PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep teori pada pasien penderita syok anafilaksis
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi
7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau
cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
B. Epidemiologi
2
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa
muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang
terjadi.
C. Etiologi
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi
anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri,
dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin,
heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.
Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang
tidak bisa di golongkan.
3
D. Patofisiologi
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai
risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras.
Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun
sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis menemukan bahwa 60% memiliki
riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak yang meninggal karena
anafilaksis menderita asma. Orang dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel
mast yang terlalu banyak pada jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status
sosioekonomi yang lebih tinggi, memiliki risiko yang lebih besar. Semakin lama waktu
sejak terakhir kali terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko
terjadi reaksi yang baru.
F. Manifestasi Klinis
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala
terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada
gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan
5
sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan
respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok
anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi
bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh
gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok
anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan
intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala
hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera
dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
Gangguan kulit
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik.
Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan
sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat
berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya
gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah
penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
Gangguan gastrointestinal
Ringan :
Sedang :
Rasa hangat
Cemas
6
Gatal – gatal
Bronkospasme
Berat :
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda–tanda serta
gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi.
Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Kesadaran menurun
Sianosis
Pucat
b. Auskultasi
Takikardi
Bradikardi
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
7
b. Radiologi
plug.
Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan, makan
sesuatu atau setelah test kulit). Timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau
sesak, sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah terpapar sesuatu.
H. Penatalaksanaan
Blokade reseptor
mediator.
I. Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3
faktor yaitu :
8
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara
intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2
ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik
karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada
kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2. Aminofilin
Adrenalin
Aminofilin
Antihistamin
Kortikosteroid
1. Pemberian Oksigen
2. Posisi Trendelenburg
9
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
3. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih
tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma
expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
Oksigen
Resusitation kit
10
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan tentang “Syok Anafilaksis”, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan:
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi. Angka
kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan,diperkirakan terjadi
0,4 kasus per juta penduduk per tahun. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada
mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Dilaporkan reaksi
anafilaksis karena susu dan telur lebih sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid
karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa. Terdapat beberapa golongan alergen
yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun
serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Gejala dari reaksi anafilaksis dapat melibatkan dua atau lebih organ tubuh, seperti
kulit kemerahan, terasa hangat, dan gatal, pembengkakan periorbital, bersin-bersin,
sesak, muntah, dan diare. Penatalaksanaan farmakologis seperti pemberian epinephrine
intravena pada pasien rekasi anafilaksis tidak boleh ditunda. Antihistamin dan
kortikosteroid juga dapat diberikan. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan
pruritus. Kortikosteroid bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan penyempitan
saluran nafas. Pencegahan terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik.
Untuk mengetahui secara pasti alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas
dapat dilakukan uji cukit (Skin Prick Test) agar dapat menghindari paparan alergen yang
berpotensi tersebut.
3.2 Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang sangat
bermanfaat dan dapat membantu untuk masa depan, yaitu :
12
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine.
Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
& Wilkins
EGC
Erlangga : Jakarta.
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3.
13