DENGAN EPILEPSI
OLEH :
ZAKIYA DWI CAHYA
NIM: 211030230151
PEMBIMBING :
Ns. Tria Monja Mandira, S. Kep., M.Kep
A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Penyakit Epilepsi merupakan penyakit yang sangat komplek dan
komprehensif sehingga mempengaruhi semua system tubuh artinya
sama juga dengan mempengaruhi gaya hidup manusia. epilepsi
merupakan kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dimana
terjadi minimal 1 kali bangkitan epileptic (Asli, 2019).
Epilepsi juga berpotensi mengakibatkan cidera fisik,kelemahan pada
fisik dan penurunan kesadaran. Maka dari itu diperlukan penanganan
dan edukasi yang lama terhadap penderita dan keluarga,jika tidak
segera diatasi epilepsi akan berdampak buruk terhadap perkembangan
perilaku dan juga akan berdampak pada kesehatan (cidera fisik) (Ika &
Hidayati, 2019).
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode
kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun
biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa
hilangnya kesadaran (Kristanto, 2017).
2. Etiologi
Etiologi dari epilsi dalam Rianawati & Munir (2017) dapat dibagi
menjadi beberapa kategori:
a. Epilepsy idiopatik
1) Epilepsy murni karena kelainan gen tunggal pada benign
familial neonatal convulisions, autosomal dominant nocturnal
frontal lobe epilepsy, servere myoclonic epilepsy of childhood,
beningn adult familial myoclonic epilepsi.
2) Epilepsi murni dengan fator keturunan yang kompleks
misalnya pada iidiopathicgeneralizes epilepsi (dan subtipenya),
beningn partial epilepsies of childhood
b. Epilepsi simptomatik, dominan penyebab genetic atau
perkembangan
1) Sindrom epilepsy pada anak pada sindrom Lenture-Gastaur,
sindrom west
2) Epilepsi miokanik progresif pada Urever ichr-Lundborg
disease, dentate-rubri-pallido-luysian atrophy, lafora body
disease
3) Sindrom neurokutaneus pada tuberous sclerosis
neurofibromatosis, sturge-weber syndrome
4) Kelainan neurologis karena gen tunggal pada angelman
syndrome, kelainan lisosom, penyakit Wilson, rett syndrome,
gangguan metabolism cobalmin dan folat
5) Gangguan fungsi kromosom pada Down Syndrom, Fragile X
syndrome, isodicentric chromosome, arachnoid cyst
c. Epilepsi siptomatik, domain penyebab didapat;
1) Sklerosisi hipokampus
2) Penyebab perinatal dan infantile misalnya kejang neonatal,
kejang post neonatal, cerebral plsy, vaksinasi danimunisasi
3) Trauma Kepala misalnya trauma kepala terbuka, trauma
kepala tertutup, oprasi saraf, epilepsy setelah operasi, trauma
kepala bayi
4) Tumor otak misalnya glioma, ganglionglioma, dan
hematoma, meningioma, trauma skunder
5) Infeksi otak misalnya meningitis dan ensefalitis viral,
meningitis bakteri, dan abses, malaria, neurosistiserkosis,
tuberkolosis, HIV
6) Penyakit serebrovaskuler misalnya perdarahan intraserebral,
infrak serebri, penyakit vascular degenerattif, AVM,
hemangioma kanvernosus
7) Kelainan imunologi otak misalnya Rasmusen, enserfalitis,
kelainan inflamasi dan imunologi
8) Kondisi degenerative dan kelainan neurologi lain misalnya
alzhaimer dan penyakit dimensia lain multiplesklerosis dan
penyakit dermylinisasi lain
d. Epilepsi yang diprofokasi
1) Faktor yang memprovokasi yaitu demam, siklus menstrual,
dan epilepsi katamenial, siklus bangun tidur, bangkitan yang
diinduksi obat, bangkitan yang diinduksi alcohol dan toksik
2) reflek epilepsi yaitu fotosensitif, epilepsi yang diinduksi
berkeedip, epilepsi membaca, epilepsi yang diinduksi
auditorik, epilepsi makan, epilepsi panas
e. Epilepsi kriptogenik
3. Klasifikasi
a. Berdasarkan penyebabnya
1) epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
2) epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
b. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
1) Epilepsi partial (lokal, fokal)
a) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
Dengan gejala motoric
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai
kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara
yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
(epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai
kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil).
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu
suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala
seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku
yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
c) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik).
- Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
- Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
- Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan
parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan
umum.
2) Epilepsi umum
a) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan
terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis
ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas,
sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai
otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak
melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai
otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b) Grand mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua
otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau
torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot
hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian
atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga
terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½
menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas
menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan
ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien
tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap
baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
3) Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.
4. Manifestasi klinis
a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan
kesadaran atau gangguan penginderaan
b. Kelainan gambaran EEG
c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus
epileptogen
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar,
bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan
normal
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik,
dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah
episode epileptikus tersebut lewat
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
k. Gigi geliginya terkancing
l. Hitam bola matanya berputar- putar
m. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang
air kecil
5. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan
satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-
amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang
lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang
disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran
sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan
beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau
selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan
oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-
fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
6. Pathway
8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboraturium
Perlu diperiksa laboraturium untuk mencari penyebab yang
mendasari berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu
darah lengkap meliputi hitung jenis dan trombosit, kima darah,
meliputi elektrolit, kalisium, fungsi hati dan ginjal dan urinalisi
rutin. Peningkatan kadar prolatin yang diambil dalam 20 menit
setelah episode iktal dibandingkan.
b. Lumbal pungsi
Lumbal pungsi bukan pemeriksaan rutin kecuali pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik menandakan adanya kelainan yang bias
ditegakkan dan pemeriksaan fidik menandakan adanya kelainan
yang bias ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.
Lumbal pungsi yang dilakuakan setelah bangkitan umum tonik-
klonik bias menunjukkan pleiositosis ringan karena bangkitan
bukan karena adanya inflamasi di intrakranisal. Peningkatan kadar
glutamin ada cairan serebrospinal dengan kadar ammonia serum
normal bias menunjukkan adanya valproate-related
hyperammonemic encerpalopathy
c. Pemeriksaan genetic
Beberapa sindrom epilepsi genetik bias diperiksa dengan
pemeriksaan genetic terutama pada ensepalopati epileptic dimana
terdapat mutasi pada gen SCNIA (sindrom dravet).
d. Elektrosepalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG rutin masih menjadi pemeriksaan yang paling
informative pada diagnosis epilepsi namun seringkali salah dalam
penggunaanya. Prosedur EEG harus dilakukan untuk menjawab
pertanyaan spesifik mengenai nilai terapi dan prognosis. Karena
pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan non infasis dan tidak
mahal maka pada semua pasien epilepsy atau dicurigai epilepsi
harus dilakukan minimal 1x pemeriksaan EEG untuk menilai jika
nanti ada perubahan dalam klinis pasien. Diagnosis epilepsi
ditegakkan secara klinis maka pemeriksaan EEG berulang hanya
dilakukan jika hasilnya kemungkinan akan merubah tatalaksana
pasien atau untuk mencari informasi prognosis baru. Tidak ada
batasan mengenai pengulangan EEG rutin dalam interval tertentu.
Jika pada pemeriksaan yang telah dilakukan tetap didapatkan
keraguan dalam klinis pasien maka akan dialkukan viseo EEG,
monitoring (VEM atau long trem monitoring, atau intensive
neurodiagnostic monitoring) untuk menentukan apakahpasien
menderita epilepsy, mendiagnosis jenis bangkitan, menilai karakter
pola dari terjadinya bangkitan atau, melokalisasi zona
epileprogenik yang bias dihilangakan secara operatif.
e. Magnetoencepalografi (MEG)
Magnetoencepalografi menggunakan superconducting quantum
interference device (SQUID) untuk merekam gelombang magnet
yang disebabkan adanya aliran pada otak. Transien MEG seperti
epilepfrome spike dapat diukur dengan teknik diman perubbahan
transien ini bias dilokalisasi dalam tiga dimensi dan ditentukan
arah alirannya. Keuntungan MEG adalah kedalaman generator bias
ditentukan dengan mudah dan signalnya tidak dipengaruhi
tengkorak. MEG terutama mengukur adanya tangesial aliran
permukaan otak.
f. Trancranial Magnetic Stimulation (TMS)
Pemeriksaan TMS adalah metode non invasive dengan
menstimulasi otak dengan elemen neuronal yang berpolarisasi
secara langung melalui hamparan magnet. Digunakan sebagai
ukuran hamparan magnet untuk menstimulasi area otak untuk
pemetaaan fungsi kortikal dan ekstabilitas kortikal.
g. Pencitraan structural
Pencitraan structural dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
umumnya dilakukan untuk konfirmasi diagnosis atau menurunkna
kemungkinan adanya peneyebab yang bias diatasi pada pasien
dengan bangkitan epileptik rekuren kronis. Pemeriksaan MRI rutin
seringkali memiliki hasil normal pada pasien dengan abnormalitas
epileptic tipikal seperti sclerosis hipokampus dan malformation of
cortical development (MCD).
Jika MRI tidak tersedia atau didapatkan kontadiksi maka bias
dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk mencari proses patologis
intraaserebri yang meneyebabkan terjadinya bangkitan epilepsi. CT
Scan juga berguna untuk mendeteksi adanya klasifikasi serebri
yang tidak terlihat pada MRI (Rianawati & Munir, 2017)
9. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan
minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu
akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau
absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang
serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek.
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus epilepsi yakni :
a. Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah bebas kejang tanpa adanya
efek samping. Pemilihan obat antiepilepsi harus dipertimbangkan
berdasarkan jenis kejang atau sindrom epilepsy dan toleransi dari
pasien.
Pilihan obat antiepilepsi berdassarkan Guideline CHFT 2011
dalam Rianawati & Munir (2017) sebagai berikut :
1) Bangkitan fokal dan umum : karbamazepin, lamotrigin,
levetiracetam, oxcarbazepin, asam valproat.
2) Bangkitan umum primer : asam valproat, lamotrigin
3) Jenis bangkitan yang tidak pasti : asam valaproat, lamotrigin
Dalam pemilihan obat antiepilepsi harus diperhatikan efek
sampaing dan interaksi obat terhantung masing-masing individu.
Pada pasien lansia biasanya lebih sensitive terhadip efek samping
sehingga direkomendasikan dosis sekecil mungkin dengan
menghindari neurotoksisitas. Terdapat perbedaan untuk bangkitan
umum tonik-klonik primer dan skunder karena beberapa obat
antiepilepsi bisa mengeksaserbasi bangkitan tonik-klonik primer
dan skunder karena bebrapa obat antiepilepsi bisa mengeksaserbasi
bangkitan tonik-klonik primer namun malah efektif untuk
bangkitan skunder.
Selain itu ada, Terapi epilepsi dimulai dengan monoterapi
menggunakan oabt antiepilepsi (OAE) yang dipilih sesuai jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi, kondisi penderita dan
ketersediaan obat. 20 Penghentian OAE pada penderita epilepsi
dilakukan jika penderita telah bebas kejang selama minimal dua
tahun dan gambaran EEG tidak didapatkan kelainan. Penghentian
OAE dimulai dari satu OAE yang bukan OAE utama, dengan
penurunandosis yang dilakukan secara bertahap, yaitu dosis
diturunkan 25 % dari dosis semulasetiap bulan dalam jangka waktu
6 bulan. Sedangkan pada penderita yang tidak terkontrol dengan
OAE tapi tidak memenuhi persyaratan pembedahan dapat
disarankan penggunaan vagal nerve stimulator (VNS), yaitu alat
serupa pacemaker yang ditanam dibawah kulit didekat nervus
vagus, yang berguna untuk mengontrol kejang, terutama jenis
kejang dengan manifestasi berupa gerakan mengunyah atau
mengecap. Mekanisme kerja alat ini belum diketahui secara pasti,
namun efektivitasnya hampir sama dengan OAE walaupun tidak
menjamin penderita bebas kejang sepenuhnya. Keuntungan alat ini
adalah tidak menimbulkan gejala neurotoksisitas seperti halnya
OAE. Efek samping yang dapat terjadi berupa batuk, suara serak,
bradikardi dan apnoe pada saat tidur (Vera, Dewi, & Nursiah,
2014).
terapi diet ketogenik sangat dianjurkan untuk penderita
epilepsi, pertamakali diperkenalkan pada tahun 1920. Diet
ketogenik merupakan diet rendah gula dan protein namun
mengandung lemak yang tinggi. Komposisi nutrisi yang terdapat
dalam diet ketogenik menyebabkan pembakaran lemak yang tinggi
sehingga dapat meningkatkan kadar keton dalam darah. Telah
diketahui sebelumnya bahwa keton dapat meminimalkan
rangsangan pada sistem saraf pusat. Kelemahan dari terapi diet ini
adalah sering terjadi gangguan pencernaan seperti mual dan diare,
malnutrisi dan pembentukan batu saluran kemih karena diet ini
seringkali mengandung asam urat tinggi. Terapi diet ini dapat
menurunkan kejadian kejang sebesar 25-50 % (Vera, Dewi, &
Nursiah, 2014).
b. Obat antiepilepsi yang direkomendasikan sebagai lini pertama
terapi orang dewasa
1) Carbamazepine
2) Gahapentin
3) Lamotrigine
4) Oxcarbazepine
5) Phenobarbital
6) Phenytoin
7) Topiramet
8) Valproat
Pemberian obat antiepilepsi dimulai dari titrasi dari dosisi terendah
yang bisa memberikan kondisi bebas kejang. Karne asetiap
individu bervariasai maka direkomendasikan pemberian dosis awal
yang umumnya bisa efektif pada sebagian orang. Misalnya
karbazepin pada dosisi 400mg/hari, levetiracetam 1000 mg/hari,
valproal 600-100 mg/hari Sekitar 50% penderita dewasa dapat
bebas kejang tanpa didapatkan efek samping pada pemberian obat
anti epilepsi pertama. Namun jika obat pertama harus dihentikan
karena adanya efek samping, maka pemebrian obat kedua harus
hati-hati dengan menghindari obat yang berpotensi bereaksi saling
silang untuk rekasi yang sama. Jika obat pertama gagal karna
kurang efektif dengan diagnosis maksimal, maka langkah pertama
adalah mencari apakaha da ketidakpatuhan dalam minum obat,
menilai ulang diagnosis dan terapi awal yang diberikan (Rianawati
& Munir, 2017).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali
menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga
biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang
mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut
berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya
prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau
keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering
berhenti mendadak bila diajak bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
d. Riwayat penyakit dahulu:
1) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3) Ganguan metabolik (hipoglikemia,hipokalsemia, hiponatremia)
4) Tumor Otak
5) Kelainan pembuluh darah
6) demam,
7) stroke
8) gangguan tidur
9) penggunaan obat
10) hiperventilasi
11) stress emosional
e. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit
ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya
keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan
diakibatkan oleh faktor keturunan.
f. Riwayat psikososial
1) Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit
yang diderita.
2) Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi
sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan”
yang lebih umum di masyarakat).
g. Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat
terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
OLEH :
ZAKIYA DWI CAHYA
NIM: 211030230151
PEMBIMBING :
Ns. Tria Monja Mandira S.Kep,. M.Kep
2. KELUHAN UTAMA
anak mengidap demam 3 hari, kejang 1x selama 2 menit, akan
melakukan kontrol epilepsi
3. DIAGNOSA MEDIS
Sindroma Epilepsi
4. PEMERIKSAAN FISIK
KU : baik, CM
Berat badan : 22 kg
TTV : 110x/m, R : 26x/m, S : 380 C,
5. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat penyakit lalu: □ Tidak ■ Ya, Penyakit: Sindrom Epilepsi
Ibu mengatakan anak panas tinggi sejak 3hari lalu dengan kejang
2x selama 2menit
Pernah dirawat : R Tidak
Pernah di operasi : R Tidak
Masih dalam pengobatan : R Tidak
b. Riwayat penyakit keluarga
■ Tidak £ Ya (□ Hipertensi, □ Jantung, □ Paru, □ DM, □ Ginjal)
c. Ketergantungan terhadap :
■ Tidak □ Ya : □ Obat-obatan □ Rokok □ Alkohol
□ Lainnya : -
d. Riwayat alergi : ■ Tidak □ Ya : □ Obat : - □ Makanan : -
□ Lainnya : -
Reaksi : -
DO :
- Akral hangat
- Kulit merah
- Klien nampak menggigil
- Klien nampak lemas
- TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 380 C
Berat badan : 22 kg
2. DS : Perubahan Fungsi Kognitif Risiko Cedera
- Ibu klien mengatakan anaknya d.d kejang (D.0136)
demam 3 hari, kejang 2 Kali
- Ibu klien mengatakan akan
melakuka n kontrol epilepsi
DO :
- Klien nampak kejang
- Klien nampak
- TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 380 C
Berat badan : 22kg
3. DS : Kurang terpapar informasi ansietas
- ibu klien mengatakan bingung d.d merasa khawatir dengan
anaknya jika demam pasti kejang akibat dari kondisi yang di
- ibu klien khawatir anaknya ketika hadapi
demam
- ibu klien mengatakan anaknya
tidak nafsu makan
DO :
- ibu klien tampak gelisah
- ibu klien tampak tegang
- anak tampak sulit tidur
TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 380 C
Edukasi:
- Anjurkan segera
melapor jika
merasakan aura
- Anjurkan tidak
berkendara
- Ajarkan keluarga
pertolongan pertama
pada kejang
Kolaborasi :
- Kolaborasi
pemberian
antikonvulsan, jika
perlu
3 09/11/2021 Ansietas b/d Kurang Setelah dilakukan Reduksi ansietas
terpapar informasi d.d intervensi selama 3 x24 Observasi
merasa khawatir dengan jam diharapkan kontrol - identifikasi saat tingkat
akibat dari kondisi yang di kejang meningkat ansietas berubah
hadapi dengan kriteria hasil : -monitor tanda-tanda
- Verbalisasi ansietas
kebingungan Terapeutik
menurun (5) - ciptakan suasana
- Verbalisasi khawatir terepeutik untuk
akibat kondisi yang menumbuhkan
dihadapi menurun kepercayaan
(5) - temani pasien untuk
- Perilaku gelisah mengurangi kecemasan
menurun (5) - pahami situasi yang
- Anoreksia menurun membuat ansietas
(5) -Dengarkan dengan
- Frekuensi napas penuh perhatian
membaik (5) - Gunakan pendekan
- Frekuensi nadi yang tenang dengan
membaik (5) meyakinkan
(L.09093) - motivasi
mengidentifikasi situasi
yang memicu kecemasan
Edukasi
- anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien
- anjurkan untuk
menngyungkapan
perasaan dan persepsi
- latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
- latih teknik relaksasi
(I.09314)
O:
- ibu klien tampak gelisah
- ibu klien tampak tegang
- anak tampak sulit tidur
TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 380 C
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
- mengidentifikasi saat tingkat ansietas
berubah
-memonitor tanda-tanda ansietas
- menciptakan suasana terepeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
- menemani pasien untuk mengurangi
kecemasan
P : intervensi dilanjutkan
O:
- ibu klien tampak gelisah
- ibu klien tampak tegang
- anak tampak sulit tidur
TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 380 C
A: masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
melatih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
- - melatih teknik relaksasi
P : intervensi dihentikan
13/11/202 Dx III S : ibu klien mengatakan sudah tidak Zakiya dwi cahya
1 khawatir lagi karena anaknya sudah tidak
panas lagi
O:
- ibu klien tampak membaik
- klien tamoak tenang
- klien sudah bisa tidur
TTV :
R : 24x/m
N : 110x/m
S : 36,8 C
A : masalah teratasi
P : intervensi di hentikan
DAFTAR PUSTAKA