APPENDICITIS
TUGAS INDIVIDU
OLEH:
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDICITIS
OLEH:
Mengetahui,
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDICITIS
2. Klasifikasi Appendicitis
Menurut Sjamsuhidayat dan Wim (2005), apendisitis diklasifikasikan menjadi 2
yaitu:
a. Appendicitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsangan peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar
umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatic setempat.
b. Appendicitis Kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial maupun total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
3. Etiologi Appendicitis
Penyebab appendicitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal (Alder,
2018). Obstruksi lumen appendikeal sering kali terjadi diakibatkan oleh hiperplasia
limfoid, inflammatory bowel disease (IBD), infeksi (paling sering pada anak-anak dan
dewasa muda), stasis fecal dan fecalitis (paling sering pada lansia), parasit (khususnya
pada negara-negara timur), atau adanya benda asing dan keganasan (jarang terjadi)
(Craig, 2018). Selain itu, konstipasi tinja yang keras akibat kebiasaan memakan
makanan yang rendah serat juga dapat memicu appendicitis (Alder, 2018).
5. Tahapan Appendicitis
Menurut Craig (2018), tahapan appendicitis dapat dibagi menjadi appendicitis
tahap awal, suppurative, gangrenous, perforated, phlegmonous, spontaneous
reseolving, recurrent, dan kronis.
a. Appendicitis tahap awal
Pada tahap awal appendicitis, obstruksi lumen appendix menyebabkan edema
pada mukosa, ulserasi mukosa, diapedesis bakteri, distensi appendix akibat
akumulasi cairan, dan meningkatkan tekanan intraluminal. Hal ini
meningakibatkan serabut saraf aferen visceral terangsang dan pasien merasakan
nyeri periumbilical atau epigastrium yang berlangsung 4-6 jam.
b. Appendicitis Suppurative
Pada tahap appendicitis suppurative (supuratif) terjadi peningkatan tekanan
intraluminal melebihi tekanan perfusi kapiler, yang berhubungan dengan obstruksi
limfatik dan drainase vena dan memungkinkan bakteri dan invasi cairan dari
dinding apendiks yang menegang. Penyebaran bakteri secara transmural
menyebabkan apendisitis supuratif akut. Ketika lapisan serosa apendiks meradang
terjadi kontak dengan peritoneum parietalis, pasien biasanya mengalami
pergeseran klasik nyeri dari periumbilikus ke kuadran kanan perut bagian bawah
(RLQ), yang terus-menerus dan lebih parah daripada nyeri viseral awal.
c. Appendicitis Gangrenous
Pada tahap ini terjadi intramural trombosis vena dan arteri, sehingga appendix
menjadi gangren.
d. Appendicitis Perforated
Iskemi jaringan yang menetap sehingga menjadi infark pada apendiks dan
berakibat perforasi (lubang atau luka) yang dapat menyebabkan peritonitis fokal
atau general.
e. Appendicitis phlegmonous atau abses
Appendix yang meradang atau perforasi dapat menyebar pada berdekatan
omentum yang lebih besar atau usus kecil, sehingga terjadi phlegmonous
apendisitis atau abses fokal
f. Appendicitis spontaneous reseolving
Appendicitis spontaneous reseolving (sembuh spontan) terjadi ketika obstruksi
lumen apendiks dikeluarkan. Hal ini terjadi jika penyebab dari gejala adalah
hiperplasia kelenjar limfoid atau ketika sebuah fekalith dikeluarkan dari lumen.
g. Appendicitis recurrent
Appendicitis recurrent (berulang) terjadi sekitar 10% kasus. Diagnosis ditegakkan
jika pasien mengalami kejadian yang mirip dengan nyeri pada kuadaran kanan
bawah pada saat yang berbeda, setelah dilakukan apendektomi, dimana bukti
secara histopatologi menunjukkan inflamsi appendix.
h. Appedicitis Kronis
Apendisitis kronik terjadi pada 1% insidens dan dibuktikan dengan: (1) riwayat
pasien nyeri kuadran kanan bawah minimal selama 3 minggu tanpa adanya
diagnosis alternatif; (2) setelah apendektomi, pasien mengalami gejala yang hilang
total; (3) secara histopatologi, gejala dibuktikan dengan adanya inflamasi kronik
pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Craig, 2018).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis appendisitis akut.
Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi.
Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis
akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir
75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis. Kombinasi antara kenaikan angka leukosit dan granulosit adalah yang
dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa apendisitis akut. Tes laboratorium
bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakan diagnosa.
b. Pemeriksaan urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi
appendiks terjadi di dekat ureter.
c. Ultrasonografi Abdomen (USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior lebih dari 6 mm, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendix, aperistaltik, non kompresibel, blind-end,
struktur sausage-shaped yang timbul dari dasar sekum, perbedaan lapisan dinding
apendiks, adanya target appearance, ekogenik, prominent lemak pericecal.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau 22 inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul
karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendiks.
d. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasienpasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari
5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
(Incesu, 2017).
7. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat da merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya
tidak diperlukan pemeberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidayat, 2012).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparaskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih
dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparaskop, tindakan laparaskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak (Sjamsuhidayat, 2012).
8. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidayat (2012), komplikasi yang paling sering ditemukan adalah
perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.