Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SYOK ANAFILAKTIK

Disusun sebagai laporan pembelajaran seminar

Mata ajar Blok KGDS1

Oleh :

Rizki Rahmawati (G2A016011)


Wafda Maulina R J (G2A016012)
Jaza Khoirul Amalia (G2A016014)
Dimas Nando S (G2A016015)
Happy Yoshiko S F (G2A016016)
Tri Aji Rachmanto (G2A016017)
Ratna Faradhila (G2A016018)
Faizzah Agustina (G2A016021)
Christina Tri Cahyani (G2A016022)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG


TAHUN 2019

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dah
phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan
perlindungan (Anonym, 2011). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan
Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemone laut untuk
kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mendadak mati (Stephen,
2011).
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan
kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau pencetus
lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensivitas Tipe 1 menurut
klasifikasi Gell dan Coombs (Stephen, 2011).
Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi
anafilaksis saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat
menunjukkan 10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya. Saat ini
diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami reaksi anafilaksis,
dengan resiko megalami kematian sebesar 1% (.
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga dan lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi
awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan
timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.5
Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi pada akhirnya bisa
menyebabkan kematian akibat syok anafilaktik. Syok anafilaktik, merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata dan
kolaps sirkulasi darah. Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsng sangat
cepat, tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai
menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu
diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat
mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien syok anafilaktik.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami definisi dari syok anafilaktik.
b. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi/predisposisi dari syok anafilaktik.
c. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dari syok anafilaktik.
d. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis dari syok anafilaktik.
e. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan kegawatan dari syok anafilaktik.
f. Mahasiswa mampu mengetahui pengkajian fokus kegawatan dari syok anafilaktik.
g. Mahasiswa mampu menjelaskan pathways keperawatan dari syok anafilaktik.
h. Mahasiswa mampu mengetahui intervensi dan rasional dari syok anafilaktik.

C. Metode Penulisan
Pada pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menggunakan metode :
Study Kepustakaan dengan mempelajari buku-buku atau literatur – literatur yang
berkaitan dengan kasus selama pembuatan karya tulis ilmiah.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan yang digunakan dalam penulisan laporan ini terdiri atas 3 bab:
Bab I : Pendahuluan yang berisi, latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II : Pembahasan konsep dasar yang menjelaskan tentang konsep dasar dari syok
anafilaktik.
Bab III : Penutup merupakan bagian akhir dari laporan yang berisi kesimpulan dan saran
tentang isi laporan.
BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan
perlindungan Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat
menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau
pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1
menurut klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi
anafilaktoid yang memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi
degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE (Made,
2002).
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributifyang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata
akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya (Made, 2002).

B. Etiologi/Predisposisi
Atopi merupakan faktor risiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di
Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Cara dan
waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara
oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak
berat. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil
kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan
katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu (RF, Johnson, 2011).
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian
adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal (I, Rengganis, 2009).
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen
yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
seranga dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri,
putih telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebakan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khusunya penisilin,
obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat,
dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin
juga bisa menyebabkan anafilaksis (I, Rengganis, 2009).

C. Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type reaction)
oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.
Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 3 fase
mekanisme:
1. Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)
spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basophil (RF, Johnson, 2011).
2. Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang disebut dengan istilah
preformed mediators. Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama syok
anafilaksis. Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan
histamine pada reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus,
rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor
berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi
merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan
bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah (RF, Johnson, 2011).
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada
organorgan tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi, mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien
(RF, Johnson, 2011).
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor pemukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien
yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan syok yang membahayakan
penderita.
D. Manifestasi Klinik
Menurut Rengganis, 2009 anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang
bisa muncul beberapa detik, menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen.
Manifestasi klinis anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai
macam mediator yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki
sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari
anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana
syok anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi
respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula bentuk
lainnya seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa
tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan
kehilangan kesadaran. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah
syok dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat berupa edema
laring, bronkospasme dan edema bronkus.
Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum. Gejala ini
merupakan permulaan dari gejala lainnya.
Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin dan
hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak, dan
stridor. Di samping itu, terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring dan
spasme bronkus.
Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai syok,
pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa kelainan
seperti geombang T datar, terbalik atau tanda-tanda infark miokard.
Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual-muntah, rasa kram diperut, diare
yang kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan peristaltic usus.
Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka atau
ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan lakrimasi pada mata.
Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang.
E. Penatalaksanaan Kegawatan
Pada renjatan yang berat (syok anafilaktik), penatalaksanaan pada dasarnya
ditujukan untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat, dan memberikan ventilasi yang
bagus, dan bila mungkin dilakukan upaya pencegahan (Gede, 2007).
1. Tindakan Keperawatan
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan menghadapi pasien dengan syok
anafilaktik adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang
diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah (Gede,
2007).
Selanjutnya dilakukan penilaian airway, breathing dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway,
penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga teap bebas agar tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple
airway maneuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breating support,
segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik memalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obatobatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (Gede, 2007).
2. Medikamentosa
Obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik adalah adrenalin. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah,
melebarkan bronkus dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja pda
reseptor adrenergic di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan
memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik
seketika dan berakhir dalam waktu pendek (I, Rengganis, 2009).
Cara pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan
syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat
dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0.5 ml larutan 1:1000 (0.3-0.5
mg) untuk orang dewasa dan 0.01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang
beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan
(I, Rengganis, 2009).
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anesthesia.
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi
injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan
dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0.1
ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena
lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjukan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilktik perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya
perlu diajarkan cara penyuntikan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut (A,
Anastasia, 2009).
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vascular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan
cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan merupakan obat
pengganti adrenalin. Tergantug beratnya penyaki, antihistamin dapat diberikan oral
atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan
intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300mg) atau ranitidun (150mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0.9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila
penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
gantunya dipakai ranitidin. Anti histamine yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam
selama 48 jam (A, Anastasia, 2009).
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berap untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah
anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif
setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-
6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau
hidrokortison intravena 7-10 mg/kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kg BB setiap 6 jam,
atau deksametason 2-6 mg/kg BB A, Anastasia, 2009).
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 47
mg/kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0.6 mg/kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6 mg/kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrose 5% atau NaCl 0.9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator
aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain
sebanyak 0.25 cc – 0.5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0.99% diberikan melalui nebulisasi (A,
Anastasia, 2009).
F. Pengkajian Fokus Kegawatan
1. Primary Survey
a) Airway
Menilai jalan nafas bebas, apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas.
Jika ada obstruksi maka lakukan:
1) Chin lift/jaw thrust
2) Suction/hisap
3) Guedel airway/nasopharyngeal airway
4) Intubasi trakea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
b) Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai apakah jalan nafas bebas. Jika
pernafasan tidak memadai maka lakukan:
1) Dekompresi rongga pleura (pneuomtoraks)
2) Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
3) Pernafasan buatan
4) Berikan oksigen jika ada
c) Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
1) Hentikan perdarahan eksternal
2) Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14-16 G)
3) Berikan infus cairan
d) Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma
Scale
1) Awake :A
2) Respon bicara (verbal) :V
3) Respon nyeri :P
4) Tak ada respon :U
e) Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang maka
imobilisasi in-line harus dikerjakan.

2. Secondary Survey
a) Catat adanya drainase dari mata dan hidung
b) Inspeksi lidah dan mukosa oral
c) Kaji mengenai mual muntah pada saluran gastrointestinal
d) Kaji peristaltic gastrointestinal
e) Pemeriksaan diagnostic eosinophil
f) Pemeriksaan fisik head to toe
G. Pathways Keperawatan

Makanan, Obatobatan, dan


Kontak dengan tubuh Timbul reaksi hipersensitivitas
gigitan serangga

Pelebaran pembulu Terjadi degranulasi pengeluaran Antigen terikat pada antibody


darah (vasodilatasi) histamine, serotonin, bradikinin (IgE) di permukaan

Maldistribusi Aliran Darah Balik Tekanan darah ↓


volume (Venous Return) ↓

Syok anafilatik

B6 (Bone)
B4 (Bladder) Peningkatan
B1 breathing B2 (blood) B3 (brain)
peningkatan pengeluaran B5 Pengeluran
pengeluaran (Bowel) histamin
Peningkatan Peningkatan histamin Kontraksi otot
Peningkatan
pengeluran pengeluaran Kontrasi
pengeluran Peningkata
histamin histamin otot
histamin Suplai darah pengeluran
ke organ vital
Kontraksi otot vasodilatasi Suplai darah ke Permabilitas (lambung)
polos bronkiolus otak menurun
Pergeseran cairan Reaksi
Asam
Arus balik vena intravaskuler lambung
Dispnue iskemia
dan volume Eritema,
bronkospasme
darah menurun oedema Mual urtikaria,
,stridor Asidosis
muntah,diare angioedema
respiratorik
Hipovolemi
Ketidakefektifan Maldistribusi intravaskuler
Penurunan Dehidrasi Gangguan
bersihan jalan nafas volume darah
kesadaran Miksi menurun integritas
Kekurangan
Penurunan curah jantung Resiko cidera
Gangguan volume urine
eliminasi urin
tekanan darah menurun

Tekanan perfusi
menurun
Hipotensi,bradikardi,
keringat dingin, dan
pucat

Gangguan perfusi
jaringan

H. Kasus Pemicu
Nn. Mawar 25 tahun dibawa ke UGD RS Daerah oleh keluarganya karena sesak nafas,
kesulitan menelan, muntah-muntah, bengkak pada mata, timbul bercak kemerahan pada
seluruh tubuh disertai gatal. Pada saat ini kesadaran pasien apatis. Keluarga mengatakan
pasien sedang sakit dan sudah berobat pagi tadi. Setelah minum obat dari dokter tidak
sembuh malah bertambah keluhan dan semakin parah.

DS: Keluarga pasien mengatakan pasien sedang sakit dan sudah berobat pagi tadi.
Setelah minum obat dari dokter tidak sembuh malah bertambah keluhan dan semakin
parah.
DO: sesak nafas , sulit menelan , muntah- muntah , bengkak pada mata, timbul bercak
kemerahan pada seluruh tubuh disertai gatal.
Kesadaran apatis

I. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b.d
2. Gangguan integritas kulit b.d kemerahan
3. Resiko defisit nutrisi b.d sulit ketidak mampuan menelan makanan
4. Resiko ketidak seimbangan elektrolit b.d muntah dan bengkak pada mata (kelebihan
volume cairan)
J. Fokus Intervensi dan Rasional
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi
1.Pola nafas tidak Tujuan : pola nafas Observasi : monitor pola nafas (
efektif b.d membaik frekuensi kedalaman usaha nafas)
KH : Terapeutik : - posisikan semi fowler
- frekuensi nafas / fowler
membaik - Berikan oksigen , jika perlu
dengan nilai 5 Edukasi :
Kolaborasi : pemberian
blonkodilator , jika perlu
Gangguan Tujuan : integritas kulit Observasi : identifikasi penyebab
integritas kulit b.d meningkat gangguan integritas kulit ( mis.
kemerahan KH : Perubahan sirkulasi , perubahan
- kerusakan lapisan status nutrisi , penurnan kelembaban
kulit menurun dengan , suhu lingkungan ekstrim ,
nilai 5 penurunan moblilitas )
- Kemerahan menurun Terapeutik : gunakan produk
dengan nilai 5 berbahan ringan atau alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
Edukasi : anjurkan menggunakan
tabir surya spf minimal 30 saat
berada diluar rumah
Anjurkan menghindari suhu ekstrim
Kolaborasi : kolaborasi dengan tim
kesehatan yang lain , jika perlu

Resiko defisit Tujuan : status nutrisi Observasi : monitor asupan dan


nutrisi b.d sulit membaik keluarnya makanan dan cairan serta
ketidak mampuan KH : kebutuhan kalori
menelan makanan - Sikap terhadap Terapeutik : damping ke kamar
makanan atau mandi untuk pengamatan perilaku
minuman sesuai memuntahkan kembali makanan
dengan tujuan Edukasi :anjurkan membuat catatan
kesehatan harian tentang perasaan dan situasi
meningkat pemicu pengeluaran makanan ( mis.
dengan nilai 5 Pengeluaran yang disengaja , muntah
- Frekuensi , aktivitas berlebih )
makan membaik Kolaborasi : kolaborasi dengan ahli
dengan nilai 5 gizi tentang target berat badan,
- Napsu makan kebutuhan kalori dan pilihan
membaik makanan
dengan nilai 5
Resiko ketidak Tujuan : keseimbangan Observasi : identifikasi kemungkinan
seimbangan elektrolit meningkat penyebab ketidakseimbangan
elektrolit b.d KH : elektrolit
muntah dan - Serum natrium Monitor kadar elektrolit serum
bengkak pada membaik Monitor mual muntah
mata (kelebihan dengan nilai 5 Terapeutik : atur interval waktu
volume cairan) - Serum kalium pemantuan sesuai dengan kondisi
membaik pasien
dengan nilai 5 Dokumentasikan hasil pemantuan
- Serum klorida Edukasi : jelaskan prosedur dan
membaik tujuan pemantuan
dengan nilai 5 Informasikan hasil pemantuan , jika
- Serum kalsium perlu
membaik Kolaborasi : kolaborasi dengan
dengan nilai 5 timkes lain
- Serum
magnesium
membaik
dengan nilai 5
- Serum fosfor
membaik
dengan nilai 5
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia A, 2009, Penggunaan Adrenalin Dalam Pengobatan Anafilaksis, Available


from URL: http://yosefw.wordpress.com/2009/03/page/3/
Anonym, 2011, Anaphylaxis. Available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis
Mangku, G, 2007, Diklat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK
UNUD/RS Sanglah, Denpasar
Johnson RF, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and Treatment,
Medscape,
Rengganis I, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna
Publishing, Jakarta
Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com
Wiryana Made, 2002, Syok dan Penanganannya, Seminar Sehari Traumatologi,
IKAYANA FK UNUD, Denpasar

Anda mungkin juga menyukai