Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi Syok Anafilatik


Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang memadai; syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian
sel maupun jaringan.
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical Immunology
Nomenclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general atau sistemik. Hal ini
dikarakteristikkan oleh progresivitas perburukan yang cepat dan mengancam nyawa pada
jalan napas dan/atau pernapasan dan/atau sirkulasi dan umumnya disertai perubahan pada
kulit dan mukosa.

1.2. Etiologi Syok Anafilatik


Menurut Tim Medis Siloam (2023), Penyebab anafilaksis adalah reaksi alergi
yang parah (hipersensitivitas), dimana reaksi ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh
memberikan respon abnormal atau berlebihan terhadap pemicu alergi (bahan atau zat
tertentu). Syok anafilaksis dapat dipicu oleh beberapa jenis alergen, seperti:
1) Makanan dan minuman tertentu, seperti susu, kacang, makanan laut, telur, atau
gandum.
2) Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti obat anti kejang, pelemas otot,
antibiotik, atau obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).
3) Bahan pengawet makanan.
4) Tanaman, misalnya serbuk sari bunga.
5) Sengatan serangga, seperti tawon, lebah, atau semut merah.
6) Bahan-bahan lainnya, misalnya debu.
Anafilaksis juga dapat dipicu oleh olahraga, namun hal ini jarang ditemukan. Bahkan
pada beberapa kasus, anafilaksis tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).
Meskipun begitu, anafilaksis adalah kondisi yang juga bisa dipicu oleh beberapa faktor
risiko berikut ini:
 Asma atau alergi.
 Memiliki keluarga dengan riwayat syok anafilaksis.
 Pernah mengalami anafilaksis sebelumnya.

1.3. Tanda dan gejala Syok Anafilatik


Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
1. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
2. Pernapasan :
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
3. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
4. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi.
5. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
6. Mata : gatal, lakrimasi
7. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
1.4. Patofisiologi Syok Anafilatik
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat
terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang
tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau
sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik.
Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila
dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot
polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler.
Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps
kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak
langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan/suntikan. Pada reaksi
anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui
tusukan/suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang
spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel
makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk
melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic (
IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan
menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini
akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil
membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan
pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses
sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka
antigen ini akan segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat
membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan
basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti
histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini
selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses
merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan
karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi
dengan hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil
terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil
oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan
menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena
proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase
lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan
reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala
dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat
mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara
langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika :
vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan
akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang
ditimbulkan dapat berupa:
1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi
usus menyebabkan diare.
3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus,
epiglottis dan laring.
4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
5. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat
hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Leukotrin (SRSA) dan
tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan
bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh
histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat
meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat
pula disebabkan oleh PAF.
1.5. Pathway Syok Anafilatik

Alergen
(Antibiotik, makanan, obat-obatan, sengatan serangga)

Terpapar pada sel plasma

Pembentukan Ig E spesifik terhadap alergen

Reaksi antibodi

Lepasnya mediator kimia


(histamine, serotonin, bradykinin)

Syok Anafilatik

Peningkatan mucus pd
Spasme bronkus Spasme pembuluh
jalan napas
Peningkatan permeabilitas darah koroner
vaskular
Penyempitan
Gangguan pd Jalan Napas Jalan Napas Penurunan aliran darah
Perpindahan cairan dr pd arteri koroner
intravascular ke instertisial
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas Penurunan suplai oksigen
Penurunan tekanan perfusi jaringan ke miokard jantung
Penurunan cairan
Jaringan kekurangan suplai intravaskular Miokard kekurangan
darah (oksigen) oksigen (energi)

Penurunan aliran darah balik


Penurunan kekuatan
Penurunan Perfusi Jaringan
kontraksi otot jantung
Perifer Penurunan Tekanan Daraf

Penurunan Curah
Kekurangan Volume
Jantung
Cairan
1.6. Pemeriksaan Penunjang Syok Anafilatik
Menurut dr. Khrisna Rangga Permana (2023), Pemeriksaan penunjang umumnya
tidak diperlukan dalam penegakan diagnosis anafilaksis. Pemeriksaan penunjang dapat
dimanfaatkan untuk mengidentifikasi alergen pencetus.
1) Kadar Triptase Serum
Dewasa ini, triptase serum direkomendasikan untuk diperiksa dalam 30
menit hingga 2 jam setelah muncul reaksi awal, kemudian pemeriksaan ulang
dalam 24 jam setelah pemulihan total gejala anafilaksis. Peningkatan kadar
triptase serum mengindikasikan adanya anafilaksis. Meski demikian,
pemeriksaan ini tidak boleh menunda terapi. Keterbatasan dari triptase serum
adalah tidak semua pasien menunjukkan elevasi, terutama pada anak dan pasien
dengan pencetus makanan.
2) Pemeriksaan Alergi
Skin test dan pemeriksaan IgE in vitro bisa digunakan untuk menentukan
penyebab dari reaksi anafilaksis. Pemeriksaan ini dilakukan sesuai penggalian
riwayat pasien dari anamnesis yang mengarahkan pada kecurigaan etiologi
spesifik. Hasil pemeriksaan bisa menunjukkan alergi zat makanan tunggal atau
multipel, alergi obat, atau hipersensirivitas non-IgE.

1.7. Penatalaksanaan Syok Anafilatik


1.7.1. Terapi Farmakologi
Suatu syok anafilatik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1) Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini
disebabkan 3 faktor yaitu :
a. Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga
penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan
pembunuh utama.
b. Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan
inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik
kembali.
c. Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan
produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical
mediator dapat berkurang atau berhenti.
2) Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme
belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan
perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg
lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
3) Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut
kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya
mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak
menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai
membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness
atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCl 5–20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid
dapat digunakan deksametason 5–10 mg IV atau hidrocortison 100–250
mg IV.
1.7.2. Terapi Non-Farmakologi
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa
dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3–5
ltr/menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
3. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah
masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan
plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi
volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer
Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah
kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur
resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah
ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung
pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat
infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk
memudahkan tindakan secepatnya.

Anda mungkin juga menyukai