Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Definisi
Shock adalah kelainan multisistem yang melibatkan perfusi jaringan yang tidak
adekuat dan metabolisme yang berubah. Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang
dimediasi IgE. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi
kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang
merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat berujung pada syok anafilaktik.
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Syok anafilaktik
adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau cara lain, Hal ini
disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu
antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaktik yang merupakan syok distributif, ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2. Etiologi
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik
adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies.
Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik,
enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur,
susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
a. Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang
tidak bisa di golongkan.
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
3. Patofisiologi
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit
B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat
dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Pathways
4. Gejala klinis
a. Ringan
Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat disertai dengan
Kongesti nasal
Pembengkakan periorbital
Pruritus
Bersin – bersin dan mata yang berair
Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak
b. Sedang
Rasa hangat
Cemas
Gatal – gatal
Bronkospasme
Oedem saluran nafas atau laring dengan dyspnea
Batuk serta mengi
Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan
c. Berat :
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda –tanda serta
gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga
terjadi bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia
(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat
terjadi. Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.
5. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas
alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya
reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan
datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari
dosis initial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini
penderitadiberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E
nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang
disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat
menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST,
suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut
diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E
ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-
labelled anti-Ig. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .
6. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat
masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai
maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah
berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan
serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml dibekas tempat
suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket
proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat
dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera
diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan:
Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau
diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis
terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
2. anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi
hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg
dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid
dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
3. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun pada kardiovaskular.
4. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti
pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9%
diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam
20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9
%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-
1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja
mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang
terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular
untuk kembali ke intravaskular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini
selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian
cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat
merangsang jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60
mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg/ml. Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada
keadaann anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan
pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000
diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis
anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain
usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit
reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau
bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak
terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine
akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid
secara intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH dangan AH bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung
beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi
teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid
tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk
mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien
sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan
intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya.
Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam. (Aruh. W. Sudoyo, IPD,
Hal.190-192).
7. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg,
Teks- Atlas Kedokteran Kedaruratan).
1. Pengkajian
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi tetrasiklin,
kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan
antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin,
heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan : Keluhan utama klien terlihat sesak.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : klien sebelumnya pernah mengalami riwayat alergi baik
obat, makanan, atau debu.
c. Riwayat keluarga : Adanya penyakit tertentu dalam keluarga, yaitu ibu atau bapak
klien mempunyai riwayat alergi yang sama.
3. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Inspeksi : Bentuk semestris atau tidak, warna rambut hitam atau tidak, distribusi
Rambut : merata atau tidak.
Palpasi : rambut rontok atau tidak, kulit kepala kotor atau tidak, ada benjolan atau
tidak, tekstur rambut kasar atau halus.
b. Mata
Inspeksi : bentuk mata simetris atau tidak, reflek kedip baik atau tidak
Palpasi : konjungtiva merah muda atau tidak, adanya nyeri tekan atau tidak
c. Hidung
Inspeksi : hidung simetris atau tidak,adanya inflamasi atau tidak, adanya sekret atau
tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak pada daerah sinus, adanya massa atau tidak.
4. Mulut
Inspeksi : bentuk mulut simetris atau tidak, andanya kelainan kongenental atau tidak seperti
bibir sumbing, mukosa bibir kering atau tidak, gigi ada yang berlubang atau tidak,
adanya caries gigi atau tidak. Palatum berada di tengah atau tidak.
5. Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris atau tidak, leher bersih atau tidak, adanya lesi atau tidak.
Palpasi : adanya benjolan atau tidak, adanya pembesaran kelenjar tiroid atau tidak, adanya
bendungan vena jugularis atau tidak.
6. Dada
Paru – paru
Inspeksi : bentuk dada simetris atau tidak,adanya interaksi interkosta atau tidak, amati
klavikula dan scapula simetris atau tidak
Palpasi : merasakan paru kanan atau kiri sama atau tidak.
Auskultasi : apakah suara paru vesikuler atau wheezhing ataucreckles
Perkusi : suara paru sonor atau tidak.
Jantung
Inspeksi : bentuk dada simetris atau tidak
Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak
Auskultasi : bunyi S1LUB, adanya suara tambahan atau tidak. Bunyi S2 DUB adanya
suara tambahan atau tidak
Perkusi : bunyi jantung normal atau tidak adanya sura tambahan.
7. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut simetris atau tidak, adanya massa / tidak, adanya benjolan/
tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak
Auskultasi :mendengarkan peristaltic usus 5 – 35 kali atau menit atau tidak
8. Ektremitas
Inspeksi : Kaki kiri dan kanan simetris atau tidak
Palpasi : adanya lesi atau tidak
9. akral
palpasi : Dingin, hangat atau tidak.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi: Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia, eosinophilia
naik atau normal atau turun.
Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. Radiologi
X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
c. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
5. Diagnosa keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus .
b. Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri.
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine dan
bradikinin oleh sel mast. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan
dengan peningkatan kapasitas vaskuler.
6. Intervensi keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-
14455.
2. Anaphylaxis Topics in: Allergic, Autoimune, & Other Hypersensitivity Disorders. The Merck
Manual Professional Edition
4. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL:
www.duniakedokteran.cq.bz.7.
5. Sampson HA, et al. Clinical Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 20068.
6. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaktik dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit
Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 1994.
hal 77-80.12.