Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KMB II

” MASALAH PERAWATAN PADA KONSTIPASI, INKONTINENSIA


ALVI/URINE”

Dosen Pengampu : Pak Yusrin Aswad S.St, M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Fitri Abdul Magu

Gunawan Rahman

Hotmania Nanta M. Sihotang

Indah Puspita Sari

Irnaningsi Djafar

Karman Hemuto

Magfirah Harson Umar

Megawati Hasania

PRODI DIII KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES GORONTALO

TA 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam kita curahkan kepada Nabi Agung kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada Pak
Yusrin Aswad S.St, M.Kes selaku dosen pengampu. Sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah KMB II dengan judul “Masalah Perawatan
Pada Konstipasi dan Inkontinensia Alvi/Urine”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf. Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Gorontalo, 25 Januari 2020

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………….………………………………………………………...…..2
DAFTAR ISI……………………..….…………………………………………………………...3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………….5
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………6
C. Tujuan……………………………………………………………………………………..7
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konstipasi
A. Definisi Konstipasi.……….………………………………………………………………8
B. Tanda dan Gejala Konstipasi……………………………………………………………..8
C. Penyebab Konstipasi………………………………………………………………………9
D. Faktor Risiko Konstipasi…….………….…………………………………………...…..10
E. Diagnosis Konstipasi….…………………………………………………………...…….10
F. Pengobatan Konstipasi………..………………..……………………………………...…11
G. Komplikasi Konstipasi…………………………………………………………………...12
H. Pencegahan Konstipasi…………………………………………………………………..13
2. Inkontinensia Alvi/Urine
A. Definisi Inkontinensia Alvi……………………………………………………………....13
B. Klasifikasi Inkontinensia Alvi……….…………………………………………………..14
C. Etiologi Inkontinensia Alvi………………………………………………………………14
D. Patofisiologis Inkontinensia Alvi……………….……………………………………..…16
E. Manifestasi Klinis Inkontinensia Alvi…………..……………………………………….17
F. Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Alvi……..………………………………………17
G. Penatalaksanaan Inkontinensia Alvi………………..……………………………………17
H. Definisi Inkontinensia Urine……………………………………………………………..21
I. Klasifikasi Inkontinensia Urine………………………………………………………….22
J. Etiologi Inkontinensia Urine……………………………………………………………..24

3
K. Patofisiologi Inkontinensia Urine………………………………………………………..25
L. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine……………………….…………………………26
M. PemeriksaanPenunjang Inkontinensia Urine…………………...………………………..27
N. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine……………………………………………………28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………...30
B. Saran…………………………………………………………………………………….30
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….…………………………………….31

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konstipasi atau sembelit adalah frekuensi buang air besar yang lebih sedikit dari
biasanya. Jarak waktu buang air besar pada setiap orang berbeda-beda. Namun umumnya
dalam satu minggu, manusia buang air besar setidaknya lebih dari 3 kali. Jika frekuensi
buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu, maka seseorang disebut mengalami
konstipasi. Akibatnya, tinja menjadi kering dan keras sehingga lebih sulit dikeluarkan
dari anus.
Buang air besar merupakan tahap terakhir proses pencernaan. Dalam sistem
pencernaan manusia, makanan yang dikonsumsi menuju lambung, usus kecil, kemudian
usus besar. Setelah air dan nutrisi yang diperlukan tubuh diserap dalam usus, sisa
makanan tersebut lalu dikeluarkan melalui anus sebagai tinja.
Setiap orang sesekali bisa mengalami konstipasi, namun biasanya bukan
merupakan kondisi serius dan berlangsung hanya sebentar. Tingkat keparahan konstipasi
pada setiap orang berbeda-beda, Pada beberapa kasus, konstipasi dapat menjadi kronis
jika kondisi ini berulang hingga beberapa kali dalam waktu 3 bulan. Gangguan sembelit
kronis ini dapat mengganggu kegiatan penderita setiap hari.
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari
sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Inkontinensia dapat
berupa inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah keluarnya
urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah keluarnya feses pada
waktu yang tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang

5
wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala yang
menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin atau alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Definisi Konstipasi?
2. Apa Tanda dan Gejala Konstipasi?
3. Apa Penyebab Konstipasi?
4. Apa Faktor Risiko Konstipasi?
5. Bagaimana Diagnosis Konstipasi?
6. Bagaimana Pengobatan Konstipasi?
7. Apa Saja Komplikasi Konstipasi?
8. Bagaimana Pencegahan Konstipasi?
9. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
10. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
11. Apa etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
12. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
13. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
14. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
15. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi?

6
C. TUJUAN
1. Dapat Mengetahui Definisi Konstipasi
2. Dapat Mengetahui Tanda dan Gejala Konstipasi
3. Dapat Mengetahui Penyebab Konstipasi
4. Dapat Mengetahui Faktor Risiko Konstipasi
5. Dapat Memahami Diagnosis Konstipasi
6. Dapat Memahami Pengobatan Konstipasi
7. Dapat Mengetahui Komplikasi Konstipasi
8. Dapat Memahami Pencegahan Konstipasi
9. Dapat Mengetahui Definisi Inkontinensia Urin dan Inkontinensia Alvi
10. Dapat Mengetahui Klasifikasi dari Inkontinensia Urin dan Inkontinensia Alvi
11. Dapat Mengetahui Etiologi dari Inkontinensia Urin dan Inkontinensia Alvi
12. Dapat Memahami Patofisiologi Inkontinensia Urin dan Inkontinensia Alvi
13. Dapat Mengetahui Tanda dan Gejala Inkontinensia Urin dan Inkontinensia Alvi
14. Dapat Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urin dan Inkontinensia
Alvi
15. Dapat Memahami Penatalaksanaan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin dan
Inkontinensia Alvi

7
BAB II

PEMBAHASAN

1. KONSTIPASI
A. DEFINISI KONSTIPASI
Konstipasi atau sembelit adalah frekuensi buang air besar yang lebih sedikit dari
biasanya. Jarak waktu buang air besar pada setiap orang berbeda-beda. Namun umumnya
dalam satu minggu, manusia buang air besar setidaknya lebih dari 3 kali. Jika frekuensi
buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu, maka seseorang disebut mengalami
konstipasi. Akibatnya, tinja menjadi kering dan keras sehingga lebih sulit dikeluarkan
dari anus.
Konstipasi atau sembelit adalah hal biasa yang memengaruhi orang-orang dari
segala usia. Konstipasi kronis ditandai dengan kesulitan buang air besar selama beberapa
minggu atau lebih. Seseorang yang mengalami konstipasi hanya dapat buang air besar
tiga kali atau kurang dari itu dalam seminggu. 

B. TANDA DAN GEJALA KONSTIPASI


Gejala utama konstipasi adalah frekuensi buang air besar lebih jarang dari biasanya atau
kurang dari tiga kali dalam seminggu. Gejala konstipasi lainnya meliputi:

 Harus mengejan saat buang air besar.


 Merasa tidak tuntas setelah buang air besar.
 Tinja terlihat kering, keras, atau bergumpal.
 Terasa ada yang mengganjal pada rektum atau bagian paling akhir dari usus besar.
 Perut kembung.
 Sakit perut.
 Perlu bantuan untuk mengeluarkan tinja, seperti menggunakan tangan untuk
mengeluarkan tinja dari anus.
 Perdarahan pada dubur atau lecet karena feses yang keras.

8
Terutama pada anak-anak, konstipasi dapat ditandai dengan gejala berupa lesu, gampang
marah, gelisah, serta terdapat bercak kotoran di celana.

C. PENYEBAB KONSTIPASI
Konstipasi umumnya terjadi ketika tinja bergerak terlalu lamban dalam sistem
pencernaan dan tidak bisa dikeluarkan secara efektif dari rektum, Akibatnya, tinja
menjadi keras dan kering sehingga lebih sulit lagi dikeluarkan dari rektum
Penyakit ini bisa dipicu oleh berbagai faktor yang meliputi:

 Pola makan yang buruk, misalnya kurang mengonsumsi serat atau kurang minum.
 Kurang aktif bergerak, termasuk juga jarang olahraga.
 Penyakit pada usus atau rektum, contohnya fisura ani, penyumbatan usus, kanker usus
besar, dan kanker rektum.
 Ganguan saraf. Gangguan ini menghambat pergerakan tinja melalui usus, dan biasanya
terjadi pada penderita penyakit Parkinson, cedera saraf tulang belakang, stroke,
dan multiple sclerosis.
 Gangguan pada otot yang mengerakkan usus. Kondisi ini dapat ditemui pada kondisi
otot panggul yang melemah atau dyssynergia.
 Gangguan hormon. Beberapa jenis hormon berfungsi menyeimbangkan cairan dalam
tubuh. Gangguan pada hormon ini dapat membuat cairan dalam tubuh tidak stabil
sehingga memicu terjadinya konstipasi. Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan
gangguan ini, antara lain adalah diabetes, hiperparatiroidisme, kehamilan, atau
hipotiroidisme.
 Efek samping konsumsi obat, contohnya obat antasida, antikonvulsan, antagonis
kalsium, diuretik, suplemen besi, obat untuk penyakit Parkinson, dan antidepresan.
 Mengabaikan keinginan untuk buang air besar.
 Gangguan mental, seperti kecemasan atau depresi.

Sementara pada bayi dan anak-anak, konstipasi biasanya dipicu oleh kurangnya konsumsi
makanan berserat dan kurang minum, pertama kali minum susu formula, serta merasa
cemas atau tertekan saat menjalani latihan buang air besar di kamar mandi.

9
D. FAKTOR RISIKO KONSTIPASI
Mempunyai pola makan yang buruk dan tidak berolahraga merupakan faktor risiko
utama untuk konstipasi. Selain itu, terdapat pula beberapa faktor yang
meningkatkan risiko terkenanya konstipasi, seperti:

 Berusia lanjut, 65 tahun atau lebih, disebabkan karena orang berusia lanjut
cenderung kurang aktif, mempunyai kondisi medis tertentu dan mempunyai diet
yang lebih buruk
 Terbatas diatas tempat tidur. Orang dengan kondisi medis tertentu seperti cedera
pada saraf tulang belakang seringkali tidak dapat bergerak dan hanya berada diatas
tempat tidur, sehingga sulit untuk buang air besar.
 Pada wanita atau anak–anak. Wanita lebih sering mengalami konstipasi daripada
pria, dan anak–anak lebih sering dibandingkan dengan orang dewasa.
 Hamil. Pada saat kehamilan, terjadi perubahan hormonal dan tekanan pada usus
oleh bayi yang semakin besar didalam rahim dapat menyebabkan konstipasi.

E. DIAGNOSIS KONSTIPASI
Guna memastikan diagnosis, dokter perlu melakukan beberapa pemeriksaan penunjang
yang meliputi:

 Tes darah, untuk memeriksa kadar hormon dalam tubuh, serperti hormon tiroid.
 Kolonoskopi, untuk memeriksa kondisi usus dan rektum dengan alat kolonoskop, seperti
penyumbatan dalam usus.
 Manometri anorektal, untuk mengetahui koordinasi otot yang menggerakkan anus.
 Defacography  atau foto Rontgen rektum dengan barium, untuk mengetahui masalah
pada fungsi dan koordinasi otot pada rektum.
 MRI defacography, sama dengan defacography namun menggunakan teknologi MRI.
 Tes pendorong balon, untuk mengukur lamanya balon berisi air, yang sebelumnya
dimasukkan melalui dubur, untuk dikeluarkan dari rektum, sehingga dapat diperkirakan
berapa lama seseorang buang air besar.

