Editor:
Editor
ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul i
Kata Pengantar ii
Terapi individu 1
Terapi kognitif (Cognitive Therapy) 2
Terapi perilaku (Behaviour Therapy) ‘token ekonomi’ 5
Terapi perilaku (Behaviour Therapy) ‘modeling partisipan’ 7
Terapi perilaku – kognitif (Cognitive Behaviour Therapy / CBT) 9
Terapi rational emotive behavior (Rational Eemotive Behaviour 13
Therapy / REBT)
Latihan keterampilan sosial Social skill training (SST) 16
Cognitive behavioral social skills training (latihan 18
keterampilan sosial perilaku kognitif)
Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) 20
Progressive muscle relaxation (PMR) 22
TERAPI PENGHENTIAN PIKIRAN(Thought Stopping / TS) 24
Terapi latihan asertif dengan klien rpk (Assertive Training/ AT) 26
Terapi latihan perilaku asertif 29
Terapi acceptance and commitment (Acceptance and Commitment 31
Therapy /ACT)
Patient education program (PEP) (terapi generalis) 34
Pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat pada klien 36
dengan skizofrenia (Terapi generalis)
Terapi keluarga 37
Terapi Psikoedukasi keluarga Family Psicoeducation (FPE) 38
Triangle therapy 41
Terapi kelompok 43
Logoterapi 44
Terapi self help group (SHG)/ Kelompok swabantu 47
Terapi supportif group (Kelompok suportif) 49
Terapi life review (Terapi telaah pengalaman hidup) 52
TERAPI REMINISCENCE(TERAPI KENANGAN) 54
TERAPI KELOMPOK TERAPEUTIK (TKT) 57
iii
Terapi Individu
1
TERAPI KOGNITIF
(Cognitive Therapy)
1. Definisi:
Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang
didasarkan pada konsep proses patologi jiwa, dimana fokus dari
tindakannya berdasarkan modifikasi dari distorsi kognitif dan
perilaku maladpatif (Townsend, 2009). Menurut Nevid, Rathus,
dan Greene (2006) terapi kognitif juga fokus untuk membantu
klien mengidentifikasi dan mengkoreksi pikiran maladaptif, jenis
pikiran otomatis, dan mengubah perilaku sendiri yang disebabkan
oleh berbagai masalah-masalah emosional Beck, dkk (1987).
2. Tujuan:
Sebagai monitor pikiran otomatis negatif, mengetahui hubungan
antara pikiran, perasaan dan perilaku, mengubah penalaran yang
salah menjadi penalaran yang logis, dan membantu klien
mengidentifikasi dan mengubah kepercayaan yang salah sebagai
pengalaman negatif internal klien.Pemberian terapi kognitif
diharapkan dapat merubah pikiran otomatis negatif klien menjadi
pikiran positif (Townsend ,2009). Membantu klien
mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji
realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah
pesan-pesan internal (Copel, 2007). Mengubah kepercayaan
(anggapan) tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif
yang mendasari permasalahan perilaku (Stuart & Laraia, 2005).
3. Indikasi:
Klien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti
Mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas,
perilaku destruktif tertuju pada orang lain atau diri sendiri,
gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan,
perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran
yang dirasakan, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan
terhadap kemampuan personal, pengurungan diri/menarik diri
secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas,
khawatir yang berlebihan.
2
4. Alat / Media: Buku Kerja (Catatan Harian) klien dan Alat Tulis
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari kondisi dan
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi yang dilihat pada
jurnal harian klien terutama pada sesi 2.
4
TERAPI PERILAKU (Behaviour Therapy)
‘Token Ekonomi’
5
5. Pelaksanaan terapi perilaku :
Sesi 1: Kesepakatan perilaku yang akan diubah, misalnya:
merawat diri, mandi dan berpakaian/berhias.
Sesi 2: Latih kemampuan klien merawat diri: makan
(berikan token jika sudah melakukan terapi dengan
baik)
Sesi 3: Latih kemampuan klien merawat diri: Toileting
(BAB dan BAK).
Sesi 4 : Ungkapan manfaat dan hasil dari latihan setiap sesi
serta merencanakan tindak lanjut.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
6
TERAPI PERILAKU (Behaviour Therapy)
‘Modeling Partisipan’
7
6. Hasil Penelitian terkait:
Iswanti, D.I., Helena, N.C.D., Wardani, I.Y., (2012): Pengaruh
Terapi Perilaku Modeling Partisipan terhadap Kepatuhan Minum
Obat pada Klien Penatalaksanaan Regimen Terapeutik tidak
Efektik di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari kemampuan
klien dalam melaksanakan terapi
8
TERAPI PERILAKU – KOGNITIF
(Cognitive Behaviour Therapy / CBT)
2. Tujuan:
a. Memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan
menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan,
bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali.
Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien
diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif
(Oemarjoedi, 2003).
b. CBT pada klien PTSD bertujuan untuk memutuskan
hubungan negatif yang tercipta antara pikiran dan perilaku
(Parsons, 2009). Diharapkan akhirnya dengan putusnya
hubungan antara pikiran dan perilaku yang negatif, maka
secara keseluruhan cara berpikir dan berperilaku individu
tersebut tidak mengarah pada maladaptif.
10
e. Fauziah, Hamid, A. Y. (2009): Pengaruh Terapi Kognitif
Perilaku pada klien Skizoprenia dengan Perilaku Kekerasan
di RS Marzoeki Mahdi Bogor.
f. Wahyuni, S., Keliat, B. A. dan Yusron, Susanti, H. (2010):
Pengaruh cognitive behaviour therapy terhadap halusinasi
klien di Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan.
g. Erwina, I,. Keliat, B. A., Yusron, N, (2010): Pengaruh
Cognitive Behavior Therapy Terhadap Post Traumatic Stress
Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa di Kelurahan Air
Tawar Barat Kecamatan Padang Utara Propinsi Sumatera
Barat.
h. Susanti, H. Dan Wardani, I. Y., (2009): Pengaruh Terapi
Perilaku Kognitig Terhadap Persepsi, Sikap, Dan Perilaku
Klien Skizoprenia Di Ruang MPKP RS. Marzoeki Mahdi
Bogor.
i. Hidayat, E., Keliat, B.A., Wardani, I.Y., (2011): Pengaruh
cognitive behavior therapy (CBT) dan rational emotive
behavior therapy (REBT) terhadap klien perilaku kekerasan
dan harga diri rendah di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
j. Sudiatmika, I.K., Keliat, B.A., Wardani, IY., (2011).
Efektivitas cognitive behaviour therapy dan rational emotive
behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan
dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor.
k. Sukma, Budi Anna Keliat, Mustikasari (2015). Pengaruh
Cognitive Behaviour Therapy dan Cognitive Behavioural
Social Skills Training terhadap Gejala Klien Halusinasi dan
Isolasi Sosial di Rumah Sakit.
l. Lelono, S.K., Keliat, B.A., Besral, (2011): Efektivitas
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Rational Emotive
Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku
Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor.
m. Setyaningsih, T., Mustikasari, Nuraini, T., (2011).
Pengaruh Cognitive Behavior Therapy (CBT) terhadap
perubahan harga diri klien GGK di Unit Hemodialisa RS.
Husada Jakarta.
n. Nyumirah, S., Hamid, A.Y., Mustikasari, (2012). Pengaruh
Terapi perilaku kognitif terhadap kemampuan interaksi
sosial klien isolasi sosial di RSJ Dr Amino Gondohutomo
Semarang.
o. Florensa, Keliat (2012). Pengaruh Cognitive Behavior
Therapy Terhadap Efikasi Diri dan Depresi Pada Remaja
Sekolah Menengah Pertama di Kota Bogor.
11
p. Giur Hargiana, Budi Anna Keliat,
Mustikasari,(2015).Pengaruh Cognitive Behavior Therapy
Terhadap Perubahan Perilaku Merokok, Ketergantungan
Nikotin Dan Ansietas di Masyarakat Kecamatan Cigombong.
q. Norman Wijaya Gati, Mustikasari, Hayuni Rahmah
Pengaruh Cognitive Behavior Therapy (CBT) Terhadap
perubahan Acute Stress Disorder (ASD) Paska Bencana
Longsor.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 5 saja dan tiap sesi
memungkinkan dilakukan lebih dari satu kali pertemuan
tergantung dari kemampuan klien dalam melaksanakan terapi
12
TERAPI RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR
(Rational Emotive Behaviour Therapy / REBT)
1. Definisi:
Merupakan suatu metoda terapi yang menggunakan pendekatan
kognitif dan perilaku untuk memahami dan mengatasi masalah
emosi dan perilaku negatif yang berasal dari keyakinan-
keyakinan yang tidak rasional (irrasional). REBT merupakan
suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang mengemukakan
fakta- fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari
kejadian yang dialami namun dari keyakinan – keyakinan yang
tidak rasional.
2. Tujuan:
Membantu individu untuk dapat menolong diri sendiri dengan
mengajarkan cara mengubah keyakinan irrasionalnya menjadi
lebih rasional melalui pembelajaran dan latihan terhadap
kognitif, emosi dan perilaku sehingga memungkinkan bagi
klien untuk melakukan koping dalam jangka waktu yang
panjang di masa yang akan datang.
3. Indikasi:
a. Diberikan pada anak dan dewasa seperti pada pertumbuhan
individu yang dapat digunakan untuk membantu individu
mengembangkan diri dan bertindak lebih fungsional dalam
menjalani filosofi hidupnya dan efektivitas disekolah maupun
ditempat kerja. Diagnosa keperawatan Potensial pembentukan
identitas diri, Potensial berkembangnya konsep diri dan
Potensial berkembangnya integritas diri.
b. Diberikan pada kondisi klinis seperti pada klien dengan
depresi, gangguan kecemasan (obsesif kompulsif,
agoraphobia, agora spesifik, general ansietas dan post
traumatic), gangguan makan, adiksi, gangguan kontrol impuls,
manajemen marah, perilaku antisocial, gangguan personal,
kekerasan seksual, gangguan fisik atau gangguan mental,
manajemen stress, manajemen nyeri dan gangguan perilaku
pada anak dan dewasa serta masalah hubungan dalam
13
keluarga. Diagnosa keperawatan yang membutuhkan
psikoterapi REBT adalah risiko perilaku kekerasan, ansietas,
harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusaan dan
sindroma pasca trauma.
4. Alat / Media: alat tulis dan kertas, buku kerja untuk klien,
dan lembar evaluasi klien untuk terapis.
5. Pelaksanaan Terapi:
a. Fase I disebut Fase Persiapan Kognitif yang terdiri atas 3
sesi yaitu :
Sesi 1 : Bina hubungan saling percaya dan harapan
Sesi 2 : Memahami rentang perasaan senang sampai
marah yang dirasakan (termometer perasaan)
Sesi 3 : Fakta lawan opini
b. Fase II yang disebut Fase Belajar Model Kognitif ACBs
terdiri atas satu sesi yaitu:
Sesi 4 : Belajar model kognitif ACBs (Rational Self
Analysis)
c. Fase III yang disebut Fase Latihan Model Kognitif ACBs
terdiri atas satu sesi yaitu :
Sesi 5 : Latihan model kognitif ACBs (Rational Self -
Analysis)
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 5 saja dan tiap sesi
memungkinkan dilakukan lebih dari satu kali pertemuan
tergantung dari kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
15
LATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL
SOCIAL SKILL TRAINING (SST)
2. Tujuan :
a. Menurunkan kecemasan meningkatkan kontrol diri
pada klien dengan fobia sosial, meningkatkan kemampuan
klien dalam aktifitas bersama, bekerja dan meningkatkan
kemampuan sosial klien skizofrenia.
b. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan
sosial bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam
berinteraksi meliputi keterampilan memberikan pujian,
mengeluh karena tidak setuju, menolak permintaan orang
lain, tukar menukar pengalaman, menuntut hak pribadi,
memberi saran pada orang lain, pemecahan masalah yang
dihadapi, bekerjasama dengan orang lain, dan beberapa
tingkah laku lain yang tidak dimiliki klien (Michelson, 1985).
16
4. Alat / Media: buku kerja dan alat tulis.
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Bersosialisasi (bahasa tubuh, ucapkan salam,
perkenalkan diri, menjawab pertanyaan &
bertanya untuk klarifikasi).
Sesi 2 : Menjalin persahabatan (memberikan pujian,
meminta dan memberikan pertolongan kepada
orang lain dan mengungkapkan perasaan saat
mendapat masukan).
Sesi 3 : Bekerja sama dalam kelompok.
Sesi 4 : Menghadapi situasi sulit
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi berdasarkan jurnal
klien. Terapi Social Skill Training ini dapat dilakukan secara
kelompok.
17
COGNITIVE BEHAVIORAL SOCIAL SKILLS
TRAINING (LATIHAN KETERAMPILAN
SOSIAL PERILAKU KOGNITIF)
1. Definisi:
Group psikoterapi yang merupakan kombinasi Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) dan Social Skills Training (SST)
untuk meningkatkan fungsi kognitif (proses kognitif) dan
ketrampilan fungsi sosial pada klien skizofrenia (Mc.Quaid, et al,
2000).
2. Tujuan:
Meningkatkan fungsi dan kualitas hidup klien skizofrenia,
melatih teknik koping kognitif dan perilaku, ketrampilan
fungsi sosial, problem-solving, dan mengatasi gangguan
neurokognitif. Ketrampilan problem-solving merupakan
rangkaian kegiatan CBT yang menekankan pada pemahaman dan
mengatasi masalah yang dihadapi sehari-hari, seperti masalah
impersonal (masalah keuangan, transportasi), masalah
personal/intrapersonal (kognitif, emosi, perilaku), dan masalah
interpersonal (konflik dalam berhubungan dengan orang lain).
(Mc.Quaid, et al, 2000).
4. Alat / Media: buku kerja terapis dan klien, jadwal kegiatan harian
dan alat tulis.
5. Pelaksanaan Terapi :
Sesi 1 : Orientasi kelompok, pengkajian dan formulasi
masalah.
Sesi 2 : Melatih memberi tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif.
Sesi 3 : Melatih ketrampilan merubah perilaku negatif
Sesi 4 : Melatih komunikasi untuk menjalin persahabatan
Sesi 5 : Melatih komunikasi untuk mengatasi situasi sulit
18
Sesi 6 : Melakukan evaluasi manfaat latihan kognitif dan
perilaku/ psikomotor komunikasi
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 6 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
19
Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT)
1. Definisi:
Cognitive Behavior Play Therapy merupakan gabungan
intervensi kognitif dan perilaku dalam terapi bermain dengan
menggunakan kerangka teoretis berdasarkan kognitif-perilaku
dan prinsip mengintegrasikan dengan cara perkembangan sensitif
dan pendekatan verbal dan nonverbal yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang
spesifik digunakan, dapat membantu anak mengembangkan
pikiran dan perilaku yang lebih adaptif (Knell,2006).
2. Tujuan:
Memfasilitasi anak untuk menggambarkan pengalaman dan
emosi melalui pengunaan model sebagai metode untuk
mengurangi tingkah laku maladaptif yang mengganggu dengan
mengembangkan proses kognitif (Knell 1993 dalam Drews,2009)
3. Indikasi:
Anak-anak dengan berbagai diagnosa, seperti selektif mutisme,
ansietas dan fobia encopresis (Knell & Moore, 1990; Knell,
1993), anak yang telah mengalami pengalaman traumatis, seperti
pelecehan seksual, pada anak hiperaktif dengan masalah
gangguan prilaku, pada anak dengan depresi, anak dengan
masalah ansietas, marah, anak dengan masalah perceraian,
masalah isolasi sosial, tidak percaya diri dan harga diri rendah.
4. Alat / Media:
Buku cerita, playdoh, kontruksi, menggambar, melukis dengan
jari, permainan, permainan imajinasi, hewan miniatur, menempel,
boneka, baki pasir, tokoh kartun/figur, dan lembar kerja seperti
kertas lipat.
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Psikoedukasi
Sesi 2 : Latihan mengatur respon fisik terhadap ansietas
Sesi 3 : Latihan merubah pikiran dan keyakinan negatif
menjadi positif
20
Sesi 4 : Latihan menghadapi situasi sulit
Sesi 5 : Mencegah kekambuhan
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 5 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
21
PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR)
1. Definisi:
Progressive Muscle Relaxation (PMR) adalah terapi relaksasi
dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan otot–otot pada
satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan
relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan
secara progresif kelompok otot ini dilakukan secara berturut-turut
(Synder & Lindquist, 2002). Pada saat tubuh dan pikiran rileks,
secara otomatis ketegangan yang seringkali membuat otot-otot
mengencang akan diabaikan (Zalaquet & mcCraw, 2000; Conrad
& Roth, 2007).
2. Tujuan:
Mengurangi ansietas, insomnia, dan nyeri (Conrad&Roth,2007)
3. Indikasi:
Teknik ini dianjurkan untuk orang-orang dengan gangguan
kecemasan, imsomnia dan nyeri. Synder dan Lynquist (2002)
mengatakan PMR dapat digunakan sebagai terapi dalam
managemen stress dan kecemasan dan nyeri pada gangguan fisik
seperti klien asma, hipertensi, COPD (chronic obstructive
pulmonary diseases), klien dengan gangguan jiwa (psychiatric),
klien dengan pemulihan memori/ingatan, klien kanker,
postoperative, sakit kepala, klien mual muntah, HIV, penyakit
herpes dan klien yang akan mendapat prosedur medik tertentu.
4. Alat / Media: buku kerja dan alat tulis, CD dan DVD player.
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Pelaksanaan tehnik relaksasi, meliputi otot dahi dan
mata, mulut, leher, tangan, lengan, punggung, bahu,
dada, abdomen, tungkai, kaki.
Sesi 2 : Evaluasi gejala dan kemampuan.
