Anda di halaman 1dari 20

Definisi Syok

Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak

adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolism jaringan. Perfusi jaringan yang

adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan

pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain

tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi

hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel sehingga

seringkali menyebabkan kematian pada pasien. (Wiryana M, 2002, Syok dan

Penanganannya, Seminar Sehari Traumatologi, IKAYANA FK UNUD, Denpasar)

Syok Anafilaktik

Definisi Syok Anafilaktik


Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan

phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan

perlindungan Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat

menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen

atau pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas

Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi

anafilaktoid yang memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi

degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE

(Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An

Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21)

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributifyang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata
akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan

anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya

hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. (Neugut AI,

Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An Investigation Into

Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21)

Epidemiologi
Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
(Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21)

Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi anafilaksis
saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat
menunjukkan 10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya.
Penelitian lain menunjukkan bahwa rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah
0.0004%, 0.7-10% untuk penisilin, 0.22-1% untuk media radiokontras, dan 0.5-5%
untuk gigitan serangga.

Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami
reaksi anafilaksis, dengan resiko mengalami kematian sebesar 1%. Dari 1453 sampai
1503 kematian tiap tahunnya akibat syok atau reaksi anafilaksis, 100 disebabkan oleh
makanan, 400 oleh penisilin, 900 oleh media radiokontras, 3 oleh lateks, 40-100 oleh
getah. Data yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa anafilaksis merupakan
masalah serious kesehatan di USA.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber


menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan, pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi karena sistem imun pada individu ini
belum sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal.

Etiologi: Cardona V, Ansotegui IJ, Ebisawa M, El-Gamal Y, Fernandez Rivas M,


Fineman S, et al. World allergy organization anaphylaxis guidance 2020. World
Allergy Organ J [Internet]. 2020;13(10):100472. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.waojou.2020.100472
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga dan

lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung

ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok,

gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak. Ringkasan etiologic syok

anafilaksis dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel. Contoh elisitor anafilaksis di seluruh


dunia(frekuensi tergantung pada usia, wilayah geografis, dan gaya hidup)3
Faktor-faktor yang dapat memperparah kondisi syok anafilaksis diantaranya:
Tabel. Faktor-faktor yang dapat memperparah kondisi syok anafilaksis

2.2.4 Patofisiologi

Anafilaksis dikelompkkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type reaction)


oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.
Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast,
yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui
3 fase mekanisme:
Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442- 1445

Fase Sensitisasi

Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)
spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil.

Fase Aktivasi

Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed
mediators. Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada
reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia
dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam
memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan Leukotrien
(LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi
pembuluh darah.

Fase Efektor

Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek


mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada organ-
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi, mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.

Gambar. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor pemukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang
di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane


sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor
(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya


fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan syok yang
membahayakan penderita.

Gambar. Patofisologi Syok Anafilaktik

Manifestasi Klinis Anafilaksis (Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik,


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing, Jakarta)

Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik,
menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis
yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang
dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang
berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis
sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana syok
anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.

Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi


respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula bentuk
lainnya seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa
tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan
kehilangan kesadaran. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis
adalah syok dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat
berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus.

Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang
sukar dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.
Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.

Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin
dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak,
dan stridor. Di samping itu, terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring
dan spasme bronkus.

Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai


syok, pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa
kelainan seperti geombang T datar, terbalik atau tanda-tanda infark miokard.

Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual-muntah, rasa kram diperut, diare


yang kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan peristaltic usus.

Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka
atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan lakrimasi
pada mata. Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang.
Tanda klinis syok anafilaksis dapat ditunjukkan melalui gambar berikut:

Gambar 1. Tanda dan Gejala Klinis Syok Anafilaksis


Pemeriksaan Penunjang:
Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442- 1445 6. Suryana K,
2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi Imunologi Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,


memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE pesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah
dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

Diagnosis

Suryana K, 2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi


Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Dari anamnesis dicari apakah pasien mendapatkan zat penyebab anafilaksis
seperti injeksi, minum obat, disengat hewan, atau setelah makan sesuatu. Pemeriksaan fisik
dilakukan berdasarkan criteria klinis dibawah ini.

1. Onset yang akut (dari beberapa menit sampai beberapa jam) disertai dengan gejala-
gejala yang terjadi pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria, pruritus,
edema pada bibir-lidah-uvula). Dan minimal satu dari gejala yang berikut ini:

a. Gangguan pada sistem respirasi (sesak, wheeze-bronchospasm, stridor)


b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan end-organ
dysfunction (hipotonia, syncope, incontinence).
2. Dua atau lebih gejala berikut ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen
yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam):
a. Gangguan pada kulit dan jaringan mukosa
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala lainnya yang berkaitan
d. Gangguan pada sistem pencernaan yang terjadi secara persisten
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien
tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam):
a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik yang rendah (tergantung umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
b. Orang dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Soar J, Pumphrey R, Cant A, Clarke S, Corbett A, Dawson P, et al. Emergency treatment of
anaphylactic reactions —– Guidelines for healthcare providers ଝ. 2008;
Tse Y, Rylance G, Infirmary RV. Emergency management of anaphylaxis in children and
young people : new guidance from the Resuscitation Council ( UK ). 2009;97– 101.
Gambar Algoritma Penanganan Reaksi Anafilaksis
Gambar Panduan Praktik Klinis Penanganan Reaksi Anafilaksis

Penanganan syok anafilaktik sama dengan pengatasan syok yang lain yaitu:

1. Memastikan pertukaran oksigen dengan cara melindungi jalan napas (Airway),

pernapasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation).

2. Posisi yang dianjurkan adalah kaki berada lebih tinggi dari kepala pada posisi supine.

3. Berikan adrenalin (epinefrin) sebagai drug of choice. Injeksi larutan epinefrin sebanyak

0,01 ml/kgBB, maksimum 0,3 ml (larutan 1:1000) secara intra muskular pada lengan

atas atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena injeksi, berikan injeksi adrenalin kedua

0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah injeksi untuk mengurangi

absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5 menit

bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular maupun tidak berespon

dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05 ml/kgBB (larugan

1:1000)
secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10

menit.

Tabel Dosis Adrenalin untuk Penanganan Syok Anafilaksis

4. Injeksi epinefrin diulangi bila perlu setiap 10-20 menit, jika tempat injeksi dapat

dilokalisir dapat diberikan secara subkutan dengan dosis yang sama 0,l-0,2 mg pada

tempat injeksi. Secara umum diberikan (a) ciifenhidramin l,25 mg/kg maksimum 50 mg

IV/IM, (b) hidrokortison 20 mg atau metilprednisolon 50 mg IV setiap 6 jam selama 24-

48 jam, dan (c) simetidin 30 mg IV setelah 3-5 menit.

5. Bila anafilaksis terjadi karena injeksi pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan

berbisa, maka dipasang tourniquet proksimal dari tempat masuknya antigen. Setengah

dari dosis epinefrin tersebut dilarutkan dalam 2 ml NaCl 0,9% dan diinfiltrasikan di

sekitar tempat masuknya antigen tersebut. Setiap 10 menit, tourniquet ini dilonggarkan

selama 1-2 menit.


6. Bila terdapat tanda-tanda hipoventilasi secara klinik atau sianosis, atau bila pO2 < 70

mmHg, perlu diberikan O2 baik melalui mask, kateter hidung atau endotracheal tube

dengan aliran oksigen sedang-tinggi (5-10 liter/menit).

7. Bila terjadi hipotensi harus diberikan (a) epineprin (1:1000) 1 ml dalam 500 ml NaCl

0,9% 0,5-2,0 ml/min atau l,4 μg/min melalui vena sentral, (b) NaCl 0,9%, ringer laktat

atau larutan osmotik koloid, (c) levarterenol bitartrat 4 mg dalam 100 cc dalam

dekstrose 5% dengan dosis 2-12 μg/min, (d) glukagon jika pasien mendapat terapi B-

blocker, 1 mg/ml IV bolus atau infus 1 mg/liter dekstrose 5% dengan kecepatan 5-15

ml/menit.

8. Bila terjadi edema, langsung berikan epinefrin IV dan bronkodilator. Dapat juga

diberikan 1 cc (0,1 mg) epinefrin dalam larutan l0 cc NaCl 0,9% IV secara pelahan-

lahan lebih dari 5 menit. Dosis ini dapat diulangi satu atau dua kali setiap 10 menit.

