Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSY

A. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan fungsi
otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi manifestasi berupa
gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem
otonom, serta bersifat episodik. Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering
terjadi pada pederita epilepsy.
Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksimal dimana cetusan
neuronkorteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi
motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Epilepsi
adalah gangguan kronis pada otak yang terdapat di seluruh dunia yang ditandai dengan
kejang berulang. Di beberapa bagian dunia, orangorang yang menderita epilepsi dan
keluarga mereka menerima stigma yang buruk sehingga mengakibatkan terjadinya
diskriminasi.

B. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum klasofikasi epilepsi dengan
sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang.
a) Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik : bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak dengan
paroksimal oksipital
2. Simtomatik : bila ada penyebabnya, letak fokus pada semua lobus otak
b) Klasifikasi tipe kejang epilepsi ( brown, 2008 )
1. Epilepsi kejang parsial (lokal fokal )
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal.
Dengan gejala motorik :
• Fokal motorik tidak menjalar : epilepsi pada satu bagian tubuh saja
• Fokal motorik menjalar : epilepsi di mulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas kedaerah lain. Disebut juga epilepsi jacson.
• Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
• Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
• Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi bunyi tertentu.
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial ( epilepsi di
sertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indra dan
bangkitan yang disertai vertigo )
• Somatosensoris : timbul rasa kesemutan atau seperti di tusuk tusuk jarum.
• Visual : terlihat cahaya
• Auditoris : Terdengar sesuatu
• Gustoris : terkecap sesuatu
• Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf atonom (sensasi
epigastrium, pucat , berkeringat, membera, pioreksi, dilatasi pupil)
Dengan gejala psikis ( gangguan fungsi luhur )
• Disfagia : gangguan bicara misalnya mengulag suatu suku kataatau
bagian kalimat
• Dimensia : gangguan proses ingatan seperti merasa sudah mengalami,
mendengar, melihat atau sebalinya. Mungkin mendadak suatu peristiwa
dimasa lalu, merasa seperti melihatnya lagi
• Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
• Afektif : merasa sangat senang susah, marah, takut
• Ilusi : perubahan persepsi bendayang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
• Halusinasi kompleks : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang ditandai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran mula mulai baik
kemudian baru menurun
• Dengan gejala parsial sederhana A1-A4, gejala gejala pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunya kesadaran
• Dengan Automatisme, gerak gerakan perilaku yaang timbul dengan
sendirinya, misal gerak menelan, mengunyah, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan, memegang kancing baju, berjalan.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun
sejak pemulaan kesadaran.
• Hanya dengan penurunan kesadaran
• Dengan automatisme
c. Epilepsi Parsia yang berkembang menjadi bangkitan umum ( tonikklonik )
• Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum
• Epilepsi parsial kompleks yang berkembang yang menjadi bangkitan
umum
• Epilepsi parsial sederhan yang menjadi bangkitan parsia kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Epilepsi kejang umum
• Lena atau kejang absant ( petit mal )
Lena khas ( tipical absence )
Pada epilepsi ini kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengon, bola mata dapat memutar keatas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai
pada anak.
• Hanya menurun kesadaran
• Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai
pada kelopok mata atas, sudut mulut, atau otot otot lainya bilateral.
• Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijimpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
• Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkug kebelakang, lengan dapat ngetul atau mengedang.
• Dengan automatisme
• Dengan komponen autonom
Lena tak khas ( atipical absence )
• Gangguan tonus yang lebih jelas
• Pemulaan dan berakirnya bangkitan tidak mendadak
• Grand Mal
• Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat, atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang
ulang.bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
• Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerak menyentak, repetitif, tajam, dan
tunggal multiple, di lengan tungkai atau torso. Dijumpai sekali pada anak.
• Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
• Kejang tonik-klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda
tandayang mendahului epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot otot
seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira kira ¼-½ menit
bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembetuka ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas.mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah berhenti pasien tidur berapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang rendah, atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal pegal, lelah, nyeri kepala
• Kejang Atonik
Pada keadaan ini otot otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Epilepsi ini sering dijumpai pada anak.
• Epilepsi Kejang tak tertolongkan
Ini termasuk golongan bangkitan pada bayi berupa gerak bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenaang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sebentar.

C. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadipada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera kepala, infeksi sistem saraf
3.Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4.Demam, gangguan metabolic (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.Tumor otak
6.Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007)
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah
epilepsy idopatik, remote simtomatik epilepsy (RSE), epilepsy simtomatik akut, dan
epilepsy pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otakpada saat peri atau antenatal.
Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsy menonjol, ialah epilepsy idiopatik dan
RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-
masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologic dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai
berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi deficit neurologic maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang. Apabila deficit neurologic
terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12
bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang
terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan petama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan
resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus
menunjukkan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
D. Menifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari Epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
• Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosionalkompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
• Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
• Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.
• Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
• Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
• Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
• Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
• Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.

E. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain dinamakan GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsy dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-neuron disekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatanlistrik berlebih (depolarisasi). Pada keadan demikian akan terlihat kejang yang
mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke anggota/bagian gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
thalamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain
dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan
kesadaran.
Selain itu, disebabkan oleh instabilitas memban sel saraf, sehinggal sel lebih mudah
mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membrane sel
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang menggangu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggua akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatanynag berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memcu kejang. Di tingkat
membrane sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk
yang berikut:
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara belebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dala
repolarisasi) yang disebabkan oleh asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saarf
motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
• CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan
atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang
jelas
• Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
• Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah


- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi.
• Amati faktor pemicu.
• Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, konsumsi kopi dan alkohol,
perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
2. Farmakologi.
Menggunakan obat-obat antiepilepsi, yaitu :
a. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
Inaktivitasi kanal Na, meurunkan kemampuan syaraf untuk meghantarkan
muatan listrik. Contoh: Fenitoin, Karbamazepin, Lamotrigin, Okskarbazepin,
Valproat.
b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAergik:
• Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dengan
mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh: Benzodiazepin, Barbiturat.
• Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat. Contoh:
Vigabatrin.
• Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA. Contoh:
Tiagabin.
• Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal dengan
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikularpool, contoh: Gabapentin

I. Komplikasi
Komplikasi yang di akibatkan oleh epilepsi adalah terjadinya gangguan listrik di
otak yang terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan kerusakan otak akibat hypoksia
bahkan bisa berakibat kematian.
Menurut Baticaca (2008), komplikasi penyakit epilepsy antara lain; kerusakan otak
akibat hipoksia dan retardasi mental, timbul depresi dan keadaan cemas.
Purba (2008): Retradasi mental, IQ rendah, Kerusakan otak akibat hipoksia
jaringan otak (Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar
terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar (penurunan fungsi kognitif)).

J. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk
RS (apa yang terjadi selama serangan )
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia
berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi
seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita
cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh
anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik
maupun tidak
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah
disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang
mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit,
adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna,
mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut,
apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran /
lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik,
berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan
bicara, hemiplegi sementara,ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan
sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan
terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan
lingkungan sekitar
b) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera
pada saat serangan)
c) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
d) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
e) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
f) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
g) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
h) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
i) Pola sexual reproduksi
j) Pola hubungan dan peran
k) Pola nilai dan kenyakinan

b. Diagnosa keperawatan
1. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder
terhadap kejang
2. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran dan kejang tonik-klonik
3. Koping defensif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder
terhada epilepsy
4. Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah
lupa
5. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
c. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Resiko aspirasi b.d Setelah dilakukan Aspiration
tingkat kesadaran tindakan keperawatan Precaution (3200)
sekunder ter-hadap selama ...x 24 jam, 1. Kaji tingkat
kejang klien diharapkan tidak kemampuan klien
mengalami aspirasi. terhadap reflek
N.O.C : Risk control batuk, menelan dan
(1902) gag reflek
Knowladge : treatment 2. Kaji status
procedure (1814) pernapasan,
Self care oral hi-giene pertahankan jalan
(0308) napas
Dengan kriteria : 3. Beri posisi 90º atau
Klien mengatakan sesuaikan keadaan
cara-cara untuk 4. Jaga kesiapan alat
mencegah aspirasi, suction
Kebersihan mulut, 5. Cek posisi NGT
klien terjaga Tidak ada dan residu NGT
tanda-tanda tejadinya sebelum memberi
aspirasi makan
6. Potong makanan
dalam bentuk kecil
agar mudah ditelan
Airway suctioning
(3160)
1. Auskultasi suara
napas klien
sebelum dan
sesudah suction
2. Gunakan universal
precaution : sarung
tangan, masker,
kacamata
3. Anjurkan klien
untuk napas dalam
sebelum dilakukan
suction, anjurkan
untuk rileks
4. Beri tambahan
oksigen selama
suction
5. Monitor status
oksigen dan
hemodinamik
klien
6. Hentikan suction
dan beri tambahan
oksigen jika klien
bradikardi
7. Kirim bahan sekret
untuk kultur dan
tes sensitifitas8.
Jelaskan pada
klien dan keluarga
mengenai
prosedure dan
manfaat suction
Positioning (0840)
1. Tempatkan klien
pada posisi yang
terapeutik :
Pertahankan pada
posisi miring jika
tidak merupakan
kontra indikasi
cidera
2. Pertahankan posisi
miring setelah
makan
2 Resiko terhadap NOC : pengetahuan : NIC: pencegahan
cedera (00035) personal safety jatuh (6490)
Definisi: resiko (1809), skala 1-5 : 1. identifikasi defisit
injuri sebagai hasil tidak tahu, terbatas, kognitif dan fisik
dari kondisi sedang, substansial, pasien yang
lingkungan yang berlebih) dengan berpotensi
berinteraksi dengan indikator: meningkatkan
sumber adaptasi dan mendeskripsikan resiko jatuh
defensif manusia ukuran untuk 2. identifikasi
Faktor resiko : pencegahan jatuh karakteristik
Eksternal biologis (180902), lingkungan yang
mendeskripsikan berpotensi
ukuran keamanan meningkatkan
rumah (180902), resiko jatuh
mendeskripsikan 3. monitor cara
kewaspadaan berjalan,
keamanan air keseimbangan,
(180905), lain-lain tingkat kelelahan
status neurologis dengan ambulasi
(0909) skala 1-5
(secara ekstrim dpt 4. bantu pasien yang
dikompromikan, dapat belum kuat
dikompromi secara melakukan
substansial, dapat ambulasi
dikompromi secara 5. sediakan peralatan
moderat, dapat bantu (ex. walker)
dikompromi secara untuk memperkuat
ringan dan tidak dapat gait
dikompromi, 6. ajarkan pasien cara
indikator : fungsi jatuh yang dapat
neurologis : kesadaran meminimalkan
(090901), fungsi injuri
neurologis : kontrol 7. sediakan
motorik sentral penerangan yang
(090902), komunikasi adekuat
(090907), ukuran 8. berikan edukasi
pupil (090908), kepada anggota
reaktivitas pupil keluarga tentang
(090909), pola nafas faktor resiko yang
(090911), vital sign meningkatkan
dbn (090912), tidak potensi jatuh dan
ada kejang (090914), bagaimana cara
tidak ada sakit kepala mengurangi resiko
(090915), lain-lain tersebut

d. Implementasi
Implementasi merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Wahyuni, 2016).
e. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana
rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan
rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Evaluasi menggunakan format S.O.A.P, yaitu :
S : Data subjektif : yaitu data yang diutarakan klien dan pandangannya terhadap
data tersebut.
O : Data objektif : yaitu data yang didapat dari hasil observasi perawat,
termasuk tanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan denganpenyakit
pasien (meliputi data fisiologis, dan informasi dan pemeriksaan tenaga
kesehatan).
A : Analisis : yaitu analisa ataupun kesimpulan dari data subjektif dan data
objektif.
P : Perencanaan : yaitu pengembangan rencana segera atau yang akan datang
untuk mencapai status kesehatan klien yang optimal. (Hutahaen, 2010).
Adapun ukuran pencapaian tujuan tahap evaluasi dalamkeperawatan meliputi:
1. Masalah teratasi, jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan
dan kriteria hasil yang telah ditetapkan
2. Masalah teratasi sebagian, jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
3. Masalah tidak teratasi, jika klien tidak menunjukkan perubahan
dankemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/diagnosa keperawatan
baru.
DAFTAR PUSTAKA

Epilepsy – Symptoms. 2012. [cited 2014 Februari 9]. Available from : URL
http://www.nhs.uk/Conditions/Epilepsy/Pages/Symptoms.aspx
Harsono.2007. Epilepsi, Kapita Selekta Neurologi . Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta
H, Herpan Syafii, Yanna Indrayana, Emmy Amalia. (2017). Pola Pengobatan dan Fungsi
Kognitif Pasien Epilepsi di RSJ Mutiara Sukma. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29
(4), 335-340.
Hutahaean, Berman. 2010. Model Evaluasi Kurikulum Multidimensi. FKIP Universitas
Prima Indonesia : Medan
Laoh, Erna Yulianti N. (2019). “Hubungan Frekuensi Kekambuhan Kejang Terhadap
Perubahan Fungsi Kognitif Pada Pasien Dewasa Dengan Epilepsi di Poliklinik
Neurologi RSUD Budhi Asih”. Ilmu Keperawatan. Universitas Binawan. Jakarta.
Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Gangguan kejang pada bayi dan Anak.
In :
Rudolph AM, Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta : EGC;
2007.p.2134-40.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Dianostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran keperawatan Indonesia: Definisi dan Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Vera R, Nursiah, Dewi M. 2014.Sindrom Epilepsi Pada Anak.MKS,Th 46, No. 1, Januari
2014
Wahyuni, Nurul Sri. 2016. Dokumentasi Keperawatan. Ponorogo: UNMUH Ponorogo
Press

Anda mungkin juga menyukai