Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH

SYOK ANAFILAKTIK
Disusun untuk memenuhi tugas semester pendek mata kuliah
Blok Imunology System Semester 4 TA 2014/2015

Disusun oleh :
Kelompok 1

HASNAH CHOLIDA SANI (Reguler 2/ 135070201111020)


NUR ZAKIAH OKTAVIANA (Reguler 1/ 135070207111009)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam
sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis
yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh
reasi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care),
Hal.1033 ).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon
hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi
sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi
Penyakit Edisi 7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan
atau cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).

B. Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak
akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah
60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk
dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya
di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun
2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur,
anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang
tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

C. Etiologi
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan
intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan
reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin,
neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum
antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin,
ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain),
vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll
juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan
alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Allergen Penyebab Anafilaksis
Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska  : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim    : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid   : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphotericin
B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat,  Diazepam, Phenitoin,  Protamine,  Aminopyrine,
Acetil  cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangg
a
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid 

D. Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya
pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang
di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan
syok yang membahayakan penderita.
Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

Gangguan sirkulasi Gangguan Maldistribusi volume


Perfusi sirkulasi/
Jaringan hipoksemia
Gangguan respirasi menyebabkan

Gangguan
Sesak
Oedem laring Bersin, hidung perfusi jaringan
dan tersumbat, perifer
Ansietas
bronkospasme batuk

Resiko
Gangguan
Ketidakefektifan integritas kulit
Bersihan Jalan
Nafas Ketidakseimbangan Kelemahan
suplai dan Tubuh
kebutuhan oksigen
E. Faktor Resiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi
mempunyai risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen
radiokontras. Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat
injeksi ataupun sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis menemukan
bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak
yang meninggal karena anafilaksis menderita asma. Orang dengan kelainan yang
disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada jaringannya
(mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi, memiliki
risiko yang lebih besar. Semakin lama waktu sejak terakhir kali terpapar pada agen
penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi reaksi yang baru.

F. Manifestasi Klinis
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda
gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas
seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang
menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan
tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat
bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat
reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau
batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme.
Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia
yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya,
tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya
gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh
utama pada syok anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan
respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa
didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol
pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat
terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun,
juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume
relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan
yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
Gangguan kulit
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk
diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu
setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan
kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat
berkembang kearah yang lebih berat.
Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan
gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
gangguan nafas dan sirkulasi.

Ringan :
 Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat disertai dengan
perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.
 Kongesti nasal
 Pembengkakan periorbital
 Pruritus
 Bersin – bersin dan mata yang berair
Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak
Sedang :
 Rasa hangat
 Cemas
 Gatal – gatal
 Bronkospasme
 Oedem saluran nafas atau laring dengan dispnea
 Batuk serta mengi
Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan
Berat :
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda –tanda
serta gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga
terjadi bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia
(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang
dapat terjadi. Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.

G. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik


Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
 Pasien tampak sesak
 Kesadaran menurun
 Sianosis
 Kulit tampak dalam betuk semburat merah
 Pucat
b. Auskultasi
 Penurunan tekanan darah
 Takikardi
 Bradikardi
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Hematologi : Hitung  sel  meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun.
 Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. Radiologi
 X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
 EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
Diagnosis/ kriteria diagnosis
Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan,
makan sesuatu atau setelah test kulit). Timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara
parau sesak, sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah terpapar
sesuatu.

