2. Klasifikasi
Appendicitis dibagi menjadi 2 yaitu appendicitis akut dan appendicitis
kronik.
a. Appendicitis akut dibagi atas :
1) Appendicitis acute focalis atau segmentalis
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh
rongga appendix 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang
penting ialah ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu.
2) Appendicitis acute purulenta (supporativa) diffusa
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya
lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut
appendicitis gangrenosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat
terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan
akibat peritonitis (De Jong, 2014).
3. Anatomi Fisiologi
Appendix merupakan organ berbentuk tabung yang buntu,
panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari
kelingkin dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Tonjolan appendix pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari
apeks secum sepanjang 4,5 cm. Pada kanak-kanak, batas appendix dari
sekum semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa
panjang appendix rata-rata 9-10 cm, terletak posteromedial sekum. Posisi
appendix bisa retrosekal, retroileal, subileal atau dipelvis, memberikan
gambaran klinis yang tidak sama.
Fungsi appendix tidak diketahui. Kadang-kadang appendix disebut
“tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Diperkirakan
appendix mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik. Dengan
berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan kebanyakan kasus
timbul konstriksi lumen atau obliterasi. Pada posisi normalnya appendix
terletak pada dinding abdomen, di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan
menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikalis. Titik tengah
garis itu merupakan pangkal appendix. Appendix diperdarahi oleh arteria
appendikularis yang merupakan end artery (Guyton, 2007).
4. Etiologi
Faktor utama penyebab appendicitis adalah akibat penyumbatan
pada lumen appendix, hal ini biasanya disebabkan oleh :
a. Fekalit atau feses yang mengeras.
b. Cacing atau parasit.
c. Infeksi bakteri misalnya: E. coli, streptokokus
d. Tumor atau keganasan pada sekum.
e. Makanan yang sulit dicerna seperti: biji-bijian (Manjoer, 2010).
6. Patofisiologi
Sebenarnya sampai saat ini appendix belum diketahui
fungsinya secara pasti. Secara normal appendix dapat berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur, dengan menyalurkan isinya ke
dalam sekum. Akan tetapi karena berbagai sebab seperti terkumpulnya
fekalit, cacing/parasit, makanan biji-bijian, bakteri yang tertahan di
appendix dapat menyebabkan appendix tersebut terinfeksi dan
mengalami penyumbatan lumen appendix. Apendix ini mengeluarkan
cairan yang berupa secret mukus akibat obstruksi atau penyumbatan
lumen tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendix
mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan mudah infeksi dan
dari penyumbatan ini lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
peradangan pada apendix dengan tanda dan gejala nyeri pada titik
MC. Burney, mual, muntah, dan suhunya meningkat. Pada proses
peradangan ini, biasanya pasien dilakukan apendictomi. Pada proses
peradangan ini menyebabkan apendix melakukan pembentukan mukus
yang berlebihan, menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal
menyebabkan oklusi end artery apendikularis. Ini mengakibatkan
terjadinya hipoksia atau kekurangan oksigen dalam jaringan. Akibat
hipoksia timbul iskemia akibat trombosis vena intramural,
mengakibatkan terjadinya nekrosis, lama kelamaan menimbulkan
gangren. Pada gangren ini akan terjadi mukosa edema dan dapat
terlepas sehingga berbentuk tukak. Dinding appendix ini akan
menipis, rapuh dan pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Seringkali
perforasi ini terjadi dalam waktu 24-36 jam. Bila proses ini berjalan
lambat maka organ di sekitar illeum terminalis, sekum dan omentum
akan membentuk dinding mengitari apendix sehingga berbentuk abses
yang terlokalisasi (Manjoer, 2010).
7. Test Diagnostik
a. Foto abdomen : gambaran fekalit
b. Leukositosis di atas 12.000 /mm 2 dan peningkatan neutrofil
sampai 75% lebih banyak ditemukan pada 90% kasus.
c. USG ditemukan gambaran appendicitis.
d. CT Scan abdomen : dapat menunjukkan terjadinya abses
appendikal atau appendicitis akut (Smeltzer & Suzanne .2011).
8. Komplikasi
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi appendix, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Gejalanya mencakup
demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, nyeri abdomen yang
terus menerus (Guyton, 2007).
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis (distensi
jaringan usus oleh inflamasi).
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama:
perforasi atau ruptur pada appendix; pembentukan abses.
c. Hipertermia
d. Defisit nutrisi
Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, insisi bedah.
c. Hipertermia
DAFTAR PUSTAKA
De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.
Guyton, AC dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 .
Jakarta: EGC
Manjoer, Arif.2010. Kapita Selekta Kedokteran ed.3 cetakan 1. Media
Aesculapsus:Jakarta
Smeltzer & Suzanne C.2011. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8,vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.
Syamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar IntervensiKeperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI