Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Appendicitis

2.1.1 Definisi Appendicitis

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm
dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak
pada perut kanan bawah (Handaya, 2017).

Pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi


tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi yang biasa disebut apendisitis (Snell,
2014)

Apendisitis merupakan Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma, 2015).

Radang usus buntu atau dalam bahasa medisnya disebut apendisitis adalah
peradangan pada apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu).

2.1.2 Anatomi

Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks merupakan suatu organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit ke arah ujung,
keadaan ini menjadi sebab rendahnya kejadian apendisitis pada usia tersebut
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2012 ).

Apendiks, disebut juga apendiks vermiformis merupakan organ yang sempit dan
berbentuk tabung yang mempunyai otot serta terdapat jaringan limfoid pada dindingnya.
Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis dan melekat pada
permukaan posteromedial caecum.

Apendiks terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan dinding
anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan
spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum.

2.1.3 Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke lumen dan selanjtnya mengalir menuju sekum. Adanya hambatan pada
aliran lendir di muara apendiks dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya apendisitis.

Di sepanjang saluran cerna terdapat imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh


GALT (Gut Associates Lymphoid Tissue) yakni IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun apabila seseorang menjalani prosedur
apendektomi, maka tidak akan mempengaruhi imun tubuh, sebab jumlah jaringan limf di
area ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2012).

2.1.4 Etiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material
garam kalsium, debris fekal), atau parasit EHistolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin, &
kumala sari, 2011).

Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat
sehingga dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
mengakibatkan terjadinya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon.
2.1.5 Patofisiologi

Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa appendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah
(Burkitt, 2007).

Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, 2007).

2.1.6 Klasifikasi appendicitis

Klasifikasi appendicitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2005).

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.

Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :


Riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

2.1.7 Manifestasi Klinis Appendicitis

Secara klasik, appendisitis memberikan manifestasi klinis seperti

1) Nyeri.

Pertama pada periumbilical kemudian menyebar ke kuadran kanan bawah. Nyeri


bersifat viseral, berasal dari kontraksi appendiceal atau distensi dari lumen. Biasaanya
disertai dengan adanya rasa ingin defekasi atau flatus. Nyeri biasanya ringan,
seringkali disertai kejang, dan jarang menjadi permasalahan secara alami, biasanya
berkisar selama 4-6 jam.

Selama inflamasi menyebar di permukaan parietal peritonel, nyeri menjadi


somatic, berlokasi di kuadran kanan bawah.14 Gejala ini ditemukan pada 80% kasus.
Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang, serta mengangkat
lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari nyeri yang semakin parah.

2) Anoreksia sering terjadi.

Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus, tetapi muntah biasanya self-limited.

3) Abdominal tenderness.

Khususnya pada regio apendiks. Sebanyak 96% terdapat pada kuadran kanan bawah
akan tetapi ini merupakan gejala nonspesifik. Nyeri pada kuadran kiri bawah
ditemukan pada pasien dengan situs inversus atau yang memiliki apendiks panjang.
Gejala ini tidak ditemukan apabila terdapat apendiks retrosekal atau apendiks pelvis,
dimana pada pemeriksaan fisiknya ditemukan tenderness pada panggul atau rectal
atau pelvis. Kekakuan dan tenderness dapat menjadi tanda adanya perforasi dan
peritonitis terlokasir atau difus.

4) Demam ringan.

Dimana temperatur tubuh berkisar antara 37,2 – 380C (99 – 1000F), tetapi suhu >
38,30C (1010F) menandakan adanya perforasi.

5) Peningkatan jumlah leukosit perifer.

Leukositosis > 20,000 sel/ µL menandakan adanya perforasi.

2.1.8 Pathway

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Kenaikan sel darah putih (Leukosit) hingga 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan yang lebih, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi.
2. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit


b. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks


c. CT – Scan

Pemeriksaan CT – Scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya


kemungkinan perforasi.
d. C – Reactive Protein (CRP)

C – Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai
respon dari infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan peningkatan kadar CRP
(Mutaqqin, Arif & Kumala Sari 2011)

2.1.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita apendisitis yaitu dengan tindakan


pembedahan/Apendiktomi

1. Pengertian Apendiktomi

Apendiktomi adalah intervensi bedah untuk melakukan pengangkatan bagian tubuh


yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit. Apendiktomi dapat dilakukan
dengan dua metode pembedahan yaitu pembedahan secara terbuka/ pembedahan
konveksional (laparotomi) atau dengan menggunakan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal infasif dengan metode terbaru yang sangat
efektif (Berman& kozier, 2012 dalam Manurung, Melva dkk, 2019)

 Laparoskopi apendiktomi

Adalah tindakan bedah invasive minimal yang paling banyak digunakan pada
apendisitis akut. Tindakan ini cukup dengan memasukkan laparoskopi pada pipa
kecil (trokar) yang dipasang melalui umbilikus dan dipantau melalui layar monitor.
 Apendiktomi terbuka

Adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada perut sisi kanan bawah atau
pada daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum.

2. Tahap Operasi Apendiktomi

 Tindakan sebelum operasi

a. Observasi pasien

b. Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah dehidrasi dan


mengganti cairan yang telah hilang

c. Pemberian analgesik dan antibiotik melalui intravena

d. Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral

e. Pasien diminta melakukan tirah baring

 Tindakan Operasi

a. Perawat dan dokter menyiapkan pasien untuk tindakan anastesi sebelum


dilakukan pembedahan

b. Pemberian cairan intravena ditujukan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat


dan menggantikan cairan yang telah hilang.

c. Aspirin dapat diberikan untuk mengurangi peningkatan suhu.

d. Terapi antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.

 Tindakan pasca operasi

a. Observasi TTV

b. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat mengurangi
tegangan pada luka insisi sehingga membantu mengurangi rasa nyeri
c. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama
2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak dan duduk diluar kamar

d. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan melalui


intravena. Cairan peroral biasanya diberikan bila pasien dapat mentoleransi

e. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari berikutnya dapat
diberikan makanan lunak.
DAFTAR PUSTAKA

Triyani, Ida.2020.”Bab 2 Tinjauan Pustaka Konsep


Appendicitis”,http://eprints.umpo.ac.id,diakses pada 27 September 2021 pukul 19.28.

Sitompol, Belzasar.2020.”Karya Tulis Ilmiah Literature Review : Asuhan Keperawatan Pada


Klien Apendisitis Dengan Masalah Keperawatan Kecemasan Menggunakan Terapi Tehnik
Relaksasi Benson Di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Kabupaten Tapanuli
Tengah”,http://ecampus.poltekkes-medan.ac.id,diakses pada 27 September 2021 pukul 19.37.

Hidayatmo, Yanuar.2021.”Mengenali Radang Usus Buntu


(Apendisitis)”,https://rspelabuhan.com,diakses pada 27 September 2021 pukul 19.39.

Dewiam, Siti.2017.”8 Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi Apendiks vermiformis


Apendiks”,http://eprints.umm.ac.id,diakses pada 27 September 2021 pukul 19.45.

Hidayat, Erwin.2020.”Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Klien


Appendicitis”,https://repository.poltekkes-kaltim.ac.id,diakses pada 27 September 2021 pukul
20.29.

Nur, Agustin. 2018.”Bab II.pdf-Rapository Unimus”,https://repository.unimus.ac.id,diakses pada


27 September 2021 pukul 20.35.

Anda mungkin juga menyukai