10
F. PENGOBATAN KONSTIPASI
Konstipasi harus dibedakan antara konstipasi akut dan kronis. Pengobatan juga
harus dimulai sedini mungkin obat-obatan yang aman untuk tubuh. Tujuan dari
pengobatan konstipasi adalah untuk melancarkan proses buang air besar.
Normalnya buang air besar terjadi setiap dua atau tiga hari sekali (tanpa
mengejan).
 Perubahan pola makan dan gaya hidup
Perubahan pola makan dan gaya hidup akan disarankan oleh dokter untuk
mengobati konstipasi, seperti:
 Meningkatkan konsumsi serat.
 Berolahraga secara teratur.
 Jangan menunda keinginan untuk buang air besar.
 Penggunaan Laksatif (pencahar)
Terdapat beberapa jenis laksatif dengan cara kerja yang berbeda,
diantaranya:
 Suplemen serat seperti psyllium, calcium polycarbophil, serat
metilselulosa.
 Stimulant seperti bisacodyl.
 Osmotik membantu cairan bergerak melalui kolon, seperti oral
magnesium hidroksida, magnesiumsitrat, laktulosa, polietilen glikol.
 Lubrikan (pelumas) dapat membantu feses keluar lebih mudah.
 Pelunakan feses dengan menyerap cairan dari usus halus.
 Enema dan suppositoria seperti sodium fosfat dapat digunakan untuk
melunakkan feses dan merangsang rasa ingin buang air besar.
 Obat–obatan lainnya :
Jika obat yang dijual bebas untuk konstipasi tidak membantu, maka dokter
akan memberikan obat resep, terutama jika menderita  irritable bowel
syndrome,  seperti:
 Obat–obatan untuk menyerap cairan dari usus halus terutama untuk
konstipasi kronis seperti lubiprostone dan linaclotide.

11
 Obat–obatan lainnya seperti misoprostol, colchicines/probenesid dan
onabotulinumtoxina.
 Melatih otot–otot dasar panggul.
Terapis akan mengajarkan bagaimana cara untuk melemaskan dan
mengencangkan otot–otot dasar panggul. Melemaskan otot–otot
dasar panggul sewaktu defekasi (buang air besar) akan membantu
mempermudah buang air besar.
 Operasi
Operasi dapat menjadi pilihan jika telah mencoba pengobatan lainnya dan
tidak berhasil serta konstipasi kronis disebabkan oleh sumbatan, rectocele,
anal fissure dan striktur. Pada orang yang telah mencoba pengobatan lain
dan gagal serta mempunyai gerakan lambat yang tidak normal dari feses
melalui kolon, maka pengangkatan sebagian dari kolon mungkin
diperlukan.

G. KOMPLIKASI KONSTIPASI

Konstipasi jarang menyebabkan komplikasi, kecuali konstipasi tersebut dalam jangka


panjang atau kronis. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah:

 Hemoroid atau wasir, yaitu pembengkakan dinding anus akibat pelebaran pembuluh


darah yang biasanya disebabkan oleh proses mengejan yang terlalu lama.
 Fisura ani. Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar dapat mengakibatkan
fisura atau robeknya kulit pada dinding anus dan buang air besar berdarah.
 Impaksi feses, yaitu menumpuknya tinja yang kering dan keras di rektum akibat
konstipasi yang berlarut-larut.
 Prolaps rektum. Pada kondisi ini, rektum pindah dari posisinya di dalam tubuh dan
menonjol keluar dari anus akibat terlalu lama mengejan.

12
H. PENCEGAHAN KONSTIPASI

Konstipasi termasuk kondisi kesehatan yang bisa kita hindari. Beberapa langkah
sederhana untuk mencegah kondisi ini adalah:

 Memperbanyak konsumsi serat, misalnya dengan makan sayur, buah, beras merah, sereal,
biji-bijian, serta kacang-kacangan.
 Meningkatkan konsumsi cairan, setidaknya 1,5-2 liter tiap hari.
 Menghindari terlalu banyak mengonsumsi susu dan kafein. Konsumsi terlalu banyak susu
dapat meningkatkan kemungkinan konstipasi, sedangkan kafein dapat menimbulkan
dehidrasi yang bisa memicu sembelit.
 Rutin berolahraga setidaknya 30 menit sehari.
 Jangan mengabaikan keinginan untuk buang air besar. Kebiasaan menahan keinginan
buang air besar akan meningkatkan risiko konstipasi.
 Mengatur kebiasaan buang air besar agar dapat dilakukan dengan leluasa dan nyaman.

2. INKONTINENSIA ALVI/URINE
A. INKONTINENSIA ALVI
1) Definisi
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar,
menyebabkan  feses bocor tidak terduga dari dubur. Inkontinensia alvi juga disebut
inkontinensia usus.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan
dari proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau
hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
spingter akibat kerusakan sfingter.

13
2) Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok
(Pranarka, 2000):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
2. Inkontinensia alvi simtomatik
3. Inkontinensia alvi neurogenik
4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
3) Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst
dkk, 1987; Kane dkk,1989):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
 Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi
dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini
akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari
besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat
membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan
merembes keluar (broklehurst dkk, 1987).
 Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari
feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam
– macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin
dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia  dari
proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan
gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang
cair  (broklehurst dkk, 1987)

14
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan,
antara lain yang mengandung unsur besi, atau  memang akibat pencahar
(broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat
dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari
defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di
lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah
rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya
kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa
normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst
dkk, 1987).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai
kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst
dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada
otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya
reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal
ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan
prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli
progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

15
4) Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup.


Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat
motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain
itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan
esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri
ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya
terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan
pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya usia
namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas tetap
dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan toleransi
terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada
sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.

16
5) Manifestasi Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau
ditempat tidur.

Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.

6) Pemeriksaan Penunjang
1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter
anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI terkadang
juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter
anal
3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum,
sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu
mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan
tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal
seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.
7) Penatalaksanaan
 Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
a. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
b. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
c. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti sayuran,
buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 – 3 liter/hari
d. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
e. Positioning

17
 Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat
seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang perlu
menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami kelemahan,
perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan seperti tissue dan tetap
berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
 Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi. Untuk
menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat berdiskusi ketika
terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk defekasi. Aktivitas lain
seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita waktu untuk defekasi.
 Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien yang
terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien dapat membantu
defekasi normal.
 Untuk Konstipasi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat dan jus
buah, juga masukkan serat dalam diet.
 Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin seharusnya
dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat dan tinggi rempah
dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa
sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah,
sereal

18
f. Batasi makanan berlemak
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah
iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan minum
produk-produk susu fermentasi.
 Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah gusi;
untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang menghasilkan gas,
seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
 Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi normal)
mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik sebagai
berikut :
Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan, menahan
selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 – 10 kali sehari tergantung
kekuatan klien.
 Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi pada
toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang mengalami
kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan alat bantu BAB
seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya disesuaikan dengan kondisi
klien.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah katarsis
dan laxantive, antidiare dan antiflatulensi
 Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi menghindari
makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat tidur dan ambulasi.
Gerakan merangsang peristaltik dan membantu melepaskan flatus dan reabsorbsi

19
gas dalam kapiler intestinal. Satu metode untuk penanganan flatulensi adalah
dengan memasukkan suatu rectal tube. Caranya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan rectal tube ukuran 22 – 30 F untuk dewasa dan yanglebih kecil
untuk anak
2. Tempatkan klien pada posisi miring
3. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
4. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal tube
akan merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar, masukkan
tube lebih dalam. Jangan menekan tube jika tidak bisa masuk dengan
mudah.
5. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi. Jika
terjadi distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 – 3 jam.
6. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk
pemakaian suppository, enema atau obat-obatan yang lain.
 Pemberian Enema
Enema adalah larutan yang dimasukkan dalam rektum dan usus besar. Cara kerja
enema adalah untuk mengembangkan usus dan kadang-kadang mengiritasi mukosa
usus, meningkatkan peristaltik dan membantu mengeluarkan feses dan flatus.
 Program Bowel Training
Pada klien yang mengalami konstipasi kronik, sering terjadi obstipasi /
inkontinensia feses, program bowel training dapat membantu mengatasinya.
Program ini didasarkan pada faktor dalam kontrol klien dan didesain untuk
membantu klien mendapatkan kembali defekasi normal. Program ini berkaitan
dengan asupan cairan dan makanan, latihan dan kebiasaan defekasi. Sebelum
mengawali program ini, klien harus memahaminya dan terlibat langsung. Secara
garis besar program ini adalah sebagai berikut :
 Tentukan kebiasaan defekasi klien dan faktor yang membantu dan
menghambat defekasi normal.
 Desain suatu rencana dengan klien yang meliputi :
o Asupan cairan sekitar 2500 – 3000 cc/hari
o Peningkatan diit tinggi serat

20
o Asupan air hangat, khususnya sebelum waktu defekasi
o Peningkatan aktivitas / latihan
 Pertahankan hal-hal berikut secara rutin harian selama 2 – 3 minggu :
o Berikan suppository katarsis (seperti dulcolax) 30 menit sebelum
waktu defekasi klien untuk merangsang defekasi.
o Saat klien merasa ingin defekasi, bantu klien untuk pergi ke toilet /
duduk di Commode atau bedpan. Catat lamanya waktu antara
pemberian suppository dan keinginan defekasi.
o Berikan klien privacy selama defekasi dan batasi waktunya, biasanya
cukup 30 – 40 menit.
o Ajarkan klien cara-cara meningkatkan tekanan pada kolon, tetapi
hindari mengecan berlebihan, karena dapat mengakibatkan
hemorrhoid.
 Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi. Hindari
negative feedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan waktu dari
minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan

B. INKONTINENSIA URINE
1) Definisi
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan
Perry, 2005).
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot
sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara
umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa

21
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).
2) Klasifikasi

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006):

Jenis Inkontinensia Urin Definisi

Inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran


urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya


terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.

Inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran


urin yang terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia
total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi
independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang

22
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula,
neuropati.

Inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes


dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat,
tertawa.

Inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran


urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh


adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur

Inkontinensia fungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran


urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

23
3) Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU)
antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,
produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah
asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan
yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan
obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik,
antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium
antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik

24
juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia
urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

4) Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih

25
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di
medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran
urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran
dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh refleks urethrovsien urinaris. Bila
terjadi pengisian kandung kencing tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot
detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kencing) memberikan respon dengan relaksasi
agar memperbesar volume daya tampung. Bila sampai 200 ml urin daya rentang
reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsangan. Stimulus
ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat refleks untuk
meksitrurisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan
refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfinkter interna
yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama sama membuka dan urin
masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot pariental mengkuti
dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaaan kegiatan refleks bisa mengalami
interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari
pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dan sfinkter eksterna. Bila
disalah satu bagian mengalami kerusakan maka akan dapat mengakibatkan
inkontenensia
5) Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (Alimul Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.

26
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

6) Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
 Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
 Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan
reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
 Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan
fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. Urografi ekskretori bawah kandung kemih
dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
 Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah
urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

7) Penatalaksanaan

27
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya
waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-
mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan
cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan
ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi

28
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara
singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan
rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak
ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan
secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan.
Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia
pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari
sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.

29
BAB III
PENUTUP
C. KESIMPULAN
Konstipasi atau sembelit adalah frekuensi buang air besar yang lebih
sedikit dari biasanya. Jarak waktu buang air besar pada setiap orang berbeda-
beda. Namun umumnya dalam satu minggu, manusia buang air besar setidaknya
lebih dari 3 kali. Jika frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam
seminggu, maka seseorang disebut mengalami konstipasi. Akibatnya, tinja
menjadi kering dan keras sehingga lebih sulit dikeluarkan dari anus.
Inkontinensia adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan
kesehatan atau social. Inkontinensia dapat berupa inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah keluarnya feses pada waktu yang
tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.

D. SARAN
Pada beberapa kasus, konstipasi dapat menjadi kronis jika kondisi ini
berulang hingga beberapa kali dalam waktu 3 bulan. Gangguan sembelit kronis ini
dapat mengganggu kegiatan penderita setiap hari. Untuk itu mencegah terjadinya
konstipasi maka sebaiknya harus mengubah pola makan yang baik seperti makan
makanan yang berserat, minum yang cukup, olahraga secara teratur serta jangan
menunda-nunda buang air besar.
Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup.
Untuk mencegah terjadinya inkontinensia alvi maka sebaiknya menggunakan
pakaian dalam berbahan katun agar tidak terjadi iritasi, menghindari mengejan
saat BAB, mengkonsumsi makanan tinggi serat dan minum yang cukup. Untuk
pencegahan inkontinensia urin yaitu mengurangi konsumsi kafein dan makanan
asam.

30
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/konstipasi/pencegahan
https://www.sehatq.com/penyakit/konstipasi
https://id.scribd.com/document/269360755/inkontinensia-urin-dan-alvi

31

Anda mungkin juga menyukai