Anda di halaman 1dari 27

BAB 1 PENDAHULUAN

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama

setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena

yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah

beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu mendadak

mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang

sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen

tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi

anafikaksis yang dapat berujung pada syok anafikaktik.

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan

oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif

jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi

kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di

Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun

(81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari

anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis

(Sampson, 2004).

Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering

terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya

meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi

terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah

pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat
kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-

beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya

terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan

oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan

terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut (Sampson, 2004).

Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas

sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, angka kematian dilaporkan

2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami

peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan

serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak

spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak

mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,

dan kematian mendadak.

Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat, tidak

terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai

menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan

melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan

suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok

anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.


BAB 2

ILUSTRASI KASUS

Wanita 30 tahun datang ke UGD dengan keluhan sesak napas. Pasien habis

berjalan-jalan di tamnos. RR 35 x/menit, suara napas tambahan wheezing di

seluruh lapangan paru. Didapati urtikaria pada seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik

lain tidak bermakna.


BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Pendekatan Diagnosis Kasus

Wanita 35 tahun sesak napas

wheezing Urtikaria

 Bersifat episodik, seringkali  Onset akut  Rasa gatal, rasa terbakar dan
reversibel dengan atau tanpa  Urtikaria, gatal pada kulit, rasa tertusuk.
pengobatan edema mukosa  Eritema dan edema
 Gejala berupa batuk , sesak napas,  Gangguan pernapasan setempat, kadang tengah
rasa berat di dada dan berdahak  Gangguan gastrointestinal tampak lebih pucat.
 Gejala timbul/ memburuk  Hipotensi  Lesi ini cenderung bersifat
terutama malam/ dini hari  Oligouri sementara, namun dapat
 Diawali oleh faktor pencetus yang  Hipotonia bertambah besar atau
bersifat individu mengecil dalam beberapa
 Respons terhadap pemberian jam.
bronkodilator
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan
pengobatan

Asma Bronkial Reaksi Anafilaksis Urtikaria/Angioedema


Alasan pasien ini saya diagnosis sebagai reaksi anafilaksis karena kondisi pasien

sesuai dengan kriteria klinis dari reaksi anafilaksis sesuai gambar di bawah ini

akan diperjelas pada pembahasan selanjutnya.

Gambar Kriteria Klinis Reaksi Anafilaksis


3.2 Definisi Reaksi Anafilaksis

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan

phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya

melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari

pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis) (Longecker, 2008).

Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut, berat,

dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan

suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu

reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel

mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek

farmakologik terhadap berbagai macam organ (Rachman dkk, 2007).

Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi

anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak

disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi

disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga

menyebabkan terlepaskan mediator (Rachman dkk, 2007).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung

dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu

reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif

masuk dalam sirkulasi (Longecker, 2008).


3.3 Faktor Predisposisi dan Etiologi

Reaksi anafilaksis dapat disebabkan karena mekanisme imunologi dependent-

IgE, mekanisme imunologi non dependent IgE, mekanisme non imunologi atau

juga disebut mekanisme aktivasi langsung sel mast dan idiopatik. Beberapa

faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,

jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.

Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,

obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang

kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang

biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa

menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi

intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan

lain- ain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin

juga bisa menyebabkan anafilaksis.


Gambar Etiologi Reaksi Anafilaksi
3.4 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas

tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I diklasifikasikan

menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya menyerang kulit atau

traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan asma

alergi. Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya urtikaria, angioedema, dan

anafilaksis. Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka hanya akan menyerang kulit

(urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema), namun ketika reaksi yang terjadi

berat maka akan berakibat menyeluruh (generalisata) dan bersifat life-threatening

medical emergency (anafilaksis) (Butterworth, 2013).

3.4.1 Mekanisme Reaksi Anafilaksis

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase

sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan

fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen

yang sama sampai timbulnya gejala (Ewan, 1998).

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan

ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut

kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang

menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma

memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor

permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.


Gambar Reaksi Hipersensitif Tipe 1

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen

yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik

dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara

lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula

yang di sebut dengan istilah preformed mediators (Longecker, 2008).

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran

sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi

beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase

Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada

organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan


permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi

trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.

Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi

(Longecker, 2008).

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan

penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti

dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi

yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada

keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat terjadi

sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi

miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50

% volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit (Mustafa, 2013).

Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator

pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus

gastrointestinalis, dan kulit.

3.4.2 Pengaruh Mediator Inflamasi

Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator

kimia yang sangat kuat, memacu peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala

anafilaksis.
Gambar Pengaruh Mediator Inflamasi

a. Histamin

Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2.

Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular,

sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster, Beberapa tipe

antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antihistamin

lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat

pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.

Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai

organ. Histamin dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskuler

menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuliuh darah yang

lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya

histamin meinggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler.


Perubahan vaskuler ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari

Lewis), dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan

angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi

mukosa lambung, dan bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka

aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan

hipermotilitas (Rachman, 2007).

b. Newly Synthesized Mediator (Leukotrien, Prostaglandin, Tromboxan)

Newly Synthesized Mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin, dan

tromboxan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos,

peningkatan permeabilitas, dan sekresi mukus.

Newly Synthesized Mediator berbeda dengan histamin, heparin, ECF-A,

mediator ini tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Newly

synthesized mediator berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh

enzim fosfolipase A2 menjadi asam arakidonat dan lyso-platelet activating

factor (Lyso-PAF). Kemudian asam arakidonat disintesis menjadi leukotrien

oleh enzim lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboksan oleh enzim

siklooksigenasem sedangkan lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator

ini tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh

antihistamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang

disebabkan oleh newly synthesized mediator (Rachman, 2007).

c. Eosinophyl chemotacting factor- anaphylaxsis (ECF-A)

ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan

segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi


anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-

antibodi yang ada dan menghalangi aksi newly synthesized mediator dan

histamin (Rachman, 2007).

d. Platelets Activating Factor (PAF)

PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas

pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah

diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradikinin (Rachman, 2007).

e. Bradikinin

Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara

lambat, lama, dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya

edema jaringan, serta merangsang serabut saraf dan menyebabkan rasa nyeri.

Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi mukus dalam

traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya

melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau newly

synthesized mediator (Rachman, 2007).

f. Serotonin

Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit

dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain.

Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya

sebentar, sehingga tidak penting perannya pada anafilaksis (Rachman, 2007).

g. Prostaglandin
Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi

pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan

kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan

prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos

bronkus (Rachman, 2007).

h. Kalikrein

Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas

pembuluh darah dan tekanan darah (Rachman, 2007).

3.5 Diagnosis

3.5.1 Kriteria Klinis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan

obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada pasien dengan reaksi

anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan

alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy

Organization telah membuat suatu kriteria.


1. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau

kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,

pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu

dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,

wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) atau penurunan tekanan darah atau


gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia).

2. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak

setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa

menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit

(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,

kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise

(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,

hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan

(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal

yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).

3. Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada

alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok

anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah

(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% Sementara

pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau

penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

3.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan

diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis

secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom

yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan

penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE

spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) at au ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab

yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit

paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian

penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.

Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi

hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-

lain.
3.6 Penatalaksanaan

Gambar 2 Algoritma Penanganan Reaksi Anafilaktik


3.6.1 Tindakan

Jika terjadi reaksi anafilaktik maupun syok anafilaktik setelah kemasukan

alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling

penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan

alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita

pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan

aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan

tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan

circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan

bantuan hidup dasar.

Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak

ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan

leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan

melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,

dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera

ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau

trakeotomi.

Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.

Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya

obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan

napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan

napas dan oksigen 5-10 liter /menit.


Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis

atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (RJP).

Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau

sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah

suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan

elama 1-2 menit.

3.6.2 Obat-obatan

a. Adrenalin

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun

sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah

pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi

intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan.

Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01

ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15

menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan (Mulkus et al,

2013).

Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg

(larutan 1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan

atas atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan

adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah

suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat

diulangi dengan jarak waktu 5 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau
kolaps vaskular atau tidka bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat

diberikan adrenalin 0,01-0,05 mg/kgBB(larutan1:10.000) secara intravena

dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit

(Rachman, 2007).

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan

tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama

anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan

sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan,

adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat (Mulkus et al,

2013).

b. Antihistamin

Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi

dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh

pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator

tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin (Rachman, 2007).

Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat 5-10

menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg

sebagai dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Difenhidramin bukan

merupakan substitusi adrenalin. Obat ini dapat diteruskan secara oral setiap 6

jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria

dan angioedema. Jika penderita tidak berspon dengan tindakan tersebut, dalam

artian tetap hipotensi dan dispnu, maka perlu dilakukan perawatan intensif.

c. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7

mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan

jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat

(15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat

diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5

mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam (Rachman, 2007).

Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol).

Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-

4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi (Mulkus et al, 2013).

d. Vasopresor

Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan

metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai

suntikan tunggal secara lambat dnegan memonitor aritmia jantung, bila terjadi

aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi jika

diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor

lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1ml) dalam 250 ml cairan

intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang

diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

e. Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan

hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek

episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Kortikosteroid juga


berguna untuk mencegah gejala lama yang rekuren. Mula-mula diberikan

Hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB

setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB (Mulkus et al, 2013).

Pengobatan dihentikan sesudah 2-3 hari (Rachman, 2007).

3.6.3 Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk

koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai

tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan

meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan pilihan

pertama mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler.

Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4

kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik

berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.

Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang

sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa

melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid

merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk

mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan

kristaloid dapat diberikan 1-2 liter atau 5-10 cc/kgBB pada dewasa sedangkan

pada anak-anak dapat diberikan 10-20 cc/KgBB.


3.7 Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan reaksi

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis

riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan

etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit

asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,

mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes

kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat

tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi

anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian

dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan

observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang

kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.

Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada

penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan (Mulkus et al,

2013).
DAFTAR PUSTAKA

1. F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC at al. World Allergy Organization

Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011;

Available from: www.worldallergy.org

2. F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC at al. 2012 Update: World Allergy

Organization Guidelines for the assessment and management of

anaphylaxis. 2012; Available from: www.worldallergy.org

3. European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Global Atlas of

ALLERGY. 2014; Available from:

http://www.eaaci.org/GlobalAtlas/GlobalAtlasAllergy.pdf

4. Setiati S, et all. editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:

InternaPublishing; 2014.

5. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam

Anesthesiology. 2008; Chapter 88, hal 1948-1963.

6. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview .

7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and

Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006

8. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and

Management. 2006. Available at:

https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-diagnosis-and-

management .
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and

Treatment. In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:

http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-

treatment .

10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesisa. Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. 2005; Available from:

http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.pdf

Anda mungkin juga menyukai