Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS
RUANG ANGGUR RS dr.ADJIDARMO RANGKASBITUNG

Di susun oleh :
TABAH ABDILLAH, S.Kep
5017041116

PROGRAM PROFESI NERS


STIKes FALETEHAN SERANG
2017-2018
A. Definisi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Persatuan dokter
paru Indonesia, 2003). PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk
produktif dan dispnea dan terjadi obstruksi saluran napas sekalipun penyakit ini
bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema, bronkitis kronik maupun
asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernapasan (Rab
Tabrani, 2010).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah merupakan kondisi ireversibel yang
berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru (Brunner & Suddarth, 2002) Menurut Smeltzer, &bare 2000 dalam
(ridwan, 2013) Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah suatu kondisi yang irreversible
dimana terjadi penyempitan saluran udara, peningkatan obstruksi, atau hilangnya
rekoli elastic paru.Kondisi tersebut menyebabkab udara terperangkap dan pertukaran
gas terganggu sehingga menyebabkan sindrom dispnue, batuk, produksi dahak
meningkat, dan wheezing (timbulnya suara pernafasan karena penyempitan saluran
pernafasan).

B. Etiologi
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi
bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang
utama adalah
emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis
kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional),
sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada
perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit)
Mansjoer, 2000 menyebutkan Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit
Paru Obstruksi Kronik(PPOK) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
5. Bersifat genetik yaitu difisiensi -1 antitripsin merupakan predisposisi
untukberkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini.

C. Klasifikasi

Klasifikasi menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005
sebagai berikut :
1. PPOK ringan yaitu dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum dan sesak
napas dengan derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
2. PPOK sedang yaitu dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum dan sesak
napas dengan derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat beraktivitas).
3. PPOK berat yaitu sesak napas dengan derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas
kronik, eksaserbasi lebih sering terjadi dan disertai komplikasi kor pulmonale atau
gagal jantung kanan

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan
dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam
setahun, paling sedikit 2 tahun berturut turut (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar,
yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan
menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan
meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua
kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental
ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyakakan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran
udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi
jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami
kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.
Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia
dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan
ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak
ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus,
duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Hiperkapnia
8) Anoreksia
9) Penurunan BB
10) Kelemahan

3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
b. Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari
trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi
berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang
menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth, 2002).
c. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif
5) takikardi
6) takipnea

D. Patofiologi

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena
ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi
oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil
Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga
terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
3. Kelemahan badan
4. Batuk
5. Sesak napas
6. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
7. Mengi atau wheeze
8. Ekspirasi yang memanjang
9. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
10. Penggunaan otot bantu pernapasan
11. Suara napas melemah
12. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
13. Edema kaki, asites dan jari tabuh.
F. Penatalaksanaan medis
a. Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi
lebih awal.
b. Penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai
dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau
pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
c. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat
kembali mengerjakan pekerjaan semula
d. Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 40.56/hari
Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis
yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti
kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder
atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
1) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 40,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
3) Fisioterapi
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5. Mukolitik dan ekspektoran
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)
Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis

Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:

a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel,
keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
b. Corak paru yang bertambah Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan
foto dada yaitu:
Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer dan corakan paru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang
pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways).
Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi
berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia
yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II,
III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap

H. Pengkajian keperawatan fokus


a. Wawancara
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstriksi Kronik (PPOK) didapatkan keluhan berupa sesak
nafas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti
batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun
dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa
tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan
keluhan-keluhannya tersebut.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan keluhan
yang sama.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang sama.
e. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya
serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap
dirinya.

3. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
a. Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronik ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak nafas.
b. Makan dan Minum
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS
pasien dengan PPOK akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari
sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme
akan terjadi akibat proses penyakit.
c. Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
d. Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Pasien
akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
e. Istirahat dan tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat
perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke
lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik
dan lain sebagainya.
f. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus
dibantu oleh orang lain.
g. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36-37C), pireksia/demam(38-40C),
hiperpireksia=40C< ataupun hipertermi <35,5C.
h. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Nyeri
dada meningkat karena batuk berulang (skala 5)
i. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang dialaminya
j. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan keluarga
atau temannya.
k. Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan
terganggunya pekerjaan yang dijalaninya.
l. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien sembahyang,
dll.
b. Pemeriksaan fisik

No Kegiatan Pengkajian
Inspeksi RR dan irama, catat apakah irama dangkal dan cepat, normal,
1
dalam dan cepat
Inspeksi bentuk dada, apakah simetris, apakah bentuk dada normal atau
2
tidak normal (barrel, pigeon chest)
3 Inspeksi simetrisitas pergerakan dada kanan dan kiri
Inspeksi pernafasan perut atau dada. Amati apakah ada retraksi dada dan
4
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Inspeksi kulit dada: warna, distribusi rambut, jaringan parut, lesi, luka
5
bakar
Inspeksi adanya asites. Peningkatan diameter abdomen mengurangi
6
ekspansi dada
Inspeksi adanya clubbing finger. Clubbing finger menjadi indikasi
7
kondisi hipoksia yang lama
Mengkaji fremitus fokal simetris/tidak. Caranya: letakkan tangan di area
apek paru, minta pasien mengucapkan tujuh-tujuh dan rasakan
8 perbedaan getaran di paru2 kanan dan kiri. Lakukan cara yang sama di
medial dan basal paru. catat perbedaan getaran (paru2 mana yang lebih
lemah) di lembar dokumentasi pengkajian
Pengembangan dada simetris atau tidak, apakah ada keterlambatan
9
pengembangan dada di salah satu sisi paru
Melakukan perkusi paru di 10 titik anterior. Kaji adanya perubahan
10 bunyi resonan ke pekak atau hiperresonan. Identifikasi batas paru
normal
Melakukan perkusi paru di 10 titik posterior. Kaji adanya perubahan
11 bunyi resonan ke pekak atau hiperresonan. Identifikasi batas paru
normal
12 mengukur pengembangan diafragma
Melakukan auskultasi paru di 10 titik anterior. Identifikasi suara
13 vesikuler (normal) dan suara abnormal paru (rochi atau raler). Catat area
paru-paru mana yang mengalami perubahan suara paru normal
Melakukan auskultasi paru di 10 titik posterior. Identifikasi suara
14 vesikuler (normal) dan suara abnormal paru (rochi atau rales). Catat area
paru-paru mana yang mengalami perubahan suara paru normal
I. Patway
J. Analisa data
No Data Analisa Data & Patoflow Diagnosa Keperawatan
DS : Kerja silia Bersihan jalan nafas tidak efektif
- Pasien mengeluh sesak nafas,
pasien merasakan dada yang Sekresi lendir
tertekan, pasien mengatakan
riwayat merokok. Penumpukan di jalan napas
DO :
- pasien terlihat kesulitan Airway tidak bersih
bernafas, batuk yang disertai
dengan sputum, warna sputum
putih, pasien terlihat kesulitan
berbicara, adanya bentuk dada
seperti tong, terlihat
meninggikan bahu untuk
bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada
paru, auskultasi : bunyi nafas
mengi, ronkhi pada paru bagian
kanan dan wheezing pada paru
bagian kiri, terpasang O2 3 liter
permenit, respirasi 28 x/menit.
No Data Analisa Data & Patoflow Diagnosa Keperawatan
Ds Penyempitan saluan napas Pola Napas tidak efektif
Dispnea
Obstruksi
Do
Penggunaan otot bantu pernafasan, Ventilasi terganggu
fase expirasi memanjang, pola napas
abnormal (takipnea, Sesak
bradipnea,hiperventilasi, kussmaul)
DS Dinding bronkus menebal Nyeri Akut
Mengeluh nyeri
DO Edema dan inflamasi
Tampak meringis, gelisah, frekuensi
nadi meningkat, sulit tidur Pelepasan mediator kimia

Merangsang reseptor nyeri
K. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama :
Diagnosa Medis :
Kriteria Hasil INTERVENSI AKTIVITAS
Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC) (NIC)
Bersihan jalan napas tidak NOC : Airway suction 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali
efektif b.d bronkokontriksi, v Respiratory status : Ventilation terdapat kor pulmonal.
peningkatan produksi sputum, v Respiratory status : Airway patency 2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik
batuk tidak efektif, v Aspiration Control pernapasan diafragmatik dan batuk.
kelelahan/berkurangnya Kriteria Hasil : 3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser,
tenaga dan infeksi v Mendemonstrasikan batuk efektif inhaler dosis terukur
bronkopulmonal. dan suara nafas yang bersih, tidak ada 4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan
sianosis dan dyspneu (mampu vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang
mengeluarkan sputum, mampu diharuskan.
bernafas dengan mudah, tidak ada 5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan
pursed lips) seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan
v Menunjukkan jalan nafas yang paten asap.
(klien tidak merasa tercekik, irama 6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang
nafas, frekuensi pernafasan dalam harus dilaporkan pada dokter dengan segera:
rentang normal, tidak ada suara nafas peningkatan sputum, perubahan warna sputum,
abnormal) kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa
v Mampu mengidentifikasikan dan sesak didada, keletihan.
mencegah factor yang dapat 7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
Kriteria Hasil INTERVENSI AKTIVITAS
Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC) (NIC)
menghambat jalan nafas 8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan
imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus
pneumoniae.

Ketidakefektifan pola Setelah diberikan asuhan Airway Management Airway Management


napas berhubungan dengan keperawatan 112 jam, diharapkan 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi udara
kelumpuhan otot diafragma ditandai
kerusakan pertukaran gas teratasi, 2. Lakukan terapi fisik dada, sesuai kebutuhan
dengan gangguan ventilasi
dengan kriteria hasil: 3. Keluarkan secret dengan melakukan batuk efektif atau
NOC : Respiratory status: Airway dengan melakukan suctioning
patency 4. Catat dan monitor pelan, dalamnya pernapasan dan
Klien mampu mengeluarkan batuk
secret 5. Berikan treatment aerosol, sesuai kebutuhan
RR klien normal 16-20 x/menit 6. Berikan terapi oksigen, sesuai keebutuhan
Irama pernapasan teratur 7. Regulasi intake cairan untuk mencapai keseimbangan
Kedalaman inspirasi normal cairan
Oksigenasi pasien adekuat 8. Monitor status respiratory dan oksigenasi
Respiratory Monitoring
1. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman pernapasan.
2. Monitor adanya suara abnormal/noisy pada
pernapasan seperti snoring atau crowing.
3. Kaji keperluan suctioning dengan melakukan auskultasi
Kriteria Hasil INTERVENSI AKTIVITAS
Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC) (NIC)
untuk mendeteksi adanya crackles dan rhonchi di
sepanjang jalan napas.
4. Catat onset, karakteristik dan durasi batuk.
Vital Signs Monitoring
1. Monitor tekanan darah, nadi, temperature, dan status
respirasi, sesuai kebutuhan.
2. Monitor respiration rate dan ritme (kedalaman dan
simetris)
3. Monitor suara paru
4. Monitor adanya abnormal status respirasi (cheyne
stokes, apnea, kussmaul)
5. Monitor warna kulit, temperature dan kelembapan.
6. Monitor adanya sianosis pada central dan perifer

Nyeri akut berhubungan dengan Setelah diberikan asuhan Pain Management 1. Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk
agen cedera fisik ditandai dengan keperawatan asuhan keperawatan lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
ekspresi nyeri, melaporkan nyeri
selama x 2 jam, nyeri yang dirasakan intensitas nyeri dan faktor presipitasi
secara verbal
klien berkurang dengan criteria hasil : 2. Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
NOC label : Pain Control 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
Klien melaporkan nyeri mengungkapkan pengalaman nyeri dan penerimaan
Kriteria Hasil INTERVENSI AKTIVITAS
Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC) (NIC)
berkurang klien terhadap respon nyeri
Klien dapat mengenal lamanya 4. Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap kualitas
(onset) nyeri hidup( napsu makan, tidur, aktivitas,mood, hubungan
Klien dapat menggambarkan sosial)
faktor penyebab 5. Tentukan faktor yang dapat memperburuk
Klien dapat menggunakan nyeriLakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan
teknik non farmakologis lain tentang ukuran pengontrolan nyeri yang telah
Klien menggunakan analgesic dilakukan
sesuai instruksi 6. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
Pain Level ketidaknyamanan klien( suhu ruangan, cahaya dan
Klien melaporkan nyeri suara)
berkurang 7. Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi
Klien tidak tampak mengeluh (distraksi, guide imagery,relaksasi)
dan menangis 8. Kolaborasi pemberian analgesic
Ekspresi wajah klien tidak
menunjukkan nyeri
Klien tidak gelisah
L. Referensi

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan,
alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung,
Bandung.

Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai
penerbit FKUI

Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih
bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2003) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati,
edisi 3, Jakarta: EGC

Caepenito Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih,
edisi 6, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai