APPENDISITIS
Di Susun Oleh:
Krisdiyanti
(202102040039)
A. Definisi
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja (NANDA, 2015).
Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10
sampai 30 tahun. Kasus ini merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum
untuk bedah abdomen darurat. Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu,
apendisitis akut dan apendisitis kronik (Nugroho 2011).
1. Appendisitis Akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gajala apendisitis akut talah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Nugroho, 2011).
2. Appendisitis Kronik
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik appendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden appendisitis kronik antara 1-5% (Nugroho, 2011).
B. Etiologi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteri. Sumbatan lumen
appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis
adalah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah
timbulnya appendisitis akut (Ariawan, 2014).
C. Tanda dan Gejala
1. Suhu tubuh menjadi naik, demam (37,8 – 38,8 C)
2. Mual dan muntah
3. Nyeri perut sebelah kanan bawah, saat berjalan terasa sakit, ketika jongkok sakit
berkurang
4. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali
5. Konstipasi
6. Disuria
7. Pada anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh di semua bagian perut
8. Badan lemah, nafsu makan berkurang, tampak meringis dan menghindari
pergerakan
(Ariawan, 2014)
D. Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis dapat
mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia
sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendisitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi
cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendisitis pada anak-anak, terutama pada
anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Diagnosis appendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat
dibuat hanya pada 50-70 % pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka
appendektomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50
%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang
paling penting dalam mendiagnosis appendisitis (Ariawan, 2014).
Di Amerika Serikat kasus apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan
perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 70 % kasus appendisitis
terjadi pada usia dibawah 30 tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun.
Appendisitis akut sering terjadi pada usia 20-30 tahun, dengan ratio laki-laki
dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, risiko terjadi angka kekambuhan pada laki-
laki 8,6 % dan perempuan 6,7 % di USA (Ariawan, 2014).
E. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan
ini disebut appendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi appendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrate appendikularis. Peradangan pada appendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih
pendek pada appendiks lebih panjang, maka dinding appendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Ariawan, 2014).
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi appendiks, tanda-tanda perforasi
yaitu meningkatnya nyeri,meningkatnya spasme dinding perut kanan bawah, ileus,
demam, malaise, dan leukositisis. Kemudian peritonitis abses yang bila terbentuk abses
appendik maka akan teraba massa pada kuadran kanan bawah yang cenderung
menggelembung pada rektum atau vagina. jika terjadi perintonitis umum tidakan
spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi tersebut. Tandanya
berupa dehidrasi, sepsis, elektrolit darah tidak seimbang dan pneumonia (Ariawan,
2014).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
3
a. Hitung sel darah putih total meningkat di atas 10.000/m pada 85% pasien
tiga perempatnya mempunyai hitung diferensial sel darah putih yang
abnormal, mempunyai lebih dari 75% netrofil.
b. Pemeriksaan urine, tujuannya untuk menyingkirkan adanya kecurigaan batu
ureter kanan dan infeksi saluran kencing. Adanya hematuria atau sel darah
putih pada pemeriksaan urin menandakan adanya infeksi saluran kencing
tetapi bukan berarti apendisitis akut dapat disingkirkan.
c. C-Reactive Protein (CRP) dalam mendiagnosis apendisitis akut memiliki
tingkat keakurasian hingga 91%, dimana CRP merupakan merupakan salah
satu komponen protein, pentamer yang sering digunakan sebagai marker
infeksi dalam darah.
(NANDA, 2015)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT-Scan dan MRI memiliki akurasi 94-98%, sensitivitas 90-98%, spesitifitas
91-98%, positif prediktif value 92-98%.
b. Pada pemeriksaan ultrasonografi akurasi dalam menegakkan diagnosis
apendisitis akut mendekati 75-90%, spesifisitas antara 86-95%, dan nilai
angka prediksi positif mencapai 91-94% serta akurasi secara keseluruhan
sebesar 87-
96%.
(NANDA, 2015)
G. Penatalaksanaan
1. Non Medis
a. Mengkonsumsi buah-buahan
b. Mengkonsumsi sayur-sayuran
c. Tidak dianjurkan memakan makanan siap
saji (Ariawan, 2014)
2. Medis
Appendiktomi merupakan pembedahan untuk mengangkat appendik yang
dilakukan untuk meurunkan perforasi. Appendiktomi dapat dilakukan secara
terbuka atau laparoskopi. Appendiktomi terbuka dillakukan insisi Mc. Burnney
yang biasanya dilakukan oleh para ahli. Pada appendisitis yang tanpa komplikasi
maka tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis perforata.
Penundaan tindakan bedah yang diberikan antibiotik dapat menimbulkan abses
atau perforasi. Terapi Farmakologis preoperatif antibiotik untuk menurunkan
resiko infeksi pasca bedah (Ariawan, 2014).
Ariawan, Kiki. A. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Sistem
Pencernaan: Appendisitis Akut Dengan Post Appendiktomy Di Ruang Cempaka
RSUD Pandan Arang Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta: Naskah Dipublikasikan
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluan-appendisitis.html?
m=1. Diakses pada Minggu, 17 September 2017, pukul 09:30 WITA
http://anfis.mariapoppy.blogspot.com/2014/11/anatomi-fisiologi-sistem-
pencernaan_28.html. Diakses pada Minggu, 17 September 2017, pukul 09:40
WITA
http://yayanakhyar.wordpress.com/tag/apendisitis/. Diakses pada Minggu, 17 September
2017, pukul 09:35 WITA
Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Dan Penyakit
Dalam. Nuha Medika: Yogyakarta
Nurarif, Huda Amin & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC Jilid 1. Mediaction:
Jogjakarta
(www.argaaditya.com). Diakses Pada Jum’at, 22 September 2017, pukul 09:12 WITA