Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

ISI

A. Pengertian Initial Assessment


Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan
penanganan segera. Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentang intervensi
kritis dan waktu yang dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasien harus aman dan
dilakukan secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of
Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini
dilakukan pada pasien memerlukan tindakan penanganan segera dan pada pasien yang
terancam nyawanya. (John Emory Campbell, 2004 : 26).
Initial assesment adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat
darurat yang langsung diikuti dengan tindakkan resusitasi (Suryono dkk, 2008 ).

B. Tujuan
1. Menentukan prioritas penilaian pada penderita multi trauma.
2. Menerapkan prinsip primary survei dan secondary survey pada penderita multi
trauma.
3. Menerapkan cara dan teknik terapi baik pada fase resusitasi.
4. Mengenal riwayat dan mekanisme cidera dalam membantu diagnosis.

C. Komponen
Initial assesment meliputi :
1. Persiapan penderita 6. Survey sekunder (Head to Toe
2. Triage & anamnesis)
3. Survey primer (ABCDE) 7. Pemeriksaan penunjang untuk
4. Resusitasi survey sekunder
5. Pemeriksaan penunjang untuk 8. Pengawasan dan evaluasi ulang
survey primer 9. Terapi definitif
Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial, akan
tetapi dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau simultan.
1. Persiapan penderita
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase
pra rumah sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung
dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah
sakit/hospital dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita sehingga
dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Tahap Pra Rumah Sakit
Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit biasanya dilakukan oleh
keluarga ataupun orang sekitar yang berbaik hati menolong ( good samaritan ).
Prinsip utama adalah tidak boleh membuat keadaan lebih parah ( Do no Further
Harm ).
Keadaan yang ideal adalah dimana unit gawat darurat yang datang ke
penderita sehingga ambulans harus memiliki peralatan yang lengkap. Petugas
yang datang adalah petugas khusus yang telah mendapatkan pelatihan
kegawatdaruratan. Selain itu, diperlukan koordinasi dengan rumah sakit tujuan
terhadap kondiri/ jenis perlukaan sebelum penderita dipindahkan dari tempat
kejadian. Hal ini sangat penting mengingat koordinasi yang baik antara petugas
lapangan dengan petugas di rumah sakit akan menguntungkan penderita.
Tindakan yang harus dilakukan oleh petugas lapangan/ paramedik adalah:
1) Menjaga airway dan breathing.
2) Mengontrol perdarahan dan syok.
3) Imobilisasi penderita.
4) Pengiriman ke rumah sakit terdekat/ tujuan dengan segera.

b. Tahap Rumah Sakit


Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita
tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway
(laringoskop, endotracheal tube) yang sudah dipersiapkan. Selain itu, perlu
dipersiapkan cairan kristaloid (mis : RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan
monitoring serta tenaga laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang
berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan
penyakit menular dengan cara penganjuran menggunakan alat-alat protektif
seperti masker/face mask, proteksi mata/google, baju kedap air, sepatu dan
sarung tangan kedap air.
2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapai dan sumber
daya yang tersedia Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol
vertebra servikal), Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang
akan dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan
masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan
terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar,
serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.

3. Survey primer (ABCDE)


Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada
primary survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur
laring/trakhea. Usaha uhtuk membebaskan airway harus melindungi vertebra
servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw
trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka
harus dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan
kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan
gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada
penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan
auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan
untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan
inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah
tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan
derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya
tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
 Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan
terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada
trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
– Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
– Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat
meruoakan tanda hipovolemia.
– Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri
femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi,
kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya
merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda
gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
 Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber
perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen,
sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau
sebgai akibat dari luka dada tembus perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS /
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal
outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma
langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah
pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.

4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa
merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
a. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway.
Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai
orofaringeal airway.

b. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway /
krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak
memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah teknis.
c. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter
IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan
vena pada lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena
seksi atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh
darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah
segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi
darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus
dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.

5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer


a. Monitor EKG
Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
 Airway seharusnya sudah diatasi.
 Brathing: pemantauan laju nafas ( sekaligus pemantauan airway ) dan bila
ada pulse oximetry.
 Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urine
setiap jam. Apabila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.
 Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil
b. Kateter urin dan lambung
 Kateter uretra
Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika
dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :
– Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
– Hematom di skrotum atau perineum
– Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
– Adanya fraktur pelvis.
Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.

 Kateter lambung atau NGT


Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak
berfungsi. Pemasangan NGT dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam
lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik
( ada perlukaan lambung). Apabila lamina fibrosa patah ( fraktur basis
kranii anterior ), kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk
mencegah masukknya NGT dalam rongga otak.

c. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya


Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses
resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam
nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis.
Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen
merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.

6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)


Survey sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukkan jari
( tube finger in every orifice ). Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita
telah stabil. Keadaan stabil yang dimaksud adalah keadaan penderita sudah tidak
menurun, mungkin masih dalam keadaan syok tetapi tidak bertambah berat. Suvey
sekunder harus melalui pemeriksaan yang teliti pada setiap lubang alami ( tubes
and finger in every orifice )
a. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang dapat dilhat sebagai berikut:
 Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman
mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal, thoraks, abdomen dan
tungkai bawah.
 Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.
 Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE


didapatkan dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:
 A : alergi
 M : medikasi/ obat-obatan
 P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM )
 L : last meal ( terakhir makan jam berapa )
 E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.
1) Kulit Kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Seringkali penderita tampak mengalami
cedera ringan dan ternyata terdapat darah yang berasal dari belakang kepala.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk melihat
adanya laserasi, kontusio, fraktur dan luka termal.
2) Wajah
Apabila cedera terjadi disekitar mata jangan lalai dalam memeriksa mata
karena apabila terlambat akan terjadi pembengkakan pada mata sehingga
pemeriksaaan sulit dilanjutkan. Lakukan Re-Evaluasi kesadaran dengan
skor GCS.
 Mata: periksa kornea mata ada cedera atau tidak, pupil : reflek terhadap
cahaya, pembesaran pupil, visus
 Hidung: apabila terdapat pembengkakan lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
 Telinga: periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani
atau adanya hemotimpanum.
 Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas.
 Rahang Bawah: periksa akan adanya fraktur.
3) Vertebra Servikalis dan Leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk
melakukan fiksasi pada leher dengan bantuan petugas lain. Periksa adanya
cedera tumpul atau tajam. Deviasi trakea dan simetri pulsasi. Tetap jaga
imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Thoraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look, listen, feel.
Inspeksi : dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi
torak bilateral.
Auskultasi: lakukan auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (
bilateral ) dan bising jantung.
Palpasi: lakukan palpasi pada seluruh dinding dada untuk adanya
traumatajam/ tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi: lakukan perkusi untuk mengetahui adanya hipersonor dan
keredupan.
5) Abdomen
Cedera intraabdomen biasanya sulit terdiagnosa , berbeda dengan keadaan
cedera kepala yang ditandai dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebrae
dengan kelumpuhan ( penderita tidak sadar akan keluhan nyeri perutnya dan
defans otot/ nyeri tekan).
Inspeksi: inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal.
Auskultasi: auskultasi bising usus untuk mengetahui adanya penurunan
bising usus.
Palpasi: palpasi abdomen untuk mengetahui adanya nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas.
Perkusi:lakukan perkusi mengetahui adanya nyeri ketok, bunyi timpani
akibat dilatasi lambung akut atau redup bila ada hemoperitoneum.
Apabila ragu-ragu mengenai perdarahan intrabdomen dapat dilakukan
pemeriksaan DPL ataupun USG.
6) Pelvis
Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik ( pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini, kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
lakukan pemasangan PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur
pelvis.
7) Ektrimitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka,
pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari
fraktur dan jangan dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas
mengalami fraktur. Sindroma kompartemen ( tekanan intrakompartemen
dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah)
mungkin akan luput dari diagnosis pada penderita yang mengalami
penurunan kesadaran.
8) Bagian Punggung
Periksa punggung dengan long roll ( memiringkan penderita dengan
tetap menjaga kesegarisan tubuh).

7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder


Pada secondary survey pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan
tambahan seperti foto tambahan, CT-scan, USG, endoskopi dsb.

8. Pengawasan dan evaluasi ulang


Penilaian ulang penderit dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada
kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring tanda-tanda vital dan
jumlah urine.
9. Terapi definitif
Terapi definitif pada umumnya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah.
Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan
resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan
definitive atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah dimulai saat alas an untuk
merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan
mortalitas penderita. Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data
fisioligis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta
factor- faktor yang dapat mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit
terdekat yang cocok dengan kondisi penderita. Tentukan indikasi rujukan, prosedur
rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan dan cara komunikasi dengan dokter
yang akan dirujuk.
BAB 3
ANALISIS
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Basic Trauma Life Support dan Basic Cardiac Life Support ed. III.
Jakarta: Yayasan ambulans Gawat Darurat 118
Darwis, Allan dkk. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama. Ed 2. Jakarta : Kantor
Pusat Palang Merah Indonesia.
Diakses dari https://www.scribd.com/doc/53775357/Initial-Assessment pada
tanggal 19 Februari 2016 pukul 14.15

Anda mungkin juga menyukai