Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cerebrovaskular accident atau stroke merupakan gangguan neurology
yang disebabkan oleh adanya gangguan pada peredaran darah di otak (Black,
1997)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah
kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne,
2002 dalam ekspresiku-blogspot 2008)
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih
dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain
daripada gangguan vascular.
Berdasarkan etiologinya, stroke dibedakan menjadi :
1. Stroke perdarahan atau strok hemoragik
2. Strok iskemik atau stroke non hemoragik
Stroke non hemoragik atau yang disebut juga strok iskemik didefinisikan,
secara patologis, sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak
adekuat

A. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif
yang meliputi aspek biopsikososiospritual pada klien dengan stroke non
hemoragik dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Penulis mampu menggambarkan:
a. Konsep teori penyakit stroke non hemoragik.

1
2

b. Pengkajian status kesehatan pada Ny. M dengan masalah stroke non


hemoragik secara komprehensif melalui pendekatan proses
keperawatan.
c. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny. M dengan masalah
stroke non hemoragik.
d. Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul
pada Ny. M dengan stroke non hemoragik.
e. Pelaksanaan implementasi keperawatan terhadap Ny. M dengan stroke
non hemoragik.
f. Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.
g. Pendokumentasian asuhan keperawatan yang benar pada Tn. U dengan
stroke non hemoragik
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi
Keadaan dimana seorang individu mengalami, atau dapat mengalami
kemunduran kemampuan untuk mengirim atau menerima pesan (mis;
mempunyai kesukaran pertukaran pikiran, ide-ide, atau keinginan)

B. Faktor Predisposisi
1. Biologis
Hambatan perkembangan otak, khususnya frontal, temporal, limbik,
sehingga mengakibatkan gangguan dalam belajar, bicara, daya ingat.
Selain itu mengakibatkan seseorang menarik diri dari lingkungan atau
timbul resiko perilaku kekerasan.
Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal,
neonatus, dan anak-anak.

2. Psikologis
a. Penolakan atau kekerasan dalam kehidupan klien.
b. Pola asuh yang tidak adekuat.
c. Konflik dan kekerasan dalam keluarga.

3. Sosial Budaya
a. Kemiskinan.
b. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan)
c. Kehidupan terisolasi dan stressor.

C. Faktor Presipitasi
Umumnya sebelum timbul gejala, klien mengalami konflik dengan
orang di sekitarnya. Selain itu ada juga tekanan, isolasi, pengangguran yang
disertaiperasaan tidak berguna, putus asa, dan merasa tidak berdaya.

3
4

D. Mekanisme Koping
Cara individu menghadapi secara emosional respon kognitif yang
maladaptif dipengaruhi oleh perjalanan masa lalunya. Seseorang yang telah
mengembangkan mekanisme koping yang efektif pada masa lalu akan lebih
mampu dalam mengatasi serangan masalah kognitif.
Mekanisme pertahanan ego yang mungkin teramati pada pasien gangguan
kognitif (perubahan proses pikir) :
- regresi
- denial
- kompensasi

E. Tanda dan Gejala


1. Tidak mampu berbicara dengan bahasa yang dominan
2. Tidak mau bicara
3. Menolak untuk bicara
4. Kesulitan dalam mengungkapkan maksud atau mengekspresikan secara
verbal (aphasia, dysphasia, apraxia, dyslexia)
5. Kesulitan dalam membuat kata-kata atau kalimat (aphonia,
dyslalia,dysarthria)
6. Berbicara tidak sesuai (inkoheren, asosiasi longgar, flight of idea)
7. Tidak ada kontak mata
8. Disorientasi tempat, waktu dan orang
9. Kesulitan dalam menggali dan memahami pola komunikasi yang biasanya
10. Menggunakan kata-kata yang tidak berhubungan atau tidak berarti
11. Pengulangan kata-kata yang didengar
12. Tidak mampu atau kesulitan dalam menggunakan ekspresi wajah atau
tubuh
13. Ungkapan verbal (verbalisasi) yang tidak tepat
14. Defisit visual sebagian atau total
15. Bicara atau verbalisasi yang sukar
16. Bicara gagap
17. Sengaja menolak berbicara
5

F. POHON MASALAH
Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Kerusakan komunikasi verbal

Gangguan proses piker

G. MASALAH KEPERAWATAN
1. Data yang perlu dikaji
a. Perilaku klien
b. Ekspresi wajah klien saat diajak bicara.
c. Respon verbal klien.
d. Perawatan diri klien.
e. Kepribadian klien.
f. Aktivitas klien
g. Intake nutrisi dan cairan sehari-hari.

2. Data mayor
a. Menolak untuk berbicara.
b. Kerusakan kemampuan untuk berbicara.
c. Berbicara tidak sesuai atau tidak bicara atau tidak berespons.

3. Data minor :
a. Ketidakmampuan untuk bicara bahasa dominan.
b. Gagap. Disatria. Afasia.
c. Masalah dalam menemukan kata-kata yang tepat.
d. Pernyataan tidak mengerti atau salah mengerti.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kekacauan pikiran.
6

I. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


No Diagnosis Peren1anaan
Interv(ensi
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi

2 1.
3

J. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial
kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh
individu untuk mengatasi stress.
1) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan
2) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa
disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di
besarkan.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan
adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferase
4) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan
7

stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan


orientasi realitas.
5) Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
3. Prilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun
atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :
a. Dimensi Fisik

Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang


eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional
8

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c. Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan


halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
d. Dimensi Sosial

Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya


kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol
oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan
klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien
tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e. Dimensi Spiritual

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi


dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada
individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak
terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi
menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi
9

menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya. d.


Sumber Koping Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan
menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut
sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan
keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping
yang berhasil.
4. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri
B. Diagnosa Keperawatan
Masalah yang dapat dirumuskan pada umumnya bersumber dari apa yang
klien perlihatkan sampai dengan adanya halusinasi dan perubahan yang
penting dari respon klien terhadap halusinasi.
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi pad aklien dengan
halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi
2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
4. Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam merawat diri
5. Perubahan proses pikir : Waham berhubungan dengan harga diri rendah
kronis
6. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif berhubungan dengan koping
keluarga tak efektif
7. Kerusakan komunikasi verbal
8. Gangguan pola tidur berhubungan dengan halusinasi
9. Koping individu tidak efektif
10

C. PERENCANAAN TINDAKAN
No Diagnosis Perencanaan
Intervensi
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 Kerusakan akan dilakukan rata-rata skor a. responden
Komunikasi latihan bicara kemampuan mengalami
Verbal yang bertujuan; komunikasi flaccid
memperlambat verbal sebelum dysarthria.
kecepatan pemberian LSVT Flaccid
bicara; Loud 60.59, dysarthria
meningkatkan yakni merupakan
breath support; kemampuan sekuel umum
meningkatkan komunikasi yang tidak
gerakan mulut, verbal jelas. progresif pada
lidah dan bibir; Disartria kerusakan otak
meningkatkan merupakan tanda b. responden tidak
artikulasi agar gejala objektif terlihat secara
berbicara lebih dari masalah jelas pada
jelas; keperawatan penampakan
pengajaran kerusakan fisik bahwa
kepada komunikasi mereka
pengasuh; verbal mengalami
anggota (Rosdiana, disartria.
keluarga dan 2012).
guru untuk
berkomunikasi
lebih baik
dengan pasien
disartria.
Dengan Lee
Silverman Voice
Treatment
(LSVT)
2 Adapun tujuan Berdasarkan 2.
umum hasil pre test
penelitian ini kemampuan
adalah untuk komunikasi
mengetahui verbal klien
pengaruh Terapi menunjukkan
Aktivitas nilai berada
Kelompok pada kategori
Sosialisasi tidak mampu
terhadap (54.25 persen)
Kemampuan dan hasil
Komunikasi post test
Klien Menarik menunjukkan
Diri di Rumah kemampuan
Sakit Jiwa komunikasi
Propinsi NTB verbal klien
11

sedangkan berada pada


tujuan kategori mampu
khususnya (79.25
adalah untuk persen) dengan
mengidentifikasi perbedaan nilai
kemampuan rata-rata 25
komunikasi persen.
klien menarik Dengan terapi ini
diri sebelum klien saling
dilakukan TAK berinteraksi
sosialisasi, dengan pasien lain
mengidentifikasi sehingga
diharapkan
kemampuan terjadinya
komunikasi peningkatan
klien menarik kemampuan
diri sesudah berkomunikasi
dilakukan TAK klien baik verbal
sosialisasi serta maupun non
menganalisis verbal sesudah
pengaruh TAK diberikan Terapi
Sosialiasai Aktivitas
terhadap Kelompok (TAK):
kemampuan Sosialisasi.
komunikasi
pada klien
menarik diri
3 observasi Hasil analisis tabel
pelaksanaan, 1 didapatkan data
dan melakukan bahwa ratarata
latihan umur responden
komunikasi adalah 62 tahun,
dengan pasien dengan umur
afasia termuda 42 tahun
dan tertua 76
tahun.
Hasil analisis tabel
2 didapatkan data
bahwa sebagian
besar responden
memiliki jenis
kelamin laki-laki
yaitu 13 orang
(61,90%).
12
BAB III
RESUME KASUS

A. Pengkajian

Riwayat Keperawatan
Tanggal masuk : 11 November 2014
Jam masuk : 16.00 WIB
No. Register : 316454
Ruang/Kamar : Dahlia/ 3D
Tanggal pengkajian : 13 November 2014
Jam pengkajian : 11.00 WIB
Diagnosa medis : SNH

1. Biodata
a. Biodata klien
Nama : Ny. M
Umur : 60 th
Agama : Islam
Status : Janda
Pendidikan : SD
Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga
Alamat :Warungasem, Kec. Batang, Kab. Batang

b. Biodata penanggung jaawab


Nama : Tn. C
Umur : 29 th
Agama : Islam
Status :Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan :Wiraswasta
Alamat :Warungasem, Kec. Batang, Kab. Batang

11
14

2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Satu minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit pada tanggal 4
november 2014 klien mengatakan mengalami mual, muntah-muntah,
klien juga mengeluh susah tidur dan tidak bisa bicara lalu pasien dibawa
ke dokter dan mendapat obat dari dokter tersebut. Setelah berobat
kedokter dan klien minum obatnya klien mengatakan bisa bicara tetapi
tidak lancar (bicara pelo). Dan kemudian tangan klien tiba-tiba tidak bisa
digerakkan, itu membuat keluarga klien semakin khawatir dan
memeriksakannya ke dokter lagi, setelah ke dokter klien dirujuk ke
RSUD Batang pada tanggal 11 November 2014 jam 16.00 WIB dengan
data klien mengatakan tangan kirinya tidak biasa digerakkan, bicara agak
susah/ tidak lancar, lemas, mual, muntah, TD : 140/80 mmHg, nadi :
92x/mnt, suhu : 36C, RR : 20x/mnt.
Pada saat pengkajian yang dilakukan pada tanggal 13 November 2014
didapatkan data klien mengeluh tangan kirinya masih tidak bisa
digerakkan, bicara agak susah, lemas, TD : 110/80 mmHg, nadi :
92x/mnt, suhu : 36C, RR : 20x/mnt.
b. Keluhan utama
Tangan kiri tidak bisa digerakkan
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan didalam keluarganya mempunyai riwayat hipertensi
dan hiperglikemi.

 Dalam keluarga Ny.M memiiki riwayat keturunan hipertensi yaitu bapak


dan ibu Ny.M, dalam keluarga suami Ny.M juga memiliki riwayat
hipertensi. Suami Ny.M meninggal karena TBC.

3. Pola kesehatan fungsional Gordon


a. Pola penatalaksanaan kesehatan/persepsi sehat
Klien mengatakan sehat menurut klien adalah kondisi dimana seseorang
dapat beraktifitas tanpa terganggu oleh suatu keadaan dimana seseorang
15

dapat beraktifitas tanpa terganggu oleh suatu keadaan lemah dari kondisi
badan, jika masih sakit & masih bisa diobati dengan obat warung maka
klien akan beli obat warung. Jika klien atau keluarga sakit maka mereka
akan periksa ke puskesmas ataupun dokter umum.
b. Pola Nutrisi-Metabolik
Pada saat sebelum klien mengalami sakit klien menghabiskan makan
sebanyak 1 porsi, baik sarapan, makan siang, dan makan malam, sehari-
hari klien lebih suka minum teh atau air putih, untuk kudapan klien
biasanya goreng-gorengan ataupun jajanan pasar.
Dan selama klien sakit dan harus di rawat di Rumah Sakit, klien
menghabiskan makan sebanyak 1 porsi, baik makan pagi, makan siang
maupun makan malam, di Rumah Sakit klien lebih sering minum susu
dan air putih. Dan untuk kudapan klien makan buah-buahan atau bubur.
Tinggi badan klien 155 cm, berat badan klien sebelum sakit ± 63 kg dan
selama sakit berat badan klien 61 kg.
c. Pola Eliminasi
Pada saat sebelum klien mengalami sakit klien tidak memiliki masalah
mengenai eliminasi BAK maupun BAB, karena warna dan bau urine
klien normal dan frekuensi BAK klien setiap harinya pun tergolong
normal tidak lebih dari 5X sehari. Untuk BAB, klien hanya melakukan
BAB 1X dalam sehari untuk warna fesesnya kuning, dan konsistensinya
lembek atau tergolong normal.
Dan selama klien sakit dan di rawat di Rumah Sakit klien BAK 5x dalam
sehari, urine klien berwarna kuning jernih dan berbau khas urine. Untuk
BAB, selama sakit klien klien melakukan BAB sebanyak 1x dalam sehari
dan feses berwarna kuning gelap dengan konsistensi feses lunak.
Klien terganggu / terhambat dalam mobolisasi untuk melakukan BAK &
BAB karena sulit di gerakannya tangan kiri klien.
16

d. Pola Aktivitas dan Latihan


Klien mengatakan sakit dan di rawat di rumah sakit dalam melakukan
aktivitasnya selalu dibantu oleh keluarganya seperti makan, minum,
berpakaian, maupun aktivitas toileting.
e. Pola tidur dan istirahat
Pada saat klien belum sakit klien belum tentu / jarang tidur siang, klien
tidur malam ± 6 – 7 jam dalam semalam. Klien tidak memiliki masalah
tidur malam saat sebelum sakit.
Selama klien sakit, klien tidur siang selama ± 2 jam dan klien tidur
malam ± 5 jam dalam semalam dan tidak nampak lingkaran hitam di
sekitar mata klien. Klien tidur kurang nyaman karena kondisinya yang
sedang berada di rumah sakit sehingga klien merasa kurang nyaman.
f. Pola kognitif-perseptual-keadekuatan alat sensori
Klien mengatakan tidak mengetahui tentang penyakitnya .
Penglihatan, pendengaran, pengecap dan penciuman klien berfungsi baik
/ normal dan tidak memiliki kelainan. Klien tidak mengalami disorientasi
diri, tempat dan waktu. Kemampuan bicara
g. Pola persepsi-konsep diri
Sikap klien terhadap diri sendiri baik tidak sampai mengalami frustasi
karena klien terlihat rileks, hanya saja dampak sakit yang di alami klien
mengurangi aktifitas klien.
Klien merasa ingin cepat sembuh sehingga bisa beraktifitas seperti
biasanya, namun ekpresi wajah klien terkadang terlihat sedih. Klien
memiliki postur tubuh berbadan sedang dan tidak terlalu tinggi, beliau
masih memiliki kontak mata saat di ajak berkomunikasi.
h. Pola peran dan tanggung jawab
Dalam keluarga klien berperan sebagai ibu rumah tangga dan tidak bisa
melakukan aktifitasnya seperti biasanya. Hubungan perawat dan dokter
baik.
i. Pola seksual-reproduksi
Klien mengatakan menikah dengan suaminya dan mempunyai 2 orang
anak. Klien sudah menopause.
17

j. Pola koping dan toleransi stress


Penyakit SNH yang di alami menjadi sumber stress / stressor bagi klien,
dan dengan cara berdoa klien merasa lebih baik, dan klien merasa senang
karena masih ada keluarga yang senantiasa mendukungnya walaupun
terkadang klien masih terlihat sedih di wajahnya.
k. Pola nilai dan keyakinan
Klien beragama Islam, klien adalah orang jawa sehingga masih memiliki
keyakinan atau kepercayaan orang jawa, beliau mencoba untuk selalu
tepat waktu dalam menjalankan sholat setiap harinya dan berusaha untuk
bersedekah jikamendapati rezeki yang lebih. Dalam lingkungannya klien
biasanya mengikuti pengajian dengan para ibu-ibu setiap seminggu
sekali jika kondisi beliau memungkinkan untuk pergi.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan Umum
Pada saat di kaji klien memiliki kesadaran penuh atau compos menthis,
tekanan darah klien 110/80 mmHg, suhu 36 °C nafas 20 x/menit dengan
nadi 80 x/menit, berat badan klien sebelum sakit 62 kg dan berat badan
selama sakit 61 kg dengan tinggi badan 155 cm.
b. Pemeriksaan Fisik
Data Obyektif
Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala mesosephal, tidak ada luka, rambut
kotor dan rontok
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
abnormal
Mata
Inspeksi : pupil Isokor, sclera tidak ikterik, tidak anemis
Tes penglihatan : Klien mengatakan pandangan kabur
Hidung
Inspeksi : Tidak ada polip, tidak ada secret dihidung,
penciuman berkurang
Telinga
18

Inspeksi : Kedua telinga simetris, tidak ada penumpukan


serum
Tes pendengaran : Pendengaran berkurang
Mulut
Inspeksi : Mulut bersih, mukosa mulut kering, bisa
merasakan manis, pahit, asam, asin, tidak ada
stomatitis, mulut tidak simetris (pelo)
Leher
Inspeksi : Tidak ada benjolan abnormal, tidak ada luka, tidak
ada pembesaran vena jugularis
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Dada
Inspeksi paru : Tampak simetris, pengembangan kanan dan kiri
sama
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, teraba getaran suara pada
punggung tractil premitus hasil?
Perkusi : Tidak ada gangguan (resonan)
Inspeksi jantung : Tidak tampak ictus cordis
Auskultasi : Tidak ada bunyi jantung tambahan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Bunyi pekak

Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen datar, tidak ada luka
Auskultasi : Bunyi bising usus nilai?
Palpasi : Tidak ada nyeri tekana acites
Perkusi : Perut kembung
Genetalia
Inspeksi : Tidak terpasang kateter
Ekstrimitas
19

Atas : Terpasang infuse pada tangan kanan, pada tangan


kiri tidak bisa digerakkan
Bawah : Sama panjang, tidak ada luka

5 1

5 5

DIJELASKAN ?
Kulit
Palpasi : Turgor kulit baik

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular.
2. Resiko cedera b/d faktor lingkungan.
3. Resiko infeksi b/d trauma jaringan.
4. Hambatan komunikasi verbal b/d gangguan neuromuscular
5. Ketidakseimbangan nutrisi b/d ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
BAB IV
PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap


kemampuan fungsional dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu
singkat hanya 10 hari. Hasil penelitian Bakheit, dkk. (2007) menunjukkan bahwa
latihan wicara dengan durasi yang berbeda (kelompok intensif = lima jam dan
kelompok NHS = dua jam) selama 12 minggu, menunjukkan perbedaan yang
signifikan terhadap kemampuan berbahasa pada kelompok NHS (p = 0.002)
dibandingkan dengan kelompok intensif (p > 0.05). Penelitian Rappaport, dkk.
(1999) dalam Powlasky, dkk. (2010) yang memberikan intervensi setiap hari
selama lima tahun dengan lama terapi bervariasi, sebagian menunjukkan
kemampuan berbahasa, sedangkan sebagian lagi menunjukkan sedikit atau tidak
ada perbaikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh yang signifikan
terhadap depresi dapat disebabkan oleh karena adanya sarana komunikasi pasien
untuk mengekspresikan kebutuhannya kepada perawat dan keluarga.
Berdasarkan hasil pengamatan, pasien mampu mengomunikasikan
kebutuhannya melalui pemberian buku komunikasi dan media yang ada di sekitar
ruangan dengan menunjukkan gambar, sehingga pasien dapat berinteraksi dengan
keluarga dan petugas kesehatan. Selama penelitian, beberapa alat bantu
komunikasi nonverbal digunakan untuk memfasilitasi pasien afasia, seperti foto,
musik, gambar, papan alfabet dan alat tulis. Pasien juga dibantu dengan
menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi gambar, kata-kata,
huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai dengan kegiatan yang
diminta atau diungkapkan. Pasien diajak bercakap-cakap setiap hari untuk
mengungkapkan kebutuhannya dan menggunakan papan tulis bila tidak mampu
mengekspresikan kebutuhan. Menurut Kusumoputro (1992), mengajak pasien
bercakap-cakap merupakan suatu pendekatan strategi komunikasi untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mulyatsih dan Ahmad (2010), bahwa berbagai cara digunakan untuk
memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia serta mendorong pasien
berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk mengurangi frustasi, depresi

18
21

dan isolasi sosial. Menurut hasil penelitian Finke, Light, dan Kitko (2008),
komunikasi dengan AAC dapat membantu perawat berkomunikasi pada pasien
yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal. Penelitian Amila : Pengaruh
Augmentative and Alternative Communication Tabel 4 Hasil Analisis Perbedaan
Depresi sesudah Diberikan Komunikasi dengan AAC antara Kelompok Kontrol
dan Intervensi pada Pasien Afasia Motorik Variabel N Mean SD SE T Mean Diff
95% p value Depresi Kontrol 11 9,64 1,1 0,388 1,336 Intervensi 10 8,30 1,160
0,367 2,491 0,213 – 2,459 *0,022 140 Volume 1 Nomor 3 Desember 2013 ini
diperkuat oleh hasil penelitian Johston, dkk. dalam Clarkson (2010), bahwa AAC
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan
seseorang dengan meningkatkan kemandirian dan perkembangan hubungan sosial,
sehingga akan memengaruhi kualitas hidup. Hal ini dapat terjadi karena pasien
yang menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan
dengan keluarga, teman, dan aktivitas hidup yang menyenangkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor kemampuan
komunikasi verbal sebelum pemberian LSVT Loud 60.59, yakni kemampuan
komunikasi verbal jelas. Disartria merupakan tanda gejala objektif dari masalah
keperawatan kerusakan komunikasi verbal (Rosdiana, 2012). Dalam penelitian ini
data rekam medis yang menyatakan jumlah keseluruhan dari diagnosa disartria
maupun kerusakan komunikasi verbal hanya berjumlah satu dari jumlah pasien
stroke pada tiga bulan terakhir. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Amila,
Sitorus dan Herawati (2013), menyatakan bahwa jumlah penderita stroke yang
mengalami kerusakan komunikasi verbal tidak dapat diketahui dengan pasti
melalui rekam medis, jurnal dan situs, sehingga sebelum dilakukan penelitian,
pemeriksaan fisik sederhana dilakukan karena sulitnya responden didapatkan jika
hanya mengandalkan diagnosa dalam rekam medis yang masih kurang spesifik.
Hasil kemampuan komunikasi verbal setelah diberikan LSVT Loud
menjadi sangat jelas. Nilai responden dalam penilaian menggunakan speech
intelligibility mengalami perbaikan. Setelah dilakukan LSVT Loud pada
pengucapan “r” pada pertengahan kata masih terdengar kurang jelas, namun pada
akhir kata terdengar jelas. Hal ini yang meningkatkan nilai speech intelligibility
responden. Perbaikan nilai ini tidak secara instan terjadi, namun setelah responden
22

melalui 16 sesi latihan yang dilakukan selama satu jam. Sebagaimana peningkatan
komunikasi kurang bicara dalam 113 Nursing Intervention SDKI (2016),
menjelaskan tentang penggunaan strategi peningkatan kemampuan komunikasi
bagi orang yang memiliki gangguan bicara. Salah satu strategi tersebut adalah
memonitor kecepatan bicara, tekanan, kuantitas, volume dan diksi. Ramig, et.al
menyatakan LSVT Loud memperbaiki intonasi, kenyaringan dan kualitas suara.
LSVT memperbaiki kenyaringan suara dengan menstimulasi otot kotak suara
(laring). Stimulasi pada otot laring dapat melatih atau bahkan merangsang saraf
vagus. Saraf vagus sendiri berfungsi menghasilkan suara dan membantu dalam
proses menelan.
Setelah dilakukan análisis data didapatkan hasil peningkatan kemampuan
komunikasi verbal dan non verbal sebelum dan sesudah diberikan Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Hasil analisis Uji Wilcoxon Sigened Rank
menunjukkan ada perbedaan bermakna (p= 0.000) untuk kemampuan komunikasi
verbal klien dan ada perbedaan bermakna (p= 0.003) untuk kemampuan
komunikasi non verbal klien. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK): Sosialisasi terhadap peningkatan kemampuan
komunikasi verbal maupun non verbal pada klien dengan menarik diri yang
dirawat di Rumah Sakit Jiwa Propinsi NTB. Klien yang mengalami gangguan
jiwa akan menunjukkan gejala negatif dan gejala positif. Salah satu bentuk gejala
yang ditunjukkan adalah perilaku menarik diri. Klien yang mengisolasi dirinya
dan tidak mau berhubungan dengan orang lain ini merupakan salah satu bentuk
mekanisme pertahanan diri individu dalam menghadapi masalah untuk
mengurangi perasaan tertekan, kecemasan, stress, maupun konflik yang
berkepanjangan. Namun strategi ini tentunya tidak realistik, sehingga akan
menimbulkan semakin banyak kesulitan yang berkaitan dengan hubungan
sosialnya baik sesama pasien maupun hubungan pasien dengan perawat. Manusia
adalah mahluk sosial yang terus
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi
ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan
secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat
menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang
diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan
halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem
pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu
perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam
memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi
perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa
peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan
klien.

B. Saran-saran
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti
langkah-langkah proses keperawatan dan melaksanakannya secara
sistematis dan tertulis agar tindakan berhasil dengan optimal
2. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan
pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan
saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan
3. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit,
sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan

21
24

dapat membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan


keperawatan bagi klien.
DAFTAR PUSTAKA

Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa.
Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, Jakarta, 2000

Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa,
EGC, Jakarta, 1995

Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta, 1987
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, Surabaya,
1990
asmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga,
CV. Sagung Seto, Jakarta, 2001.
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997

Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, Jakarta, 1998

Amila, Sitorus, Herawati. 2013. Pengaruh Augmentative and Alternative


Communication terhadap Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik.
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/viewFile/61/58. Diakses
tanggal 8 Juli 2018.

Poter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan;


konsep, proses, dan praktek, alih bahasa: Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Nurmufthi, Ghina Y. 2014. Dysarthria Post Stroke Attack with Uncontrolled.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.

Enderby, Cantrell, A., Alex, J., Pickstone, C., Fryer, K., Palmer, R. 2010.
Guidance For Providers of Speech and Language Therapy Service:
Dysarthria: Asia Pasific Journal of Speech, Language, and Hearing. 13, 171-
190

Mardjono, M & Sidharta, P. 2009. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: Dian rakyat.

Rosdiana, Nina. 2012. Pengaruh Latihan NS-OMTs: Blowing Pipe Terhadap


Kemampuan Komunikasi Verbal Pasien Stroke dengan Dysarthria Di
RSUD Banjar, Ciamis dan Tasikmalaya.
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297849T29793%20Pengaruh%20latihan.pdf.
Diakses 1 November 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai