Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CIDERA KEPALA

DISUSUN OLEH:
TESALONIKA ARUPERES (2114201146)
A3 KEPERAWATAN
DOSEN PENGAMPUH:Ns.Marlyn Pondete S.Kep., M.Kes

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bias selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Askep Keperawatan Kegawatdaruratan II.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Saya sadar makalah ini belum
sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat dibutuhkan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis Pada cederah kepala
D. Patofisiologi
E. Komplikasi
F. Pemeriksaan Diagnostik
G. Penatalaksanaan Cederah Kepala
BAB II Asuhan Keperawatan Cederah Kepala
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Implementasi Keperawatan
D. Intervensi keperawatan
.
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama
pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000
mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatn di rumah sakit, dua
pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai
signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi
kejadian dan selama transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di
ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya.Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan
kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami
cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia
dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan menunjukkan
bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak adalah
karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras.Penyebab
cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan
bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena
trauma kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan
kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh
jatuh pada usia >45 tahun.
RUMUS MASALAH
Apa pengertian dari cedera kepala?
Bagaimana etiologi dari cedera kepala?
Bagaimana patofisiologi cedera kepala?
Bagaimana manifestasi klinis dari cedera kepala?
Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan cedera kepala?
Bagaimana penatalaksanaancedera kepala?
Bagaimana komplikasi cedera kepala?

TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui pengertian cedera kepala.
Untuk mengetahui etiologi cedera kepala.
Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala.
Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera kepala.
Untuk mengetahui pemeriksaaan penunjang cedera kepala.
Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepala.
Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala.
A. DEFINISI
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanen (Riskesdas, 2013).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2010).
Menurut Hudak dan Gallo (2010) cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008)

ETIOLOGI
a)Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b)Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan
cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer, cerebral, batang otak atau keduanya (Wijaya, 2013).
TANDA DAN GEJALA
Gejala cedera kepala ringan dapat berupa adanya benjolan atau pembengkakan di
area kepala, luka, atau memar di kulit kepala, pusing dan sakit kepala, mengalami
kebingungan dan sulit berkonsentrasi, keseimbangan terganggu, penglihatan
kabur, telinga berdenging, dan mudah lelah.

PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik.Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang
bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang
sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi
pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah.
Karena perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler,
serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
a)Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill
haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan,
hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan
mata dan vertigo.
b)Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5 menit,
amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat
adalah sebagai berikut :
1)Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau cepat.
2)Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalam pupil.
PATHWAY
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a)CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b)Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c)X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d)Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e)Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
f)MRI (Magnetic Resonance Imaging): untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
g)EEG (elektro ensefalogram): mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.
h)BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory
Evoked Potensial): pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu
menegakan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan
pemulihan fungsional yang bermakna.
PENATALAKSANAAN
a)Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain: A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/
environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis
otak. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari
ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan
mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya
dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita
sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea.
KOMPLIKASI
a)Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing.
b)Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak
untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari
fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar
bagian petrous dari tulang temporal.

c)Kerusakan saraf cranial


1)Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika
total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2)Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma).
Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan,
dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam
waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi
papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
3)Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4)Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya
pada sisi yang mengalami kerusakan.
5)Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan
nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf.
Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut
umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
e)Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di
batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak,
empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
f)Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
g)Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat
didengar pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan
pembengkakan konjungtiva diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
h)Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul
dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PENGKAJIAN
Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian
psikososial (Muttaqin, 2008).
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri kepala hebat, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh).
Sedangkan menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala
dapat dilakukan primary dan secondary survei. Yaitu sebagai berikut :
1) Primary Survey
a) Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
• L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi
sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
• L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
• F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan
pipi perawat
b) Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
c) Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga
kondisi akral dan nadi pasien.
d) Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.
Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.
• A = Alert: Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
• V = Verbal: Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras
di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
• P = Pain: Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah
adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat
juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas
mata (supra orbital).
• U = Unresponsive: Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak
bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
e) Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.

2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
• Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
• Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
• Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

PEMERIKSAAN FISIK
1)Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008).
2)Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a)Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia.
b)Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
c)Telinga: periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum.
d)Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e)Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
f)Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
3)Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4)Toraks
a)Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b)Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c)Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d)Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub).
5)Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam
status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan
neurologis inspeksi adanya kejang, atau twitching, dan parese, bahkan hemiplegi
atau hemiparese (gangguan pergeraka), distaksia (kesuakan dalam
mengkoordinaskan otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada
kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila
ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah
syaraf (Satyanegara, 2010).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a)Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
b)Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
c)Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan.
d)Pola nafas tidak efektif b/d hiperventilasi dan nyeri
e)Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuluskeletal

INTERVENSI KEPERAWARAN

N DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA INTERVENSI


O KEPERAWATAN HASIL KEPERAWATAN
1 Risiko perfusi Setelahdilakukan Observasi:
serebral tidak efektif intervensi keperawatan 1)Identifikasi penyebab
b/d penurunan suplai selama 1x24 jam maka peningkatan TIK
darah dan oksigen ke resiko perfusi jaringan 2)Monitor tanda/gejala
jaringan oksigen. serebral membaik dengan peningkatan TIK
kriteria hasil: 3)Monitor status
•Tingkat kesadaran pernapasan
meningkat 4)Monitor intake dan
•Sakit kepala menurun output cairan
•Gelisah menurun Teraupetik:
5)Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
6)Berikan posisi semi
fowler
7)Pertahankan suhu
tubuh normal
Kolaborasi:
8)Kolaborasi
pemberian sedasi dan
anti konvulsan jika
perlu
9) Kolaborasi
pemberian diuretic
osmosis jika perlu
2 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan Observasi:
cidera biologis intervensi keperawatan 1)Identifikasi skala
selama 1x24 jam, maka nyeri
nyeri akut membaik 2)Identifikasi respon
dengan kriteria hasil: nyeri non verbal
•Keluhan nyeri menurun 3)Identifikasi faktor
•Meringis menurun yang memperberat dan
•Gelisah menurun memperingan nyeri
•Kesulitan tidur menurun Teraupetik:
4)Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
5)Fasilitasi istirahat
dan tidur
Edukasi:
6)Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
Kolaborasi:
7)Kolaborasi
pemberian analgetik
jika perlu
3 Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan Observasi:
ketidakmampuan intervensi Keperawatan 1)Monitor asupan dan
menelan makanan. selama 1x24 jam maka keluarnya makanan dan
resiko defisit nutrisi cairan serta kebutuhan
membaik dengan kriteria kalori
hasil: Teraupetik:
•porsi makanan yang 2)Timbang berat badan
dihabiskan meningkat secara rutin
•perasaan cepat kenyang 3)Diskusikan perilaku
menurun makan dan jumlah
•berat badan membaik aktivitas fisik
•nafsu makan membaik Edukasi:
4)Ajarkan pengaturan
diet yang tepat
5)Ajarkan keterampilan
koping untuk
penyelesaian masalah
perilaku makan
Kolaborasi:
6)Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang target
berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan
makanan
4 Pola nafas tidak Setelah dilakukan Observasi:
efektif b/d intervensi Keperawatan 1)Identifikasi pola
hiperventilasi dan selama 1x24 jam maka nafas
nyeri pola nafas membaik 2)Monitor input dan
dengan kriteria hasil: output cairan
•pernafasan dalam batas Teraupetik:
normal 3)Atur posisi semi
•tidak ada penggunaan oto fowler
bantu untuk bernafas Edukasi:
4)Anjurkan tarik nafas
dalam melalui hidung
selama 4 detik
Kolaborasi:
5)Kolaborasi
pemberian terapi
5 Defisit perawatan Tujuan dan Kriteria hasil Observasi:
diri b/d gangguan (SLKI): 1)Identifikasi
muskuluskeletal Setelah dilakukan kebiasaan aktivitas
intervensi keperawatan perawatan diri sesuai
selama 1x24 jam maka usia
defisit perawatan diri 2)Monitor tingkat
membaik dengan kriteria kemandirian
hasil: Teraupetik:
•Kemampuan mandi 3)Sediakan lingkungan
meningkat yang teraupetik
•Kemampuan mengenakan 4)Damping dalam
pakaian meningkat melakukan perawatan
•Kemampuan makan diri sampai mandiri
meningkat
•Kemampuan toilet Edukasi:
(BAB/BAK) meningkat 5)Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan
IMPLEMENTASI
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah & Walid, 2012).
Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang bantuan situasi yang
membutuhkan tambahan beragam mengimplementasikan intervensi keperawatan
dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif, interpersonal dan psikomotor
(tekhnis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien cedera cedera
kepala, pada prinsipnya adalah menganjurkan pasien untuk banyak minum,
mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan,
mengajarkan Teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri.
Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam
catatann keperawatan secara lengkap yaitu: jam, tanggal, jenis tindakan, respon
pasien dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.

6. EVALUASI
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah &
Walid, 2012).
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan
apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan
untuk meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi
keberhasilan rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara
subjektif oleh klien dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial &
gangguan peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Ganong, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh: 1 Made
Kariasa, Dkk). Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafa. Jakarta: Salemba Medika.
RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Dan Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4.
Jakarta: Media Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai