Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN SYOK ANAFILAKTIK

DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH:
NI PUTU SANDRA WIDIARSANI
1902621010

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Syok Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau
lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal) (Rengganis & Sundaru, 2019). Syok
Anafilaktik juga dapat diartikan sebagai reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius,
mengancam nyawa dan merupakan reaksi alergi dengan onset cepat. Syok ini
merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik, akut yang dimediasi oleh IgE akibat
pelepasan mediator sel mast, basofil.

2. Epidemiologi
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap gigitan
serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan
berbeda- beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan
prevalensi sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010,
pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang
sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak
27,8%. (Imbawan, Suryana, & Suadarmana, 2010).
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan
terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak
terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi
seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal (Estele,
2013).

3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Faktor pemicu timbulnya syok anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan
dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan
serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada
kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik
terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara, dan
beberapa negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang
merupakan penyebab tersering. Di beberapa negara Eropa lainnya, buah
peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan seperti antivirus,
antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di
dunia (Estelle, et al, 2014). Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen
kemoterapi, seperti carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen
lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex
yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter,
torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host,
dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi
anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang menimbulkan reaksi.

4. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat
dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini
dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap
oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel
Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga
terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki
reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan
kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu
akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut
dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan
basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan
perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang
diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar
cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan mediator
bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang
mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat
meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga
menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan
fase efektor (Suryana, Suardamana, & Saturti, 2013).
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)

5. Klasifikasi
Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan
dari gajala klinis.
Tabel 2. Derajat Reaksi Anafilaksis

Disamping tabel diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi


hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu:
1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti:
eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal)
seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope),
rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti:
sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa),
kolaps, penurunan kesadaran dan inkontinensia.
Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas
akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran
klinis anafilaksis.

6. Gejala Klinis
Tanda dan gejala dari anafilaksis menurut Estelle (2011) dapat berupa:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)
Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di
bibir, lidah, dan uvula.
Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2. Respirasi (70%)
Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek
Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry
staccato cough
Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%)
Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
4. Sistem kardiovaskuler (45%)
Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi, hipotensi, merasa
ingin jatuh, henti jantung.
Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu T-
mendatar, aritmia supraventrikular, AV block.
5. Sistem saraf pusat (15%)
Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.
6. Lain-lain
Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.

7. Kriteria Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat pajanan
sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul dalam
menit atau jam setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif
dalam beberapa jam. Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis
anafilaksis terdiri dari tiga kriteria yaitu:
a. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia).
b. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit; respiratory
compromise; penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan; dan gejala
gastrointestinal yang persisten.
c. Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa,
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30% dari tekanan darah awal.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya
reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis menurut Haryanto (2019) yaitu
terdiri dari:
a. Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
b. Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80%
pasien.
c. IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen
tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau
ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan
apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
d. Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi
anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase
merupakan protease yang berasal dari sel mast.
e. Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam
kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa
pada organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test),
scratch test, friction test, tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk
dilakukan dengan meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang
disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui
ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan
mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan
dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.
f. Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala.
9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding reaksi anafilaksis adalah asma episode berat, sinkop, panic
attacks, hipoglikemia. Asma episode berat saat serangan dapat menunjukkan gejala
batuk, sulit bernafas, terdengar wheezing sehingga menyerupai reaksi anafilaksis
pada sistem respirasi. Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri abdomen jarang
ditemukan pada asma. Panic attacks menimbulkan gejala seperti kesulitan
bernafas, kemerahan, takikardia, dan gangguan gastrointestinal. Namun, adanya
urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada panic attacks. Hipotensi dapat terjadi
pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan berkeringat tampak pada sinkop
(Johannes, 2014).

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari adanya syok anafilaktik terdiri dari :
a. Terapi segera terhadap reaksi yang berat
b. Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta pertolongan
c. Lakukan resusitasi ABC
d. Adrenalin sangat bermanfaat dalam mengobati anafilaksis, juga efektif pada
bronkospasme dan kolaps kardiovaskuler.
A – Saluran Napas dan Adrenalin
a. Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
b. Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1 : 10.0000, 0.5 – 1
ml, dapat diulang jika perlu. Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg
(0,5– 1 ml dalam larutan 1 : 1000) secara IM diulang setiap 10 menit jika
dibutuhkan.
B – Pernapasan
a. Berikan pernapasan yang adekuat
b. Berikan adrenalin untuk mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas
atas.
c. Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin IV
mungkin dibutuhkan jika bronkospasme refrakter (dosis muat 5 mg/kg
diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).
C – Sirkulasi
a. Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
b. Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.
c. Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya memberikan
infus saline normal. Koloid dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan
sebagai sumber reaksi anafilaksis).
d. Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau
memiringkan posisi pasien sehingga kepala lebih rendah.
e. Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian cairan dan
adrenalin, beri dosis adrenalin atau infus intravena lanjutan (5 mg dalam 50
ml saline atau dekstrose 5% melalui syringe pump, atau 5 mg dalam 500 ml
saline atau dekstrose 5% yang diberikan dengan infus lambat). Bolus
adrenalin intravena yang tidak terkontrol dapat membahayakan, yaitu
kenaikan tekanan yang tiba-tiba dan aritmia. Berikan obat tersebut secara
berhati-hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba lakukan monitor
EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Penatalaksanaan Lanjut
a. Berikan antihistamin. H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg IV) dan H2
bloker ranitidin (50 mg IV lambat) atau simetidin (200 mg IV lambat).
b. Kortikosteroid. Berikan hidrokortison 200 mg IV diikuti dengan 100 – 200
mg 4 sampai 6 jam. Steroid memakan waktu beberapa jam untuk mulai
bekerja.
c. Buat keputusan apakah membatalkan atau melanjutkan usulan pembedahan.
d. Pindahkan pasien di tempat yang perawatannya yang lebih baik (misalnya
unit perawatan intensif, ICU) untuk observasi dan terapi lebih lanjut. Reaksi
anafilaktik mungkin memakan waktu beberapa jam untuk dapat diatasi dan
pasien harus diobservasi secara ketat pada masa-masa tersebut.

11. Prognosis
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya
mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila
telahmendapat pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama.
Prognosis pada penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat
pengobatan yang adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan
penyakit kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit
pernapasan dan penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Tgl/Jam :- No. RM :-
Triage : P1/P2/P3 Diagnosa Medis : Syok Anafilaktik
Transportasi : Ambulan/Mobil Pribadi/Lain-lain.........
Nama: - Jenis Kelamin : -
Identitas

Umur :- Alamat :-
Keluhan Utama : sesak nafas
Nadi : Teraba √Tidak teraba N: Lemah
Tekanan Darah : < 120/80mmHg
Pucat : √ Ya  Tidak
Sianosis : √ Ya Tidak
CRT : < 2 detik √> 2 detik
CIRCULATION

Akral :  Hangat √ Dingin  S: >37,50C


Pendarahan : √Tidak, Lokasi: -
Jumlah : -
Turgor : √Elastis Lambat
Diaphoresis: √Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: √ Diare √ Muntah  Luka bakar
Keluhan Lain:
Kemungkinan mengeluh kesulitan bernapas
Masalah Keperawatan :Penurunan Curah Jantung, Ketidakefektifan Perfusi
Jaringan Perifer dan Kekurangan Volume Cairan
Jalan Nafas : Paten √Tidak Paten
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing Tidak Ada
AIRWAY

 Muntahan  Darah √Oedema


Suara Nafas : √Snoring √Gurgling √Crowing Tidak ada
Keluhan Lain: -
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
Nafas : √ Spontan  Tidak Spontan
Gerakan dinding dada: √ Simetris  Asimetris
 Dangkal  Normal
BREATHIG

Irama Nafas : √ Cepat


Pola Nafas :  Teratur √ Tidak Teratur
Jenis : √ Dispnoe Kusmaul  Cyene Stoke √Takipneu
Suara Nafas :  Vesikuler √ Wheezing √ Ronchi
Sesak Nafas : √ Ada  Tidak Ada
Cuping hidung : Ada √Tidak Ada
Retraksi otot bantu nafas :  Ada √ Tidak Ada
Pernafasan : √Pernafasan Dada  Pernafasan Perut
RR : > 30 x/mnt
Keluhan Lain: pasien mengeluh kesulitan bernafas
Masalah Keperawatan :Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
Kesadaran :  Composmentis √Delirium Somnolen  Koma
GCS :  Eye:  Verbal:  Motorik
 Pasien yang mengalami syok anafilaktik biasanya akan mengalami penurunan
kesadaran
Pupil : √ Isokor  Unisokor  Pinpoint  Medriasis
DISABILITY

Refleks Cahaya: √ Ada  Tidak Ada


Refleks fisiologis: √ Patela (+/-)  Lain-lain … …
Refleks patologis : √ Babinzky (+/-)√Kernig (+/-)  Lain-lain ... ..
Kekuatan Otot : tidak mengalami gangguan
Keluhan Lain : tidak ada

Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Cerebral


EXPOSURE

Deformitas : Ya Tidak  Lokasi


Contusio :  Ya Tidak  Lokasi
Abrasi : Ya  Tidak  Lokasi
Penetrasi :  Ya Tidak  Lokasi
Laserasi :  Ya Tidak  Lokasi
Edema : √ Ya Tidak  Lokasi : kemungkinan terdapat
edema pada saluran nafas
Luka Bakar :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Grade : %
Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka : - cm
Warna dasar luka : -
Kedalaman : -
Lain-lain : tidak ada
Masalah Keperawatan : Ketidafefektifan Pola Nafas
Monitoring Jantung :  Sinus Bradikardi Sinus Takikardi
FIVE INTERVENSI

Saturasi O2 : < 80%


Kateter Urine : Ada √Tidak
Pemasangan NGT :  Ada √Tidak Warna Cairan Lambung : -
Pemeriksaan Laboratorium : -
Lain-lain: tidak ada
Masalah Keperawatan: Gangguan Eliminasi Urine
Nyeri :  Ada √Tidak Ada
Problem :-
GIVE COMFORT

Qualitas/ Quantitas : -
Regio :-
Skala :-
Timing :-
Lain-lain :-
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah keperawatan
Keluhan Utama :Pasien mengeluh lemas
Mekanisme Cedera (Trauma) :-
Sign/ Tanda Gejala :-
(H 10) SAMPLE

Allergi : (pada umumnya terdapat alergi)


Medication/ Pengobatan :
a. Cairan kristaloid 20 mL/kgBB dalam ½ - 1 jam
b. Cairan RL atau NaCl 0.9%
Past Medical History :-
Last Oral Intake/Makan terakhir :-
Event leading injury : Peristiwa sebelum/awal cedera
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)
(H2) HEAD TO TOE Kepala dan wajah :-
Leher :-
Dada :-
Abdomen dan Pinggang :-
Pelvis dan Perineum :-
Ekstremitas :-
Masalah Keperawatan: Resiko Cidera

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul :


a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas ditandai
dengan hipotensi (tekanan sistol 80/60 mmHg), nadi teraba cepat dan lemah,
ekstremitas pucat, sianosis, CRT >2 detik, diaphoresis, akral dingin, turgor
lambat.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
pola napas tidak teratur, irama nafas cepat, takipnea dan RR >30x/menit.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai
dengan membran mukosa kering, penurunan turgor kulit, mual, muntah, dan
dehidrasi.
3. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan Keperawatan Intervensi Keperawatan Rasional Evaluasi
Keperawatan
1 Penurunan curah Setelah di lakukan tindakan NIC Label : Cardiac care : Cardiac care :Acute S:-
jantung berhubungan keperawatan 1x60 menit Acute
O:
dengan perubahan diharapkan status 1. Monitor Vital Sign secara 1. Melihat adanya perubahan 1. Vital Sign klien
kontraktilitas ditandai hemodinamik dan kesadaran berkala vital sign dan dapat stabil (tidak terjadi
dengan hipotensi klien stabil, dengan kriteria memberikan tindakan yang perubahan yang
(tekanan sistol 80/60 hasil : sesuai sesegera mungkin signifikan)
mmHg), naditeraba NOC Label : 2. Melihat keadaan status 2. Pulsasi klien
cepat dan lemah, Cardiopulmonary Status 2. Monitor denyut jantung kardiovaskular klien. teraba
ekstremitas pucat, 1. Tekanan sistolik dan dan auskultasi suara 3. Klien tidak
sianosis, CRT >2 diastoli klien meningkat jantung 3. Memantau apabila ada mengalami
detik, diaphoresis, dalam batas normal 3. Monitor status neurologi perubahan kesadaran pada penurunan
akral dingin. (Sistolik : 100-120 pasien kesadaran.
mmHg, Diastolik : 60-90 4. Lakukan pemasangan 4. Melihat apakah ada 4. Tidak ada tanda-
mmHg) EKG perubahan keadaan dari tanda sianosis
2. Pulsasi perifer teraba jantung. Dapat memberikan 5. Ekstremitas tidak
3. Tidak terjadi penurunan gambaran dalam pucat
kesadaran. menentukan penanganan 6. CRT < 2 detik
4. Tidak ada sianosis yang sesuai 7. Akral hangat
8. Tidak ada keringat
NOC Label : Fluid Fluid Resuscitation berlebih
Resuscitation
1. Lakukan pemberian cairan 1. Pemberian cairan akan A:
intravena. Berkolaborasi membantu klien untuk Tujuan keperawatan
dengan tim medis lainnya mencegah terjadinya syok tercapai
untuk menentukan cairan akibat perdarahan.
P:
dan jumlah cairan yang di Mmberikan cairan yang
1. Pertahankan dan
berikan sesuai untuk mengefektifkan
pantau keadaan
tindakan pemberian cairan
umum klien.
2. Lanjutkan
2. Lakukan transfusi darah 2. Menambah volume darah
intervensi
apabila di perlukan klien setelah terjadi
pemeriksaan
perdarahan apabila di
sirkulasi perifer,
3. Monitor respon perlukan
monitor status
hemodinamik klien 3. Menghindarkan klien dari
kesadaran klien dan
4. Monitor tanda-tanda syok.
pantau EKG serta
adanya kelebihan cairan 4. Menghindarkan klien dari
pemberian cairan.
seperti edema. terjadinya pemberian cairan
berlebih

2 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Oxygen Therapy Oxygen Therapy S:-
nafas berhubungan keperawatan selama 30 menit, 1. Bersihkan saluran nafas jika 1. Jika ada penghambat di jalan
O:
dengan hiperventilasi diharapkan klien dapat diperlukan dan pastikan nafas klien, maka klien akan - Laju pernafasan
ditandai dengan pola bernafas optimal dan tidak jalan nafas klien bersih semakin susah untuk klien stabil dan
napas tidak teratur, terjadi kekurangan oksigen bernafas. dapat kembali ke
irama nafas cepat, pada klien, dengan kriteria 2. Berikan oksigen terapi rentang normal
takipnea, RR > 30 hasil : sesuai kebutuhan klien - Klien dapat
x/menit NOC Label : Respiratory 2. Oksigen terapi akan bernafas secara
Status membantu peningkatan optimal ditunjukkan
a. Laju pernapasan klien pasokan oksigen ke klien dengan kedalaman
dalam rentang normal (16- dengan trauma dada dimana nafas yang
20x/menit). klien tidak mampu meningkat
b. Saturasi Oksigen klien melakukan pernafasan secara - Saturasi oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang
dalam rentang normal optimal. klien 95%-100%
diberikan.
(95%-100%) 3. Aliran oksigen harus
dipantau untuk melihat A : Tujuan
4. Pantau keefektifan
kecukupan aliran yang Keperawatan
pemberian aliran oksigen
diberikan untuk klien Tercapai
dengan oksimetri
4. Oksimetri akan
P:
menunjukkan saturasi
- Pertahankan
oksigen klien, dan
intervensi
NIC Label : Respiratory
menunjukkan kecukupan
pemberian oksigen
Monitoring
oksigen yang diberikan.
dan pemantauan
1. Pantau laju , ritme,
saturasi oksigen
kedalaman dan usaha dalam
Respiratory Monitoring
Pertahankan dan pantau
pernapasan.
1. Melihat keadekuatan keadaan umum klien
pernafasan klien agar dapat
memberikan terapi yang
tepat. Sekaligus
mengevaluasi keefektifan
pemberian intervensi.
3 Kekurangan volume Setelah diberikan asuhan NOC Label: Fluid Fluid Management S: -
cairan berhubungan keperawatan selama 15 menit, Management
dengan kehilangan diharapkan kekurangan volume 1. Kaji dan Pantau TTV dan 1. Adanya perubahan TTV O:
cairan aktif ditandai cairan teratasi, dengan kriteria catat adanya perubahan menggambarkan status Mukosa bibir pasien
denganmembran hasil: dehidrasi klien. tampak lembab
mukosa kering, Hipovolemia dapat Turgor kulit kembali <
penurunan turgor kulit, NOC Label: Fluid Balance dimanifestasikan oleh 2 detik
peningkatan 1. Tekanan darah klien dalam hipotensi dan takikardia.
konsentrasi urine rentang normal (100- Perkiraan berat ringannya
120/60-80 mmHg) hipovolemia dapat dibuat A:
2. Kecepatan nadi klien ketika tekanan darah Tujuan keperawatan
dalam rentang normal 60- sistolik pasien turun lebih tercapai.
100x/menit dari 10 mmHg dari posisi
3. Turgor kulit klien normal< berbaring ke posisi P:
2 detik duduk/berdiri. Pertahankan kondisi
4. Intake dan output dalam 24 2. Memenuhi kebutuhan klien dan lanjutkan
jam seimbang 2. Berikan cairan sesuai cairan dalam tubuh. intervensi
5. Rasa haus teratasi kebutuhan. 3. Memberikan hasil
6. Pusing teratasi 3. Catat intake dan output pengkajian yang terbaik
cairan. dari status cairan yang
sedang berlangsung dan
selanjutnya dalam
memberikan cairan
pengganti
4. Mengetahui berapa cairan
4. Monitor dan Timbang berat yang hilang dalam tubuh
badan setiap hari. 5. Mengetahui tingkat
dehidrasi
5. Monitor status hidrasi (suhu
tubuh, kelembaban
membran mukosa, warna
kulit).
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, J. M. et al. (2014). Nursing Interventions Classification (NIC). Missouri: Mosby


Estele, et.al. (2013). World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of
The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol.
Estelle et.all. (2011). WAO Guideline for the Assessment and Management of
Anaphylaxis;4:13-37.
F Estelle. (2013). Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ; 1–10
Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. (2010). Asosiasi Cara Pemberian Obat
dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada
Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam;vol.11:135-
139.
Johannes, Ring et.all. (2014). History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley,
Chichester (Novartis Foundation Symposium 257).
Longmore Murray et.all. (2010). Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical
Medicine.8th:806-807.
Moorhead, Sue, dkk. (2015). Nursing Outcomes Classification. USA: Mosby
NANDA. (2014). Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:
EGC.
Rengganis I, Sundaru H, (2019). Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Anda mungkin juga menyukai