22
6. Hasil Penelitian terkait:
a. Carvalho. (2007). A pilot study of a relaxation technique for
management of nausea and vomiting in patients receiving
cancer chemotherapy.http://proquest.umi.com/pqdweb,
diunduh tanggal 21 Januari 2012.
b. Chen, et al. (2009). Efficacy of Pregressive muscle relaxation
training in reducing anxiety in patient with acute
schizophrenia.Journal of Clinical Nursing, 18, 2187‐2196
c. Conrad. A, Roth.T.W (2007). Muscle Relaxation therapy for
anxiety disorders: It works but how?. Journal of anxiety
disorder.21, 243-264.
d. Supriatin, L., Keliat, B. A., dan Nuraeni, T., Susanti, H.
(2010): Pengaruh Terapi Thought Stopping dan Progressive
Muscle Relaksasi terhadap Ansietas pada klien dengan
gangguan fisik di RSUD dr. Soedono Madiun.
e. Alini, Keliat, B.A., Wardani, I.Y., (2011): Pengaruh Terapi
Assertiveness Training dan Progressive Muscle Relaxation
Terhadap Gejala dan Kemampuan Klien Dengan Perilaku
Kekerasan Di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
f. Tobing, D.L., Keliat, B.A., Wardani, I.Y., (2012): Pengaruh
Progressive Muscle Relaxation dan Logoterapi Terhadap
Ansietas Dan Depresi, Kemampuan Relaksasi dan
Kemampuan Memaknai Hidup Klien Kanker di RS Kanker
Dharmais, Jakarta
g. Livana., Daulima, N. H.C., & Mustikasari. (2014). Pengaruh
Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Pada
Keluarga dalam menghadapi anggota Keluarga Gangguan
Jiwa di Poli jiwa RSUD Dr Soewondo Kendal
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 2 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
23
TERAPI PENGHENTIAN PIKIRAN
(Thought Stopping / TS)
1. Definisi:
Sebuah tehnik penghentian yang dipelajari sendiri oleh
seseorang yang dapat digunakan setiap kali individu ingin
menghilangkan pikiran mengganggu atau negatif dan pikiran
yang tidak diinginkan dari kesadaran Townsend (2009). Stuart
dan Laraia (2005) menjelaskan thougth stopping adalah suatu
proses terapi yang dapat membantu menghentikan pikiran yang
mengganggu.
2. Tujuan:
Membantu klien mengatasi kecemasan yang mengganggu,
mengatasi pikiran negative atau maladaptive yang sering
muncul dan mengatasi pikiran obsesif dan fobia (Stuart dan
Laraia,2005).
3. Indikasi:
4. Klien yang mempunyai kesulitan karena sering mengulang
pikiran maladaptifnya, klien yang berpikir tidak benar
(memiliki pikiran negatif tentang dirinya), dan klien yang
selalu merasa khawatir tentang munculnya pikiran cemas secara
berulang.
5. Alat / Media:
Buku kerja, alat tulis dan alat untuk menghentikan pikiran,
seperti alarm/weker atau karet.
6. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Identifikasi pikiran yang mengganggu dan
pemutusan pikiran dengan menggunakan alarm atau
hitungan teratur ( hitungan atau alaram).
Sesi 2 : Pemutusan pikiran dengan menggunakan alarm dan
hitungan bervariasi.
Sesi 3 : Evaluasi manfaat pemutusan pikiran.
24
6. Hasil Penelitian terkait:
a. Agustarika, B., dan Keliat, B. A. (2009): Pengaruh Terapi
Thought Stopping terhadap ansietas klien dengan gangguan
Fisik di RSUD Kabupaten Sorong.
b. S.upriatin, L., Keliat, B. A., Nuraeni, T., dan Susanti, H.
(2010): Pengaruh Terapi Thought Stopping dan
Progressive Muscle Relaksasi terhadap Ansietas pada
klien dengan gangguan fisik di RSUD dr. Soedono Madiun.
c. Nasution, M.L., Hamid, A.Y., Helena, N.C.D., (2011):
Pengaruh Thought Stopping Terhadap Tingkat Kecemasan
Keluarga (Caregiver) dengan Anak Usia Sekolah yang
Menjalani Kemoterapi di RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 3 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi
25
TERAPI LATIHAN ASERTIF DENGAN KLIEN RPK
(Assertive Training / AT)
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Pengenalan diri, sikap, perilaku asertif dan latihan asertif
Sesi 2 : Mengungkapkan keinginan dan kebutuhan dan cara
memenuhinya
Sesi 3 : Menjalin hubungan sosial dan manajemen konflik.
26
Sesi 4 : Mempertahankan perubahan perilaku asertif dalam
berbagai situasi
27
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam
melaksanakan terapi. Terapi ini dapat digunakan pada klien sehat
untuk meningkatkan komunikasi asertif orang tua pada anak
dengan memodifikasi Sesi I: Latih kemampuan orang tua
membedakan asertif, agresif, dan pasif.
Sesi II: Latih mendengarkan keluhan anak secara empati. Sesi
selanjutnya sama dengan diatas.
28
Terapi Latihan Perilaku Asertif
1. Definisi:
Latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan kepada
klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi
diri, dari perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya
(Gunarsa, 2007)
2. Tujuan:
Membangun kesadaran diri, membina hubungan sosial dengan
sesama anak usia sekolah, memecahkan masalah yang dihadapi,
melaksanakan resolusi konflik, mengembangkan perilaku asertif.
3. Indikasi:
Klien dengan perilaku kekerasan, yang sudah dapat
berkomunikasi verbal cukup baik, yang sedang tidak melakukan
perilaku kekerasan, yang tidak autistik, klien dengan halusinasi
yang bisa mengontrol halusinasinya, dan klien dengan kondisi
fisik yang baik dan sehat (Susana & Hendarsih, 2012), kondisi
individu tertekan, manipulatif dan agresif, keadaan depresi,
marah, frustasi, kecemasan, keterbatasan hubungan sosial,
masalah fisik dan masalah pola asuh, riwayat perilaku kekerasan,
kecemasan social dan konsep diri rendah (Walter, Keliat, Sunarto
2012). Bullying dapat diindikasikan pula untuk diberikan latihan
asertif.
4. Alat / Media:
Alat terapi tergantung pada metode yang dipakai, antara lain alat
tulis dan kertas, leaflet, booklet, poster, dan lain sebagainya.
Tetapi alat yang paling utama adalah diri perawat sebagai terapis,
perawat harus dapat menjadi role model bagi anak usia sekolah.
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Membangun kesadaran diri
Sesi 2 : Membina hubungan social dengan sesama anak usia
sekolah
Sesi 3 : Pemecahan masalah
29
Sesi 4 : Resolusi Konflik
Sesi 5 : Resolusi Konflik
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 5 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
30
TERAPI ACCEPTANCE AND COMMITMENT
(Acceptance and Commitment Therapy /ACT)
1. Definisi:
Merupakan terapi yang membantu menolong klien dengan
menggunakan penerimaan psikologi sebagai strategi koping
dalam situasi stres baik internal maupun eksternal yang tidak
mudah untuk dapat diatasi. Klien dibantu untuk menerima
kejadian yang tidak diinginkan, mengidentifikasi dan fokus
pada aksi secara langsung sesuai dengan tujuan yang diinginkan
(Hayes,2005).
3. Indikasi:
Klien gangguan mood, gangguan ansietas, penyalahgunaan
zat dan skizofrenia (Bach & Hayes,2002). ACT juga digunakan
pada gangguan ansietas seperti pengobatan pada PTSD,
gangguan panik, dan perilaku marah.ACT sangat disarankan
untuk dilakukan sebagai intervensi pada klien masalah kejiwaan
dan psikososial (Eifert & Forsyth,2011)
4. Alat / Media: Alat tulis, modul, buku kerja klien, dan buku
evaluasi klien.
31
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Mengidentifikasi kejadian, pikiran dan perasaan
yang muncul serta dampak perilaku yang muncul
akibat pikiran dan perasaan.
Sesi 2 : Mengidentifikasi nilai berdasarkan pengalaman klien
Sesi 3 : Berlatih Menerima Kejadian dengan nilai yang
dipilih
Sesi 4 : Komitmen dan Mencegah kekambuhan
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi berdasarkan hasil
jurnal klien.
33
Patient Education Program (PEP)
(Terapi Generalis)
1. Definisi:
Patient education program merupakan program yang berisi lima
unsur pendidikan antara lain: menginformasikan klien tentang
penyakit, menginstruksikan klien untuk melakukan latihan di
rumah, memberikan saran dan informasi tentang penyakit yang
berhubungan dengan perilaku, memberikan pendidikan secara
kesehatan umum dan konseling klien tentang manajemen stres
yang berhubungan dengan masalah kesehatan yang dihadapi
(Dreeben-irimia, 2010).
2. Tujuan:
Tujuan patient education program adalah untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan dan memperlambat kecatatan. Tujuan
lainnya adalah merubah perilaku klien, sikap mental klien, atau
keduanya terhadap penyakitnya. Tujuan akhir dari program ini
adalah kepatuhan minum obat meningkat, kekambuhan dapat
dihindari, lama rawat inap memendek, dan penurunan depresi
(Lorig, 2000).
3. Indikasi:
Patient Education Program dapat dilakukan pada klien dengan
masalah kejiwaan, seperti klien skizofrenia dan sudah tentu
pelaksanaannya harus dilakukan modifikasi atau penyesuaian.
4. Alat / Media:
Alat tulis, modul, buku kerja klien, dan buku evaluasi klien.
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Identifikasi Pemahaman Tentang Penyakit Dan Upaya
Perawatan
Sesi 2 : Mendiskusikan Tentang Penyakit
Sesi 3 : Mendiskusikan Pengobatan dan Perawatan Penyakit
Skizofrenia
Sesi 4 : Mengevaluasi Pemahaman Penyakit dan Rencana
Perawatan
34
6. Hasil Penelitian terkait:
Jalil, A. Keliat, B.A., & Pujasari, H. (2013). Pengaruh Terapi
Penerimaan dan Komitmen (TPK) dan Program Edukasi Klien
(PEP) Terhadap Insight Dan Efikasi Diri Klien Skisofrenia Di
Ruang Rawat Inap RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi.
35
Pendidikan Kesehatan Tentang Kepatuhan Minum Obat
Pada Klien Dengan Skizofrenia
(Terapi generalis)
1. Definisi:
Pendidikan kesehatan adalah tindakan keperawatan untuk
meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga mengenai cara
perawatan klien.
2. Tujuan:
Membantu klien skizofrenia agar mampu mengelola obat dengan
baik.
3. Indikasi:
Klien dengan skizofrenia
4. Alat / Media:
Booklet, alat tulis
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Penjelasan manajemen pengobatan untuk klien skizofrenia
Sesi 2 : Penetapan tujuan dan bentuk rencana tindakan
36
TERAPI KELUARGA
37
TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA
Family Psychoeducation(FPE)
1. Definisi:
Merupakan salah satu elemen program perawatan kesehatan
jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi
melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi
merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik
(Stuart & Laraia, 2005). Psikoedukasi keluarga merupakan
sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap
pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga
keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari keseluruhan
intervensi klinik untuk anggota keluarga yang mengalami
gangguan (Towsend,2009).
2. Tujuan:
Mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa, meningkatkan
fungsi klien dan keluarga sehingga mempermudah klien
kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan
memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi
klien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan anggota
keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan
kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga
untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan
antar anggota keluarga dan orang lain. Psikoedukasi diharapkan
mampu mengurangi penolakan serta beban keluarga
(Stuart,2009).
3. Indikasi:
Untuk anggota keluarga dengan aspek psikososial dan gangguan
jiwa (Stuart,2009).
4. Alat / Media:
Buku kerja, alat tulis dan leaflet (terkait dalam bab2).
38
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Identifikasi masalah keluarga: dalam merawat klien dan
masalah pribadi Care Giver
Sesi 2 : Perawatan klien oleh keluarga.
Sesi 3 : Manajemen Stres oleh Keluarga
Sesi 4 : Manajemen Beban Keluarga
Sesi 5 : Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga
39
g. Kustiawan, R, Hamid, AY., Hastono, S.P., (2012):
Pengaruh Terapi Psikoedukasi Ke1uarga Terhadap
Kemampuan Ke1uarga Merawat Klien HDR Di Kola
Tasikma1aya.
h. Imelisa, R., Keliat, B.A.,& Hastono, S.P. (2012). Pengaruh
Asuhan Keperawatan Pada Klien, Keluarga Dan Peran
Pengawas Minum Obat Terhadap Kemandirian Dan
Kepatuhan Berobat Klien Schizophrenia Di Kersamanah
Garut.
i. Ramadia, A., Keliat, B.A & Wardhani, I.Y. (2013) Pengaruh
Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Terhadap
Depresi, Ketidakberdayaan Dan Kemampuan Mengubah
Pikiran Negatif Pada Klien Stroke di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
j. Niman, S., Hamid, A.Y., & Wardani, I.Y. (2013). Pengaruh
Psikoedukasi Keluarga dan Pendidikan Kesehatan terhadap
Dukungan keluarga pada klien CHF
k. Pase, M., Keliat, B.A & Pujasari, H. (2013). Pengaruh
Terapi Kelompok Terapeutik dan Psikoedukasi Keluarga
Terhadap Integritas Diri Lansia di RW I dan RW XI
Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara.
l. Silitonga, R.O., Keliat, B.A., & Wardhani, I.Y. (2013).
Pengaruh Acceptance and Commitment Therapy dan Family
Psychoeducation terhadap Kemampuan Menerima dan
Berkomitmen Serta Mengatasi Kondisi Depresi dan Ansietas
Klien HIV/AIDS Di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
m. Rahman, G., Mustikasari., & Putri, Y.S.E. (2014). Pengaruh
family psychoeducation therapy terhadap tingkat
kemampuan keluarga merawat klien skizofrenia di kota
Samarinda Kaltim
n. Widyastuti, N., Daulima, N.H.C., & Mustikasari. (2014).
Pengaruh family psychoeducation terhadap dukungan
keluarga dalam meningkatkan kepatuhan klien minum obat.
Catatan:
Terapi tidak berakliir pada sesi 5 saja dan tiap sesi
rnernungkinkan di1akukan 1ebih dari satu ka1i perternuan
tergantung dari kernarnpuan klien da1arn rne1aksanakan terapi.
40
TRIANGLE THERAPY
1. Definisi:
Merupakan salah satu terapi yang dapat mempengaruhi atau
memperbaiki respon koping keluarga dalam pengambilan
keputusan untuk menyelesaikan masalah yang dirasakan oleh
keluarga (Shives,2005)
5. Pelaksanaan Terapi:
Sesi 1 : Identifikasi masalah klien dan anggota keluarga.
Sesi 2 : Identifikasi kompetensi klien dan anggota keluarga.
Sesi 3 : Kolaborasi antar klien dan anggota keluarga.
Sesi 4 : Penyelesaian masalah: sistem dan struktur keluarga.
Sesi 5 : Penyelesaian masalah: hubungan dan cara merawat.
Sesi 6 : Evaluasi hasil keberhasilan asuhan keperawatan klien.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 6 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi
42
TERAPI KELOMPOK
43
LOGOTERAPI
1. Definisi:
Penggunaan teknik untuk menyembuhkan atau mengurangi dan
meringankan krisis eksistensial melalui penemuan makna hidup
(Frankl,2003)
2. Tujuan:
Meningkatkan makna pengalaman hidup individu yang diarahkan
kepada pengambilan keputusan yang bertanggungjawab
(Lewis,2011).
3. Indikasi:
a. Kasus psikososial seperti : cemas, insomnia, migraine, rasa
kehilangan karena penyakit atau kematian, disorientasi,
anak-anak yang resisten, anoreksia nervosa.
b. Kasus psikotik seperti pikiran dan perilaku obsesif
kompulsif, multiple personality disorder, conversion disorder.
c. Pada lanjut usia (lansia) karena adanya perubahan-
perubahan dan kehilangan- kehilangan yang dialami dalam
hidup menyebabkan terjadinya krisis makna yang akhirnya
menurunkan motivasi untuk hidup (Lewis,2011)
5. Pelaksanaan Terapi
Logoterapi Value Awareness Technique Klien Gangguan:
Sesi 1 : Identifikasi masalah, penyebab dan harapan.
Sesi 2 : Stimulasi imaginasi yang kreatif (dari harapan dan
makna dari harapan tersebut)
Sesi 3 : Memproyeksikan nilai-nilai yang dipilih (harapan yang
dipilih).
Sesi 4 : Evaluasi dan terminasi
45
g. Sarfika, R., Keliat, B. A., Wardani, I.Y., (2012): Pengaruh
Terapi Kognitif dan Logoterapi Terhadap Depresi, Ansietas,
Kemampuan Mengubah Pikiran Negatif, dan Memaknai
Hidup Klien Diabetes Melitus Di RSUP Dr. M Djamil
Padang.
h. Slametiningsih, Mustikasari, Putri, Y.S.E., (2012): Pengaruh
Logoterapi Paradoxical Intention Individu Terhadap
Penurunan Kecemasan Pada Klien Gagal Ginjal Kronik
(GGK) Yang Menjalani Terapi Hemodialisa. di Rumah Sakit
Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu
kali pertemuan tergantung dari kemampuan klien dalam
melaksanakan terapi
46
TERAPI Self Help Group (SHG)
Kelompok Swabantu
1. Definisi:
Merupakan suatu pendekatan untuk mempertemukan kebutuhan
keluarga dan sumber penting untuk keluarga (peer), dimana
setiap anggota saling berbagi masalah fisik maupun emosional
atau issue tertentu (Anonim, 2008). Menurut Citron, et
al,1999), SHG merupakan sekumpulan dua orang atau lebih yang
mempunyai keinginan untuk berbagi permasalahan, saling
membantu terhadap hal yang dialami atau yang menjadi
fokus perhatian bertujuan mengatasi gangguan jiwa dan
meningkatkan kemampuan kognitif dan emosional sehingga
tercapai perasaan sejahtera.
2. Tujuan:
Memberikan support terhadap sesama anggota dan membuat
penyelesaian masalah secara lebih baik dengan cara berbagi
perasaan dan pengalaman, belajar tentang penyakit dan
memberikan asuhan, memberikan kesempatan caregiver untuk
berbicara tentang permasalahan dan memilih apa yang akan
dilakukan, saling mendengarkan satu sama lain, membantu
sesama anggota kelompok untuk berbagi ide-ide dan informasi
serta memberikan support, meningkatkan kepedulian antar
sesama anggota sehingga tercapainya perasaan aman dan
sejahtera, mengetahui bahwa mereka tidak sendiri (Citron,et
al,1999).
3. Indikasi:
Pada keluarga dengan gangguan jiwa, atau pada semua kondisi
untuk mengatasi masalah emosional, ketidakmampuan fisik,
gangguan makan, ketergantungan, dan masalah psikososial
dengan harga diri rendah situasional (Citron, et al, 1999).
47
5. Pelaksanaan Terapi:
a. Tahap I : Pembentukan self help group (3 kali pertemuan)
Sesi 1 : Memahami masalah
Sesi 2 : Cara untuk menyelesaikan masalah
Sesi 3 : Memilih cara pemecahan masalah
Sesi 4 : Melakukan tindakan untuk penyelesaian masalah
Sesi 5 : Pencegahan kekambuhan
c. Tahap II : Implementasi SHG secara mendiri oleh kelompok.
48
TERAPI SUPPORTIF GROUP
(KELOMPOK SUPORTIF)
1. Definisi:
Merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur
dan berespon secara langsung terhadap issue-issue dan tekanan
yang khusus maupun keadaan yang merugikan (Grant,1997).
2. Tujuan:
Memberikan support terhadap keluarga sehingga mampu
menyelesaikan krisis yang dihadapinya dengan cara membangun
hubungan yang bersifat suportif antara klien-terapis,
meningkatkan kekuatan keluarga, meningkatkan keterampilan
koping keluarga, meningkatkan kemampuan keluarga
menggunakan sumber kopingnya, meningkatkan otonomi
keluarga dalam keputusan tentang pengobatan, meningkatkan
kemampuan keluarga mencapai kemandirian seoptimal mungkin,
serta meningkatkan kemampuan mengurangi distres subyektif
dan respons koping yang maladaptive (Cook, et al, 1999).
3. Indikasi:
Pada klien dengan potensial pertumbuhan dan perkembangan,
masalah keperawatan resiko serta masalah gangguan kesehatan
jiwa dan fisik (Thompson,2006).
5. Pelaksanaan Terapi :
Sesi 1 : Identifikasi kemampuan keluarga dan sumber
pendukung yang ada.
Sesi 2 : Menggunakan sistem pendukung dalam keluarga,
monitor, dan hambatannya.
Sesi 3 : Menggunakan sistem pendukung di luar
keluarga, monitor, dan hambatannya.
Sesi 4 : Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber.
49
6. Hasil Penelitian terkait:
a. Holmes, J. (1995). Supportive Psychotherapy The Search For
Positive Meanings. ¶1, http://www.bjp.rcpsych.org/cgi.
Diunduh tanggal 2 Maret 2009.
b. Hunt. (2004). A Resource Kit for Self Help / Support Groups
for People Affeccted by an Eating Disorder.
http://www.medhelp.org/njgroups/VolunteerGuide.pdf
Diunduh tanggal 6 April 2009.
c. Hernawaty, T., Keliat, B. A., Hastono, S. P., dan Helena,
N. CD. (2009): Pengaruh Terapi Supportif Keluarga
Terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Klien
Gangguan Jiwa di Kelurahan Bubulak Bogor Barat.
d. Surtiningrum, A., Hamid, AY., Waluyo, A., (2011):
Pengaruh Terapi Suportif Terhadap Kemampuan
Bersosialisasi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang.
e. Wahyuningsih, S.A., Mustikasari, Waluyo, A., (2011):
Pengaruh Terapi Suportif terhadap Kemampuan Keluarga
Merawat Klien Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang Menjalani
Hemodialisa di Rumah Sakit PELNI Jakarta.
f. Hidayati, E., Mustikasari, Pujasari, H., (2011): Pengaruh
terapi kelompok suportif terhadap kemampuan mengatasi
perilaku kekerasan pada klien skizopfrenia di Rumah Sakit
Dr. Amino Gondohutomo kota semarang.
g. Dewi, E.I., Hamid, AY., Mustikasari, (2011): Pengaruh
Terapi Kelompok Suportif terhadap Beban dan Tingkat
Ansietas Keluarga dalam Merawat Anak Tunagrahita di
Sekolah Luar Biasa Kabupaten Banyumas.
h. Swasti, K.G., Helena, N.C.D., Pujasari, H., (2011): Pengaruh
Terapi Suportif terhadap Ansietas Siswa Kelas XII SMAN I
Kutasari dalam Menghadapi Ujian Nasional.
i. Murdhiono, W.R., Helena, N.C.D., Nuraini, T., (2011):
Pengaruh Tindakan Keperawatan Generalis dan Terapi
Kelompok Suportif Terhadap Perubahan Harga Diri Klien
Diabetes Melitus di RS Panembahan Senopati Bantul.
j. Yunitri, N., Keliat, B.A., Hastono, S.P., (2012): Terapi
Kelompok Suportif Ekspresif untuk mengatasi depresi pada
klien kanker.
50
k. Ervan., Mustikasari, & Widyatuti. (2014). Pengaruh terapi
supportif terhadap integritas diri pada lanjut usia kelurahan
Sukadamai Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi dan berdasarkan
jurnal klien.
51
TERAPI LIFE REVIEW
(TERAPI TELAAH PENGALAMAN HIDUP)
1. Definisi:
Terapi yang mengeksplorasi pengalaman hidup masa lalu,
kekuatan dan prestasi dari lansia dan membawa cerita samapai
sekarang dalam rangka untuk mengatasi stadium akhir-hidup
seseorang untuk mencapai integritas (Mitchell,2009).
2. Tujuan:
Mencegah dan mengurangi depresi, meningkatkan kepuasan,
meningkatkan perawatan diri, meningkatkan harga diri,
membantu lansia menghadapi krisis, kehilangan dan masa
transisi, meningkatkan kualitas hidup, mengatasi keputusasaan
(Seranno, et al 2004).
3. Indikasi:
Lansia dengan masalah psikosial dalam hal ini kondisi depresi
ringan sampai sedang. Membantu lansia mengatasi masalah
depresi yang dialami dan meningkatkan kualitas hidup dimasa
hari tuanya. Diagnosa keperawatan adalah harga diri rendah,
ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi social, koping individu
tidak efektif dan ansietas (Westerhof,2012).
4. Alat / Media: buku kerja terapis dan klien, jadwal kegiatan harian
dan alat tulis.
5. Pelaksanaan Terapi :
Sesi 1 : Pengalaman masa anak-anak
Sesi 2 : Pengalaman masa remaja
Sesi 3 : Pengalaman masa dewasa
Sesi 4 : Pengalaman masa lansia
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 4 saja dan tiap sesi
memungkinkan dilakukan lebih dari satu kali pertemuan
tergantung dari kemampuan klien dalam melaksanakan terapi dan
berdsarkan jurnal klien.
53
TERAPI REMINISCENCE
(TERAPI KENANGAN)
1. Definisi:
Terapi dengan menggunakan pengalaman masa lalu, perasaan,
pikiran yang menyenangkan untuk memfasilitasi kualitas hidup
atau kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ( Webster
1999).
2. Tujuan:
Meningkatkan harga diri, meningkatkan kemampuan komunikasi,
meningkatkan keintiman sosial, membantu menciptakan
kebersamaan kelompok, meningkatkan sosialisasi, meningkatkan
kepuasan hidup (Bluck & Levine,1998).
3. Indikasi:
Lansia dengan masalah psikosial dalam hal ini kondisi depresi,
demensia, meningkatkan kualitas hidup dimasa hari tuanya.
Diagnosa keperawatan yang terkait adalah harga diri rendah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, isolasi social, konfusi kronis
pada lansia (Collin, 2006).
4. Alat / Media:
Buku kerja terapis dan klien, jadwal kegiatan harian, alat tulis,
Reminiscence kit sesuai budaya setempat (benda kenangan pada
masa lalu seperti photo pribadi, alat permainan, musik, stimulus
aroma yang berbeda, stimulus rasa, pakaian, makanan, peralatan
kerja)
5. Pelaksanaan Terapi :
Sesi 1 : Pendahuluan
Sesi 2 : Masa kanak-kanak dan kehidupan bekerja
Sesi 3 : Masa sekolah
Sesi 4 : Awal bekerja dan kegiatan bekerja
Sesi 5 : Pertemuan dengan pasangan
Sesi 6 : Pernikahan
54
Sesi 7 : Rumah, kebun dan binatang
Sesi 8 : Mengasuh anak
Sesi 9 : Makanan dan memasak
Sesi 10 : Liburan
Sesi 11 : Hari Raya / acara perayaan
Sesi 12 : Kesimpulan dan evaluasi
55
h. Bharaty, E.B.S., Keliat, B.A., Besral. (2011): Pengaruh
terapi reminiscence dan psikoedukasi keluarga terhadap
kondisi depresi dan kualitas hidup lansia di Katulampa
Bogor.
i. Missesa, Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. Putri, Y.S.E. (2013).
Pengaruh terapi kelompok Reminiscence dan Life Review
terhadap depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Sinta Rangkang Tangkiling Provinsi Kalimantan Tengah
j. Nurwiyono, A., Keliat, B.A., & Daulima, N.H.C.. (2013).
Pengaruh Terapi Kognitif Dan Reminiscence Terhadap
Depresi Psikotik Lansia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa
Timur.
k. Laili Nur Hidayati, Mustikasari, Yossie susanti Eka Putri
(2015).Pengaruh terapi individu Reminiscence terhadap
depresi pada lansia di panti sosial .
Catatan:
Setiap sesi terapi memungkinkan dilakukan lebih dari satu kali
pertemuan tergantung dari kemampuan klien dalam melaksanakan
terapi dan berdasarkan jurnal klien.
56
TERAPI KELOMPOK TERAPEUTIK (TKT)
1. Definisi:
Merupakan salah satu jenis terapi kelompok yang memberi
kesempatan kepada anggotanya untuk saling berbagi
pengalaman, saling membantu satu dengan lainnya untuk
menemukan cara menyelesaikan masalah dan mengantisipasi
masalah yang akan dihadapi dengan mengajarkan cara yang
efektif untuk mengendalikan stress (Stuart & Laraia,2005).
2. Tujuan:
Mempertahankan homeostasis, membantu mengatasi stress,
berfokus pada disfungsi perasaan, pikiran dan perilaku,
membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik, krisis tumbuh
kembang atau penyesuaian sosial, serta mengantisipasi dan
mengatasi masalah dengan mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh anggota kelompok itu sendiri (Montgomery,2002).
4. Alat / Media: buku kerja, buku raport, alat tulis dan alat bantu
stimulasi tumbang.
5. Pelaksanaan Terapi:
a. TKT Ibu Hamil
Sesi 1 : Tugas perkembangan kehamilan, perubahan
kehamilan.
Sesi 2 : Cara menyesuaikan diri terhadap perubahan
tubuh dan emosi selama kehamilan.
Sesi 3 : Adaptasi sosial.
Sesi 4 : Pertumbuhan dan perkembangan janin.
Sesi 5 : Stimulasi janin untuk merangsang aspek kognitif
57
dan motorik.
Sesi 6 : Stimulasi janin untuk merangsang aspek
psikososial
Sesi 7 : Sharing pengalaman.
Catatan:
Terapi tidak berakhir pada sesi 7 saja dan tiap sesi memungkinkan
dilakukan lebih dari satu kali pertemuan tergantung dari
kemampuan klien dalam melaksanakan terapi dan berdasarkan
jurnal klien.
62