Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATN GAWAT DARURAT

TRAUMA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu Abdul Majid, S.Kep., Ns., M.Kep

Oleh Kelompok 4:

Dira Dwiyuwindriani P07120521023


Dwi Suci Rhamdanita P07120521034
Moh. Firmansyah Rauf P07120521006
Nia Oktavia Sinaga P07120521021

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


2021
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala


karunia dan rahmat-Nya. Hanya dengan karunia-Nya penulisan makalah ini yang
berjudul Trauma Kepala dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ada beberapa
kendala yang menghambat terselesainya makalah ini diantaranya keterbatasan
pengetahuan serta sumber yang penulis miliki.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini tidak akan dapat diselesaikan
tanpa adanya bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah
ini
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca.
Semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Yogyakarta, 04 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Kosnsep Cedera Kepala................................................................................5
1. Definisi Cedera Kepala.............................................................................5
2. Klasifikasi Cedera Kepala.........................................................................6
3. Etiologi Cedera Kepala.............................................................................7
4. Patofisiologi...............................................................................................7
5. Manifestasi Klinis......................................................................................8
6. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................9
7. Penatalaksanaan.......................................................................................10
8. Komplikasi..............................................................................................11
9. Pencegahan..............................................................................................13
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Trauma Kepala...........15
1. Pengkajian...............................................................................................15
2. Diagnosa Keperawatan............................................................................17
3. Intervensi.................................................................................................22
4. Implementasi...........................................................................................34
5. Evaluasi...................................................................................................34
BAB III PENUTUP...............................................................................................35
A. Kesimpulan.................................................................................................35
B. Saran............................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan
utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih
dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatn di
rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera
kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping
penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap
tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya
meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara
atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan
pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-
anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda

1
2

keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah


kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan.
Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa;
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan
etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep cedera kepala?
b. Bagaimana konsep keperawatan pada klien dengan cedera kepala?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui konsep cedera kepala
b. Untuk mengetahui konsep keperawatan pada klien dengan cedera kepala
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kosnsep Cedera Kepala


1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kapala merupakan
cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak.
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka
di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan
kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian
dan selama transpotasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal
di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum
serta neurologis harus dilakukan secara serentak.Pendekatan yang
sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur
vital. Tingkat keparahan cedara kepala menjadi ringan segera di tentukan
saat pasien tiba di rumah sakit.
Trauma atau cedera kepala juga di kenal sebagai cedera otak
adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta
edema serebral di sekitar jaringan otak.
Cedera kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan
fungsi otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk).

3
4

Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan


pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan
otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio
batang otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur
tengkorak.
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek
langsung trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari
sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder).
a. Cedera primer
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan
atau hemoragi.
b. Cedera sekunder
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya
meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale (GCS) nya, yaitu:
a. Ringan
 GCS = 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Sedang
 GCS = 9 – 12
5

 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi


kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
 GCS = 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
3. Etiologi Cedera Kepala
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis
kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi,
kecepatan rendah), jatuh, pukulan benda tumpul, Sedangkan benda tajam
berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.
Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera
kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat
terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu
rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah
kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%)
pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi
standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala
menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah
atau helm dapat pecah dan melukai kepala.
4. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera
otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali
6

membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami
proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang
bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada
pada area cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila
trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit
kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah.
Karena perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), adapun, hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan
distribusi cedera otak.
a. Cedera kepala ringan
 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
7

 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah


tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari,
beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak
akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebingungan atau hahkan koma.
 Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
c. Cedera kepala berat
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya
cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
b. Angiografi cerebral
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu
pertumbuhan intrakranial hematoma.
c. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial,
edema kontosio dan pergeseran tulang tengkorak.
d. Pemeriksaan darah dan urine.
e. Pemeriksaan MRI
8

f. Pemeriksaan fungsi pernafasan


Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
7. Penatalaksanaan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu:
a. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-
Brething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan
cenderung memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk.
b. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama.
c. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
d. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok).
e. Pemberian pengobatan seperti: antiedemaserebri, anti kejang dan
natrium bikarbonat.
f. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti: scan tomografi, komputer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
9

c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal
yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability,
dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak.
8. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi
otak, komplikasi dari cedera kepala adalah;
a. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadaan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala.
10

Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih


banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu
darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama
fase akut.Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau
jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap.Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.Salah
satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian
obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena.Hati-hati terhadap efek pada
sistem pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan
irama pernafasan.
c. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak
boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di
bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
d. Hipoksia
e. Gangguan mobilitas
f. Hidrosefalus
g. Oedem otak
h. Dispnea
11

9. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu
tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang
berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor
yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas,
memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera
yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
 Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari
gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas
utama dari masalah yang lainnya.Beberapa kematian karena
masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali
masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster
maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas,
selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga
menutupi aliran udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung
juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
 Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
12

mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan


dapat menimbulkan kematian.
 Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat
yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat
dibalut dengan ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi
dengan pemberian cairan infus dan bila perlu dilanjutkan dengan
pemberian transfusi darah.Syok biasanya disebabkan karena
penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita
cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi
kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan tertier ini
penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita.Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik,
rehabilitasi psikologis dan sosial.
 Rehabilitasi Fisik
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
2) Perlengkapan splint dan caliper.
3) Transplantasi tendon
 Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima
ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan
rencana masa depannya.Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri
dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta
seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
13

 Rehabilitasi Sosial
1) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi
roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi
dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap
bantuan orang lain.
2) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi
dengan masyarakat).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Trauma Kepala


1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
 Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
 Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
 Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
 Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,
goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan
kehilangan tonus otot.
14

 Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan
aritmia.
 Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengar-an, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadaran, koma. Perubahan status mental
(orientasi,kewas-padaan, atensi dan konsentarsi) perubahan
pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur
(dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan
/gerakan.
 Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda.
O : Wajah menyeringai, merintih, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat, gelisah.
c. Pemeriksaan Penunjang
 CT Scan (tanpa/dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
 MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
 Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
 Sinar X
15

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran


struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya
fragmen tulang.

 GDA (Gas Darah Artery)


Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
2. Diagnosa Keperawatan
a. D.0005 Pola Napas Tidak Efektif
Definisi: Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat
Penyebab:
 Depresi pusat pernapasan
 Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot
pernapasan)
 Deformitas dinding dada.
 Deformitas tulang dada.
 Gangguan neuromuskular.
 Gangguan neurologis (mis elektroensefalogram [EEG] positif,
cedera kepala ganguan kejang).
 maturitas neurologis.
 Penurunan energi.
 Obesitas.
 Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
 Sindrom hipoventilasi.
 Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf CS ke atas).
 Cedera pada medula spinalis.
 Efek agen farmakologis.
 Kecemasan.
Gejalan dan Tanda Mayor:
Subjektif: Dispnea
16

Objektif:
 Penggunaan otot bantu pernapasan.
 Fase ekspirasi memanjang.
 Pola napas abnormal (mis. takipnea. bradipnea, hiperventilasi
kussmaul cheyne-stokes).
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif: Ortopnea
Objektif:
 Pernapasan pursed-lip.
 Pernapasan cuping hidung.
 Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
 Ventilasi semenit menurun
 Kapasitas vital menurun
 Tekanan ekspirasi menurun
 Tekanan inspirasi menurun
 Ekskursi dada berubah
b. D.0037 Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit.
Definisi: Berisiko mengalami perubahan kadar serum elektrolit
Faktor Risiko:
 Ketidakseimbangan cairan (mis. dehidrasi dan intoksikasi air)
 Kelebihan volume cairan
 Gangguan mekanisme regulasi (mis. diabetes)
 Efek samping prosedur (mis. pembedahan)
 Diare
 Muntah
 Disfungsi ginjal
 Disfungsi regulasi endokrin
Kondisi Klinis Terkait
 Gagal ginjal
 Anoreksia nervosa
 Diabetes melitus
17

 Penyakit Chron
 Gastroenteritis
 Pankreatitis
 Cedera kepala
 Kanker
 Trauma multipel
 Luka bakar
 Anemia sel sabit
c. D.0017 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif.
Definisi: Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak
Faktor risiko:
 Keabnormalan masa protrombin dan/atau masa tromboplastin
parsial
 Penurunan kinerja ventikel kiri
 Aterosklrosis aorta
 Diseksi arteri
 Fibrilasi atrium
 Tumor otak
 Stenosis karotis
 Miksoma atrium
 Aneurisma serebri
 Koagulopati (mis. anemia sel sabit)
 Dilatasi kardiomiopati
 Koagulasi (mis. anemia sel sabit)
 Embolisme
 Cedera kepala
 Hiperkolesteronemia
 Hipertensi
 Endokarditis infektif
 Katup prostetik mekanis
 Stenosis mitral
18

 Neoplasma otak
 Infark miokard akut
 Sindrom sick sinus
 Penyalahgunaan zat
 Terapi tombolitik
 Efek samping tindakan (mis. tindakan operasi bypass)
Kondisi Klinis Terkait
 Stroke
 Cedera kepala
 Aterosklerotik aortik
 Infark miokard akut
 Diseksi arteri
 Embolisme
 Endokarditis infektif
 Fibrilasi atrium
 Hiperkolesterolemia
 Hipertensi
 Dilatasi kardiomiopati
 Koagulasi intravaskular diseminata
 Miksoma atrium
 Neoplasma otak
 Segmen ventrikel kiri akinetik
 Sindrom sick sinus
 Stenosis karotid
 Stenosis mitral
 Hidrosefalus
 Infeksi otak (mis. meningitis, ensefalitis, abses serebri)
d. D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik.
Definisi: Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri
Penyebab
19

 Kerusakan integritas struktur tulang


 Perubahan metabolisme
 Ketidakbugaran fisik
 Penurunan kendali otot
 Penurunan massa otot
 Penurunan kekuatan otot
 Keterlambatan perkembangan
 Kekakuan sendi
 Kontraktur
 Malnutrisi
 Gangguan muskuloskeletal
 Gangguan neuromuskular
 Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
 Efek agen farmakologis
 Program pembatasan gerak
 Nyeri
 Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
 Kecemasan
 Gangguan kognitif
 Keengganan melakukan pergerakan
 Gangguan sensoripersepsi
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif: Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif
 Kekuatan otot menurun
 Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas saat bergerak
20

Objektif
 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah
Kondisi Klinis Terkait
 Stroke
 Cedera medula spinalis
 Trauma
 Fraktur
 Osteoarthirtis
 Ostemalasia
 Keganasan
3. Intervensi
N
SDKI SLKI SDKI
O
1 D.0005 Pola Napas Pola Nafas Membaik Pemantauan Respirasi
Tidak Efektif (L.01004) (I.01014)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan  Monitor frekuensi, irama,
inspirasi dan/atau ekspirasi kedalaman, dan upaya
yang memberikan ventilasi napas
adekuat membaik dengan  Monitor pola napas
kriteria hasil : (seperti bradipnea,
a. Disspnea menurun (5) takipnea, hiperventilasi,
b. Penggunaan otot bantu Kussmaul, Cheyne-Stokes,
napas menurun (5) Biot, ataksik0
c. Pemanjangan fase  Monitor kemampuan batuk
ekspirasi menurun (5) efektif
d. Ortopnea menurun (5)  Monitor adanya produksi
e. Pernapasan pursed-lip sputum
menurun (5)  Monitor adanya sumbatan
f. Pernapasan cuping jalan napas
hidung menurun (5)  Palpasi kesimetrisan
g. Ventilasi semenit ekspansi paru
meningkat (5)  Auskultasi bunyi napas
h. Kapasitas vital  Monitor saturasi oksigen
meningkat (5)  Monitor nilai AGD
i. Diameter thorax  Monitor hasil x-ray toraks
21

anterior-posterior Terapeutik
meningkat (5)  Atur interval waktu
j. Tekanan ekspirasi pemantauan respirasi
meningkat (5) sesuai kondisi pasien
k. Tekanan inspirasi  Dokumentasikan hasil
meningkat (5) pemantauan
l. Frekuensi napas Edukasi
membaik (5)  Jelaskan tujuan dan
m. Kedalaman napas prosedur pemantauan
membaik (5)  Informasikan hasil
n. Ekskursi dada membaik pemantauan, jika perlu
(5)
Menejemen Jalan Napas
(I.01011)
Observasi
 Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
 Monitor bunyi napas
tambahan (mis. Gurgling,
mengi, weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum (jumlah,
warna, aroma)

Terapeutik
 Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan head-
tilt dan chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma
cervical)
 Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda
padat dengan
forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
22

 Anjurkan asupan cairan


2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.
2 D.0037 Risiko Keseimbangan Elektrolit Pemantauan Elektrolit
Ketidakseimbangan (L.03021) (I.03122)
Elektrolit. Setelah dilakukan intervensi Observasi
keperawatan diharapkan  Identifkasi kemungkinan
kadar serum elektrolit dalam penyebab
batas normal meningkat, ketidakseimbangan
dengan kriteria hasil: elektrolit
a. Serum natrium membaik  Monitor kadar eletrolit
(5) serum
b. Serum kalium membaik  Monitor mual, muntah dan
(5) diare
c. Serum klorida membaik  Monitor kehilangan cairan,
(5) jika perlu
d. Serum kalsium membaik  Monitor tanda dan gejala
(5) hypokalemia (mis.
e. Serum magnesium Kelemahan otot, interval
membaik (5) QT memanjang,
f. Serum fosfor membaik gelombang T datar atau
(5) terbalik, depresi segmen
ST, gelombang U,
kelelahan, parestesia,
penurunan refleks,
anoreksia, konstipasi,
motilitas usus menurun,
pusing, depresi
pernapasan)
 Monitor tanda dan gejala
hyperkalemia (mis. Peka
rangsang, gelisah, mual,
munta, takikardia
mengarah ke bradikardia,
fibrilasi/takikardia
ventrikel, gelombang T
tinggi, gelombang P datar,
kompleks QRS tumpul,
blok jantung mengarah
23

asistol)
 Monitor tanda dan gejala
hipontremia (mis.
Disorientasi, otot berkedut,
sakit kepala, membrane
mukosa kering, hipotensi
postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)
 Monitor tanda dan gejala
hypernatremia (mis. Haus,
demam, mual, muntah,
gelisah, peka rangsang,
membrane mukosa kering,
takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
 Monitor tanda dan gejala
hipokalsemia (mis. Peka
rangsang, tanda
IChvostekI [spasme otot
wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram
otot, interval QT
memanjang)
 Monitor tanda dan gejala
hiperkalsemia (mis. Nyeri
tulang, haus, anoreksia,
letargi, kelemahan otot,
segmen QT memendek,
gelombang T lebar,
kompleks QRS lebar,
interval PR memanjang)
 Monitor tanda dan gejala
hipomagnesemia (mis.
Depresi pernapasan,
apatis, tanda Chvostek,
tanda Trousseau, konfusi,
disritmia)
 Monitor tanda dan gejala
hipomagnesia (mis.
Kelemahan otot,
hiporefleks, bradikardia,
depresi SSP, letargi, koma,
depresi)
Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
24

kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

Manajemen Cairan (I.03098)


Observasi
 Monitor status hidrasi
(mis, frek nadi, kekuatan
nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan
mukosa, turgor kulit,
tekanan darah)
 Monitor berat badan harian
 Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, Cl,
berat jenis urin, BUN)
 Monitor status
hemodinamik (Mis. MAP,
CVP, PCWP jika tersedia)
Terapeutik
 Catat intake output dan
hitung balans cairan dalam
24 jam
 Berikan asupan cairan
sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena
bila perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu

3 D.0017 Risiko Perfusi Serebral (L.02014) Manajemen Peningkatan


Perfusi Serebral Setelah dilakukan intervensi Tekanan Intrakranial
Tidak Efektif. keperawatan diharapkan (I.06198)
keadekuatan aliran darah Observasi
serebral untuk menunjang  Identifikasi penyebab
fungsi otak meningkat, peningkatan TIK (mis.
25

dengan kriteria hasil: Lesi, gangguan


a. Tinkat kesdaran metabolisme, edema
meningkat (5) serebral)
b. Kognitif meningkat (5)  Monitor tanda/gejala
c. Tekanan intracranial peningkatan TIK (mis.
menurun (5) Tekanan darah meningkat,
d. Sakit kepala menurun (5) tekanan nadi melebar,
e. Gelisah menurun (5) bradikardia, pola napas
f. Kecemasan menurun (5) ireguler, kesadaran
g. Agitasi menurun (5) menurun)
h. Demam menurun (5)  Monitor MAP (Mean
i. Nilai rata-rata tekanan Arterial Pressure)
darah membaik (5)  Monitor CVP (Central
j. Kesadaran membaik (5) Venous Pressure), jika
k. Tekanan darah sistolik perlu
membaik (5)  Monitor PAWP, jika perlu
l. Tekanan darah diastolic  Monitor PAP, jika perlu
membaik (5)  Monitor ICP (Intra Cranial
m. Refleks saraf membaik Pressure), jika tersedia
(5)  Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output
cairan
 Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari maneuver Valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
 Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
26

 Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu

Pemantauan Tekanan
Intrakranial (I.06198)
Observasi
 Observasi penyebab
peningkatan TIK (mis.
Lesi menempati ruang,
gangguan metabolism,
edema sereblal,
peningkatan tekanan vena,
obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi
intracranial idiopatik)
 Monitor peningkatan TD
 Monitor pelebaran tekanan
nadi (selish TDS dan
TDD)
 Monitor penurunan
frekuensi jantung
 Monitor ireguleritas irama
jantung
 Monitor penurunan tingkat
kesadaran
 Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
 Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalm rentang
yang diindikasikan
 Monitor tekanan perfusi
serebral
 Monitor jumlah,
kecepatan, dan
karakteristik drainase
cairan serebrospinal
 Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
27

 Ambil sampel drainase


cairan serebrospinal
 Kalibrasi transduser
 Pertahankan sterilitas
system pemantauan
 Pertahankan posisi kepala
dan leher netral
 Bilas sitem pemantauan,
jika perlu
 Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

4 D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) DUKUNGAN AMBULASI


Mobilitas Fisik. Setelah dilakukan intervensi (I.06171)
keperawatan diharapkan Observasi
kemampuan dalam gerakan  Identifikasi adanya nyeri
fisik dari satu atau lebih atau keluhan fisik lainnya
ekstremitas secara mandiri  Identifikasi toleransi fisik
meningkat, dengan kriteria melakukan ambulasi
hasil:  Monitor frekuensi jantung
a. Pergerakan ekstremitas dan tekanan darah sebelum
meningkat (5) memulai ambulasi
b. Kekuatan otot meningkat  Monitor kondisi umum
(5) selama melakukan
c. Rentang gerak (ROM) ambulasi
meningkat (5) Terapeutik
d. Nyeri menurun (5)  Fasilitasi aktivitas
e. Kecemasan menurun (5) ambulasi dengan alat bantu
f. Kaku sendi menurun (5) (mis. tongkat, kruk)
g. Gerakan tidak  Fasilitasi melakukan
tekoordinasi menurun (5) mobilisasi fisik, jika perlu
h. Gerakan terbatas  Libatkan keluarga untuk
menurun (5) membantu pasien dalam
i. Kelemahan fisik meningkatkan ambulasi
menurun (5) Edukasi
28

 Jelaskan tujuan dan


prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)

4. Implementasi
Untuk tindakan keperawatan dilakukan tindakan ganti balut setiap
hari, namun ada beberapa kebiasaan yang perlu diperbaiki, misalnya
minimnya peralatan, seringnya tindakan dilakukan oleh beberapa perawat/
praktikan secara bergantian, sehingga resiko infeksi semakin besar.
Kemudian ada juga perawat/ praktikan yang melakukan ganti balut tanpa
komunikasi terapeutik dengan keluarga atau klien dan tanpa prosedur yang
benar.
Seharusnya tindakan ganti balut dilakukan sesuai prosedur yang
benar yaitu meliputi persiapan alat, prosedur tindakan, komunikasi
terapeutik dan menggunakan prinsip steril.
5. Evaluasi
Pada dasarnya evaluasi bisa didokumentasikan meskipun tanpa
data subyektif, namun akan lebih baik dan akurat bila muncul data
subyektif langsung dari respon klien.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transpotasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung
trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari sel-sel otak
yang bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder). Trauma kepala
diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS) nya, yaitu:
ringan, sedang dan berat. Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya
adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan
yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.

B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi
makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, Berman dan Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis.
Edisi 5. Jakarta: EGC
Sylvia, Price dan Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, dan Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Alih bahasa: Kuncara. Jakarta: EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Publishing
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing
Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical
surgical Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai