Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengaruh yang tidak menguntungkan dari proses imun menjadi dasar dari banyak
penyakit pada manusia dan dapat mengganggu setiap system organ yang penting. Selain itu,
perubahan karakteristik pada reaktan imun yang memberikan kunci diagnostik yang penting
menyertai banyak keadaan sebagai akibat atau peristiwa yang pararel. Respon antibody
normal dan respon yang diperantarai sel menyangkut serangkaian langkah, yang masing-
masing dimodulasi oleh kelompok-kelompok sel tertentu. Gangguan pada proses
pengawasan ini dapat menyebabkan reaksi imun yang berlebihan atau tidak semestinya.
Imunitas pelindung dan penyakit alergi bersama-sama memiliki respon jaringan terhadap zat-
zat yang dikenal sebagai “asing”. Mekanisme imun memberikan pertahanan yang esensial
melawan invasi organisme yang menimbulkan cedera dan timbulnya tumor ganas (Price,
1995).
Reaksi-reaksi klinis dari hipersensitivitas cepat atau lambat terjadi karena sebelumnya
pernah kontak dengan agen tertentu, agen yang mempunyai karakteristik kimia tertentu, yang
mensensitisasi individu terhadap partikel tertentu. Peristiwa selular yang menyertai dan
menimbulkan kemampuan memberi respon hipersensitivitas dinamakan sensitisasi (Price,
1995).
Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara simultan (biasanya
system kardiovaskular, respirasi, kulit, dan gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis
(ana=balik; phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001). Anafilaksis merupakan manifestasi dari
hipersensitivitas tipe cepat di mana individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau
hapten yang mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya diikuti
oleh kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria, pruritus, dan angioedema
(Dorland, 1998). Sedangkan menurut Guyton (1997) anafilaksis merupakan kondisi alergi di
mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun dengan hebat. Anafilaksis
terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu
antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam sirkulasi.

1
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan.
Diperkirakan 0,4 kasus perjuta penduduk pertahun dan di rumah sakit diperkirakan 0,6
perseribu pasien. Di Amerika Serikat diperkirakan 1-2 % pasien yang disuntik penisilin
mengalami reaksi anafilaksis dan ± 400-800 di antaranya meninggal pertahun. Reaksi
anafilaktiod oleh zat kontras ± 5% dari pengguna dan ± 250-1000 orang di antaranya
meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada
data yang akurat. Diperkirakan 1/5 – 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi
makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi
atau reaksi alergi sebelumnya (Syamsu, 2001).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti seminar tentang anafilaksis ini peserta diharapkan mampu untuk
menyusun asuhan keperawatan pasien dengan anafilaksis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami definisi dari anafilaksis.
b. Mampu memahami etiologi dari anafilaksis.
c. Mampu memahami manifestasi klinis pasien dengan anafilaksis.
d. Mampu memahami patofisiologi dari anafilaksis.
e. Mampu memahami pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan anafilaksis.
f. Mampu memahami penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis.
g. Mampu memahami dan manerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
anafilaksis.

2
BAB II
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa
menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami
sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak
pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi
suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh.
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak terjadi pada
pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I ,
dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast yang mengakibatkan vasodilatasi
massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan penurunan peristaltic.
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan
menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik
dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan
mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ
tersebut.
B. ETIOLOGI
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Penyebab yang
sering ditemukan adalah:
1. Gigitan/sengatan serangga
2. Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin)
3. Alergi makanan
4. Alergi obat
Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis. Anafilaksis mulai
terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi
ini merangsang sel-sel untuk melepaskan histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi
peradangan kekebalan.
Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk rontgen),
pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksi yang menyerupai

3
anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi racun dan bukan
merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.
C. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru
menjadi berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan adalah rasa takut, perih
dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, mual,
pusing, lemas dan sakit perut.
Adapun Gejala-gejala yang secara umum, bisa pula ditemui pada suatu anafilaksis
adalah:
1) Gatal di seluruh tubuh
2) Hidung tersumbat
3) Kesulitan dalam bernafas
4) Batuk
5) Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kuku
6) Pusing, berbicara tidak jelas
7) denyut nadi yang berubah-ubah
8) jantung berdebar-debar (palpitasi)
9) mual, muntah dan kulit kemerahan.
D. PATOFISIOLOGI

Sistem kekebalan melepaskan antibodi. Jaringan melepaskan histamin dan zat


lainnya. Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar bunyi mengi

4
(bengek), gangguan pernafasan; dan timbul gejala-gejala saluran pencernaan berupa nyeri
perut, kram, muntah dan diare.
Histamin menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan
penurunan tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan
(yang akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok. Cairan bisa
merembes ke dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa cukup berat
sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Anafilaksis yang berlangsung
lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan allergen
dapat mengakibatkan kematian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi yang berat terjadi
secara cepat. Individu yang terkena merasakan gelisah, diikuti dengan cepat oleh rasa ringan
pada kepala yang mengakibatkan singkop. Rasa gatal di tangan dan di kepala dapat menjadi
urtikaria yang menutupi sebagian besar permukaan kulit. Pembengkakan jaringan local dapat
timbul dalam beberapa menit dan khususnya mengubah bentuk kelopak mata, bibir, lidah,
tangan dan genitalia.
 Diagnosis
Pemeriksaan fisik menunjukkan:
1) Kaligata di kulit dan angioedema (pembengkakan mata atau wajah)
2) Kulit kebiruan karena kekurangan oksigen atau pucat karena syok.
3) Denyut nadi cepat
4) Tekanan darah rendah.
5) Pemeriksaan paru-paru dengan stetoskop akan terdengar bunyi mengi (bengek)
dan terdapat cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner).
 Pengobatan
Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera. Bila
perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan selang
melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan
lubang di trakea untuk membantu pernafasan).
Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka saluran
pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan cairan melalui
infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran darah. Antihistamin

5
(contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya prednison) diberikan untuk
meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan penyelamatan dan pemberian
epinefrin).
 Pencegahan
Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat,
kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid,
antihistamin atau epinefrin.
Serangan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara
desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah sampai dianggap
cukup dalam jangka waktu yang cukup lama.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obatan yang lain masih diragukan nilainnya.
a. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh
obat aslinya, sehingga bila kita melakukan tes kulit dengan obat aslinya, hasilnya
kurang dapat dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil
metabolismenya serta obat-obatan yang mempunyai berat molekul besar (insulin,
ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
b. Beberapa obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamine (kodein, tiamin),
sehingga tes positif yang terjadi adalah semu (false positive).
c. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu.
d. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil hanya merupakan hapten, oleh
sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE
spesifik terhadap berbagai antigen. Sampel serum pasien dikenakan dengan
sejumlah kompleks partikel allergen yang dicurigai. Jika terdapat antibody, kompleks
ini akan berkaitan dengan allergen yang berlabel –radio immunoassay akan
mendeteksi antibody IgE yang spesifik allergen. Hasil tes kemudian dibandingkan
dengan nilai kontrol.

6
b. Test provokasi meliputi pemberian langsung allergen pada mukosa respiratorius
dengan mengamati respon target organ tersebut. Tipe pengujian ini sangat
membantu dalam mengenali allergen yang bermakna secara klinis pada pasien-
pasien dengan hasil tes positif.
F. PENATALAKSANAAN
 Terapi spesifik tergantung dari beratnya reaksi. Pada mulanya diperlukan pemeriksaan
untuk mengevaluasi fungsi respiratorius dan kardiovaskuler. Jika pasien berada dalam
keadaan henti jantung, resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.
 Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang tinggi selama pelaksanaan resusitasi
kardiopulmoner atau kalau pasien tampak mengalami sianosis, dispnea, atau mengi.
 Epinefrin dalam bentuk larutan dengan pengenceran 1 : 1000 disuntikkan subkutan pada
ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan pemberian infuse yang kontinu.
 Antihistamin dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk mencegah berulangnya reaksi
dan urtikaria serta angioedema. Untuk mempertahankan tekanan darah dan status
hemodinamika yang normal, diberikan preparat volume expander dan vasopresor.
Pada pasien dengan bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru
obstruktif menahun, preparat aminofilin, dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk
memperbaiki kepatenan serta fungsi saluran nafas. Pada kasus-kasus dimana keadan
hipotensi tidak responsive terhadap preparat vasopresor, penyuntikan glukagon intravena
dapat dilakukan untuk memberikan efek kronotropik dan inotropik yang kuat. Pasien dengan
reaksi yang berat harus diamati dengan ketat selama 12 hingga 14 jam. Karena berpotensi
untuk kambuh kembali, pasien dengan reaksi yang ringan sekalipun harus mendapatkan
penjelasan mengenai resiko ini (Brunner & suddart, 2002).
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada
pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia
obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat
mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi
kematian atau cacat organ tubuh menetap.

7
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A = Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B = Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C = Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan
penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai
dengan protokol resusitasi jantung paru.
3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit.
4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik
atau syok yang membandel.

8
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah
dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan
kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan
volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau
dextran juga bisa melepaskan histamin.
7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai
dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung.
8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
semalam untuk observasi.
G. PENCEGAHAN SYOK ANAFILAKTIK
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat,
tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan,
antara lain:
1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.

9
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1--3% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan.
Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk
mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan
tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
Pemberian Cairan
1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau
kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang
mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.
Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3--4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan
larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang.

10
Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan
yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.
8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada
syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction).
Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, "Swan Ganz" kateter,
dan pemeriksaan analisa gas darah.

11
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Aktifitas/ istirahat
Gejala : Merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena adanya rasa takut, sesak,
lemas dan pusing serta gatal/pruritus.
Tanda : Gangguan Pada tungkai (kesemutan), rasa gatal pada kulit tangan dan kepala.
b. Kardiovaskuler
Gejala : Palpitasi, takikardia, hipotensi, renjatan dan pingsan
Tanda : Pada EKG ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, fibrilasi ventrikel
sampai asistol.
c. Integritas Ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya, putus asa
Tanda : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira. Kesulitan
untuk mengekspresikan diri.
d. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah, sakit perut dan dapat terjadi diare.
e. Neurosensori
Gejala : Sinkope/pusing, kesemutan
Tanda : Tingkat kesadaran; biasanya terjadi koma, disorientasi, halusinasi dan kejang.
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala (pusing), sakit di bagian perut, gatal pada mata dan kulit.
g. Pernapasan
Gejala : Rinitis, bersin, gatal di hidung, batuk, sesak, suara serak, gawat nafas,
takipnea samoai apnea.
h. Interaksi Sosial
Tanda : Ketidakmampuan untuk berkomunikasi akibat berbagai gangguan pada tubuh,
seperti gatal, sesak, dan rasa takut
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan reaksi alergi, , gigitan serangga dan
pruritus

12
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak, takipnea.
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan mual; muntah, diare.
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur berhubungan dengan adanya nyeri
kepala, ketegangan.
6. Defisit Volume cairan tubuh berhubungan dengan mual; muntah, diare, intrake kurang.
7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi/penyakit berhubungan dengan kurang pemajanan
dan kesalahan interpretasi informasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN & RASIONAL
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan reaksi alergi, gigitan serangga dan
pruritus
Intervensi :
a. Kaji kondisi kulit setiap hari, catat warna dan adanya lesi pada kulit dan amati
perubahannya.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan personal hygiene kulit, mis; membasuh kemudian keringkan dengan
hati-hati lakukan penggunaan lotion/krim
Rasional : Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi
barier infeksi. Pembasuhan kulit sebagai ganti menggaruk u/
menurunkan resiko trauma dermal pada kulit.
c. Gunting kuku secara teratur
Rasional : Kuku yang panjang/kasar dapat meningkatkan resiko kerusakan dermal.
d. Ajari klien menghindari atau menurunkan paparan terhadap alergen yang telah
diketahui.
Rasional : Menghindari alergen akan menurunkan respon alergi
e. Baca label makanan kaleng agar terhindar dari bahan makan yang mengandung
allergen
Rasional : Menghindari alergen akan menurunkan respon alergi

13
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak, takipnea.
Intervensi :
a. Identifikasi penyebab/factor pencetus.
Rasional : Identifikasi ini dapat memberikan informasi sebagai dasar dalam
menetapkan intervensi selanjutnya.
b. Monitor fungsi respirasi dan kaji tanda-tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi akibat
stress fisiologi dan dapat menunjukkan terjadinya syok.
c. Auskultasi bunyi nafas, misalnya berkurang/hilangnya bunyi nafas dilobus/segmen
tertentu.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru atau
seluruh bagian paru.
d. Berikan posisi semi fowler/tinggikan tempat tidur bagian kepala.
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekdspansi paru dan menurunkan upaya
pernapasan.
e. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan melalui kanula/masker sesuai
indikasi.
Rasional : Alat dalam menurunkan kerja nafas, meningkatkan penghilang distress
respirasi dan sianosis sehubungan dengan hipoksemia.
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan mual; muntah, diare.
Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
Rasional : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi.
b. Ukur BB setiap hari sesuai indikasi
Rasional : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
c. Berikan makan dalam porsi/jumlah yang kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan meningkatkan kerjasama pasien saat makan
d. Kontrol faktor lingkungan (bau, bising), dan Ciptakan suasana makan yang
menyenangkan

14
Rasional :
Kolaborasi:
a. Konsultasi dengan ahli gizi dan berikan Vitamin
Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori/nutrisi sesuai umur dan berat badan.
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur berhubungan dengan adanya nyeri
kepala, ketegangan.
Intervensi :
a. Bantu klien Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang
Rasional : Lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan untuk tidur
b. Atur posisi tidur senyaman mungkin.
Rasional : Membantu menginduksikan tidur
c. Kaji pola kebiasaan tidur klien.
Rasional : Mengidentifikasi intervensi yang tepat
d. Instruksikan tindakan relaksasi
Rasional : Membantu menginduksi tidur klien.
e. Hindari gangguan terhadap pasien bila mungkin
Rasional : Tidur tanpa gangguan dapat menimbulkan rasa segar, dan pasien mungkin
tidak bisa tidur kembali bila telah terbangun.
f. Penatalaksanaan pemberian obat sedative, hipnotik sesuai indikasi.
Rasional : Membantu/memudahkan pasien untuk memenuhi istirahat/tidurnya.
5. Defisit Volume cairan tubuh berhubungan dengan mual; muntah, diare, intrake kurang.
Intervensi :
a. Kaji kemungkinan adanya tanda-tanda dehidrasi serta catat intake dan output
Rasional : Membran mukosa dan kulit yang kering menunjukkan adanya tanda
dehidrasi. Memantau input dan haluaran memberikan informasi tentang
keseimbangan cairan tubuh.
b. Kaji tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu)
Rasional : Hipotensi, takikardi dan demam dapat menunjukkan respon terhadap efek
kehilangan cairan.

15
c. Anjurkan klien tetap mempertahankan intake peroral yaitu makan dan minum sedikit-
sedikit tapi sering
Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap
nutrisi/cairan, dan menghindari terjadinya distensi abdomen.
d. Catat dan laporkan adanya mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung
Rasional : Kehilangan fungsi saluran cerna dapat meningkatkan kehilangan cairan
dan elektrolit dan mempengaruhi cara pemberian cairan/nutrisi
e. Lakukan pemberian cairan (infuse/IV)
Rasional : Mengembalikan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
Intervensi :
a. Bantu klien mengekspresikan perasan marah, kehilangan dan ketakutan.
Rasional : Ansietas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung.
b. Kaji tanda verbal dan nonverbal didampingi klien dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak.
Rasional : Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah.
c. Lakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan dan beri lingkungan yang tenang
serta suasana penuh istirahat.
Rasional : Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
d. Tingkatkan kontrol sensasi klien.
Rasional : Memberikan informasi tentang keadaan klien.
e. Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
Rasional : Orientasi dapat menurunkan ansietas.
f. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
Rasional : Mengurangi ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi/penyakit berhubungan dengan kurang
pemajanan dan kesalahan interpretasi informasi
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien/orang terdekat tentang : Faktor risiko, faktor
pencetus, perawatan tindak lanjut dirumah

16
Rasional : Perlu untuk pembuatan rencana instruksi individu, mengidentifikasi secara
verbal kesalahpahaman dan memberikan penjelasan
b. Berikan informasi dalam bentuk belajar yang bervariasi misalnya leaflet tentang:
Faktor risiko, Faktor pencetus, Perawatan tindak lanjut dirumah.
Rasional : Penggunaan metode belajar yang bermacam-macam meningkatkan
penyerapan materi.
c. Dorong penguatan faktor risiko, pembatasan diet, aktifitas seksual dan gejala yang
memerlukan perhatian medis
Rasional : Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mencakup informasi dan
mengasumsi kontrol/partisipasi dalam program rehabilitasi
d. Identifikasi sumber-sumber yang ada dimasyarakat
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan
dirumah dan penyesuaian terhadap kerusakan

17
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Reaksi anafilaksis adalah suatu reaksi imunologis yang timbul segera dengan
kelangsungan yang sangat dramatis dan dapat menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi ini
umunya terjadi sesudah pajanan ulang dengan antigen/allergen yang sama dan mediasi oleh
Ig E sehingga terjadi pengelepasan mediator dari mastosit/basofil. Mediator inilah yang
kemudian menimbulkan berbagai menifestasi klinis yang dikenal sebagai reaksi anafilaksis.

B. SARAN
• Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada
pada keadaan gawat.
• Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian
obat.
• Hindari penggunaan makanan atau zat-zat yang dapat menimbuklan reaksi
anafilaksis.

18
DAFTAR PUSTAKA

Marilynn. E. Doenges. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Penerbit; EGC


Suyono Slamet. 2001. Buku Ajar, ILMU PENYAKIT DALAM.Jilid II, Edisi ketiga. Penerbit;
Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
Sylvia. A. Price. 2005. PATOFISIOLOGI, Konsep klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1,
Edisi 6. Penerbit; EGC. 2005
http://peramaninjau-keperawatan.blogspot.co.id/2011/06/askep-anafilaksis.html

19

Anda mungkin juga menyukai