Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KEPERAWATAN GADAR DAN KRITIS

CIDERA KEPALA DAN TREPANASI

Disusun Oleh :
ANANG ISNIAJI
NIM 19650127

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020

1
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas
segala rahmad dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Kasus Cidera Kepala Dan Trepanasi. Penulisan laporan ini dalam rangka
memenuhi tugas Praktik Klinik Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat
Dan Kritis.
Selama penyusunan laporan ini penulis telah banyak mendapat bantuan
dan bimbingan, saran, serta moral dari pihak-pihak yang terkait. Maka dari itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
laporan ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
penyempurnaan laporan ini agar dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang
telah berperan. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala urusan kita. Amin

Ponorogo, Maret 2020

Penulis

DAFTAR ISI

2
Sampul Depan...................................................................................................1
Kata Pengantar..................................................................................................3
Daftar Isi...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................5
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................7
1.3 Tujuan.................................................................................................7
1.3.1 Tujuan Umum...........................................................................7
1.3.2 Tujuan Khusus..........................................................................8
1.4 Manfaat...............................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian...........................................................................................9
2.2 Klasifikasi...........................................................................................10
2.3 Penyebab.............................................................................................12
2.4 Tanda Gejala.......................................................................................13
2.5 Patofisiologi........................................................................................14
2.6 Pathway..............................................................................................15
2.7 Pemeriksaan Penunjang......................................................................16
2.8 Penatalaksanaan..................................................................................16
2.9 Komplikasi..........................................................................................18
BAB III PEMBAHASAN KASUS
3.1 Pembahasan Kasus............................................................................. 20
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan......................................................................................... 31
4.2 Saran................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 33

BAB I

3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak, cedera kepala biasanya
diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma
kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis,
asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan
penting terutama dalam pencegahan komplikasi (Muttaqin, 2008).
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-
trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu,
diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan
morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007). Sedangkan berdasarkan
Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat ringannya,
dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan
klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala
menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecatatan utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal
setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatn di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah
wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan

4
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di
samping penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50%
kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,
75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang
selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian
maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non
degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawat daruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur
oleh benda keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda
adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena
kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada
usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang
sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada
usia >45 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari cedera kepala dan trepanasi?
2. Berapa klasifikasi dari cedera kepala?
3. Bagaimana etiologi dari cedera kepala?
4. Bagaimana tanda gejala cedera kepala?
5. Bagaimana patofisiologi dari cedera kepala?
6. Bagaimana pathway dari cedera kepala?

5
7. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan untuk cedera kepala?
8. Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala?
9. Bagaimana komplikasi cedera kepala?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimanakah penaganan secara gawat darurat
atau kritis pada pasien cidera kepala dan trepanasi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian cedera kepala dan trapenasi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala.
3. Untuk mengetahui etiologi cedera kepala.
4. Untuk mengetahui tanda gejala cedera kepala.
5. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala.
6. Untuk mengetahui pathway cedera kepala.
7. Untuk mengetahui pemeriksaaan penunjang cedera kepala.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepala.
9. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

6
2.1 Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiel dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kapala merupakan cedera
yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Tarwoto, 2011).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis
(Smeltzer, 2010).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian dan
selama transpotasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal di
ruan gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum
serta neurologis harus dilakukan secara serentak.Pendekatan yang sistematis
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital.Tingkat
keparahan cedara kepala menjadi ringan segera di tentukan saat pasien tiba
di rumah sakit. Trauma atau cedera kepala juga di kenal sebagai cedera otak
adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia
alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral
di sekitar jaringan otak.
Cedera kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan
fungsi otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk).
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan
pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan
otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio
batang otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur
tengkorak (Muttaqin, 2013).

7
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif (Smeltzer, 2010).

Indikasi pemasangan
a.Pengangkatan jaringan abnormal
b.Mengurangi tekanan intracranial
c.Mengevaluasi bekuan darah
d.Mengontrol bekuan darah
e.Pembenahan organ-organ intracranial
f.Tumor otak
g.Perdarahan
h.Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak

Tehnik Operasi

8
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up
kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala
miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada
sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri
dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut
untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk
mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi  lapangan operasi  dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi
dengan doek steril.
e. Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat.

9
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh
darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada
pangkal flap dan fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian
dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara 
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi
dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat
mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang
dapat dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila
ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan
hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di

10
bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari
arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan
kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0
secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada
lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait
dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai
terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan
otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas
berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang
subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan
untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak
dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan
di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak
bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar,
untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai
alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila

11
tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis
dengan cara sebagai berikut:
a) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
b) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c) Pasang drain subgaleal.
d) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e) Jahit kulit dengan silk 3.0.
f) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f. Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi
(3-4 buah ditepi dan  2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu (cedera primer)
efek langsung trauma pada fungsi otak dan (cedera sekunder) efek lanjutan
dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma (Tarwoto, 2007).
1. Cedera primer
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi.
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya meliputi
hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan tekanan

12
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi.
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan
morfologi cidera.antara lain (Dewanto. 2009):
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater
a. Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan mobil),kecepatan rendah
(terjatuh atau dipukul)
b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan luka tembus lainya)
2. Keparahan cidera
a. Ringan
1) GCS 13 – 15
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada infoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
6) Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.
b. Sedang
1) GCS 9 – 12
2) Amnesia pasca trauma
3) Muntah
4) Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanum,
5) otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
6) Kejang.
c. Berat
1) GCS 3 – 8
2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3) Tanda neurologis fokal
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi kronium
3. Morfologi
a. Cidera kulit kepala, cedera yang hanya mengenai kulit kepala dan
dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranil.
b. Fraktur tengkorak

13
1) Kranium : linier : depresi atua non depresi, terbuka atau tertutup.
2) Basis : dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan
atau tanpa kelumpuhan nervus VII (facialis)
Fraktur basis crani secara anatomis ada perbedaan struktur
didaerah basis crani dan struktur yang meliputi pada basis crani
tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvana, durameter
daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah
kalvana. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan
robekan durameter klinis.
c. Cidera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan <
10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan
cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu
sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya
pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah
syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1
jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan
mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya
jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling
sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera
kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda

14
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu
badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk
yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara
tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen
media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat
juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma Subduralis haematoma adalah kejadian
haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh
darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya
keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri
meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi
rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat
memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan
otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya karena perdarahan
pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan
dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada
praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar
jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran
pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma Terjadi karena pukulan benda
tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi
pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah
melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.
d. Lesi intrakranial

15
1) Fokal : epidural, subdural, intra serebral
2) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
2.3 Penyebab
Penyebab cedera kepala sebagai berikut (Tarwoto, 2007) :
1. Trauma tumpul
a. Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
b. Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2. Trauma tembus
Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3. Jatuh dari ketinggian, cedera akibat kekerasan
4. Cedera otak primer
Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi
5. Cedera otak sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme, fisiologi
yang timbul setelah trauma.
2.4 Tanda Gejala
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak (Oman, 2008).
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebingungan atau hahkan koma.

16
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya
cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
2.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,

17
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh
persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan
arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2012).

2.6 Pathway

18
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin


Sistemik & TD   sekresi asam
lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah


Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi


kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 


Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi
jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia,


hiperkapne

19
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk cedera kepala sebagai berikut (Tarwoto, 2014):
1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras), mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray, mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).
4. AGD (Analisa Gas Darah), mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.
5. Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Hemoglobiin, sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang hebat.
7. Leukosit, merupakan salah satu indikator berat ringannya cidera kepala yang
terjadi.
8. Ventrikulografi udara.
9. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL).
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu (Tarwoto, 2014) :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-
Brething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan
cenderung memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang
lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah
(syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure,
yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala beratsurvei primer sangatlah penting untuk
mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
2.9 Komplikasi
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera
kepala adalah (Smeltzer, 2010):
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa.Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadaan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan
ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut.Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut.Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau
telinga.Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
4. Hipoksia
5. Gangguan mobilitas
6. Hidrosefalus
7. Oedem otak
BAB 3
CRITICAL THINKING

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiel dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kapala merupakan cedera yang
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Tarwoto, 2011).
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif
(Smeltzer, 2010).
Sedangkan menurut jurnal Santoso, et al. Correlation of Severe Head
Injury Epidural Hematoma Trepanation Respond Time (2015) yang berjudul
Hubungan Respond Time Trepanasi Hematoma Epidural Pada Cedera Kepala
Berat Dengan Outcome mengatakan bahwa tindakan trepanasi pada kasus cedera
kepala berat dapat memberikan hasil yang sangat baik dan dapat memberikan
angka hidup yang tinggi. Hal ini ditunjukan dengan hasil penelitian yang
menunjukan bahwa Uji korelasi spearman menunjukkan nilai signifikansi (P-
value) = 0,016 (p < 0,05) dan correlation coefficient (r) = 0,636 yang berarti
terdapat korelasi bermakna antara respond time trepanasi dengan outcome
pasien EDH. Spearman correlation coefficient (r) bernilai positif yang berarti
korelasinya berbanding lurus, dimana semakin lama respond time trepanasi akan
menyebabkan semakin buruknya outcome pasien, serta menunjukkan korelasi
yang kuat (r = 0.6000.799). Hal ini juga didukung dengan penelitian lain yang
lebih menguatkan yang telah dilakukan penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Department of Neurosurgery of the University Hospital of Verona (Italy) oleh
Bricolo et al (1984), dimana dari 36 pasien EDH dengan GCS ≤8 didapatkan 5
orang (13,9%) meninggal dunia dan 31 orang (86,1%) hidup.9 Penelitian lain
yang dilakukan di Spanyol oleh Lobato et al (1988), dari 64 pasien EDH dengan
GCS ≤ 8 didapatkan 18 orang (28,1%) meninggal dunia dan 46 orang (71,9%)
hidup.
Jadi menurut saya tindakan trepanasi pada kasus cedera kepala berat
sangat dibutuhkan karena dapat memberikan hasil yang sangat signifikan dengan
angka hidup yang tinggi sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
santoso. Namun juga harus memperhatikan indikasi pemasangan trepanasi
seperti:

1. Pengangkatan jaringan abnormal


2. .Mengurangi tekanan intracranial
3. Mengevaluasi bekuan darah
4. Mengontrol bekuan darah
5. Pembenahan organ-organ intracranial
6. Tumor otak
7. Perdarahan
8. Peradangan dalam otak
9. Trauma pada tengkorak
Sehingga jika pasien datang dengan cedera kepala berat dan memiliki
salah satu dari indikasi pemasangan trepanasi harus segera dilakukan tindakan
pemasangan trepanasi.
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau
berpengaruh berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan
emosi.
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak.
4.2 Saran
1. Kepada Masyarakat
Cedera kepala dapat terkena pada siapa saja. Banyak yang terkena pada usia
produktif. Sebelum cedera kepala mengenai gunakan alat pelindung kepala
yang sesuai standar. Khususnya bagi pengendara kendaraan bermotor,
pekerja konstruksi hendkanya memakai pelindung kepala yang standar.
2. Kepada Tenaga Kesehatan
Pasien-pasien dengan cedera kepala dapat memburuk jika tidak ditangani
secara optimal. Berikanlah perawatan yang optimal, cepat, tanggap, dan
komprehensif dengan hati yang tulus tanpa ada yang dibedakan.
3. Kepada Akademisi
Semoga akan lebih banyak perawat-perawat yang mengabdikan dirinya
dalam hal riset, karena dunia keperawatan membutuhkan pengembangan
ilmu-ilmu demi kemajuan profesi keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/22036/2/04._BAB_I.pdf. Diakses pada tanggal 18 Maret


2020 pukul 11.47 WIB
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta : Salemba Medika

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Publishing
Oman, Kathlen et.al.20 11. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi; alih
bahasa, Andry Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Nur Meity Sulistya
Ayu. Jakarta : EGC
Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : CV.Sagung Seto
27

Anda mungkin juga menyukai