Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APPENDISITIS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil, panjangnya kira-kira 10 cm (4
inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak
efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan
terhadap infeksi (Smeltzer & Bare, 2002).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan
Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab
yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks
atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
2. Penyebab / Factor Predisposisi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik, tetapi ada factor
prediposisi yaitu :
a. Obstruksi lumen
Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi
Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
c. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.
d. Anatomi apensiks
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)
3. Pathway Apendicitis

Invansi & Multiplikasi Hipertermia Febris


Bakteri
Peradangan pada Mekanisme
dinding apendiks kompensasi tubuh
Apendicitis

Apendiktomi Secresi mucus berlebih pada


Ansietas
lumen apendik

Luka insisi Apendic teregang

Merangsang Spasme dinding Tekanan


nosiseptor apendik intraluminal lebih
dari tekanan vena

Nyeri akut
Hipoxia jaringan
apendic
Risiko
Perdarahan
Ulcerasi

Efek samping
Perforasi
anestesi
Jalan masuk kuman
Risiko Infeksi
Nausea
4. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke
apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendiktomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam
serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu
saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendiktomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup
yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal.
Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas
tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
5. Manifestasi Klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan
c. Nyeri tekan lepas dijumpai
d. Terdapat konstipasi atau diare
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran
kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
Obraztsova’s sign ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada
kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi
internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada
hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri ketika batuk atau mengedan
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda
spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar
sign pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan
(Rosenstein)’s sign bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan
sign (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan
bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu
80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan apendisitis menurur Mansjoer (2001) :
a. Pre Operatif
1) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2) Pemasangan kateter untuk control produksi urin
3) Terapi Cairan IV (rehidrasi)
4) Antibiotic dengan spectrum luas dan dosis tinggi diberikan secara IV
5) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk
membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai.
6) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
b. Intra Operatif
1) Apabila apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika.
2) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil,
atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
3) Tindakan apendiktomi
Ada dua teknik operasi apendiktomi yang biasa digunakan, yaitu :
a) Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah
kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika apendisitis sudah mengalami
perforasi.
b) Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat buah. Satu didekat
pusar, yang lainnya diseputar perut. Laparoskopi berbentuk seperti benang
halus denagn kamera yang akan dimasukkan melalui sayatan tersebut.
Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan pada
monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan
peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan
di tempat lain. Pengangkatan apendiks, pembuluh darah, dan bagian dari
apendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.
c. Post Operatif
1) Observasi TTV
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
6) Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
7) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2×30 menit.
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
9) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat.
8. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
d. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi
bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
e. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,5oC, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama polymorphonuclear  (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
f. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian primer
1) Airway: penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai
adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien yang dapat
berbicara dapat dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian
adanya suara napas tambahan seperti snoring. Namun pada kasus apendiksitis
biasanya tidak terjadi gangguan pada system pernafasan.
2) Breathing: kaji frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu
pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan
paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi,
wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.
3) Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output
serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna
kulit, nadi.
4) Disability : kaji tingkat kesadaran dan GCS. Penurunan tingkat kesadaran
merupakan tanda ekstrim pertama pada pasien yang membutuhkan pertolongan
di ruang intensive
5) Exposure : pada saat stabil dapat ditanyakan riwayat dan pemeriksaan lainnya.
b. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik sebagai berikut :
1) Keluhan utama klien : biasanya akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium
menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan nyeri perut kanan bawah
mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium
dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-
menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan
yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
2) Riwayat kesehatan masa lalu : biasanya berhubungan dengan masalah
kesehatan klien sekarang
3) Diet : biasanya pasien mempunyai kebiasaan makan makanan rendah serat
4) Pemeriksaan Fisik :
a) Keadaan umum klien biasanya tampak sakit ringan/sedang/berat
b) TTV : tanda – tanda vital biasanya akan mengalami peningkatan
c) Head to toe : pada pemeriksaan abdomen, kemungkinan adanya distensi
abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Pada pemeriksaan rektal toucher, dapat teraba benjolan, dan
penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
5) Aktivitas / istirahat : biasanya mengalami malaise
6) Eliminasi : dapat mengalami konstipasi pada awitan awal, diare kadang-
kadang
7) Nyeri/kenyamanan : umumnya mengalami nyeri abdomen sekitar epigastrium
dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney,
meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada
kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
8) Data psikologis klien nampak gelisah.

