Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak
adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan
pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain
tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi
hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel sehingga
Syok Anafilaktik
perlindungan Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat
menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen
Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi
anafilaktoid yang memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi
degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE
(Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributifyang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata
akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. (Neugut AI,
Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An Investigation Into
Epidemiologi
Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
(Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21)
Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi anafilaksis
saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat
menunjukkan 10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya.
Penelitian lain menunjukkan bahwa rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah
0.0004%, 0.7-10% untuk penisilin, 0.22-1% untuk media radiokontras, dan 0.5-5%
untuk gigitan serangga.
Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami
reaksi anafilaksis, dengan resiko mengalami kematian sebesar 1%. Dari 1453 sampai
1503 kematian tiap tahunnya akibat syok atau reaksi anafilaksis, 100 disebabkan oleh
makanan, 400 oleh penisilin, 900 oleh media radiokontras, 3 oleh lateks, 40-100 oleh
getah. Data yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa anafilaksis merupakan
masalah serious kesehatan di USA.
lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung
ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok,
gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak. Ringkasan etiologic syok
2.2.4 Patofisiologi
Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)
spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil.
Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed
mediators. Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada
reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia
dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam
memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan Leukotrien
(LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi
pembuluh darah.
Fase Efektor
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor pemukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik,
menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis
yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang
dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang
berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis
sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana syok
anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.
Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang
sukar dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.
Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.
Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin
dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak,
dan stridor. Di samping itu, terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring
dan spasme bronkus.
Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka
atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan lakrimasi
pada mata. Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang.
Tanda klinis syok anafilaksis dapat ditunjukkan melalui gambar berikut:
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah
dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
Diagnosis
1. Onset yang akut (dari beberapa menit sampai beberapa jam) disertai dengan gejala-
gejala yang terjadi pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria, pruritus,
edema pada bibir-lidah-uvula). Dan minimal satu dari gejala yang berikut ini:
Penanganan syok anafilaktik sama dengan pengatasan syok yang lain yaitu:
2. Posisi yang dianjurkan adalah kaki berada lebih tinggi dari kepala pada posisi supine.
3. Berikan adrenalin (epinefrin) sebagai drug of choice. Injeksi larutan epinefrin sebanyak
0,01 ml/kgBB, maksimum 0,3 ml (larutan 1:1000) secara intra muskular pada lengan
atas atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena injeksi, berikan injeksi adrenalin kedua
0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah injeksi untuk mengurangi
absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5 menit
bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular maupun tidak berespon
1:1000)
secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10
menit.
4. Injeksi epinefrin diulangi bila perlu setiap 10-20 menit, jika tempat injeksi dapat
dilokalisir dapat diberikan secara subkutan dengan dosis yang sama 0,l-0,2 mg pada
tempat injeksi. Secara umum diberikan (a) ciifenhidramin l,25 mg/kg maksimum 50 mg
5. Bila anafilaksis terjadi karena injeksi pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan
berbisa, maka dipasang tourniquet proksimal dari tempat masuknya antigen. Setengah
dari dosis epinefrin tersebut dilarutkan dalam 2 ml NaCl 0,9% dan diinfiltrasikan di
sekitar tempat masuknya antigen tersebut. Setiap 10 menit, tourniquet ini dilonggarkan
mmHg, perlu diberikan O2 baik melalui mask, kateter hidung atau endotracheal tube
7. Bila terjadi hipotensi harus diberikan (a) epineprin (1:1000) 1 ml dalam 500 ml NaCl
0,9% 0,5-2,0 ml/min atau l,4 μg/min melalui vena sentral, (b) NaCl 0,9%, ringer laktat
atau larutan osmotik koloid, (c) levarterenol bitartrat 4 mg dalam 100 cc dalam
dekstrose 5% dengan dosis 2-12 μg/min, (d) glukagon jika pasien mendapat terapi B-
blocker, 1 mg/ml IV bolus atau infus 1 mg/liter dekstrose 5% dengan kecepatan 5-15
ml/menit.
8. Bila terjadi edema, langsung berikan epinefrin IV dan bronkodilator. Dapat juga
diberikan 1 cc (0,1 mg) epinefrin dalam larutan l0 cc NaCl 0,9% IV secara pelahan-
lahan lebih dari 5 menit. Dosis ini dapat diulangi satu atau dua kali setiap 10 menit.
Pertimbangkan pula pemberian infus dengan dosis permulaan 0,5-10 μg/menit bila
terjadi hipotensi. Bila terjadi obstruksi laring dapat dilakukan intubasi endotrakea,
mg/kgBB diberikan IV dengan kecepatan lambat selama 5-10 menit, segera setelah
pemberian epinefrin. Obat-obatan antihistamin ini diberikan tiap 6 jam selama 48 jam
10. Infus cairan NaCl dextrose (20 ml/kgBB) untuk pemberian (bila diperlukan) elektrolit,
plasma ekspander, obat-obatan dan sebagainya. Bila terjadi hipotensi, payah jantung,
aritmia atau anoksia, maka sangat diperlukan pengawasan terhadap tekanan darah, CVP,
11. Bila terjadi bronkospasme/obstruksi jalan napas, bradikardi atau cardiac standstill yang
tidak dapat diatasi dengan pemberian epinefrin, maka diberikan aminofilin 4-7
mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
12. Untuk hipotensi yang menetap, berikan norepinefrin 4 ml/liter dextrose 5% dan
13. Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
injeksi tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung. Bila terjadi
aritmia jantung, terapi harus dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila
diperlukan untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
mungkin menolong pada syok yang refrakter, urtikaria persisten atau oedem
dengan bolus infus. Terapi biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari. Dapat
15. Isuprel (isoproterenol) IV drip 0,2 mg/100 ml dextrose 5% diberikan bila tidak
ada persediaan epinefrin atau bila resisten dengan terapi lainnya. Harap
obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital.
Tergantung dari beratnya reaksi, terapi suportif ini dapat diberikan selama
Pencegahan
Soar J, Pumphrey R, Cant A, Clarke S, Corbett A, Dawson P, et al. Emergency
treatment of anaphylactic reactions —– Guidelines for healthcare providers ଝ. 2008;
Tse Y, Rylance G, Infirmary RV. Emergency management of anaphylaxis in children
and young people : new guidance from the Resuscitation Council ( UK ). 2009;97– 101.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negative pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dewasa tes kulit negatif, dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bisla tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuscular ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat
penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anafilaksis serta
adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Interna Publishing, Jakarta
Dengan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien yang pernah
mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resikountuk memperoleh reaksi yang sama
bila terpajan oleh pencetus yang sama.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe, alergen,
atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE
Inhibitir, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan
reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.