Oleh :
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
(P07120319008)
PRODI NERS
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan
bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah
mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. ( Brunner dan
Suddarth.2001).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak
terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast
yang mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan
penurunan peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas
yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas
ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipecepat (reaksi hipersensitivitas tipe
I), yaitu reaksi antara antigenspesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. (Suzanne C. Smeltze,
2001).
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan
kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi
secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C, Evelyn.2009).
Anafilaktik bifasik adalah reaksi alergi yang muncul kembali setelah
munculnya reaksi alergi pertama, padahal penderita tidak terpapar alergen lagi.
Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir seluruh bagian tubuh
melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30% di
bawah tekanan darah normal orang tersebut. Diagnosis anafilaksis bifasik
ditegakkan ketika gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian
meskipun tidak ada kontak baru antara pasien dengan alergen. Beberapa studi
menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.
Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam. Reaksi kedua
tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.
2. Etiologi
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai allergen. Penyebab
yang sering ditemukan adalah:
a. Gigitan/sengatan serangga.
b. Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
c. Alergi makanan
d. Alergi obat, serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan
anafilaksis.
Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan
bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan
histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan.
Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk
rontgen), pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksi
yang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik
atau reaksi racun dan bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang
terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.
3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004)
yaitu.
4. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi
cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi
ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase
efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan
ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi
sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang
memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh
terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam
tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses
ini disebut dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast
dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga
mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh
berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi
granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak
klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.
Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar
bunyi mengi (bengek), gangguan pernafasan dan timbul gejala-gejala saluran
pencernaan berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin
menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan
tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan
(yang akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok.
Cairan bisa merembes ke dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan
edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa
cukup berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan.
Anafilaksis yang berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada
kepekaan yang ekstrim, penyuntikan allergen dapat mengakibatkan kematian
atau reaksi subletal.
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)
d. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga
disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi
delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4+ dan T cell
mediated cytolysis dengan peran CD8+. Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang
mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin
interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag dan menginduksi
inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk
makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi
tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi granuloma. Reaksi hipersensitivitas
selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu reaksi yang muncul
pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan yang terjadi
merupakan akibat dari CD8+ yang langsung membunuh sel target. Sebagai contoh
pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun
kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap
hepatosit yang terinfeksi.
5. Manifestasi klinis
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal
baru menjadi berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan adalah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,
sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. Adapun gejala-gejala yang secara
umum, bisa pula ditemui pada suatu anafilaksis adalah:
a. Gatal di seluruh tubuh
b. Hidung tersumbat
c. Kesulitan dalam bernafas
d. Batuk
e. Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kukuf)
f. Pusing, berbicara tidak jelas
g. Denyut nadi yang berubah-ubah
h. Jantung berdebar-debar (palpitasi)
i. Mual, muntah dan kulit kemerahan.
Tanda dan gejala dari anafilaksis menurut dapat berupa antara lain:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)
• Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
• Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di
bibir, lidah, dan uvula.
• Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2. Respirasi (70%)
• Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek
• Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry
staccato cough
• Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%)
• Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
6. Komplikasi
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG
dan foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat
hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. X photo : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
c. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia
meningkat, sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat
dagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
a. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-
lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang
diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata
jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat
segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
b. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes
ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes
ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah
4 jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak
dipengaruhi oleh obat-obatan.
d. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang
disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat
yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15
menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
e. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi
makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode
RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 –
30 menit. Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
8. Penatalaksanaan Medis/Keperawatan
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang
etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-
nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-
tanda pre syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur
terlentang datar dengan kaki ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak
mengalir ke organ-organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen
dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema laring atau
angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas
ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus,
apneu atau henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine
dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan
setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok
atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01
mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit
samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah
dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam
fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok
dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan
jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu
melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan diberikan
sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10 menit.
Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang mendapat
anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.
Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed:
The Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing,
2005.
...................................................
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
NIP. NIM. P07120319008
Nama Pembimbing / CT
Ni Luh Suci Novi Ariani
...................................................
NIM: P07120319008
NIP.
...................................................
NIP.