orang tua
b. Keluhan utama
c. Riwayat keperawatan/ faktor predisposisi/ faktor pencetus serangan:
 Sudah berapa lama klien mengalami kesulitan pernapasan?
 Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
 Berapa jauh batasan klien terhadap toleransi aktivitas?
 Pada saat apa klien mengeluh paling letih & sesak?
 Apakah kebiasaan makan & tidur terpengaruh?
 Apa yang klien ketahui tentang penyakit & kondisinya?
1) Riwayat atau faktor penunjang :
- Merokok (faktor penyebab utama)
- Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat
- Riwayat alergi pada keluarga
- Riwayat asma pada anak-anak
2) Riwayat atau adanya factor pencetus eksaserbasi :
- Alergen
- Stress emosional
- Aktivitas fisik yang berlebihan
- Polusi udara
- Infeksi saluran napas
d. Pemeriksaan fisik
 Bagaimana keadaan umum & tingkat kesadaran?
 Berapa frekuensi nadi & pernapasan klien?
 Apakah terdapat kontraksi otot-otot abdomen saat inspirasi?
1) Manifestasi klinik PPOM
- Peningkatan dispnea
- Penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (retraksi otot-ototabdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung)
- Penurunan bunyi napas
- Takipnea
- Gejala yang menetap pada penyakit dasar
a) Asthma
 Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada
seperti terikat
 Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop
 Pernapasan cuping hidung
 Ketakutan dan diaforesis
b) Bronkhitis
 Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang
biasanya terjadi pada pagi hari
 Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing
 Sesak napas
 Bronkhitis (tahap lanjut)
 Penampilan sianosis
 Pembengkakan umumatau “blue bloaters” (disebabkan olehedema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari korpulmunal)
c) Emfisema
 Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter
thoraks anterio posterior meningkat sebagai akibat hiper inflasi
paru-paru)
 Fase ekspirasi memanjang
d) Emfisema (tahap lanjut)
 Hipoksemia dan hiperkapnia
 Penampilan sebagai “pink puffers”
 Jari-jari tabuh
e. Pemeriksaan diagnostik
 Analisa gas darah: PO2 menurun; PCO2 meningkat
 Thorax foto: hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area
paru-paru
 Pemeriksaan fungsi paru: kapasitas vital dan volume. Ekspirasi kuat
 Darah lengkap: peningkatan Hb, hematokrit, jumlah darah merah dan peningkatan
IgE serum.
 Kultur sputum
 Esei Imunoglobin: Ig E meningkat

10. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah
kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).
a. Gangguan pertukaran gas b.d. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, perubahan
membrane alveolus-kapiler d.d PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardi,
pH arteri meningkat/menurun, bunyi napas tambahan, dispnea.
b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d Spasme jalan napas, hipersekresi jalan napas
d.d batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, wheezing atau rongki
kering, dispnea, frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen d.d
Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat, mengeluh lelah, dispnea
saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah beraktivitas, sianosis.
d. Ansietas b.d. kurang terpapar informasi d.d merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, frekuensi napas meningkat, muka tampak
pucat
e. Risiko infeksi d.d penyakit kronis

11. Intervensi

a. Gangguan pertukaran gas b.d. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, perubahan