H. Penatalaksanaan
Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :
1. Mencegah efek mediator
 Menghambat sintesis dan pelepasan mediator
 Blokade reseptor
2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.
Penanganan syok anafilaktik 
I. Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan
diagnose dan pengelolaannya.
1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan
3 faktor yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita
dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang
kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic
AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat
berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya :
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara
intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2
ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2. Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips
infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut
kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya
mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan
produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20
mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 –
10 mg IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :
 Adrenalin
 Aminofilin
 Antihistamin
 Kortikosteroid
II. Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi
medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5
ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan
darah ikut meningkat.
3. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih
tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma
expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu
syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang
dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya
juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan
secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :
 Oksigen
 Posisi Trendelenburg (kursi)
 Infus set dan cairannya
 Resusitation kit
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
 Keluhan utama
Keluhan utama pasien meliputi gangguan yang paling dirasakan pada pasien. Berikut
gangguan paling umum dirasakan pada pasien:
- kesemutan perifer
- sensasi hangat
- rasa sesak di mulut dan tenggorok
- kongesti hidung
- pembengkakan lidah, pruritus
- bersin-bersin
- mata berair
- dispnea,
- batuk,
- terdapat wheezing,
- wajah kemerahan,
- ansietas
- sianosis
- disfagia,
- keram pada abdomen, muntah, diare,
- kejang-kejang.
- Pusing
 Riwayat penyakit sekarang
Seperti di manifestasi di keluhan utama. Pada klien dengan reaksi anafilaksis
ditemukan gejala awal dengan rasa gatal dan panas.biasanya selalu disertai dengan
gejala sistemik misal dispnea,mual,kulit sianosis,kejang.anamnesa yang tepat dapat
memperkecil gejala sistemik sebelum berlanjut pada fase yang lebih parah/gejala
sistemik berat.
 Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat allergen terhadap suatu zat seperti obat, gigitan serangga,
makanan dan minuman tertentu yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Selain
itu disertai dengan adanya riwayat syok anafilaktik, penyakit asma dan atopic
 Riwayat penyakit keluarga
Biasanya terdapat riwayat syok anafilaktik pada salah satu dari keluarga pasien.
Terkadang tidak disertai riwayat keluarga
 Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan
 Riwayat penatalaksanaan medis
Mengkaji tindakan pasien yang pernah dilakukan dalam menangani keluhan yang
dialami
 Pengkajian fisik
1. Pengkajian umum :
Meliputi kesadaran pasien (cenderung menurun), suhu tubuh (cenderung
meningkat)
2. Kulit:
Ditemukan adanya eritema, urtikaria, edema, angioedema, sianosis
3. Kardiovaskuler
Ditemukan hipotensi, takikardi
4. Respirasi
Rhinitis, bronkospasme, dipsneu, obstruksi saluran pernafasan atas, batuk,
wheezing(+), ronkhi (+)
5. GIT
Keram perut(+), mual, muntah, diare(+), disfagia
6. Neurologis
Pusing
 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
• Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun.
• Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. Radiologi
• X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
• EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

2. Analisa data
N Data Etiologi Masalah
O Keperawatan
1 Ds: Anafilaksis Ketidakefektifan
Biasanya pasien mengeluh ↓ bersihan jalan b/d
- dispnea, sesak Vasodilatasi respon inflamasi
Do: ↓ pada jaringan
- Terdapat (+) wheezing Maldistribusi volume saluran pernafasan
dan (+) Ronkhi sirkulasi
- Sekret ↓
- Pasien tampak gelisah Aliran darah balik ↓
- Sianosis ↓
- Perubahan frekuensi TD↓
nafas ↓
- batuk tidak efektif Teknan perfusi ↓
- RR abnormal ↓
Hipoksia jaringan

Gangguan sirkulasi dan
Gangguan respirasi
akibat respon inflamasi

Edema laring,
bronkospasme,
Kongesti hidung,
pengeluaran sputum

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas

2 Ds: Anafilaksis Resiko Kerusakan


Pasien mengeluhkan: ↓ integritas kulit b/d
- Gatal-gatal Vasodilatasi faktor imunologi
- Kulit kemerahan ↓
- Kulit terasa hangat Maldistribusi volume
Do: sirkulasi
- Edema ↓
- Angioedema Aliran darah balik ↓
- Eritema ↓
- Urtikaria TD↓

Teknan perfusi ↓

Hipoksia jaringan

Gangguan perfusi
jaringan perifer

Resiko
Kerusakan integritas

3 Ds: Anafilaksis Ansietas b/d


Pasien menyatakan ↓ perubahan status
kecemasan akan kondisi yang Vasodilatasi kesehatan
dialami ↓
Do: Maldistribusi volume
Kesulitan bernafas sirkulasi
Peningkatan frekuensi ↓
pernafasan Aliran darah balik ↓
Nadi abnormal ↓
TD↓

Teknan perfusi ↓

Hipoksia jaringan

Maldistribusi volume
sirkulasi/ hipoksemia

Sesak

Pasien menyatakan
kecemasan akan
kondisinya

Ansietas

4 Ds: Anafilaksis Intoleran aktifitas


Pasien menyatakan merasa ↓ b/d
lemah / letih Vasodilatasi ketidakseimbangan
Do: ↓ suplai dan
- Maldistribusi volume kebutuhan oksigen
sirkulasi

Aliran darah balik ↓

TD↓

Teknan perfusi ↓

Hipoksia jaringan

Gangguan sirkulasi dan
Gangguan respirasi
akibat respon inflamasi

Edema laring,
bronkospasme,
Kongesti hidung,
pengeluaran sputum

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas

Ketidakseimbangan
kebutuhan dan suplai
oksigen tubuh

Kelemahan tubuh

Intoleran aktivitas

3. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2) Resiko Kerusakan Integritas Kulit
3) Ansietas
4) Intoleran aktivitas
4. Rencana Asuhan Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam di harapkan
pasien mampu mempertahankan pola pernapasan efektif
Kriteria hasil: Didapatkan evaluasi dengan skor 4 atau 5 pada indikator NOC
NOC: Immune hypersensitivity response

No
Indikator 1 2 3 4 5
.
1. Alteration in mukosa √
2. Allergic reactions √
3. Localized inflammatory √
response
4. Respiratory function √
5. Cardiac function √
6. Gastrointestinal function √

NOC: Respiratory status


No
Indikator 1 2 3 4 5
.
1. Pernafasan √
2. Kemampuan membersihkan √
sekret
3. Batuk √
4. Sesak nafas √
5. Jumlah sputum √
6. Suara nafas tambahan √

Keterangan :
1. Sangat parah 4. Sedikit
2. Parah 5. Normal
3. Sedang
NIC: Anaphylaxis Management, Airaway management
- Identifikasi dan menghilangkan sumber alergi, jika memungkinkan
- Berikan oksigen aliran tinggi (10-15 L/min)
- Monitor vital sign
- Berikan cairan IV dengan cepat (1000 ml/hr)
- Berikan spasmolytic, antihistamin, atau kortikosteroid dan terindikasi adanya
urtikaria, angioedema atau bronkospasme
- Establish and maintain a patent airway
- Monitor adanya tanda-tanda syok (kesulitan bernafas, hipotensi, aritmia, seizure)
- Berikan Aqueous ephrinephrine 1:1000 subkutan dengan dosis sesuai usia
- Monitor tanda-tanda timbulnya kembali reaksi anafilaksis dalam 24 jam
- Monitor kecepatan, irama, dan kedalaman dalam bernafas
- Monitor kemampuan klien untuk batu kefektif
- Monitor hasil sekresi sputum
- Auskultasi dan catat area mana yang memiliki suara tambahan
- Monitor status oxygenasi pasien

2) Resiko Kerusakan Integritas Kulit


Dx: Kerusakan integritas kulit berhunungan dengan faktor imunologis
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam di harapkan
integrits kulit pasien membaik efektif
Kriteria hasil: Didapatkan evaluasi dengan skor 4 atau 5 pada indikator NOC

NOC: Allergic response : Localized, Tissue integrity: Skin & Mucous membrane
No
Indikator 1 2 3 4 5
.
1. Skin temperature √
2. Thickness √
3. Texture √
4. Periorbital edema √
5. Rash √
6. Erythema √

NIC: Skin care: topical treatment


- Taburkan obat bubuk (bedak) pada kulit dengan tepat
- Gunakan lubricant pada lipatan kulit dan mukosa oral jika diperlukan
- Sediakan penyokong pada area edema (ex bantal)
- Usahakan tempat tidur pasien tetap bersih, rapi dan kering

3) Ansietas
Dx: Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam di harapkan
pasien mampu menunjukkan berkurangnya kecemasan
Kriteria hasil: Didapatkan evaluasi dengan skor 4 atau 5 pada indikator NOC
NOC : Anxiety Level

No
Indikator 1 2 3 4 5
.
1. distres √
2. gelisah √
3. ketegangan otot √
4. Ketegangan wajah √
5. panik √

Keterangan :
1. Sangat parah 4. Sedikit
2. Parah 5. Normal
3. Sedang
NIC : Anxiety Reduction
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
6. Dengarkan dengan penuh perhatian
7. Identifikasi tingkat kecemasan
8. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
9. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
10. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

4) Intoleran aktivitas
Dx: Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan ketidakmampuan pasien melakukan ADL
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam di harapkan
terjadi peningkatan toleran aktivitas
Kriteria hasil: Didapatkan evaluasi dengan skor 4 atau 5 pada indikator NOC
NOC : activity tolerance
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Saturasi oksigen saat beraktivitas
2. Pulse rate saat beraktivitas
3. Respiratory rate saat beraktivitas
4. Kemudahan dalam bernafas saat aktivitas
5. Tekanan darah dalam beraktivitas
6. Kemudahan dalam melakukan ADL
Keterangan:
1. severely compromised, 2. substantially compromised, 3 moderately compromised,
4 mildly compromised, 5 not compromised
NIC : Energy Management
1. Menentukan jenis dan keseringan aktivitas yang diperlukan untuk membangun
ketahanan
2. monitor respon kardiorespiratori dalam beraktivitas ( tachicardi, disritmia,
dyspneu, diaphoresis, pallor, tekanan hemodinamik dll)
3. Ajarkan teknik managemen untuk mengurangi kelelahan
4. Anjurkan bedrest atau pembatasan aktivitas dengan menjaga waktu istirahat
5. Mengatur aktivitas fisik untuk mengurangi penggunaan oksigen
6. Monitor respon oksigen pasien (pulse rate, cardiac rhythm, respiratory rate)
untuk perawatan sendiri atau aktivitas keperawatan
JURNAL
Daftar Pustaka

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine. In:
Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5 th edition. United
States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
Corwin, E.J (2008). Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I. Penerbit Erlangga :
Jakarta.
Martin (2000). In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Diakses pada tanggal 30
juli 2015.
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni : Bandung.
Rehatta MN. 2000. Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya.
Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle Hospitals,
Western Australia; 2006.
Smeltzer C.S&Bare Brenda.(2003).Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 1995. Manual of Critical Care Nursing. Mosby Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.

Anda mungkin juga menyukai