Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk
diagnosis, pengobatan dan pencegahan menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki
yang disebut efek samping. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan bru
disamping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga.
Hipokalemi, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan
contoh-contoh efek samping yang potensial berbahaya. Gatal-gatal karena alergi obat,
mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek samping
yang ringan.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat. Anafilaktif memang
jarang terjadi, tetapi bila terjadi uummnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial
berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaaan dan kesiapan menghadapi keadaan tersebut
sangat diperlukan. Penulis memiliki tujuan agar mahasiswa maupun pembaca
mengetahui konsep teori pada pasien syok anafilaktik.

1.2 Rumusan Masalah


Apa konsep teori pada pasien penderita syok anafilaksis?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep teori pada pasien penderita syok anafilaksis

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh


Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi
terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis
yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala
utama obstruksi saluran napas.

Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).

Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi
7, hal 144).

Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau
cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).

B. Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka


kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan
mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada
tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

2
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa
muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang
terjadi.

C. Etiologi

Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi
anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri,
dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin,
heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.

Alergen

Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang
tidak bisa di golongkan.

Allergen Penyebab Anafilaksis


Makanan Krustasea : Lobster, udang dan kepiting
Moluska : Kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain.
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin, Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika : Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin,
Ciprofloxin, Amphotericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi : Lidocain, Procain,
Lain-lain : Barbiturat, Diazepam, Phenition, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein, Codein, Morfin, Asam Salisilat dan HCT
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

3
D. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I


(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig
E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel


yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya


fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksi


4
E. Faktor Resiko

Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai
risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras.
Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun
sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis menemukan bahwa 60% memiliki
riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak yang meninggal karena
anafilaksis menderita asma. Orang dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel
mast yang terlalu banyak pada jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status
sosioekonomi yang lebih tinggi, memiliki risiko yang lebih besar. Semakin lama waktu
sejak terakhir kali terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko
terjadi reaksi yang baru.

F. Manifestasi Klinis

Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda


gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas
seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol
adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul
bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik
sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan
penderita.

Sistem pernafasan

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala
terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada
gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan

5
sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan
respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok
anafilaktik.

Sistem sirkulasi

Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi
bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh
gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok
anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan
intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala
hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera
dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.

Gangguan kulit

Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan
sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat
berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya
gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah
penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.

Gangguan gastrointestinal

Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan


gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
gangguan nafas dan sirkulasi.

Ringan :

 Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat


disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.
 Kongesti nasal
 Pembengkakan periorbital
 Pruritus
 Bersin – bersin dan mata yang berair
Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak

Sedang :

 Rasa hangat

 Cemas

6
 Gatal – gatal

 Bronkospasme

 Oedem saluran nafas atau laring dengan dispnea

 Batuk serta mengi

Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan

Berat :

Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda–tanda serta
gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi.
Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.

G. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

 Pasien tampak sesak

 Kesadaran menurun

 Sianosis

 Kulit tampak dalam betuk semburat merah

 Pucat

b. Auskultasi

 Penurunan tekanan darah

 Takikardi

 Bradikardi

Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Laboratorium

 Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,

trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun.

 Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.

7
b. Radiologi

 X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus,

plug.

 EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

Diagnosis/ kriteria diagnosis

Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan, makan
sesuatu atau setelah test kulit). Timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau
sesak, sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah terpapar sesuatu.

H. Penatalaksanaan

Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :

1. Mencegah efek mediator

 Menghambat sintesis dan pelepasan mediator

 Blokade reseptor

2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek

mediator.

Penanganan syok anafilaktik

I. Terapi medikamentosa

Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.

1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3
faktor yaitu :

 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan


cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang


kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.

 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic


AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau
berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya :

8
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara
intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2
ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik
karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada
kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

2. Aminofilin

Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang


dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus
bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid

Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang


manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu
menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan
produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect.
Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan
untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV
atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.

Obat obat yang dibutuhkan :

 Adrenalin

 Aminofilin

 Antihistamin

 Kortikosteroid

II. Terapi supportif

Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi


medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.

1. Pemberian Oksigen

Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5


ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

2. Posisi Trendelenburg

9
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.

3. Pemasangan infus.

Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih
tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma
expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)

Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi


kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan
secepatnya.

Perangkat yang dibutuhkan :

 Oksigen

 Posisi Trendelenburg (kursi)

 Infus set dan cairannya

 Resusitation kit

10
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan tentang “Syok Anafilaksis”, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan:
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi. Angka
kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan,diperkirakan terjadi
0,4 kasus per juta penduduk per tahun. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada
mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Dilaporkan reaksi
anafilaksis karena susu dan telur lebih sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid
karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa. Terdapat beberapa golongan alergen
yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun
serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Gejala dari reaksi anafilaksis dapat melibatkan dua atau lebih organ tubuh, seperti
kulit kemerahan, terasa hangat, dan gatal, pembengkakan periorbital, bersin-bersin,
sesak, muntah, dan diare. Penatalaksanaan farmakologis seperti pemberian epinephrine
intravena pada pasien rekasi anafilaksis tidak boleh ditunda. Antihistamin dan
kortikosteroid juga dapat diberikan. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan
pruritus. Kortikosteroid bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan penyempitan
saluran nafas. Pencegahan terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik.
Untuk mengetahui secara pasti alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas
dapat dilakukan uji cukit (Skin Prick Test) agar dapat menghindari paparan alergen yang
berpotensi tersebut.
3.2 Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang sangat
bermanfaat dan dapat membantu untuk masa depan, yaitu :

1. Pengkajian lebih dalam mengenai patologi syok anafilaksis,


2. Pengkajian lebih dalam mengenai penangan pertama pada pasien penderita syok
anafilaksis supaya dapat tertangani dengan baik dan benar.

12
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine.

In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th

edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.

Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical

Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.

Corwin, E.J (2008). Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition. Lippincott Williams

& Wilkins

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :

EGC

Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I. Penerbit

Erlangga : Jakarta.

Martin (2000). In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9

Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Diakses pada tanggal 16


Mei 2022.

Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3.

Penerbit P.T. Alumni : Bandung.

13

Anda mungkin juga menyukai