membrane alveolus-kapiler d.d PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardi,
pH arteri meningkat/menurun, bunyi napas tambahan, dispnea.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam klien diharapkan dapat
memperlihatkan tanda tanda penyembuhan dengan kriteria hasil:
1) Dispnea menurun (5)
2) Bunyi napas tambahan menurun (5)
3) Takikardi meneurun (5)
4) PCO2 membaik (5)
5) PO2 membaik (5)
6) pH arteri membaik (5)
Intervensi:
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
- Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi)
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya sumbatan jalan napas
- Monitor saturasi oksigen
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Berikan oksigen tambahan, jika perlu
- Kolaborasi penggunaan oksigen saat beraktivitas atau tidur
b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d Spasme jalan napas, hipersekresi jalan napas
d.d batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, wheezing atau rongki
kering, dispnea, frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam klien diharapkan dapat
memperlihatkan tanda tanda penyembuhan dengan kriteria hasil:
1) Batuk efektif meningkat (5)
2) Produksi sputum menurun (5)
3) Wheezing menurun (5)
4) Dispnea menurun (5)
5) Frekuensi napas membaik (5)
6) Pola napas membaik (5)
Intervensi:
- Indentifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
- Atur posisi fowler atau semi-fowler
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan teknik batuk efektif
- Monitor pola napas
- Monitor bunyi napas
- Berikan minuman hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen d.d
Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat, mengeluh lelah, dispnea
saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah beraktivitas, sianosis.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam klien diharapkan dapat
memperlihatkan tanda tanda penyembuhan dengan kriteria hasil:
1) Kemudahan melakukan aktivitas sehari hari meningkat (5)
2) Keluhan lelah menurun (5)
3) Frekuensi nadi membaik (5)
4) Tekanan darah membaik (5)
Intervensi:
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
- Monitor kelelahan dan emosional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
- Sediakan lingkungan yaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara dan
kunjungan)
- Lakukan latihan rentang gerak pasif /aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
d. Ansietas b.d. kurang terpapar informasi d.d merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, frekuensi napas meningkat, muka tampak
pucat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam klien diharapkan dapat
memperlihatkan tanda tanda penyembuhan dengan kriteria hasil:
1) Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun (5)
2) Perilaku gelisah menurun (5)
3) Frekuensi napas membaik (5)
4) Pucat menurun (5)
Intervensi:
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. Kondisi, waktu,stresor)
- Monitor tanda tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Identifikasi penerimaan untuk menggunakan hypnosis
- Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, dan bebas gangguan
- Gunakan bahasa yang dipahami
- Anjurkan menarik napas dalam untuk mengintensifkan relaksasi
e. Risiko infeksi d.d penyakit kronis
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam klien diharapkan dapat
memperlihatkan tanda tanda penyembuhan dengan kriteria hasil:
1) Nyeri menurun (5)
2) Sputum berwarna hijau menurun (5)
3) Kultur sputum membaik (5)
Intervensi:
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cuci tangan yang benar
- Indentifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
- Anjurkan teknik batuk efektif
- Berikan minuman hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

12. Evaluasi

Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai
informasi megenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan
perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap
perencanaan (Price & Wilson, 2009). Menurun Price & Wilson, Evaluasi Keperawatan
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Evaluasi proses (formatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.
Berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang
telah tercapai.
b. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna. Berorientasi pada masalah keperawatan dan
menjelaskan keberhasilan atau ketidak berhasilan. Rekapan data dan kesimpulan
status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Edward Ringel. 2012. “buku saku hitam kedokteran paru” Jakarta : Permata Puri Media

Grace A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora Aksara
Pratama Jackson, D. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi 1. Yogyakarta, Rapha
Pubising

Wahid, Abdul. Suprapto, Imam. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan
Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Monica Ester,Yasmin Asih, Jakarta
: EGC

Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD), (2011), Inc. Pocket Guide to
COPD Diagnosis, Management, and Prevention.http://www.goldcopd.com.

Depkes RI. (2008). Pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Direktorat Jenderal pengendalian dan Penyehatan LingkunganDirektorat Pengendalian
Penyakit Tidak Menular. Jakarta

Murwani Arita, 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi I. Yogyakarta :


Gosyem Publishing

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001.Keperawatan Medikal Bedah 1, Edisi


8.Jakarta: EGC

Price SA & Wilson LM 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6.Volume 2. AlihBahasa oleh Brahm U Pendit, dkk. Jakarta: EGC

http://eprints.ums.ac.id/25502/10/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf Di Akses 6 Maret 21

Anda mungkin juga menyukai