Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

REPRODUKSI II
PERDARAHAN POST PARTUM

Dosen Pembimbing:

Disusun Oleh : Kelompok 2

1. Ahmad Beby waluyo (153210002)


2. Bagong Wijaya (153210006)
3. Dewi nur halimah (153210010)
4. Fathiatun ni’mah (153210015)
5. Iklimatul Arifa (153210019)
6. Malihatun magfiroh (153210023)
7. Nadia anastacia O (153210029)
8. Reny Ariska (153210033)
9. Wheny Amalia (153210040)
10. Zulikatul Hidayah (153210044)

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Askep Reproduksi II yang berjudul
“PERDARAHAN POST PARTUM”
Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini . Adapun ucapan terima kasih kami
tunjukkan kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Bapak dr. Haryono Selaku Ketua STIKES Insan Cendekia Medika Jombang
yang telah memberi izin dan fasilitas sehingga Makalah ini dengan baik .
2. Ibu Arum Dwi Ningsi,S.Kep,.Ns Selaku Pembimbing akademik kelas 4A S1
Keperawatan yang telah memberikan bimbingan berupa moral maupun moril.
3. Ibu Hindya ikke selaku dosen mata kuliah system Reproduksi 2 yang telah
memberi inspirasi dan membimbing dalam pembuatan makalah ini
4. Orang Tua kami yang senantiasa mendukung dan mendoakan kami.
5. Pihak-pihak yang tidak bisa disebut satu persatu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, pembahasan ataupun penulisannya. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang sifatnya membangun. Sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Jombang, 5 November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi dan fisiologi muskuloskeletal ....................................... 3
2.2 Pengertian.................................................................................... 4
2.3 Etiologi ....................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi ............................................................................... 6
2.5 Pathway ........................................................................................ 7
2.6 Manifestasi Klinik ...................................................................... 8
2.7 Pemeriksaan penunjang .............................................................. 8
2.8 Penatalaksanaan Medis ................................................................ 10
2.9 Komplikasi ................................................................................. 12
BAB 3 KONSEP ASKEP
3.1 Pengkajian.................................................................................... 13
3.2 Diagnosa Keperawatan................................................................. 16
3.3 Intervensi...................................................................................... 17
3.4 Implementasi............................................................................... . 19
3.5 Evaluasi....................................................................................... . 20
BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 15
3.2 Saran ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua
wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang,
perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-
mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional
Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan
post partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3
peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan
hipertensi. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000
wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari
kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000
kematian matenal tiap tahunnya.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL
setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal.
Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan
post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai
perdarahan post partum sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di
R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di
negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai
15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %),
sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %),
kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan
(2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
A. Apa Pengertian dari Perdarahan Post Partum ?
B. Bagaimana etiologi Perdarahan Post Partum ?
C. Bagaimana patofisiologi Perdarahan Post Partum ?
D. Bagaimana klasivikasi dari Perdarahan Post Partum ?
E. Bagaimana manifestasi klinik dari Perdarahan Post Partum ?
F. Bagaimana pemeriksaan komplikasi dari Perdarahan Post Partum ?
G. Bagaimana penatalaksanaan dari Perdarahan Post Partum ?
H. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Perdarahan Post Partum ?

1.3 TUJUAN
a. Umum
Agar mahasiswa mengetahui sekaligus memahami tentang Perdarahan Post
Partum .
b. Khusus
(1) Mahasiswa dapat mengetahuai Pengertian dari Perdarahan Post Partum .
(2) Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari Perdarahan Post Partum .
(3) Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinik dari Perdarahan Post Partum
(4) Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi dari Perdarahan Post Partum
(5) Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi dari Perdarahan Post Partum
(6) Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Perdarahan Post Partum
(7) Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksaan klien dengan Perdarahan Post
Partum
(8) Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dari Perdarahan Post
Partum .
BAB II
TINJAUAN MATERI
2.1 DEFINISI
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau post partum
haemorrhage (PPH) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500cc atau lebih yang
terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca persalinan adalah
perdarahan 500cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir. Menurut waktu
terjadinya dibagi atas dua bagian:
a. Perdarahan post partum primer/ Perdarahan Post Partum Dini (early postpartum
hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan post partum sekunder/ Perdarahan pada Masa Nifas (late postpartum
hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifes).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8
%. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan
pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(3)
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian
maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya
layanan transfusi, kurangnya layanan operasi(2,4)

2.3 KLASIFIKASI
Berdasarkan onset perdarahan, diklasifikasikan menjadi perdarahan postpartum dini dan
lanjut.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage)
yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
Klasifikasi berdasarkan tanda dan gejala klinis sebetulnya bersesuaian dengan persentase
volume kehilangan darah
Klinis Tekanan darah Defisit Volume
% Cc
Palpitasi, takikardi, dizziness Normal 10-15 500-1000
Lemah, takikardia, berkeringat Menurun 15-20 1000-1500
Gelisah, pucat, oligouria 70-80 20-25 1500-2000
Pingsan, anuria, takipneu 50-70 25-30 2000-2500

2.4 ETIOLOGI
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum,
faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T (Tonus. Tissue,
Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan oleh atonia uteri,
sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa plasenta; trauma
disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta trombin biasanya akibat
kelainan pembekuan darah. Berikut tabel dan masing-masing pembahasannya:
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
- Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek. Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir Lemah
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera tidak berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta
pada uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

1. Tonus
Salah satu etiologi perdarahan post partum adalah tonus, dimana yang
menjadi penyebab terbanyak dari tonus adalah ketidakmampuan dari tonus otot
uterus untuk berkontraksi atau lebih dikenal dengan atonia uteri. Atonia uteri
adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil
sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol
oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri
terjadi ketika miometrium tidak dapat berkontraksi.(10)
Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada
palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.(1)
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum. Disamping
menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan
infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak
bisa menyebabkan "Sindroma Sheehan” yang terjadi tidak lama sesudah persalinan
sebagai akibat syok karena perdarahan. Hipofisis berinvolusi sesudah persalinan
dan diduga bahwa pengaruh syok pada hipofisis yang sedang dalam involusi dapat
menimbulkan nekrosis pada pars anterior. Gejala-gejala sindrom Sheehan antara
lain astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan
kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan
rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi.(1)
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko
mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan
ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal
hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan
plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun
sesudah plasenta lahir.(10)
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena
persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan
stimulasi. Hal ini dapal pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang
disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat
anti inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis.
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire
pada abruptio plasenta dan hipolermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grande multiparitas bukan merupakan faktor resiko
independen untuk terjadinya perdarahan post partum.(1,10)
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta akreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal ini
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas
dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali maka tidak terjadi perdarahan, tapi
apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
- Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva).
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis korialis menembus
desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum. Menurut tingkat
perlekatannya dibagi menjadi :
1. Plasenta Adhesiva : Plasenta yang menempel pada desidua endometrium.
2. Plasenta Inkreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus sampai ke
miometrium uterus.
3. Plasenta Akreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus desidua basalis
sampai ke miometrium sedikit dibawah desidua.
4. Plasenta Parkreta : Plasenta yang mencapai lapisan serosa dinding uterus
atau peritoneum.
5. Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta dalam cavum uteri karena
atonia uteri.

Gambar 1. Plasenta Perkreta-Akreta-Inkarserata


Dikutip dari kepustakaan no 11

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus
yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang
tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.(10,13,14)
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya massa uterus yang
echogenic yang mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan
jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum
hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi
dan kuretase.(3,15)
3. Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir:
(16,17)

- Robekan Perineum
- Ruptur uterus
- Inversi uterus
- Perlukaan jalan lahir
- Vaginal hematom
Robekan perineum dibagi atas 4 tingkat, yaitu (18)
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina atau tanpa mengenai
kulit perineum.
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinei
transversalis tetapi tidak mengenai sfingter ani.
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani.
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum.
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, fektor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya,
dan persalinan dengan induksi oxytosin. Rupture uterus sering terjadi akibat
jaringan parut sectio secarea sebelumnya.(10)
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya
terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan
bayi besar, terminasi kehamilan dengan vakum atau ekstraksi forcep, walau begitu
laserasi bisa teijadi pada sembarang persalinan.(10,12)
Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat menjadi
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok.(10,14)
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai
arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan
episiotomi.(13)
Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada
perdarahan dari laserasi ataupun episiotomi. Ketika laserasi serviks atau vagina
diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.(2,19)
Pada inversio uteri bagian alas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi
tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat
dibagi:(2,3,17)
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang
tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan
plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok
perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III
atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang
lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan
keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin
memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.(10)
4. Thrombin / Kelainan Pembekuan Darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa:
- Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan karena
defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta, kematian hasil
konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air ketuban, sepsis, dan
eklampsia.(2)
- Trombositopeni, kurangnya jumlah trombosit pada darah atau trombositopenia
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya PPH, 3% dari kasus PPH
karena trombositopenia disebabkan oleh ITP.
 Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
ITP merupakan suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau
ekimosis di kulit/selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan
jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui, lebih sering terjadi
pada wanita. ITP merupakan penyulit yang jarang dijumpai dalam
kehamilan. Diagnosis dapat dibuat apabila ada purpura pada kulit, uji
tourniquet positif, jumlah trombosit kurang dari 100.000 per milimeter
kubik, ada perpanjangan masa perdarahan, retraksi beku, dan konsumsi
protrombin, dan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang lebih banyak.
ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di dapat yang paling
umum terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya terdapat penurunan
jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sum-sum normal.
Penyebab sebenarnya tidak diketahui, meskipun diduga disebabkan oleh
agen virus yang merusak trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului
oleh penyakit dengan demam ringan 1-6 minggu sebelum timbul gejala.
Gangguan ini dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu akut, kronik dan
kambuhan. Pada anak-anak mula-mula terdapat gejala diantaranya demam,
perdarahan, petekie, purpura dengan trombositopenia dan anemia.(16)
- Sindrom HELLP
Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis
sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor
pencetusnya, kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya
kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder
dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid.
Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau
destruksi trombosit.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus
darah tepi, total bilirubin >1,2mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) >
600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST) >
70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit <
100.000/mm3.(21)
- Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di
seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan. Orang-orang yang memiliki resiko paling
tinggi untuk menderita DIC:
 Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan
disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah.
 Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat
yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).
 Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas
maupun prostat.
DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika
keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan
sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan
tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan
atau tusukan. Perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran
pencernaan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh
darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga
tidak terbentuk air kemih.(22)
- Dilutional coagulopathy
Bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor
biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.
Perdarahan postpartum akibat gangguan koagulasi dicurigai bila penyebab
yang lain dapat disingkirkan, apalagi disertai riwayat mengalami hal yang sama
pada persalinan sebelumnya (3,4,9)
Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi uterus, sisa
plasenta, abnormalitas involusi uterus, atau oleh penyebab primer di atas tetapi
terlambat diidentifikasi. Tidak jarang perdarahan postpartum sekunder bersifat
mengancam jiwa jika tidak dikenali dan ditangani segera.

2.5 FAKTOR RESIKO


Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor
resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga segala upaya
harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain
yang perlu kita ketahui karcna dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum:
1. Faktor Resiko Antenatal
- Umur
Meningkatnya usia ibu merupakan factor independen terjadinya PPH. Jumlah
perdarahan pada usia lebih tua lebih besar pada persalinan sesar disbanding
persalinan pervaginam.
- BMI
Perempuan obese akan memiliki komplikasi intrapartum dan post partum lebih
besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan dengan perdarahan yang lebih banyak.
- Paritas
Paritas sering dikaitkan dengan resiko perdarahan postpartum. Namun hingga
sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa membuktikan bahwa multiparitas
berhubungan dengan PPH. Studi yang meloprkan hubungan tersebut juga gagal
untuk mengendalikan factor pengganggu lain seperti usia ibu.
- Penyakit Medis
Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan erat
dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan konektif,
penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia.
- Kehamilan Post-term
Penelitian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term dengan
terjadinya PPH.
- Janin Besar
Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan besar untuk
mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian di mancanegara.
- Kehamilan Kembar
Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil kembar
memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH.
- Fibroid
Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun demikian
resiko terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar dibandingkan
persalinan pervaginam.
2. Faktor Resiko Intrapartum
- Induksi Persalinan
Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan yang berkaitan dengan
perdarahan post-partum. Resiko terjadinya perdarahan adalah 1,5 hingga 1,7
kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang telah diteliti meningkatkan
perdarahan post-partum adalah induksi yang menggunakan medikamentosa.
Sejauh ini data yang akurat tentang resiko berbagai jenis metode induksi belum
lengkap sehingga tidak dapat disimpulkan secara definitif.
- Durasi Persalinan
Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada multipara
memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama persalinan yang lebih
singkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih besar bila berlangsung lebih dari
3 jam. Dengan demikian persalinan dengan kala II lama perlu mengantisipasi
lebih awal akan terjadinya PPH. Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan
semakin meningkat bila durasi kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit.
Resiko relatifnya berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala III
berlangsung semakin lama. Titik potong PPH terjadi pada lama kala tiga lebih
daari 18 menit.
- Analgesia
Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural berkaitan
dengan perdarahan intrapartum, sedangkan perdarahan post partum meningkat
resikonya menjadi 1,6 kali. Namun demikian bila diperlukan operasi sesar
maka analgesia regional menimbulkan perdarahan lebih kecil dibandingkan
anesthesia umum.
- Metode Persalinan
Penelitian menunjukkan ada perbedaan resiko perdarahan pada persalinan
pervaginam operatif dan juga persalinan sesar. Kesimpulan tentang ini belum
definitif mengingat berbagai factor perlu diperhitungkan untuk menilai
hubungan ini.
- Episiotomi
Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding ruptur
spontan. Namun selain itu ternyata episiotomi juga meningkatkan resiko PPH
2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali terakhir ditunjukkan juga bahwa
episiotomy yang dilakukan pada saat kepala sudah crowning tidak memberikan
perbedaan signifikan terhadap terjadinya PPH.
- Korioamnionitis
Meningkatkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan hingga 2,7
kali bila persalinan sesar.

2.6 TANDA GEJALA


Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana
sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok.
Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi teijadi terus
menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun
jatuh kedalam syok.(10)
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan
darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok.

Volume Kehilangan Tekanan Darah


Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah Sistolik
500-1.000 mL Normal Palpitasi, Terkompensasi
(10-15%) Takikardi,
Pusing

1000-1500 mL Penurunan Lemah, Ringan


(15-25%) ringan (80-100 Takikardi,
mm Hg) Berkeringat

1500-2000 mL Penurunan Gelisah, Sedang


(25-35%) scdang (70-80Pucat,
mm Hg) Oligouria
2000-3000 mL Penurunan tajam
Pingsan, Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg)Hipoksia,
Anuria
Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Dikutip dari kepustakaan 10
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau
laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti
setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu
dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada
pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan letnbek dan membesar jika ada atonia
uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa
plasenta atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk
mendiagnosa perdarahan postpartum: (10,17)
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari:
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan Rahim
c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu kotiledon
tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama.
4. Inspekulo : Untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk
split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial
diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang.
6. Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
Uterus tidak berkontraksi dan Syok, Atonia Uteri
lembek Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera Pucat, Robekan Jalan Lahir
setelah bayi lahir Lemah,
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio Plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi Sisa Plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak
Perdarahan Segera berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio Uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila plasenta
belum lahir)
Sub involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam fragmen plasenta
uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder
Tabel 3. Gejala klinis perdarahan postpartum

Dikutip dari kepustakaan 5

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
 Pemeriksaan golongan darah harus dilakukan sejak periode antenatal
 Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan
waktu pembekuan.
b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post paitum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa teijadi sebelum pemeriksaan
Iaboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman,
pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan
retensi sisa plasenta.
 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki fektor predisposisi terjadinya perdarahan post
partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

2.8 Manajemen Perdarahan Postpartum


Secara umumnya, bila terdapat perdarahan yang abnormal, apalagi telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah < 90 mmHg, atau nadi > 100x per
menit), maka penanganan harus segera dilakukan, demikian halnya pada perdarahan
postpartum. Ada empat komponen yang harus dilakukan secara simultan yaitu,
komunikasi, resusitasi, monitoring dan investigasi, dan menghentikan penyebab
perdarahan .
Komunikasi bermakna meminta bantuan, memobilisasi seluruh tenaga yang ada
dan mempersiapkan fasilitas tindakan gawat darurat. Komunikasi dengan pasien dan
keluarganya juga penting seputar kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah
menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.
Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :
1. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Resusitasi dilakukan dengan pendekatan ABC. Jalan napas (airway) dipastikan
bebas dan pernapasan (breathing) dengan. Akses sirkulasi (circulation)
a) oksigen konsentrasi tinggi (10-15 liter per menit) via facemask
b) Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
c) Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
d) Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan
perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)
2. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
a. Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di
fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di
uterus dan vagina. Atonia uteri.
Ketika diagnosis atonia uteri ditegakkan segera lakukan kompresi bimanual
interna dan pastikan vesica urinaria dalam keadaan kosong. Satu tangan pada dinding
perut menahan bagian posterior uterus, tangan yang lain pada korpus anterior dari
vagina, keduanya ditekan untuk mengkompresi uterus. Jika uterus berkontraksi
keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika tidak, teruskan kompresi bimanual interna
hingga 5 menit.

Gambar 1. Kompresi bimanual interna (dikutip dari kepustakaan no. 4)


Jika kompresi bimanual interna tidak berhasil, minta bantuan orang lain melakukan
kompresi bimanual eksterna sambil melakukan tahap penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya jika penolong hanya seorang diri. Kompresi bimanual eksterna dilakukan
dengan meletakkan satu tangan pada dinding perut, sedapat mungkin meraba bagian
belakang uterus, tangan yang lain terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian
jepit uterus di antara kedua tangan tersebut.

Gambar 2. Kompresi bimanual eksterna (dikutip dari kepustakaan no. 10)


Langkah selanjutnya adalah pemberian uterotonika berupa injeksi metilergometrin 0,2
mg intramuskular dan pemberian drips oksitosin 20 IU dalam 500 cc larutan Ringer
Laktat. Kepustakaan lain menganjurkan pemberian misoprostol sebagai alternatif,
(4)
dosisnya bervariasi dari 200 hingga 1000 mcg, diberikan per oral atau per rectal .
Bila atonia tidak teratasi rujuk segera ke rumah sakit sambil meneruskan pemberian
cairan intravena dan kompresi aorta abdominalis hingga ibu mencapai tempat tujuan.
(11)

Gambar 3. Kompresi aorta abdominalis (dikutip dari kepustakaan no. 10)

Beberapa kepustakaan menganjurkan tamponade uterus misalnya dengan balon untuk


mengurangi bahkan menghentikan perdarahan. Berbagai tipe kateter berbalon dapat
digunakan misalnya kateter Foley, Rusch, SOS Bakri, Sengstaken-Blakemore, atau
menggunakan kondom dan handscoen steril. Tampon kasa uterovaginal tidak
dianjurkan lagi (3,5,8).

Gambar 4. A. Tampon balon hanscoen B. Tampon SOS Bakri (dikutip dari


kepustakaan no. 10)
Di rumah sakit rujukan, ketika perdarahan masih terus berlangsung maka segera
dimulai tindakan operatif, mulai dari ligasi arteri uterina, ligasi arteri ovarika,
suturing hemostatis, hingga histerektomi bila perlu. (4,11).

Gambar 5 Ligasi arteri uterina (dikutip dari kepustakaan no.4)


Suturing hemostatik, salah satunya metode B-Lynch, terbukti efektif mengontrol
perdarahan pada atonia uteri dan mengurangi angka histerektomi. Prinsip metode ini
adalah kompresi uterus difus. Metode B-Lynch mengkompresi uterus pada bagian
anterior dan posterior dengan dua jahitan jelujur vertikal menggunakan benang
kromik (4).

Gambar 6. B-Lynch suturing (dikutip dari kepustakaan no. 8)


Metode definitif menghentikan perdarahan postpartum adalah histerektomi.
Histerektomi merupakan langkah terakhir ketika berbagai metode gagal. Histerektomi
tanpa terapi bedah alternatif terlebih dahulu mungkin saja dilakukan dengan
mempertimbangkan keselamatan ibu. (8)
a. Retensi atau sisa plasenta
Kontraksi uterus yang efektif akan terjadi ketika plasenta mengalami ekspulsi komplit
termasuk tanpa bekuan darah di cavum uteri. Pada retensio plasenta, sepanjang
plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Pengeluaran
plasenta dilakukan dengan manual plasenta. Bila sebagian plasenta telah terlepas dan
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak segera antisipasi dengan manual
plasenta. (3,6,9)

Gambar 7. Manual plasenta (dikutip dari kepustakaan no 4)


Sisa plasenta dan bekuan darah diduga bila kotiledon dan selaput ketuban lahir tidak
lengkap pada pemeriksaan plasenta, kontraksi baik, robekan jalan lahir telah dijahit,
tetapi masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum. Sisa plasenta dapat
dikeluarkan secara manual, kecuali pada kondisi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.
Untuk memastikan adanya sisa plasenta dapat dilakukan eksplorasi dengan tangan,
kuret, atau ultrasonografi.
b. Robekan jalan lahir
Robekan perineum, vagina, hingga serviks umumnya mudah diidentifikasi
dengan inspeksi dan inspekulo. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem,
diikat, dan luka ditutup dengan catgut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Umumnya penjahitan dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali bila penderita sangat
kesakitan dan tidak kooperatif, dapat dilakukan konsultasi dengan sejawat anestesi
untuk ketenangan dan keamanan saat hemostasis.
Ruptur uteri dan robekan jalan lahir yang luas, dalam serta melibatkan struktur
sekitar misalnya rektum dan vesika urinaria, membutuhkan intervensi bedah.
c. Gangguan koagulasi
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta
dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan
penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan
pemberian product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma
beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon
amino caproic acid).
d. Terapi pembedahan
1 ) Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri
ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benar-
benar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya
akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina.
Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan
ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi
bimanual disertai pemberian uterotonica.
2) Ligasi arteri
a) Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari
uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak
ada gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.
b) Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan
c) Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus genetalia
dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila
tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah
histerektomi.
3. Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal
dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal
histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak
begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim,
servix, fornix vagina.

2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor resiko
merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan postpartum. Stratifikasi
kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi pelayanan kesehatan
terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan. Berbagai hal dapat dilakukan dalam
rangka mengantisipasi hal tersebut, antara lain:
1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan sebelum bersalin, misalnya
mengatasi anemia, mengobati penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum dan lain-
lain.
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum maupun
intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat ditolong oleh tenaga
kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas memadai.
3. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama perdarahan
postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.(3,8)
Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif kala
tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan postpartum. Manajemen aktif kala tiga
mencakup: pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir,
penegangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah dorsokranial
(manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui dinding abdomen pasca
kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan menghasilkan
kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan mengurangi perdarahan
pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif (fisiologis), termasuk mengurangi
permintaan transfusi, dan menurunkan angka kematian maternal.
Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat dicegah
dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera mengevakuasinya
secara manual bila ditemukan (3,10)

Gambar 8. Memeriksa kelengkapan plasenta (dikutip dari kepustakaan no 10)


Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan persalinan pada
saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari pertolongan persalinan yang
manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir dapat terjadi saat kepala dan bahu
dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Pengendalian kecepatan dan pengaturan
diameter kepala saat melewati introitus dengan menyokong perineum dan
mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat mengurangi
regangan berlebihan pada vagina dan perineum. Episiotomi rutin untuk mencegah
robekan berlebihan pada perineum tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup
sehingga tidak dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko robekan derajat tiga atau
empat, meningkatkan jumlah darah yang hilang dan resiko hematom (12)

Anda mungkin juga menyukai