Pertimbangkan pula pemberian infus dengan dosis permulaan 0,5-10 μg/menit bila

terjadi hipotensi. Bila terjadi obstruksi laring dapat dilakukan intubasi endotrakea,

krikotiroidotomi, trakeotomi, oksigen dan ventilasi mekanis.

9. Difenhidramin 1-2 mg/kgBB, chlorfeniramin 0,25 mg/kgBB atau prometazin 1

mg/kgBB diberikan IV dengan kecepatan lambat selama 5-10 menit, segera setelah

pemberian epinefrin. Obat-obatan antihistamin ini diberikan tiap 6 jam selama 48 jam

pertama untuk mencegah reaksi berulang.

10. Infus cairan NaCl dextrose (20 ml/kgBB) untuk pemberian (bila diperlukan) elektrolit,

plasma ekspander, obat-obatan dan sebagainya. Bila terjadi hipotensi, payah jantung,

aritmia atau anoksia, maka sangat diperlukan pengawasan terhadap tekanan darah, CVP,

EKG dan gas darah.

11. Bila terjadi bronkospasme/obstruksi jalan napas, bradikardi atau cardiac standstill yang

tidak dapat diatasi dengan pemberian epinefrin, maka diberikan aminofilin 4-7

mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah

paling sedikit sama. Campuran ini diberikan IV perlahan-lahan (5-20 menit).

Tergantung dari tingkat bronksospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus

dengan kecepatan 0,2-


1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB IV selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila

memungkinkan, kadar aminofilin serum harus dimonitor.

12. Untuk hipotensi yang menetap, berikan norepinefrin 4 ml/liter dextrose 5% dan

plasma (5% human serum albumin) 10 mg/kg secara IV.

13. Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan

metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai

injeksi tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung. Bila terjadi

aritmia jantung, terapi harus dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila

diperlukan untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain

seperti levaterenol bitartat (Levophed) 1 mg (1 ml dalam 250 ml cairan

intravena) dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dompamin (Intropine) yang

diberikan bersama infus dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

14. Kortikosteroid tidak mempunyai sifat antianafilaksis dan tidak rasional

penggunaannya pada terapi pertama/permulaan yang kritis. Akan tetapi

mungkin menolong pada syok yang refrakter, urtikaria persisten atau oedem

angioneurotik sesudah peredaan reaksi akut. Mula-mula diberikan hidrokortison

100 mg (7-10mg/kgBB) IV, lalu diteruskan dengan 5 mg/kg/BB setiap 6 jam

dengan bolus infus. Terapi biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari. Dapat

juga digunakan metilprednisolon 20-40 mg atau deksametason 4 mg.

15. Isuprel (isoproterenol) IV drip 0,2 mg/100 ml dextrose 5% diberikan bila tidak

ada persediaan epinefrin atau bila resisten dengan terapi lainnya. Harap

diperhatikan bahaya pemberian isuprel setelah pemberian epinefrin yaitu

timbulnya takikardi atau aritmia. Harus dimonitor keadaan kardiovaskuler bila

kedua obat tersebut diberikan bersama- sama.


16. Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat terapi suportif dengan

obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital.

Tergantung dari beratnya reaksi, terapi suportif ini dapat diberikan selama

beberapa jam sampai beberapa hari.

Pencegahan
Soar J, Pumphrey R, Cant A, Clarke S, Corbett A, Dawson P, et al. Emergency
treatment of anaphylactic reactions —– Guidelines for healthcare providers ଝ. 2008;
Tse Y, Rylance G, Infirmary RV. Emergency management of anaphylaxis in children
and young people : new guidance from the Resuscitation Council ( UK ). 2009;97– 101.

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik


terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi
penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko
anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negative pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dewasa tes kulit negatif, dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bisla tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuscular ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat
penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anafilaksis serta
adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Interna Publishing, Jakarta

Dengan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien yang pernah
mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resikountuk memperoleh reaksi yang sama
bila terpajan oleh pencetus yang sama.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe, alergen,
atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE
Inhibitir, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan
reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

Anda mungkin juga menyukai