2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Hipertermia b.d proses penyakit
c. Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
Intra Operatif :
a. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur invasive
b. Risiko perdarahan yang dibuktikan oleh tindakan pembedahan
Post Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Nausea b.d efek agen farmakologis
c. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur infasif
(SDKI, 2017)
3. Rencana Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri
pencedera selama …. x … jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
fisiologis / fisik terjadi nyeri akut dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
Tingkat Nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
1. Tidak mengeluh nyeri 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
2. Tidak meringis 4. Monitor tanda – tanda vital
3. Tidak ada sikap protektif 5. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Tidak gelisah (mis : TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback,
5. Tanda – tanda vital dalam batas terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90 hangat atau dingin, terapi bermain)
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR : 6. Fasilitasi istirahat dan tidur
16 – 20 x/menit) 7. Berikan analgetik, jika perlu
2 Hipertermia b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen hipertermia
proses penyakit selama ... x … jam, diharapkan tidak Regulasi temperatur
terjadi hipertermia dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi, terpapar
Termoregulasi lingkungan panasm penggunaan incubator)
1. Tidak menggigil 2. Monitor komplikasi akibat hipertermia
2. Warna kulit normal 3. Monitor suhu tubuh, tekanan darah, frekuensi pernapasan dan
3. Tidak kejang nadi
4. Suhu tubuh dalam batas normal 4. Monitor warna dan suhu kulit
(36.50C – 37.50C) 5. Berikan cairan oral
6. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebih)
7. Anjurkan tirah baring
8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena
9. Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
3 Ansietas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi Ansietas
kekhawatiran selama ... x … jam, diharapkan tidak 1. Monitor tanda – tanda ansietas (verbal & non verbal)
mengalami terjadi ansietas dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda tanda vital
kegagalan Tingkat Ansietas 3. Berikan terapi relaksasi napas dalam
1. Tidak tampak wajah kebingungan / 4. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
khawatir 5. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
2. Tidak gelisah
3. Tidak mengalami tremor
4. Tanda – tanda vital dalam batas
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR :
16 – 20 x/menit)

4 Risiko infeksi yang Setelah diberikan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi


dibuktikan oleh selama … x … jam, diharapkan tidak 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
prosedur invasive terjadi infeksi dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda – tanda vital
Tingkat Infeksi 3. Berikan perawatan kulit pada area edema
1. Tidak ada demam 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
2. Tidak ada kemerahan lingkungan pasien
3. Tidak ada nyeri 5. Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
4. Tidak bengkak 6. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
5. Tidak ada cairan berbau busuk 7. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
6. Kadar sel darah putih normal 5000 – 8. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
10000 / uL)
7. Tanda – tanda vital dalam batas
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR :
16 – 20 x/menit, S : 36.50C –
37.50C)
5 Risiko perdarahan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan Perdarahan
yang dibuktikan oleh selama ... x … jam, diharapkan tidak 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
tindakan terjadi perdarahan berlebih dengan 2. Monitor nilai hematocrit / hemoglobin sebelum dan setelah
pembedahan kriteria hasil : kehilangan darah
Tingkat Perdarahan 3. Monitor koagulasi darah (PT, PTT, fibrinogen, degradasi fibrin
6. Tidak terjadi perdarahan secara dan/atau platelet)
berlebih (< 200 cc) 4. Hentikan perdarahan, jika terjadi
7. Tekanan darah dalam batas normal 5. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
(90 – 130 / 60 – 90 mmHg) 6. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
8. Frekuensi nadi dalam batas normal
(60 – 100 x/menit)
6 Nausea b.d efek Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Mual
agen farmakologis selama ... x … jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi mual
terjadi nausea dengan kriteria hasil : 2. Monitor asupan nutrisi dan kalori
Tingkat Nausea 3. Kurangi atau hilangkan keadaaan penyebab mual
1. Tidak ada perasaan ingin muntah 4. Berikan makanan dalam jumlah kecil tapi sering
2. Tidak ada perasaan asam di mulut 5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi mual (misal
3. Nafsu makan baik teknik relaksasi)
4. Tidak ada muntah 6. Kolaborasi pemberian antiemetic, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E.Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta : EGC

Elizabeth, J, Corwin. 2009. Biku saku Fatofisiologi. Jakarta: EGC

Mansjoer, A.  2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner danSuddarth
(Edisi 8). Jakarta: EGC

Suratun. 2010. .Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta:
Trans Info Media

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Denpasar, April 2020
Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa

…………………………………….… …………………………………….…
NIP. NIM.

Nama Pembimbing / CT

…………………………………….…
NIP.

Anda mungkin juga menyukai