Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDICITIS

“Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan


Program Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal Bedah Profesi”

TUGAS INDIVIDU

OLEH:

AULIYA RAHMAN, S.ST


NIM: 20.300.0016

PROGRAM PROFESI NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDICITIS

OLEH:

AULIYA RAHMAN, S.ST


NIM: 20.300.0016

Banjarmasin, Januari 2021

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDICITIS

I. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Appendicitis
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu (caecum) atau
umbai cacing (apendiks), infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya (Wim, 2010). Menurut Brunner dan Suddarth (2014), apendisitis
merupakan inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan merupakan penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat.

2. Klasifikasi Appendicitis
Menurut Sjamsuhidayat dan Wim (2005), apendisitis diklasifikasikan menjadi 2
yaitu:
a. Appendicitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsangan peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar
umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatic setempat.
b. Appendicitis Kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial maupun total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
3. Etiologi Appendicitis
Penyebab appendicitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal (Alder,
2018). Obstruksi lumen appendikeal sering kali terjadi diakibatkan oleh hiperplasia
limfoid, inflammatory bowel disease (IBD), infeksi (paling sering pada anak-anak dan
dewasa muda), stasis fecal dan fecalitis (paling sering pada lansia), parasit (khususnya
pada negara-negara timur), atau adanya benda asing dan keganasan (jarang terjadi)
(Craig, 2018). Selain itu, konstipasi tinja yang keras akibat kebiasaan memakan
makanan yang rendah serat juga dapat memicu appendicitis (Alder, 2018).

4. Manifestasi Klinis Appendicitis


Menurut Williams dan Wilkins (2018), tanda dan gejala klasik pada appendicitis
adalah nyeri perut periumbilikal, dan nyeri perut pada kuadran kanan bawah. Selain
itu, disertai juga dengan adanya mual (61-92% kasus), muntah (50% kasus), dan
anoreksia (74-78% kasus), serta diare atau konstipasi sebangayk 18% kasus (Craig,
2018).
William dan Wilkins (2018) menambahkan, bahwa sering kali juga didapatkan
tanda Rovsing (Rovsing sign), yaitu nyeri perut pada kuadran kanan bawah dengan
palpasi perut pada kuadran kiri bawah. Lebih lanjut, juga dijumpai tanda psoas (Psoas
sign) yaitu nyeri pada perut kuadran kanan bawah dengan ekstensi panggul kanan
sementara panggul kiri fleksi melawan tahanan. Selain itu, terdapat juga tanda Dunphy
(Dunphy sign) yang menunjukkan nyeri tajam pada perut kuadran kanan bawah saat
diminta batuk dan juga tanda Markle (Markle/jump sign), merupakan rasa sakit pada
perut kanan bawah yang timbul saat berdiri lalu turun dari berdiri pada jari kaki lalu ke
tumit.

