Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SYOK ANAFILAKSIS

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II

Preseptor Akademik : Jenny Saherna, Ns.,M.Kep

OLEH:

WIDIA RUSMAYANTI

NPM 1714201110091

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN 2020
LEMBAR KONSUL PEMBIMBING KLINIK

NAMA MAHASISWA : WIDIA RUSMAYANTI

NPM : 1714201110091

JUDUL LP : SYOK ANAFILAKSIS

No Hari/ Materi Konsul Masukan/Saran TTD Pembimbing


Tanggal Akademik
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA MAHASISWA : WIDIA RUSMAYANTI

NPM : 1714201110091

JUDUL LP : SYOK ANAFILAKSIS

BANJARMASIN, 27 JULI 2020

MAHASISWI PRESEPTOR AKADEMIK

............................................... .................................................

Widia Rusmayanti Jenny Saherna, Ns.,M.Kep


1. Anatomi Fisiologi

a. Sistem Kekebalan tubuh


b. Sistem Pernafasan
c. Sistem Integumen
d. Sistem Sirkulasi Darah
e. Sistem Pencernaan
f. Sistem Saraf Pusat
2. Definisi
Secara global, definisi anafilaksis dinyatakan sebagai “suatu reaksi
hipersensitivitas general atau sistemik yang serius dan mengancam nyawa”
dan : sebuah reaksi alergi yang serius dengan onset cepat dan dapat
menyebabkan kematian.”
Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical
Immunology Nomenclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis
adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat
general atau sistemik. Hal ini dikarakteristikan oleh progresivitas
perburukan yang cepat dan mengancam nyawa pada jalan napas dan/atau
pernapasan dan/atau sirkulasi dan umumnya disertai perubahan pada kulit
dan mukosa.
WHO menyatakan bahwa istilah “reaksi anafilaktoid” telah
dieliminasi,dan semua episode klinis yang menyerupai reaksi yang
dimediasi IgE disebut anafilaksis. WHO merekomendasikan anafilaksis
terbagi menjadi reaksi imunologis dan non-imunologis (termasuk reaksi
anafilaktoid) dan reaksi imunologis dibagi menjadi reaksi akibat pelepasan
mediator basofil/sel mast yang dimediasi IgE dan yang terjadi melalui
mekanisme imunologis lain (misalnya transfusi darah).
3. Etiologi
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel
darah putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang
bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang
masuk. Perlekatan antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-
mediator seperti histamin dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala
pada berbagai organ dan jaringan.
a. Anafilaksis Terhadap Makanan
Makanan merupakan penyebab tersering anafilaksis dalam kasus
rawat jalan, dan alergi makanan menyumbang 30% kasus fatal
anafilaksis. Makanan tersering yang menyebabkana anafilaksis
termasuk kacang-kacangan, ikan, kerang, susu sapi, kedelai, dan
telur. Biji wijen belakangan ini pun diidentifikasikan sebagai
penyebab yang signifikan pada anafilakasis yang diinduksi
makanan. Hal yang sering terjadi berhubungan dengan anafilakasi
diinduksi makanan yang fatal : reaksis pada umumnya terutama
akibat golongan kacang-kacangan; organ yang terkena terutama
berupa manifestasi kulit dan respirasi, pasien pada umumnya
adalah remaja dan dewasa muda; pasien memiliki riwayat alergi
makanan sebelumnya dan asma; dan gagal dalam pemberian
epinefrin secara tepat. Reaksi anafilaksis bifasik dapat terjadi pada
lebih dari 25% kasus fatal. Pasien dengan alergi makanan
sebaiknya waspada pada label kandungan makanan yang akan
dikonsumsi.
b. Anafilaksis akibat lateks alami
Sensitisasi lateks terjadi akibat reaktivitas yang dimediasi IgE
terhadap beberapa antigen dari Hevea brasiliensis, yang merupakan
sumber lateks. Sensitisasi terjadi pada 12& tenaga kesehatan, lebih
dari 75% pasien spina bifida, dan pada pasien yang mendapatkan
prosedur operatif multipel. Lateks dilaporkan menyebabkan lebih
dari 17% kasus anafilaksis intraoperatif. Di samping reaksi kutan,
hipotensi, dan respirasi, kolaps kardiovaskular hipotensi
merupakan gambaran reaksi anafilaksis saat operasi.

Anafilaksis yang diinduksi latex dapat terjadi pada kasus yang


melibatkan kontaks langsung dengan lateks, terutama sarung
tangan atau instrumen, atau dengan aerosolisasi antigen lateks yang
melekat pada tepung jagung pada sarung tangan lateks. Reaksi
anafilaksis terjadi segera atau lambat yaitu dalam 30 hingga 60
menit.

c. Anafilaksis saat Anatesi Umum, Periode Intraoperatif, dan


Postoperatif.
Insiden anafilaksis selama proses anestesi dilaporkan terjadi pada
1 dari 4000 hingga 1 dari 25.000 kasus. Manifestasi kulit
merupakan hal penting dan merupakan indikator anafilakasis yang
sering digunakan. Kolaps kardiovaskular merupakan manifestasi
utama anafilaksis dan dapat dibingungkan dengan penyebab lain
kolaps kardiovaskular. Bradikardi lebih sering terjadi pada kasus
anafilaksis akibat anestesi dibandingkan pada kondisi lain dimana
takikardi merupakan manifestasinya.
d. Anafilaksis akibat Cairan Seminal
Hipersensitivitas plasma seminal merupakan diagnosis eksklusi.
Riwayat yang lengkap merupakan hal yang penting dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab lain seperti penyakit menular
seksual, sensitivitas lateks, transfer protein makanan atau protein
obat dari partner sex pria terhadap wanita atau kontaktan lain
misalnya pembalut. Anafilaksis akibat cairan seminal terjadi dalam
hitungan detik hingga menit setelah ejakulasi dan responnya
berupa: pruritus difus dan urtikaria; nyeri pelviks akibat kontraksi
uterus; gejala nasal berupa rhinorhea dan bersin; wheezing,
dispnea, dan/atau edema laring; dan pada kasus jarang berupa
hipotensi dan syok. Pencegahan yang tepat adalah penggunaan
kondom.
e. Anafilaksis akibat Aktivitas
Gejalanya berupa rasa lemas, tubuh hangat, wajah kemerahan,
pruritus, dan urtikaria, dan pada kasus jarang berkembang menjadi
angioedema, wheezing, obstruksi jalan napas atas, dan kolaps. Pada
beberapa pasien, gejala tersebut terjadi apabila terdapat faktor lain
yang berkontribusis atau “co-trigger” berupa konsumsi makanan
tertentu, obat-oabatan tertentu, atau kadar polen yang tinggi.
f. Anafilaksis akibat Alergen Ekstrak Imunoterapi (Vaksin)
Pasien dengan asma, khususnya asma tidak terkontrol, beresiko
tinggi menjadi anafilaksis yang beresiko tinggi mengancam nyawa.
Anafilaksis pada pasien yang juga mengkonsumsi agen
penghambat beta adrenergik lebih sukar untuk ditangani.
g. Anafilaksis akibat Obat-Obatan dan Agen Biologis
Anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan golongan
penisilin.
h. Hipersensitivitas terhadap gigitan serangga
Anafilaksis akibat gigitan serangga terjadi pada 3% kasus dewasa
dan 1% kasus anak dan dapat berakibat fatal. Reaksi kulit sistemik
sering terjadi pada anak, syok hipotensi sering terjadi pada dewasa,
dan manifestasi respirasi terjadi dalam persentase yang sama pada
semua golongan usia. Venom imunoterapi harus direkomendasikan
pada pasien dengan sensitivitas sistemik terhadap gigitan serangga
karena berefektif 90%-98%.
i. Anafilaksis Idiopatik
 Penyebabnya lainnya yang tidak diketahui pada 32-50% kasus,
disebut sebagai "anafilaksis idiopatik.
4. Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type
reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara
antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase:
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel
mast dan basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin
(IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen
tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat
dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus,
dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor
(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan


terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung
menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi
penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.
5. Manifestasi Klinis
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema,
obstruksi respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu
terdapat pula bentuk lainnya, seperti rasa takut, kelemahan, keringat
dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa tercekik, disfagia, mual dan muntah,
nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan kehilangan kesadaran.
Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah syok
dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat
berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus.
a. Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak
enak yang sukar dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa
gatal di hidung dan palatum. Gejala ini merupakan permulaan dari
gejala lainnya.
b. Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di
hidung, bersin dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak,
mengi, rasa tercekik, suara serak, dan stridor. Disamping itu
terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring, dan
spasme bronkus.
c. Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi,
hipotensi sampai syok, pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada
EKG dapat dijumpai beberapa kekainan seperti gelombang T datar,
terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
d. Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual, muntah, rasa kram
diperut, diare yang kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan
peristaltik usus.
e. Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada
bibir, muka, atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh
adanya rasa gatal dan lakrimasi pada mata. Sedangkan gejala pada
sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan
infeksi. Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
b. Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-
80% pasien.
c. IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap
alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo
Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes
ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
d. Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi
reaksi anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel
mast. Triptase merupakan protease yang berasal dari sel mast. Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik
dalam kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi
yang serupa pada organ yang sakit.
e. Tes kulit
Dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test,
tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan
meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang disediakan
kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui
ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit
dengan mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes
tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang
dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96
jam.
f. Tes provokasi
Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala.
7. Penatalaksanaan Medis
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas
yang etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai
dengan ABC-nya resusitasi.Penderita harus mendapatkan oksigenasi
yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre syok/syok, tempatkan penderita
pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar dengan kaki ditinggikan
30o – 45º agar darah lebih banyak mengalir ke organ-organ vital.
Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila
terdapat obstruksi laring karena edema laring atau angioneurotik,
segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas ventilasi.
Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus, apneu
atau henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah
adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil
sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub
kutan setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami
presyok atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa)
dan 0,01 mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang
tiap 15 menit samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg.
Cara lain adalah dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml
garam fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek
karena syok dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada
penderita tanpa kelainan jantung, adrenalin dapat diberikan dalam
larutan 1 : 100.000 yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml
NaCl 0,9% dan diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan
dalam 5 – 10 menit. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada
penderita yang mendapat anestesi volatile untuk menghindari
terjadinya aritmia ventrikuler.
c.    Pemberian cairan intravena
Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum
mencapai 100 mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang
dapat diberikan adalah RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa sering
dibutuhkan cairan sampai 2000ml dalam jam pertama dan selanjutnya
diberikan 2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma / plasma ekspander
dapat diberikan segera untuk mengatasi hipovolemi intravaskuler
akibat vasodilatasi akut dan kebocoran cairan intravaskuler ke
interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih lama berada di
dalam intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena cukup banyak
cairan yang diberikan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial
sangat membantu.
d. Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup
adekwat tetapi tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau
syok belum teratasi, dapat diberikan vasopressor. Dopamin dapat
diberikan secara infus dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam dan dapat
ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk
mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat
diberikan untuk hipotensi yang tetap membandel.
e. Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine
dan mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil.
Jadi kerjanya memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang
diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk mencegah
terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin
ini diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan
adrenalin. Bila perlu aminofillin dapat diteruskan secara infuse
kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
f. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga
menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada
fase lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme
bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah
terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan
adalah 7-10 mg/kg i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6
jam atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan
secara i.v dengan dosis 100 -200 mg dalam interval 24 jam dan
selanjutnya diturunkan secara bertahap.
g. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap
sel target. Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang
memanjang atau bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria.
Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg sampai 50
mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
h. Resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan apabila terdapat tanda-tanda
kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk itu tindakan RJP yang
dilakukan sama seperti pada umumnya. Bilamana penderita akan
dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka
sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah
tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil
penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk
bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter
dan perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam.
Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya
penderita dirawat di Unit Perwatan Intensif. (Alirifan, 2011)
8. Pengkajian Keperawatan
a. Anamnesa / wawancara
Anamnesis meliputi identitas pasien dan penanggung jawab, riwayat
kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami.
1) Alasan dirawat atau Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan dan penyakit yang lalu
3) Masalah kesehatan yang sedang dialami
4) Masalah pola fungsi sehari-hari
5) Masalah yang dirasakan beresiko atau diketahui beresiko tinggi
pada klien
6) Pola emosi, konsep diri, gambaran diri,pola pemecahan masalah
7) Masalah kebudayaan / kepercayaan, nilai dan keyakinan
8) Hubungan sosial atau keluarga, dll
b. Pemeriksaan Fisik
1) Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi)
kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat
jika kondisi menjelek)
2) Fungsi metabolic
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok
septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea
3) Keseimbangan asam basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2  menurun (penurunan pCO2 
karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di
paru)
4) Kulit
a) Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat
sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
b) Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok
kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
c) Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
5) Status jantung
Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba, Tekanan darah,
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada
penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau
meninggi pada awal syok septik)
6) Status mental
7) Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan
orientasi menurun, spoor sampai koma
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah),
kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung  sel 
meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia, eosinophilia naik/
normal / turun
3) Kimia : Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat
4) Analisa gas darah
5) Radiologi
6) X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus,
plug.
7) EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
d. Pengelompokan data
1) Data subjektif :
a) Klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas
b) Klien mengatakan dirinya sangat lemas
c) Klien mengeluh mual dan muntah
d) Klien mengatakan cemas dan gelisah
e) Klien mengatakan gatal – gatal pada kulit dan hidung
2) Data objektif :
a) Klien tampak sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak
pembengkakan pada mukosa hidung,tampak penggunaan otot
bantu nafas, pernafasan cuping hidung, terpasang oksigen
b) Tampak bengkak di sekitar tubuh dan hidung klien
c) Klien tampak pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T
mendatar dan terbalik
d) Tanda – tanda vital terutama tekanan darah menurun
e) Klien tampak lemah
f) Klien tampak cemas
g) Klien tampak menggaruk – garuk badannya, tampak adanya
pruritus (ada hives) urtikaria
9. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah
jantung dan vasodilatasi
c. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
peningkatan kapasitas vaskuler
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi
histamine dan bradikinin oleh sel mast

10. Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Intervensi
1 Pola nafas tidak 1.    Pastikan tidak terdapat benda atau zat
efektif berhubungan tertentu atau gigi palsu pada mulut
dengan spasme otot pasien
bronkeolus 2.   Atur posisi klien :
Letakkan pasien pada posisi sim,
permukaan datar dan miringkan kepala
pasien
3.   Lakukan penghisapan sesuai indikasi
4.   Kolaborasi :
Berikan tambahan O2 atau ventilasi
manual sesuai kebutuhan

2 Gangguan perfusi 1.   Kaji perubahan tiba-tiba atau gangguan


jaringan
mental kontinu (cemas, gelisah, bingung,
berhubungan
dengan penurunan
curah jantung dan letargi, pingsan)
vasodilatasi
2.   Kaji warna kulit apakah pucat, sianosis,
belang, catat kekuatan nadi perifer
3 Resiko 1.   Kaji tanda-tanda vital
ketidakseimbangan
2.   Kaji peningkatan suhu dan durasi
volume cairan
berhubungan demam, berikan kompres hangat sesuai
dengan peningkatan
indikasi, pertahankan pakaian tetap
kapasitas vaskuler
kering, pertahankan kenyamanan suhu
lingkungan
3.   Ukur haluan urine dan berat jenis urine
4.   Pantau pemasukan oral dan memasukan
cairan sedikitnya 2500 ml/hari
5.   Kolaborasi dengan tim medis lainnya
dalam pemberian obat-obatan sesuai
indikasi, missal: antipiretik (aceta
minofen)
4 Gangguan integritas 1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna kulit,
kulit berhubungan
turgor kulit, sirkulasi dan sensasi
dengan peningkatan
produksi histamine 2.   Perthankan hygiene kulit, misalnya
dan bradikinin oleh
membasuh dan kemudian mengeringkan
sel mast
dengan hati-hati dan melakukan masase
dengan menggunakan lotion atau cream
3.   Pertahankan kebersihan lingkungan
pasien seperti seprei bersih kering dan
tidak berkerut
4. Sarankan pasien untuk melakukan
ambulasi beberapa jam sekali jika
memungkinkan
5. Gunting kuku secara teratur
6.   Kolaborasi : Gunakn atau berikan obat-
obatan atau sistemik sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Titi Ajeng, 2014.Referat Syok Anafilaktik, Fakultas Kedokteran


Universitas Muhamadiah .Yokyakarta

Nurfiani Toti Dan R Wili Agung,2014.Syok Anafilaktik, Fakultas


Kedokteran Universitas Sultan Agung .Semarang

Herdiyanto Yonny, 2014. Syok Dan Penanganannya, Fakultas


Kedokteran Unifersitas Negeri. Surabaya

Suryana Ketut,dkk. 2013. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit


Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Anda mungkin juga menyukai