Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

PEDIATRI

SYOK ANAFILAKSIS

OLEH :

Novianita Anugrah Islami

201610330311010

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang

berlebihan terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh

bahan tersebut. Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin,

tryptase dan bahan vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi

anafilaktik ini dimediasi langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui

sensitasi antibodi IgE.

Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering dijumpai pada

pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi (tubokurare,

alkuronium, atrakurium). Manifestasi klinik biasanya ringan, terdiri dari urtikaria

(kemerahan dan pembengkakan kulit), biasanya sepanjang vena, kemerahan pada

tubuh dan kadang-kadang hipotensi ringan.

Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi alergi

tidak terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang terlibat dalam

menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton, suksametonium, obat

pelumpuh otot non depolarisasi, anestetik lokal golongan ester, antibiotik, plasma

ekspander (dextran, kanji dan glatin) serta lateks.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui

lebih jauh tentang syok anafilaksis terkait definisi, epidemiologi,


patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan fisik,

penatalaksanaan, komplikasinya, dan prognosis.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah

pengetahuan dan pemahaman penulis maupun pembaca

mengenai syok anafilaksis terkait definisi, epidemiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan fisik,

penatalaksanaan, komplikasinya, dan prognosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi Syok Anafilaktik

Sindrom klinis syok yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe 1

(alergi) sistemik. Insidens syok anafilaktik 40-60% adalah akibat gigitan

serangga, 20-40% akibat zat kontras radiografi, dan 10-20% akibat pemberian

obat penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok

anafilaktik masih sangat kurang. Anafilaktik yang fatal hanya kira-kira 4 kasus

kematian dari 10 juta masyrakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius

anafilaktik adalah akibat akibat pemberian antibiotik seperti penisilin dan bahan

zat radiologis. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian

akibat reaksi anafilaktik.

2.2 Patofisiologi

Anafilaksis dikelompkkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type

reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan

dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan

IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.

Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:

A. Fase Sensitisasi

Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya

olehreseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk

lewat kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana

ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B

berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi

Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat

pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

B. Fase Aktivasi

Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang

sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen

yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik

dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara

lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari

granula yang disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah

dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis. Banyak tanda dan gejala

anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada reseptor tersebut:

mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia dan

bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam

memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang

degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan Leukotrien

(LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi

yang disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan

dilatasi pembuluh darah.


C. Fase Efektor

Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada

organ – organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi,

mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan

bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF)

berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan

aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.

Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga

dengan Leukotrien.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran

makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen

tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)

yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel

plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada

reseptor pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen

yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik

dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari

granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari

membrane sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)

yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed

mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks

(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin memberikan efek

bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi

trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.

Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan

terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini

menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang

diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan

perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi

pada keadaan syok yang membahayakan penderita.

2.3 Manifestasi Klinis

Anafilaksis dicurigai terjadi pada pasien yang telah dianestesi jika timbul

hipotensi atau bronkhospasme secara tiba-tiba, terutama jika hal tersebut terjadi

setelah pemberian suatu obat atau cairan. Alergi lateks mungkin mempunyai onset
yang lambat, kadang-kadang memerlukan waktu sampai 60 menit untuk

bermanifestasi.

 Kardiovaskuler. Hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. Takikardi, aritmia,

EKG mungkin memperlihatkan perubahan iskemik. Henti jantung.

 Sistem Pernapasan. Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat

menyebabkan stridor atau obstruksi saluran napas. Bronkospasme – pada

yang berat.

 Gastrointestinal. Terdapat nyeri abdomen, diare atau muntah.

 Hematologi. Koagulopati.

 Kulit. Kemerahan, eritema, urtikaria.

2.4 Diagnosis dan Pemeriksaan Fisik

A. Diagnosis klinis

World Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria dimana reaksi

anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:

1. Onset gejala akt (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan

kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal : urtikaria generalisata,

pruritus dengan kemerahan, pembengkakan bibih/lidah/uvula) dan

sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:

- Gangguan respirasi (misal : sesak nafas, wheezing akibat

bronkospasme, stridor, penurnan arus puncak ekspirai/APE,

hipoksemia

- Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan

organ target (misal : hipotonia, kolaps vasklar, sinkop, inkotinensia)


2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang mncul segera (beberapa enit

hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin yaitu :

- Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit

- Gangguan respirasi

- Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan

organ target

- Gejala gastrointestinal dyang persisten (misal : nyeri kram abdomen,

muntah)

3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah

terpapar alergen yang telah diketahui sesuai kriteria berikut :

- Bayi dan anak : tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau

terjadi penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semla

- Dewasa : tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan >

30% dari tekanan darah sistolik semula.

2.5 Penatalaksanaan Syok Anafilaksis

Terapi segera terhadap reaksi yang berat

 Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta pertolongan

 Lakukan resusitasi ABC

 Adrenalin sangat bermanfaat dalam mengobati anafilaksis, juga efektif

pada bronkospasme dan kolaps kardiovaskuler.

A – Saluran Napas dan Adrenalin

 Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%

B – Pernapasan
 Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin

diperlukan

 Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas atas.

 Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin IV

mungkin dibutuhkan jika bronkospasme refrakter (dosis muat 5 mg/kg

diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).

C – Sirkulasi

 Akses sirkulasi jika mulai henti jantung lakukan RJP

 Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1 : 10.0000, 0.5 – 1 ml, dapat

diulang jika perlu. Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg (0,5 – 1 ml

dalam larutan 1 : 1000) secara IM diulang setiap 10 menit jika dibutuhkan.

Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.

 Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya memberikan

infus saline normal. Koloid dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan

sebagai sumber reaksi anafilaksis).

 Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau

memiringkan posisi pasien sehingga kepala lebih rendah.

 Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian cairan dan

adrenalin, beri dosis adrenalin atau infus intravena lanjutan (5 mg dalam

50 ml saline atau dekstrose 5% melalui syringe pump, atau 5 mg dalam

500 ml saline atau dekstrose 5% yang diberikan dengan infus lambat).

Bolus adrenalin intravena yang tidak terkontrol dapat membahayakan,

yaitu kenaikan tekanan yang tiba-tiba dan aritmia. Berikan obat tersebut
secara berhati-hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba lakukan

monitor EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.

Dosis intramuskuler adrenalin pada anak


> 5 tahun 0,5 ml dengan
pengenceran 1 : 1000
4 tahun 0,4 ml dengan
pengenceran 1 : 1000
3 tahun 0,3 ml dengan
pengenceran 1 : 1000
2 tahun 0,2 ml dengan
pengenceran 1 : 1000
1 tahun 0,1 ml dengan
pengenceran 1 : 1000
Penatalaksanaan Lanjut

 Berikan antihistamin. H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg IV) dan

H2 bloker ranitidin (50 mg IV lambat) atau simetidin (200 mg IV lambat).

 Kortikosteroid. Berikan hidrokortison 200 mg IV diikuti dengan 100 – 200

mg 4 sampai 6 jam. Steroid memakan waktu beberapa jam untuk mulai

bekerja.

 Buat keputusan apakah membatalkan atau melanjutkan usulan

pembedahan.

 Pindahkan pasien di tempat yang perawatannya yang lebih baik (misalnya

unit perawatan intensif, ICU) untuk observasi dan terapi lebih lanjut.

Reaksi anafilaktik mungkin memakan waktu beberapa jam untuk dapat

diatasi dan pasien harus diobservasi secara ketat pada masa-masa tersebut.

Reaksi yang tidak terlalu berat

 Anafilaksis kadang-kadang menimbulkan reaksi yang tidak terlalu berat.

Terapi serupa dengan regimen di atas, tetapi adrenalin IV mungkin tidak

dibutuhkan. Lakukan tindakan ABC seperti yang telah dijelaskan, dan


nilai respon terhadap terapi tersebut. Obat seperti efedrin dan metoksamin

mungkin efektif untuk mengatasi hipotensi bersama dengan cairan IV.

Tetapi, jika keadaan pasien menunjukkan perburukan gunakan selalu

adrenalin.

2.6 Diagnosis Banding

1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis

- Serangan asma akut

- Sinkop

- Gangguan cemas/serangan panik

- Urtikaria akut generalisata

- Aspirasi benda asing

- Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)

- Kelainan neurologis akut (kejang, stroke)

2. Sindrom flush

- Perimenopause

- Sindrom karsinoid

- Epilepsi otonomik

- Karsinoma tiroid meduler

3. Sindrom pasca-prandial

- Scombroidosis

- Sindrom alergi makanan berpolen

- Monosodim glutamat atau chinese restaurant syndrome

- Sulfit
- Keracunan makanan

4. Syok jenis lain

- Hipovolemik

- Kardiogenik

- Distributif

- Septik

5. Kelainan non-organik

- Disfungsi pita suara

- Hiperventilasi

- Episode psikosomatis

6. Peningkatan histamin endogen

- Mastositosis

- Leukimia basofill

7. Lainnya

- Angioderma non alergik

- Systemik capillary leak syndrome

- Red man syndrome akibat vancomycin

- Respon paradoksikal pada feokromasitoma

2.7 Komplikasi

- Koma

- Kematian

2.8 Konseling dan Edukasi


Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya

terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisilin,

anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.

Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma rinitis, eksim, atau

penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba

menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi

betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.

2.9 Prognosis

Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa

dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dbia ad bonan (tidak tentu/ragu-

ragu,cenderung sembuh/baik.
BAB III
KESIMPULAN
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemk yang berat dan termasuk ke

dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs.

Reaksi anafilaksis dapat disebabkan oleh beragam macam sebab, diantaranya

makanan, lateks, obat-obatan, reaksi sengatan serangga serta masih banyak

penyebab lainnya. Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang dapat mengancam

nyawa, karena reaksi tersebut timbul secara mendadak dan tidak dapat diprediksi

sebelumnya, sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan

basofil, yang mempengaruhi lebih dari satu sistem organ yag gejalanya timbul

serentak atau hampir serentak, seperti pada kulit dan jaringan bawah kulit, saluran

respirasi atas dan bawah, sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, serta sistem

organ lainnya.

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis

dan merupakan bagian dari syok distributive yang ditandai oleh adanya hipotensi

yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai

kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian

pada beberapa pasien.

Penatalaksanaan syok anafilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan

alergen yang menyebabkan rekasi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki

diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung

paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosi; monitoring

keadaan hemodinamik penderita bila perlu rujuk berikan terapi cairan secara

intravena, observasi keadaan penderit bila rujuk ke rumah sakit.


Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara

cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang

menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Liwang, F dan Arief Mansjoer. 2014. Syok Anafilaktik dalam Buku Kapita
Selekta. Jakarta. Media Aesculapius. pp 860-865

Marsis OI. 2014. Reaksi Anafilaktik dalam Buku Panduan Praktik Klinis. Jakarta.
Media Aesculapius. pp 44-47

Salam, S.H. 2016. Penatalaksanaan Syok Anafilaksis. Medical UNHAS. pp 1-4

Salam, S.H. 2016. Syok Anafilaksis. Medical UNHAS. pp 1-13

Sidemen, I.G.P.S., Penatalaksaan Syok Anafilaktik. 2016. FK UDAYANA. pp 4-


8

Anda mungkin juga menyukai