5. Tahapan Appendicitis
Menurut Craig (2018), tahapan appendicitis dapat dibagi menjadi appendicitis
tahap awal, suppurative, gangrenous, perforated, phlegmonous, spontaneous
reseolving, recurrent, dan kronis.
a. Appendicitis tahap awal
Pada tahap awal appendicitis, obstruksi lumen appendix menyebabkan edema
pada mukosa, ulserasi mukosa, diapedesis bakteri, distensi appendix akibat
akumulasi cairan, dan meningkatkan tekanan intraluminal. Hal ini
meningakibatkan serabut saraf aferen visceral terangsang dan pasien merasakan
nyeri periumbilical atau epigastrium yang berlangsung 4-6 jam.
b. Appendicitis Suppurative
Pada tahap appendicitis suppurative (supuratif) terjadi peningkatan tekanan
intraluminal melebihi tekanan perfusi kapiler, yang berhubungan dengan obstruksi
limfatik dan drainase vena dan memungkinkan bakteri dan invasi cairan dari
dinding apendiks yang menegang. Penyebaran bakteri secara transmural
menyebabkan apendisitis supuratif akut. Ketika lapisan serosa apendiks meradang
terjadi kontak dengan peritoneum parietalis, pasien biasanya mengalami
pergeseran klasik nyeri dari periumbilikus ke kuadran kanan perut bagian bawah
(RLQ), yang terus-menerus dan lebih parah daripada nyeri viseral awal.
c. Appendicitis Gangrenous
Pada tahap ini terjadi intramural trombosis vena dan arteri, sehingga appendix
menjadi gangren.
d. Appendicitis Perforated
Iskemi jaringan yang menetap sehingga menjadi infark pada apendiks dan
berakibat perforasi (lubang atau luka) yang dapat menyebabkan peritonitis fokal
atau general.
e. Appendicitis phlegmonous atau abses
Appendix yang meradang atau perforasi dapat menyebar pada berdekatan
omentum yang lebih besar atau usus kecil, sehingga terjadi phlegmonous
apendisitis atau abses fokal
f. Appendicitis spontaneous reseolving
Appendicitis spontaneous reseolving (sembuh spontan) terjadi ketika obstruksi
lumen apendiks dikeluarkan. Hal ini terjadi jika penyebab dari gejala adalah
hiperplasia kelenjar limfoid atau ketika sebuah fekalith dikeluarkan dari lumen.
g. Appendicitis recurrent
Appendicitis recurrent (berulang) terjadi sekitar 10% kasus. Diagnosis ditegakkan
jika pasien mengalami kejadian yang mirip dengan nyeri pada kuadaran kanan
bawah pada saat yang berbeda, setelah dilakukan apendektomi, dimana bukti
secara histopatologi menunjukkan inflamsi appendix.
h. Appedicitis Kronis
Apendisitis kronik terjadi pada 1% insidens dan dibuktikan dengan: (1) riwayat
pasien nyeri kuadran kanan bawah minimal selama 3 minggu tanpa adanya
diagnosis alternatif; (2) setelah apendektomi, pasien mengalami gejala yang hilang
total; (3) secara histopatologi, gejala dibuktikan dengan adanya inflamasi kronik
pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Craig, 2018).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis appendisitis akut.
Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi.
Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis
akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir
75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis. Kombinasi antara kenaikan angka leukosit dan granulosit adalah yang
dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa apendisitis akut. Tes laboratorium
bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakan diagnosa.
b. Pemeriksaan urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi
appendiks terjadi di dekat ureter.
c. Ultrasonografi Abdomen (USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior lebih dari 6 mm, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendix, aperistaltik, non kompresibel, blind-end,
struktur sausage-shaped yang timbul dari dasar sekum, perbedaan lapisan dinding
apendiks, adanya target appearance, ekogenik, prominent lemak pericecal.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau 22 inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul
karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendiks.
d. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasienpasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari
5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
(Incesu, 2017).
7. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat da merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya
tidak diperlukan pemeberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidayat, 2012).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparaskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih
dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparaskop, tindakan laparaskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak (Sjamsuhidayat, 2012).
8. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidayat (2012), komplikasi yang paling sering ditemukan adalah
perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Indetitas klien
Biasanya indetitas klien terdiri Nama, umur, jenis kelamin, status, agama, perkerjaan,
pendidikan, alamat ,penanggung jawaban juga terdiri dari nama,umur penanggung
jawab ,hub.keluarga, dan perkerjaan.
2. Alasan masuk
Biasanya klien waktu mau dirawat kerumah sakit denga keluhan sakit perut di
kuadran kanan bawah, biasanya disertai muntah dan BAB yang sedikit atau tidak
sama sekali, kadang –kadang mengalami diare dan juga konstipasi.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keluhan yang terasa pada klien yaitu pada saat post op operasi, merasakan
nyeri pada insisi pembedahan, juga bisanya tersa letih dan tidak bisa beraktivitas atau
imobilisasisendiri.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien memiliki kebiasaan memakan makanan rendah serat, juga bisa
memakan yang pedas-pedas.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya tidak ada pengaruh ke penyakit keturunan seperti hipertensi, hepatitis , DM,
TBC, dan asma.
4. Pemeriksaan fisik
Biasanya kesadaran klien normal yaitu composmetis, E :4 V:5 M:6. Tanda-tanda vital
klien biasanya tidak normal karena tubuh klien merasakan nyeri dimulai dari tekanan
darah biasanya tinggi, nadi takikardi dan pernafasan biasanya sesak ketika klien
merasakan nyeri.
a. Kepala
Pada bagian kepala klien bisanya tidak ada masalah kalau penyakitnya itu apenditis
mungkin pada bagian mata ada yang mendapatkan mata klien seperti mata panda
karena klien tidak bisa tidur menahan sakit.
b. Leher
Pada bagian leher biasanya juga tidak ada terdapat masalah pada klien yang menderita
apedisitis
c. Thorak
Pada bagian paru-paru biasanya klien tidak ada masalah atau gangguan bunyi normal
paru ketika di perkusi bunyinya biasanya sonor kedua lapang paru dan apabila di
auskultrasi bunyinya vesikuler. Pada bagian jantung klien juga tidak ada masalah
bunyi jantung klien regular ketika di auskultrasi, Bunyi jantung klien regular (lup
dup), suara jantung ketiga disebabkan osilasi 25 darah antara orta dan vestikular.
Suara jantung terakir (S4) tubelensi injeksi darah. Suara jantung ketiga dan ke empat
disebab kan oleh pengisian vestrikuler, setelah fase isovolumetrik dan kontraksi atrial
tidak ada kalau ada suara tambahan seperti murmur (suara gemuruh, berdesir.
d. Abdomen
Pada bagian abdomen biasanya nyeri dibagian region kanan bawah atau pada titik
Mc Bruney. Saat di lakukan inspeksi. Biasanya perut tidak ditemui gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada klien dengan komlikasi perforasi. Benjolan perut kanan
bawah dapat dilihat pada massa atau abses periapedikular (Sjamsuhidayat, 2012).
Pada saat di palpasi biasnya abdomen kanan bawah akan didapatkan
peninggkatan respons nyeri. Nyeri pada palpasi terbatas pada region iliaka kanan,
dapat disertai nyeri lepas. Kontraksi otot menunjukan adanya rangsangan periotenium
parietale. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasaka nyeri diperut kanan bawah
yang disebut tanda rofsing. Pada apendisitis restroksekal atau retroileal diperlukan
palpasi dalam untuk menemukan adanya rasa nyeri (Sjamsuhidayat, 2012).

B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
2. Pelambatan pemulihan pasca-bedah berhubungan dengan hambatan mobilitas
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan
5. Risiko infeksi
C. Rencana Asuhan Keperawatan
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen nyeri
selama 3x24 jam, Tingkat Nyeri berkurang,
dengan kriteria: 1. Kaji nyeri secara
indikator Skor
komprehensif termasuk
 Skala nyeri 5
 Intensitas yyeri 5 lokasi, karakteristik,
 Frekuensi nyeri 5 durasi, frekuensi,
 Wajah meringis 5
 Gangguan tidur intensitas dan penyebab
5
 Nafsu makan menurun 5 2. Kurangi faktor pencetus
keterangan skor: nyeri
1: berat
2: cukup berat 3. Ajarkan teknik
3: sedang nonfarmakologi untuk
4: ringan
5: tidak ada mengurangi nyeri
4. Kolaborasi pemberian
analgetik jika diperlukan
2 Pelambatan pemulihan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Perawatan Area sayatan
pasca bedah selama 3x24 jam, Pemulihan: 1. Kontrol infeksi
berhubungan dengan Penyembuhan Pembedahan adekuat, 2. Pemberian obat-obatan
hambatan mobilitas dengan kriteria:
indikator Skor
 Klien mampu beristirahat 5
 Pemulihan insisi pembedahan 5
keterangan skor:
1: deviasi berat dari normal
2: deviasi cukup berat dari normal
3: deviasi sedang dari normal
4: deviasri ringan dari normal
5: tidak ada deviasi dari normal
3 Ketidakseimbangan setelah dilakukan intervensi keperawatan Nutrition Management
nutrisi: kurang dari selama 3x24 jam, Status Nutrisi adekuat, 1. Kaji alergi makanan
kebutuhan tubuh dengan kriteria: 2. Kolaborasi dengan ahli
berhubungan dengan indikator Skor gizi untuk menentukan
ketidakmampuan  Mampu mengidentifikasi 5 jumlah kalori dan nutrisi
mencerna makanan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan pasien
 Menunjukkan peningkatan 5 3. Anjurkan diet tinggi
mengkonsumsi makanan serat untuk mencegah
 Berat badan sesuai dengan konstipasi
5 4. Monitor berat badan
tinggi badan
5 5. Monitor mual-muntah
 Tanda-tanda malnutrisi
keterangan skor: 6. Monitor kekeringan,
1: deviasi berat dari normal rambut kusam, dan
2: deviasi cukup berat dari normal mudah patah
3: deviasi sedang dari normal 7. Berikan informasi
4: deviasri ringan dari normal tentang kebutuhan
5: tidak ada deviasi dari normal nutrisi yang diperlukan
4 Gangguan pola tidur setelah dilakukan intervensi keperawatan Sleep Enhancement
berhubungan dengan selama 3x24 jam, Tidur adekuat, dengan 1. Monitor pola tidur,
gangguan kriteria: jumlah jam, dan kualitas
indikator Skor tidur klien
 Jumlah jam tidur 5 2. Ciptakan lingkungan
 Pola tidur 5 yang nyaman
 Kualitas tidur 5 3. Jelaskan pentingnya
 Perasaan segar sesudah tidur tidur yang adekuat
5
atau istirahat 4. Diskusikan dengan klien
keterangan skor: dan keluarga mengenai
1: deviasi berat dari normal teknik tidur klien
2: deviasi cukup berat dari normal 5. Anjurkan cara-cara
3: deviasi sedang dari normal untuk mempermudah
4: deviasri ringan dari normal tidur
5: tidak ada deviasi dari normal 6. Kolaborasi pemberian
obat tidur jika
diperlukan
5 Risiko Infeksi setelah dilakukan intervensi keperawatan Perawatan Luka
selama 3x24 jam, Pemulihan: 1. Monitor luka
Penyembuhan Pembedahan adekuat, pembedahan
dengan kriteria: 2. Monitor tanda-tanda
indikator Skor vital
 Klien mampu beristirahat 5 3. Lakukan perawatan luka
 Pemulihan insisi pembedahan 5 secara teratur
keterangan skor: 4. Ajarkan cara melakukan
1: deviasi berat dari normal perawatan luka mandiri
2: deviasi cukup berat dari normal secara aman
3: deviasi sedang dari normal 5. Ajarkan memonitor luka
4: deviasri ringan dari normal pada klien dan keluarga
5: tidak ada deviasi dari normal 6. Kolaborasi pemberian
obat-obatan
DAFTAR PUSTAKA

Alder, A. C. (2018). Appendicitis. Retrieved from:


https://emedicine.medscape.com/article/926795-overview
Brunner, Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : ECG.
Craig, Sandy, et al. Appendicitis. Retrieved from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Incesu, L. Imaging Appendicitis. Retrieved from:
http://emedicine.medscape.com/article/363818-overview
Sjamsuhidayat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat., & Wim , D. J. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Williams, L & Wilkins. (2011). Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih
Bahasa Paramita. Jakarta : PT. Indeks.
Wim , D. J. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai