Anda di halaman 1dari 13

Laporan Pendahuluan Epilepsi

1. Defenisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak
abad ke-19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia
grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat (ginsberg, 2005)
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit
serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal
pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.

2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah


epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan
epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi
sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik
terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada
12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang
terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar
kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada
bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada
ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan
yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan
pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/
trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan
kontribusi terjadinya epilepsi.

3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan
sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap
normal
Dengan gejala motorik:
1) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh
saja
2) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
3) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
4) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
5) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang
disertai vertigo).
1) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
2) Visual: terlihat cahaya
3) Auditoris: terdengar sesuatu
4) Olfaktoris: terhidu sesuatu
5) Gustatoris: terkecap sesuatu
6) Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
1) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
2) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
3) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
4) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
5) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
6) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
1) Hanya dengan penurunan kesadaran
2) Dengan automatisme

c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,


tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Epilepsi kejang umum


a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila
diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
1) Hanya penurunan kesadaran
2) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
3) Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4) Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
5) Dengan automatisme
6) Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

Kejang tonik- klonik


Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-
tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini
terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Epilepsi kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx

ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu

masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang


mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
Pathway
Trauma lahir, cedera kepala,
demam, gangguan metabolik,
Faktor idiopatik tumor otak

Kerusakan neuron

stabilisasi membran sinaps Ketidak seimbangan neurotransmiter

Invlux Na ke intraseluler depolarisasi Asetilkolin GABA zat inhibitif


(zat eksitatif) )
Na dlm intra sel berlebihan
G3 polarisasi (hypo/hiper
polarisasi) Kerusakan berfikir
Ketidk seimbangan ion Na & Ka

G3 presesi
Ketidak sambungan lektrolit sensori
Isolasi
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) sosial
KEJANG

Parsial Umum

sederhana komplex
absen mioklonik Tonik klonik atonik

kesadaran G3 peredaran darah Aktifitas otot

Reflek menelan Pen CO metabolisme


Resti injuri
Akumulasi mucus Permeabilitas
kapiler Keb O2 suhu tubuh/
hipertermi
G3 bersihan jalan asfiksia
nafas inefektif

Lidah melemah, dan Kerusakan


Gangguan perfusi G3 nervus V, IX, X
menutup saluran trakea neuron otak
jaringan
5. Manifestasi Klinik
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3) Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat(Tucker, 1998 : 432 )

Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi


yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat
serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran
menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon
terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang
nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola
mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listrik.

6. pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif
serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal
atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 menilai fungsi hati dan ginjal
 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

1) Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat

berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang


2) Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3) Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan
dengan pengobatan
4) Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
5) Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik
6) Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan
7) Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8) DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan
metabolik ( Dongoes, 2000 : 202 )
9)
8. Penatalaksanaan
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
 Anti konvulson
 Sedatif
 Barbirorat( Elizabeth, 2001 : 174 )
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
1) fenitoin (difenilhidantoin)
2) karbamazepin
3) fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang
dicapai, yakni:
4) Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
5) Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
6) Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg
biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan
aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi
otot keras dan terlalu banyak disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang
menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang
kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi
(tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-
obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama
hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia
dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat
anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.

Anda mungkin juga menyukai