TINJAUAN PUSTAKA
Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm
dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak
pada perut kanan bawah (Handaya, 2017).
Apendisitis merupakan Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Radang usus buntu atau dalam bahasa medisnya disebut apendisitis adalah
peradangan pada apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu).
2.1.2 Anatomi
Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks merupakan suatu organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit ke arah ujung,
keadaan ini menjadi sebab rendahnya kejadian apendisitis pada usia tersebut
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2012 ).
Apendiks, disebut juga apendiks vermiformis merupakan organ yang sempit dan
berbentuk tabung yang mempunyai otot serta terdapat jaringan limfoid pada dindingnya.
Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis dan melekat pada
permukaan posteromedial caecum.
Apendiks terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan dinding
anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan
spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum.
2.1.3 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke lumen dan selanjtnya mengalir menuju sekum. Adanya hambatan pada
aliran lendir di muara apendiks dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya apendisitis.
2.1.4 Etiologi
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material
garam kalsium, debris fekal), atau parasit EHistolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin, &
kumala sari, 2011).
Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat
sehingga dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
mengakibatkan terjadinya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon.
2.1.5 Patofisiologi
Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa appendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah
(Burkitt, 2007).
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, 2007).
Klasifikasi appendicitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
2. Apendisitis kronik.
1) Nyeri.
Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus, tetapi muntah biasanya self-limited.
3) Abdominal tenderness.
Khususnya pada regio apendiks. Sebanyak 96% terdapat pada kuadran kanan bawah
akan tetapi ini merupakan gejala nonspesifik. Nyeri pada kuadran kiri bawah
ditemukan pada pasien dengan situs inversus atau yang memiliki apendiks panjang.
Gejala ini tidak ditemukan apabila terdapat apendiks retrosekal atau apendiks pelvis,
dimana pada pemeriksaan fisiknya ditemukan tenderness pada panggul atau rectal
atau pelvis. Kekakuan dan tenderness dapat menjadi tanda adanya perforasi dan
peritonitis terlokasir atau difus.
4) Demam ringan.
Dimana temperatur tubuh berkisar antara 37,2 – 380C (99 – 1000F), tetapi suhu >
38,30C (1010F) menandakan adanya perforasi.
2.1.8 Pathway
1. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan sel darah putih (Leukosit) hingga 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan yang lebih, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
C – Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai
respon dari infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan peningkatan kadar CRP
(Mutaqqin, Arif & Kumala Sari 2011)
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Pengertian Apendiktomi
Laparoskopi apendiktomi
Adalah tindakan bedah invasive minimal yang paling banyak digunakan pada
apendisitis akut. Tindakan ini cukup dengan memasukkan laparoskopi pada pipa
kecil (trokar) yang dipasang melalui umbilikus dan dipantau melalui layar monitor.
Apendiktomi terbuka
Adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada perut sisi kanan bawah atau
pada daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum.
a. Observasi pasien
Tindakan Operasi
a. Observasi TTV
b. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat mengurangi
tegangan pada luka insisi sehingga membantu mengurangi rasa nyeri
c. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama
2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak dan duduk diluar kamar
e. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari berikutnya dapat
diberikan makanan lunak.
DAFTAR PUSTAKA