Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah
kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif.
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan
atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung
ataupun tidak langsung, dimana kerusakan tersebut bersifat non-
degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar
sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun psikososial serta
berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik
permanen ataupun temporer (PERDOSSI, 2006).
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun
di Amerika Serikat. Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala
tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun dengan insidens sebanyak
32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas
(bermotor) di mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan
20 juta cedera.
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis
adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Insiden
trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di
RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu
perawatan. Trauma kapitis memiliki dampak emosi, psikososial, dan
ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah
sakit membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang
sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21
ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma
2

kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat
dalam jumlah yang sama. Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini
belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa rumah sakit (sporadis).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa Pengertian Trauma Kapitis?
2. Apa Penyebab atau Etiologi Trauma Kapitis?
3. Tanda dan Gejala Trauma Kapitis?
4. Bagaimana Patofisiologi Trauma Kapitis?
5. Apa saja komplikasi Trauma Kapitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan Trauma Kapitis?
7. Apa sajakah pemeriksaan diagnostik yang dilakukan?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pengertian Trauma Kapitis
2. Untuk mengetahui Penyebab atau Etiologi dari Trauma Kapitis
3. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Trauma Kapitis
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Trauma Kapitis
5. Untuk mengetahui Komplikasi Trauma Kapitis
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Trauma Kapitis
7. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostic Trauma Kapitis
3

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN TRAUMA CAPITIS


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa
(trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan
kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak
(Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).

TK adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta
organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-
degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar
→ timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan
dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran (Dawodu, 2003;
Sutantoro, 2004).

2.2 ETIOLOGI TRAUMA CAPITIS


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala
primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup
4

fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala
dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral
yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu
kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio “coup”, diseberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.
Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah
akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup,
dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup

2.3 TANDA DAN GEJALA


 Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.

 Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.

 Pusing.

 Kehilangan keseimbangan.

 Mual atau muntah.

 Mudah merasa lelah.

 Mudah mengantuk dan tidur melebihi biasanya.

 Sulit tidur.

 Sensitif terhadap cahaya atau suara.

 Penglihatan kabur.
5

 Telinga berdenging.

 Kemampuan mencium berubah.

 Mulut terasa pahit.

 Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi.

 Merasa depresi.

 Perubahan suasana hati.

Sedangkan pada penderita cedera kepala sedang hingga berat, berikut ini
adalah gejala yang dapat dialami:

 Kehilangan kesadaran selama hitungan menit hingga jam.

 Pusing hebat secara berkelanjutan.

 Mual atau muntah secara berkelanjutan.

 Kehilangan koordinasi tubuh.

 Kejang.
 Pelebaran pupil

 Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga.

 Tidak mudah bangun saat tidur.

 Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku.

 Merasa sangat bingung.

 Perubahan perilaku secara intens.

 Cadel saat berbicara.

 Koma.
Pada anak-anak, berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat
menunjukkan kemungkinan terjadinya cedera kepala:

 Menangis secara terus-menerus.


6

 Mudah merasa jengkel.

 Perubahan dalam nafsu makan.

 Tidak mudah berkonsentrasi.

 Pola tidur berubah.

 Sering merasa sedih atau depresi.

 Tidak ingin bermain, meskipun itu permainan kesukaannya.

2.4 PATOFISIOLOGI
Cidera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung ataupun tidak
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cidera otak fokal atau difus
dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Cidera fokal dapat
menyebabkan memar otak, hematome epidural, subdural dan intraserebral.
Cidera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak
atau cedera struktural yang difus.

Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.


Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar,
akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut
“coup” atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (countre
coup).

Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem


yang dapat menyebabkan herniasi jaringan otak melalui foramen magnum,
sehingga jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau
perdarahan dan kemudian meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan
glukosa. Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan
glukosa, yang terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat
kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah ke otak yang menurun,
misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin
7

bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak
terganggu sehingga oksigenisasi cukup.1

2.5 KOMPLIKASI
1. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah
7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom
(subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri,
GCS <10.
2. Demam dan mengigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan
kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat
kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan
asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan
hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
3. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder
akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai
dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan
miksi.
4. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas
pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan
fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen,
tizanidin, botulinum, benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
8

sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi


sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
6. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan
fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons
Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan
kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %,
gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%.
Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80%
pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori,
2.6 PENATALAKSANAAN

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan


membuat luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk
mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum
laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis
(ringan, sedang, berat) berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien


meliputi tindakan seperti berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari
debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, mempertahankan
tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang collar
cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di
intubasi.
9

b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien


bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2.
Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.
Memasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum
95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam
atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa
CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka
pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak
mentolerir hipotensi. Menghentikan semua perdarahan dengan
menekan arterinya. Memperhatikan adanya cedera intra
abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur
intravena yg besar dan memberikan larutan koloid sedangkan
larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi
umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan
setelah kondisi pasien stabil.
a. Laboratorium
 Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit,
ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, analisa gas darah
dan elektrolit
 Urin: perdarahan (+/-)
 Radiologi
 Foto polos kepalaAP/lateral
 CT scan kepala
 Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
b. Manajemen terapi
 Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai
indikasi
10

 Siapkan untuk masuk ruang rawat


 Penanganan luka luka
 Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:

a. Lanjutkan penanganan ABC


b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai
pasien sedar (pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan
sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai
berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38˚C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial
dengan cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu ½
4. jam-1jam, drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis
0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam dari
pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-
1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama.
5. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi
jangka pendek
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOTIC
1. Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simple,
depresi, kommunit), fragman tulang.
2. Foto servikal : mengetahui adanya fraktur sevikal
3. CT. Scan : kemungkinan adanya subdural hematom, intraserebral
hamtom, keadaan ventrikel
4. MRI : CT Scan
5. EEG
11

6. lumbal puncti
7. Pemeriksaan darah : Hb, Ht, trombosit, elektrolit

2.8 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:
a) General Impressions
 Kondisi secara umum GCS 9 (apatis)
 Keluhan utama tiba-tiba merasa sesak, dada terasa nyeri,
tangan kiri dan kaki kiri terasa lemas.
 Pasien mengalami disorientasi waktu, tempat dan orang
b) Pengkajian Airway
 Pada saat dikaji kepatenan jalan nafas pasien. Pasien tidak
dapat berbicara dan gangguan bernafas?
 Terdapat tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada
pasien antara lain: Agitasi (hipoksia), Penggunaan otot bantu
pernafasan dan Sianosis
 Look dan listen tidak terbukti adanya masalah pada saluran
napas bagian atas.
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Pada saat di inspeksi terdapat : cyanosis, menggunakan otot
aksesoris saat bernafas, nafas dangkal.
 Pada saat di palpasi terdapat : nadi perifer lemah, peningkatan
nadi jugularis.
 Tidk ada suara nafas abnormal
 Pada saat diobservasi pergerakan dinding dada, pasien
menggunakan otot aksesoris saat bernafas
 nafas dangkal
d) Pengkajian Circulation
 Cek nadi tekanan nadi teraba lemah
12

 Tidak ada perdarahan


 Warna kulit pucat atau sianosis, Punggung kuku: pucat
sianotik dan pengisian kapiler lambat >2 detik
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
A : Alert perintah yang diberikan
V : Vocalises, mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
P : responds to pain only , ekstremitas gagal merespon
U : Unresponsive to pain, hanya merespon pada stimulus nyeri.
f) Expose, Examine dan Evaluate
 Tidak ada kelainan pada kepala, terdapat pembesaran JVP,
terdapat edem ekstremitas
 Pasien tampak gelisah
a. Anamnesa Riwayat Kesehatan / Secondary Assessment
1. Deskripsi riwayat kesehatan sekarang
2. Deskripsi riwayat kesehatan lalu
mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan belum pernah
berobat ke tenaga medis.
3. Deskripsi riwayat kesehatan keluarga
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
2. Resiko penurunan curah jantung
13

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Cedera kepala (trauma kepala) adalah kondisi dimana struktur
kepala mengalami benturan dari luar dan berpotensi menimbulkan
gangguan pada fungsi otak. Beberapa kondisi pada cedera kepala meliputi
luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak, perdarahan, dislokasi, patah
tulang tengkorak dan gegar otak, tergantung dari mekanisme benturan dan
parahnya cedera yang dialami. Berdasarkan tingkat keparahannya, cedera
kepada dibagi menjadi tiga, yaitu cedera kepala ringan, sedang, dan berat.
Cedera kepala ringan dapat menyebabkan gangguan sementara pada fungsi
otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau kesulitan
mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala sedang juga dapat
mengalami kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih lama
Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.

 Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.

 Pusing.

 Kehilangan keseimbangan.

 Mual atau muntah, dll

3.2 SARAN
Saran kami dalam penulisan makalah ini ialah agar mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami tentang Trauma Capitis . Makalah ini mencakup
Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Gambaran Klinis, Pemeriksaan Penunjang,
Penatalaksanaan.. Namun demikian, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca atas kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini demi untuk kesempurnaan makalah berikutnya.
14

DAFTAR PUSTAKA

Budi, R. (2005). Profil penderita cedera kepala di unit gawat darurat (ugd) sebuah
rumah sakit di jakarta, januari - juni 2005.

keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan


pasien edisi 3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai