Anda di halaman 1dari 44

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

LAPORAN PENDAHULUAN

STRIKTUR URETRA

DISUSUN OLEH :

RAHMATUL AZIZAH

180102045

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2020
A. DEFINISI STRIKTUR URETRA

Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit.

Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur

uretra merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya

jaringan yang fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yan tumbuh dengan

abnormal akan menutupi/ mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran

urine (urine flow) akan menurun.  (Prabowo & Pranata, 2014: 144)

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada

dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya

mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus

spongiosum.  (Purnomo, 2011: 153). Striktur uretra adalah penyempitan

lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontriksi.  (Suharyanto &

Madjid, 2013: 271)

Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra

merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi

dari lumen uretra akibat adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan

fibrotik (jaringan parut) pada daerah uretra.

B. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :

1. Struktur uretra kongenital

Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars

membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul

terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.


2. Struktur uretra traumatik

Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena

instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan

oleh struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta

biasanya terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra,

Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma

lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan

adanya hematuria gross.

3. Struktur akibat infeksi

Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya

lebih lambat daripada striktur traumatic.

Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik

atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan

atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya

merupakan gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum

di beberapa populasi berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting

adalah idiopati, reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul

dan operasi hipospadia.

Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi

uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia)

adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45

tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur

panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama
adalah reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit

penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior,

sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra

posterior.

Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi

striktura uretra pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia

diatas 40 tahun dengan sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi

dan urgensi. Diagnosis striktur uretra dibuat dengan bougie aboul’e,

tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu dilepas

terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretra pada wanita

dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.

4. Derajat penyempitan Uretra

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi

menjadi tiga tingkatan:

a. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen

uretra.

b. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen

uretra.

c. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.

Pada penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di

korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.


Gambar 1. Derajat Striktur Uretra

C. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA

Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran

kemih lainnya, misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien

striktur uretra, yaitu pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini

dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan

menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada di medial akan

membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah

dua. Gejala yang lain dari striktur uretra antara lain:

1. Frekuensi

Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan

frekuensi untuk berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak

tuntasnya klien untuk mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat

residu urine dalam vesika. Hal inilah yang kemudian mendorong

m.detrusor untuk berespon mengosongkan vesika.

2. Urgensi

Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami

inkontinensia jika tidak berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien

striktur uretra adalah mengakibatkan iritabilitas vesika urinaria


meningkat. Hal ini akan merangsang persarafan yang mengontrol

eliminasi uri untuk mengosongkan melalui efek kontraksi pada bladder.

Dengan demikian keinginan untuk miksi akan terjadi terus-menurus pada

striktur uretra.

3. Disuria

Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien

striktur urtra akan mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra

maupun pada vesika urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi urine yang

melebihi kapasitas bladder dan sifat pH dari urine yang cenderung asam/

basa akan melukai mukosa saluran kemih. Selain itu, relaksasi vesika

yang melebihi dari kemampuan otot vesika akan menimbulkan inflamasi

dan nyeri.

4. Inkontenensia urine

Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa

awam : ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh

iritabilitas sayaraf perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur

regulasi miksi menurun.

5. Urine menetes

Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada

meatus uretralis, sehingga pancara urine melemah dan pengosongan

tidak bisa spontan.

6. Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan

menyebabkan resistensi kapiler jaringan sekitar meningkat dengan

gejala inflamasi yang jelas, sehingga penis akan membengkak.

7. Infiltrat

Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan

baik dan terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan

infeksi pada striktur akan terjadi mengingat urine merupakan media

untuk pertumbuhan kuman yang baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi

jaringan striktu akan menjadi abses dan infiltrasi akan terjadi pula.

8. Abses

Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan

obstruksi striktur.

9. Fistel

Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis

untuk mencari jalan keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar

akan terus terjadi untuk membuat saluran baru, sehingga kemungkinan

akan terbentuk fistel sebagai jalan keluar urine baru.

10. Retensio urine

Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine,

sehingga urine tidak akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada

vesika urinaria.

11. Kencing bercabang


Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan

sumbatan/ obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan

menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada di medial

akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine

terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2014: 146)

D. PATOFISIOLOGI

Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan,

namun jika banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan

terjadinya refluks dan jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan

hidronephrosis. Selain itu, stagnansi urine yang lama menimbulkan

sedimentasi sehingga kemungkinan akan terjadi urolithiasis. Hal yang paling

kompleks dari dampak striktur adalah terjadinya gagal ginjal. Hal ini

dikarenakan refluks pada ginjal akan memperberat kerja ginjal untuk

melakukan fungsinya.

Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu

pula dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya

striktur. Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru

sebgai saluran dengan meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar

dan terbentukla fistel.  (Prabowo & Pranata, 2014: 147-149)

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan

menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks

pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine.

Aliran urine yang terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di
sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra.

Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah

membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali

fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.  (Purnomo, 2011: 144)

Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada

selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat

trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan

sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan

hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat

mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan

akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses

periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada

keadaan tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula

seruling.

Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat

menimbulkan salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra

dan menyisakan strikture dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang

tidak benar pada pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan

kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan

penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah itu,

yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau strikur uretra.


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

b. Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

2. Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan

pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi

dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria

adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran

kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi

3. Radiologi

Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak

penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan

uretrogram adalah pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras

uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah

dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan

bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari

uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga

penting untuk perencanaan terapi atau operasi

4. Instrumentasi

Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan

memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba

dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke
buli- buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan

adanya penyempitan lumen uretra.

5. Uretroskopi

Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika

diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna

(sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra

adalah dengan menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non

farmakologis.

1. Terapi Farmakologis

a. Bougie (Dilatasi)

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien

dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa

jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang

ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang

juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya

hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter

yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah

pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari.

Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan

persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel


lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi

pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan

sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan

memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati

striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan

bougie lurus.

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie

bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan

ukurannya. Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-

hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga

menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi

yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat

kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan

bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan

bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil

kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan

tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.


Gambar 2. Dilatasi uretra dengan bougie

Gambar 3. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus

dan bougie bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie

lurus (G) dilatasi dengan sebuah bougie bengkok (H-J)


b. Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi

yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau

dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi

dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari

pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga

dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse

adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen

walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada

fistel, kateter dipasang selama 2- 3 hari pasca tindakan. Setelah

pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1

bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan

sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan

uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan

bouginasi.

c. Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis

kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan

uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah

strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah

striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.


1) Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan

menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya,

lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis

pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

2) Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah

melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.

d. Uretroplasty

Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari

2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur

pasca Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam,

pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan

kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel

graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis

dengan menyertakan pembuluh darahnya.

2. Penatalaksanaan Non Farmakologis

1) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.

2) Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan

kateter.

3) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi

penyakit menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada

satu pasangan dan memakai kondom.

4) Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti

infeksi dan gagal ginjal.


G. KOMPLIKASI

Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:

1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat,

maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada

suatu saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-

buli mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi,

setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel.

Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli

pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di

luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar

buli-buli tanpa dinding otot.

2. Residu urine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin

kuat tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul

residu. Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine

dalam kandung kencing.Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.

3. Refluks vesiko ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine

dikeluarkan buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat

tekanan intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu

keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter


bahkan sampai ginjal.

4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu

cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan

jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam

keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-

buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di

buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun

kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.

5. Infiltrat urine, abses dan fistulas

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi

maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari

striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra

menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine

akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra

proksimal dari striktur.


H. PATHWAY
I. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses

keperawatan. pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan

membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,

mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan

diagnosis keperawatan.

Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi

Sachse dan pengkajian post operasi Sachse.

a. Pengkajian pre operasi Sachse

Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat

operasinya, yang meliputi;

1) Pengkajian fokus :

Palpasi :

a) Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan

retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra

pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada

klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien,

ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau

meningkat.

b) Genitalia dan anus


Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat

dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi

retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk

scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.

Inspeksi :

a) Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan

sekitarnya

b) Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau

cairan purulent (nanah)

c) Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan

d) Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal

lainnya pada penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.

e) Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan

ketidak nyamanan pada saat akan mixi.

2) Pengkajian psikososial :

a) Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu :

menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.

b) Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran

diri, takut dan kemampuan seks menurun dan takut akan

kematian. Riwayat psikososial terdiri dari :

i. Intra personal

Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan

muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena


ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat

kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien

tentang sakitnya.

ii. Inter personal

Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam

masyarakat.

3) Pengkajian diagnostik

Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,

eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.

4) Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no.

rigester dan diagnosa medis.

5) Riwayat penyakit sekarang

Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah

frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa

tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan

waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.

6) Riwayat penyakit dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,

misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit

kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani


kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan

hipertensi.

7) Riwayat penyakit keluarga

Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang

menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang

menderita DM, asma, atau hipertensi.

8) Pola Fungsi kesehatan

a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan

tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan

upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan

diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang

adekuat).

b) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan

pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan

menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti

nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini

umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.

9) Pola eliminasi

Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu

ragu, jumlah kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan

system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk


mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang

defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari

p[enyempitan urethra kedalam rectum.

10) Pola tidur dan istirahat .

Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang

karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).

Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu

tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.

11) Pola Aktifitas

Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu

senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum

sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi

tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi

kebutuhan sehari – hari sendiri.

12) Pola hubungan dan peran

Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga,

pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam

keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya.

13) Pola persepsi dan konsep diri

Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau

dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul

kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien

tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam


menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak

berdaya.

14) Pola sensori dan kognitif

Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan

pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir,

isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak

terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.

15) Pola reproduksi seksual

Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,

pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan

seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami

sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola

perilaku seksual

16) Pola Mekanisme Koping

Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,

mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami.

Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa.

Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif

17) Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum

Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus,

pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.


b) Kulit

Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah

kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien

c) Kepala

Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri

kepala atau trauma pada kepala.

d) Muka

Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang

bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.

e) Mata

Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak.

Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan.

Slera tampak ikterus atau tidak.

f) Telinga

Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing.

Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.

g) Hidung

Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada

obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah

pernafasan cuping hidung.

h) Mulut dan faring

Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada

perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah


pembesaran tonsil.

i) Leher

Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar

limphe.

j) Thoraks

Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.

k) Paru

Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.

Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas

tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.

l) Jantung

Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana

dengan iktus atau getarannya.

m)Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi

umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik.

Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien

biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal

teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.

n) Genitalia dan anus

Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat

teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi

urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan


testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.

o) Ekstrimitas dan tulang belakang

Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa

tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan

infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau

nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.

b. Pengkajian post operasi sachse

Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang

meliputi:

1) Keluhan utama

Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu

dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada

klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri

karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi

pada waktu pembedahan.

Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari

klien sendiri.

2) Keadaan umum

Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.

3) Sistem respirasi

Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan

nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas ,

irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak.
Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan

dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.

4) Sistem sirkulasi

Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan

darah, suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ).

5) Sistem gastrointestinal

Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,

konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus

apa belum, apakah ada mual dan muntah.

6) Sistem muskuloskleletal

Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana

memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian

mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang

infus.

7) g. Sistem eliminasi

Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih

penuh . Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah

ada tanda – tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa.

Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine

tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter.

Terapi yang diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang, obat

– obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung

kemih.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Diagnosa sebelum operasi

a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy,

inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah

miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.

b. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing

sekunder terhadap struktur urethra

c. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan,

kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post

operasi

d. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak

adekuatan pertahanan primer

2. Diagnosa setelah operasi

a. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi

sekunder pada Sachse.

b. Resiko cedera jatuh berhubungan dengan trauma cedera dari

kerusakan uretra.
K. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC NIC

. Keperawatan

Gangguan Eliminasi NOC

Urin 1. Urinary elimination (0503) Perawatan Retensi Urin (0620)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan 1. Lakukan penilaian kemih yang

gangguan eliminasi urin klien dapat teratasi dengan kriteria komprehensif berfokus pada

hasil: inkontinensia (misal output urine,

pola berkemih,fungsi kognitif, dan


Eliminasi Urin:
masalah kencing praeksisten)
Awa Tujuan
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Gunakan spirit wintergreen di
l
1. Pola Eliminasi pispot atau urinal.
2. Bau Urin
3. Jumlah Urin 3. Masukkan kateter kemih yang
4. Warna Urin
5. Kejernihan Urin sesuai
Keterangan:
1. Sangat terganggu 4. Anjurkan pasien/keluarga untuk

2. Banyak terganggu mencatat output urin.

3. Cukup terganggu 5. Memantau asupan dan keluaran.

4. Sedikit terganggu 6. Memantau tingkat distensi

5. Tidak terganggu kandung kemihdengan palpasi dan

perkusi

Eliminasi Urin:

Tujuan
No Indikator Awal
1 2 3 4 5
1. Partikel urin

terlihat
2. Darah terlihat

dalam urin
3. Nyeri saat kencing
4. Rasa terbakar saat

berkemih
5. Retensi urin
Keterangan:
1. Berat

2. Cukup berat

3. Sedang

4. Ringan

5. Tidak ada
Nyeri akut NOC NIC: Manajemen nyeri (1400)

Kontrol nyeri (1605) 1. Lakukan pengkajian nyeri

Tingkat nyeri (2102) secara komprehensif (lokasi,

Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam intensitas nyeri)

nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 2. Observasi adanya petunjuk

Indikator Awal 1 2 3 4 5 nonverbal nyeri


Melaporka
3. Jelaskan pada pasien terkait
n nyeri
nyeri yang dirasakan
berkurang
Mengenali
nyeri NIC: Terapi relaksasi (6040)
Mengetahui
4. Gambarkan rasional dan
penyebab
manfaat relaksasi seperti nafas
nyeri
Mencari dalam

bantuan 5. Dorong pasien mengambil


Keterangan:
posisi nyaman
1. Tidak pernah menunjukkan

2. Jarang menunjukkan

3. Kadang-kadang menunjukkan

4. Sering menunjukkan

Secara konsisten menunjukkan


Ansietas NOC: Tingkat Kecemasan (1211) NIC :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, Anxiety Reduction (penurunan

ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: kecemasan)

Indikator Awa 1 2 3 4 5 1 Gunakan pendekatan yang


l menenangkan
Menyambaika
2 Nyatakan dengan jelas
n rasa takut
Tekanan darah harapan terhadap pelaku
Frekuensi nadi
Frekuensi pasien

pernafasan 3 Jelaskan semua prosedur dan

apa yang dirasakan selama

prosedur

4 Temani pasien untuk

memberikan keamanan dan

mengurangi takut

5 Berikan informasi faktual

mengenai diagnosis, tindakan

prognosis

6 Dorong keluarga untuk


menemani anak

7 Dengarkan dengan penuh

perhatian

8 Bantu pasien mengenal situasi

yang menimbulkan kecemasan

9 Dorong pasien untuk

mengungkapkan perasaan,

ketakutan, persepsi

10 Instruksikan pasien

menggunakan teknik relaksasi


Resiko Infeksi area NOC NIC :

pembedahan Kontrol resiko (1902) Infection Control (Kontrol infeksi)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, 1 Bersihkan lingkungan setelah

tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: dipakai pasien lain

2 Pertahankan teknik isolasi


Indikator Awa 1 2 3 4 5 3 Batasi pengunjung bila perlu

l 4 Instruksikan pada pengunjung


Bau busuk
Suhu tubuh untuk mencuci tangan saat
Nanah pada
berkunjung dan setelah
luka
Kemampuan berkunjung meninggalkan

mengidentifika pasien

si faktor risiko 5 Gunakan sabun antimikrobia

untuk cuci tangan

6 Cuci tangan setiap sebelum

dan sesudah tindakan

keperawtan

7 Gunakan baju, sarung tangan

sebagai alat pelindung

8 Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan

alat
Risiko Cedera Jatuh NOC Knowledge: fall prevention NIC Environtmental Management

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan risio


1. Monitoring dan memanipulasi
cedera jatuh klien dapat teratasi dengan kriteria hasil:
dari lingkungan fisik untuk

meningkatkankeamanan. 

Tujuan 2. Identifikasi kebutuhan


No Indikator Awal
1 2 3 4 5
1. Benar dalam keamanan pasien dari fisik,

menggunakan fungsi kognitif dan

peralatan kebiasaan perilaku pasien.

keamanan 3. Identifikasi bahaya

keselamatan pasien di

lingkungan (ex: fisik, biologis,

kimia).
2. Benar dalam 4. Hilangkan risiko dari

menggunakan lingkungan jika

terali yang memungkinkan.

tersedia 5. Modifikasi lingkungan untuk

3. Benar dalam meminimalkan resiko dan

menggunakan bahaya.

pintu keamanan 6. Menyediakan alat adaptif (ex:


4. Penggunaan dari
Alat untuk melangkah dan
tata cara
pegangan tangan)
berpindah yang
untukmeningkatkan keamanan
aman
dari lingkungan.
Keterangan:
7. Gunakan alat pelindung (mis.
1. Sangat terganggu
Pegangan samping, pintu
2. Banyak terganggu
tertutup, gerbang)
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu untukketerbatasan mobilitas

5. Tidak terganggu fisik.

8. Memberitahu agensi

Tujuan pemerintah yang sah untuk


No Indikator Awal
1 2 3 4 5
1. Peningkatan suhu melindungi lingkungan

kulit (ex:departemen lingkungan,


2. Penurunan suhu
dll).
kulit
3. Sakit kepala 9. Memberikan pasien nomor
4. Radang dingin
telepon darurat (ex:

Keterangan: departemen kesehatan

1. Berat terdekat, polisi,dll).

2. Cukup berat 10. Monitor lingkungan untuk

3. Sedang mengubah status keamanan.

4. Ringan
5. Tidak ada
Evaluasi

Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien

diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,

diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi

keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:

S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan

tindakan keperawatan.

A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,

teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru

P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau

dimodifikasi

Discharge Planning

1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah

pemulangan

2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan

khusus yang dibutuhkan

3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi

lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal kunjungan rumah oleh tim

kesehatan)

4. Penunjukkan health care provider yang akan

memonitor status kesehatan pasien


5. Menentukan pemberi bantuan yang akan

bekerja sebagai partner dengan pasien untuk memberikan perawatan dan

bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.
Mosby: Elsevier.

Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st


Century. The journal of Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Riyadi, Mushab E. Hubungan anttara lama waktu terpasang kateter dengan


tingkat kecemasan pada klien yng terpasang kateter uretra di bangsal rawat
inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2006.

Mundy, Anthony R. And Andrich, Daniela E. Urethral Strictures. BJU


International. 2010;107,6-26

Tijani KH, Adesnya AA, Ogo CN. The New pattern of Urethral Stricture Disease
in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5

Nording L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the Nervous System on


Experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul
31;115(2-3):183-8.

Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra dan Penanganannya di Rumah


Sakit Hasan Sadikin Bandung. MKB2003;Vol.35 No.2

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.
Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. 2011. Keperawatan Kritis:
Pendekatakan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC
NANDA International . 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC

Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3. Jakarta: CV. Agung Seto.
Putri, Puspa Utami. 2013. Discharge planning pada Klien dengan Urolitiasis Post
Ureterorenoscopy (URS) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP
Persahabatan. UNiversitas Indonesia [diakses online pada 8 Oktober 2017]
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351454-PR-Puspa%20Utami.pdf
Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta :EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.

Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta : Salemba Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: CV Sagung


Seto.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai