Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anafilaktik merupakan keadaan akut yang berpotensi mengancam jiwa dan paling

sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.

Gambaran klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya

cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul,

seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.1

Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat, tidak

terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai

menyebabkan kematian.2 Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan

melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu

diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat

mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar

1-3 tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka

kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan

mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006. Oleh sebab itu penulis tertarik

untuk membahas Syok Anafilaktik dalam bentuk referat ini.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang reaksi

anafilaksis dan penanganannya. Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah

untuk mengetahui klasifikasi, cara mendiagnosis dan penatalaksanaan dari reaksi

anafilaksis.

1.3 Metode Penulisan


1
Metode penulisan dari makalah ini adalah dengan tinjauan pustaka yang

merujuk berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2. 1. Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan

phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya

melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari

pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).3 Anafilaktik merupakan reaksi

alergi yang dimediasi IgE. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan

kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi

hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat berujung pada

syok anafilaktik.2,4,5 Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang

timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.

2. 2. Epidemiologi

Menurut The American College of Allergy, Asthma and Immunology

didapatkan antara 30 dan 950 kasus anafilaktik per 100.000 orang per tahun. 6 Insidens

syok anafilaktik 4060% adalah akibat gigitan serangga, 2040% akibat zat kontras

radiografi, dan 1020% akibat pemberian obat penisilin. Data yang akurat dalam

insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat kurang. Anafilaksis

yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat per tahun.

Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik

seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Penisilin merupakan penyebab kematian

100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.5

2. 3. Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah

sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan

alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah

makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
3
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang

biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan

anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan

otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras

intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan

anafilaksis.4,7

2. 4. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas

tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase

sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk

pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit

dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan

ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.4,7

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan

ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut

kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang

menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma

memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor

permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.4,7

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang

sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan

memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain

histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di

sebut dengan istilah preformed mediators.4,7

4
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran

sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi

beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase

Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ

organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan

permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik

menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan

menyebabkan bronkokonstriksi.4,7

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan

penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan

penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut

pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang

membahayakan penderita.

5
Gambar 1a dan 1b. Patofisiologi syok anafilaktik

2. 5. Manifestasi Klinis

Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya

sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang,

namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah

gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul

bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik

sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan

penderita.5

Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja

yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala

klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak

6
mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin

merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa

gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa

gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang

lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram, mual,

muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya

gejala gangguan nafas dan sirkulasi.5

Pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak, frekuensi napas

meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan

gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital,

mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan

eritema.5

2. 6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan

diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk

memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil

darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik

dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.4,7

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab

yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan

lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes

fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.4,7

7
2. 7. Diagnosis

Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization

telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat

mungkin bila :

1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit,

jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan

kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda

berikut ini:

1) Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme,

stridor, penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia).

2) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ

target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).

2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga

beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:

1) Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit

2) Gangguan respirasi

3) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ

target

4) Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)

3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar

alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:

1) Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi

penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula.

2) Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan >30% dari

tekanan darah sistolik semula.

8
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 6:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala


- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi

lebih lambat dari onset


- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena

akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan

lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.


- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak

(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa

tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami

obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest

Circulation problem

- Tanda syok, pucat, berkeringat.


- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah

walaupun individu dengan normal arteri kononer.


- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
9
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi

anafilaksis.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar,

merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.


- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih

dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan

tenggorokan.

2. 8. Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang

tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan

penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis

mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan

berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator

tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ.

Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah 5:

1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis

1) Serangan asma akut

2) Sinkop

3) Gangguan cemas / serangan panik

4) Urtikaria akut generalisata

5) Aspirasi benda asing

6) Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)

7) Kelainan neurologis akut (kejang, stroke)

2. Sindrom flush

1) Perimenopause
10
2) Sindrom karsinoid

3) Epilepsi otonomik

4) Karsinoma tiroid meduler

3. Sindrom pasca-prandial

1) Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna,

yang disimpan pada suhu tinggi.

2) Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur yang

mengandung protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan

alergen di udara

3) Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome

4) Sulfit

5) Keracunan makanan

4. Syok jenis lain

1) Hipovolemik

2) Kardiogenik

3) Distributif

4) Septik

5. Kelainan non-organik

1) Disfungsi pita suara

2) hiperventilasi

3) Episode psikosomatis

6. Peningkatan histamin endogen

1) Mastositosis / kelainan klonal sel mast


11
2) Leukemia basofilik

7. Lainnya

1) Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II, atau

III, angioedema terkait ACE-inhibitor)

2) Systemic capillary leak syndrome

3) Red man syndrome akibat vancomycin

4) Respon paradoksikal pada feokromositoma

2. 9. Penatalaksanaan

Menurut Panduan Praktik Klinis tahun 2014, penatalaksanaan reaksi

anafilaktik adalah sebagai berikut:

1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal

dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan

darah ikut meningkat.

2. Pemberian Oksigen 35 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang sangat

ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

3. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan

utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan

tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai

cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai

tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Adrenalin 0,3 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler

yang dapat diulangi 510 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,

12
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara

intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2

ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan

perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok

anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat

vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

5. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme

belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan

perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi

melalui drips infus bila dianggap perlu.

6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin.

Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat

diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi

selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang

biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 520 mg IV dan untuk golongan

kortikosteroid dapat digunakan deksametason 510 mg IV atau hidrokortison

100250 mg IV.

7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac

arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai

dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya

henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di

setiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency,

perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit)

untuk memudahkan tindakan secepatnya.

13
Gambar 2. Alogaritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaktik

Rencana Tindak Lanjut

Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta

memberitahukan kepada pasien dan keluarga.

Konseling dan Edukasi

Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya

terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi

lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang

tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi

14
lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sama

bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti

dengan preparat lain yang lebih aman.

2.10. Prognosis

Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan

pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.5 Penanganan yang

cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang

menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali

akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi

setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem

organ yang lebih luas lagi.

BAB III
15
KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok

anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat

tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu

makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat

meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat,

riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam

hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada

vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat

terjadi pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu

seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok

anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi

anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala;

penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-

obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu

berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke

rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat

dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang

menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-
14455.

2. Anaphylaxis Topics in: Allergic, Autoimune, & Other Hypersensitivity Disorders.


The Merck Manual Professional Edition.

3. Nahak, MM. Shock anafilaksis akibat anestesi lokal menggunakan lidocaine.


2013. 1 (2): 106-14.

4. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.


2008; Chapter 88, hal 1948-1963.2.

5. IDI. Panduan praktik klinis. 2014. Jakarta.

6. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of


anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

7. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-
14455.

17

Anda mungkin juga menyukai