Anda di halaman 1dari 31

TUGAS KELOMPOK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I


“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KASUS
NON-TRAUMA (STEMI)”
(Fasilitator : Ns. Nandang DD Khairari, S.Kep., MAN.)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


 LINDAWATI (NIM:1709MK697)
 MAHESA BURMA (NIM:1709MK698)
 MARDIANA (NIM:1709MK699)
 MUH. ISMAIL (NIM:1709MK700)
 PAHRUDIN (NIM:1709MK702)
 SENAWATI (NIM:1709MK703)
 SUDI LESTARI (NIM:1709MK704)
 SYAHRI RAFIDA (NIM:1709MK705)
 MARIA ULFA HANDAYANI (NIM:113119033)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) HAMZAR
LOMBOK TIMUR
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat  Allah


SWT. yang telah memberikan kesehatan jasmani ataupun rohani, dan memberikan
nikmat serta kasih sayang-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Dan tak lupa pula kita haturkan sholawat dan serta salam kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah menuntun manusia dari jalan
yang gelap gulita menuju ke jalan yang terang benderang seperti yang sedang kita
rasakan sekarang ini.

Akhirnya, penulis bisa menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas


di mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat I dan pada makalah ini penulis
akan membahas suatu judul mengenai “Konsep Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat pada Kasus Non-Trauma (Stemi)”. Tentunya kami sebagai penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menginginkan kepada semua pihak yang membaca makalah ini khususnya
Bapak dosen pengampu mata kuliah untuk memberikan masukan berupa kritik
atau saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi dari makalah ini.

Lombok Timur, 9 Juni 2020

Penulis

ii
Jurnal Jurnal Kesehatan Prima

DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................
B. Tujuan penulisan.................................................................................
BAB II : TINJAUAN TEORI STEMI
A. Definisi ..............................................................................................
B. Etiologi ..............................................................................................
C. patofisiologi........................................................................................
D. Manifestasi Klinis ..............................................................................
E. Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................
F. Penatalaksanaan..................................................................................
G. Komplikasi .........................................................................................
BAB III : KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN STEMI
A. Pengkajian Keperawatan ...................................................................
B. Diagnosa Keperawatan ......................................................................
C. Intervensi Keperawatan .....................................................................
D. Implementasi Keperawatan ...............................................................
E. Evaluasi Keperawatan .......................................................................
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................
B. Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang
utama. Banyak pasien yang mangalami kematian akibat penyakit jantung.
Penanganan yang salah dan kurang cepat serta cermat adalah salah satu
penyebab kematian.
Infark miokard akut  merupakan penyebab kematian utama bagi
laki-laki dan perempuan di USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang
menderita  infark miokard setiap tahunnya dan lebih dari 600 orang
meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat
mereka salah untuk pengambilan keputusan penangan utama. Sehingga
menyebabkan keterlambatan untuk ditangani. Hal ini yang sering
menyebabkan kematian.
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran
telah dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan harapan
memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi
koroner setelah iskemia.

11
B. TUJUAN PENULISAN
1) Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
2) Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
3) Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
4) Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
5) Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
6) Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
7) Untuk mengetahui Askep dari STEMI.

11
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat
inap tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun
laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1
diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam
tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction =
STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA
dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

B. ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

C. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak
kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

11
3
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai
vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya  pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local
yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi
protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

11
WOC

Aterosklerosis, thrombosis, kontraksi arteri koronaria

Penurunan aliran darah kejantung

Kekurangan oksigen dan nutrisi

Iskemik pada jaringan miokard

Nekrosis

Suplai dan kebutuhan oksigen kejantung tidak seimbang

Suplai oksigen ke Miokard menurun

Resiko
penurunan
Metabolism anaerob Seluler hipoksia curah
jantung

Gangguan
Timbunan asam laktat Integritas membrane sel
pertukaran Nyeri
meningkat berubah
gas

Kelemahan Kecemasan Kontraktilitas turun

Intoleransi
COP turun Kegagalann pompa jantung
aktivitas

Gangguan Gagal jantung


perfusi jaringan

Resiko kelebihan volume


cairan ekstravaskuler

5
D. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari
luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan
apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko
antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan
secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis
yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.
Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut,
emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan
gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI
tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah).
Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.

6
Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain
pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction
rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama
pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST
≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau 
≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan
adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi.
JIka pemeriksan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien
tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil
untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark
miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak
stabil atau non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang
tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah
infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q
atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non transmural
jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan
gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis
EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology IMA
gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi
terapi repefusi.
1) Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB
dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara
serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai enzim di
atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari.
Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzim mini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24
jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
2) Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin Kinase (CK) : Meningkat setelah 3-8 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24 jam bila
ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal
dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL)
biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai
mempresentasikan 99th percentile kelompok control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/u1.

F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-
data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial
yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli sesuai pedoman
(guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang
mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing

9
senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi
Intervensi).
1) Tatalaksana Awal
a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar  kematian di
luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain :
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari
pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat
melakukan tindakan resusitasi. Transportasi pasien ke Rumah
Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
 Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan
pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit,
namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di
tanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh
tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika
ada paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
komando medis online yang bertanggung jawab pada
pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik
pra hospital ini belum bisa dilakukan.

1
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1:
Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi
farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI
primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara
transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus
lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit.
Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik
dan pasien memennuhi syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah
sakit dapat dimulai dalam  30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke
rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak
tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30
menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke
rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana
PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90
menit.
b. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai
STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah
sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

2) Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral.
Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena.
NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
c. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24
jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
d. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.
Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena
dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling
vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi
tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama
pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
e. Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
f. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias
adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
g. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek  lamaoklusi koroner,
meminimlakan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi  kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle
(atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

11
G. KOMPLIKASI
Komplikasi STEMI yang mungkin timbul jika tidak segera
tertangani dengan baik anytara lain berupa gagal jantung, henti jantung,
syok kardiogenik hingga kematian.
Berikut juga komplikasi dari STEMI :
Komplikasi Interval waktu Mekanisme
Mati mendadak Biasanya dalam beberapa Sering fibrilasi ventrikel
jam
Aritmia Beberapa hari pertama -
Nyeri menetap 12 jam – beberapa hari Nekrosis miokard
progresif (perluasan
infark)
Angina Segera atau ditunda Iskemia otot jantung
(minggu) yang tidak infark
Gagal jantung Bemacam – macam Disfungsi fentrikel
mengikuti nekrosis otot
aritmia
Ketidakmampuan Beberapa hari pertama Disfungsi otot perifer,
mitral nekrosis atau ruptur

Perikarditis 2 – 4 hari Infark transmural dengan


radang perikardium
Ruptur jantung (dinding 3 – 5 hari Lemahnya dinding
ventrikel, septum atau mengikuti nekrosis otot
otot perifer) dan radang akut
Trombosis mural Satu minggu atau lebih Kelainan permukaan
endotel mengikuti infark
Aneurisma ventrikel Empat minggu atau lebih Pengerutan jaringan
parut kolagen yang baru
Sindroma dressier Minggu – beberapa bulan Autoimun
(nyeri dada, demam,
efusi)
Emboli pulmo Satu minggu atau lebih Trombosis vena dalam
tungkai bawah

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1) Data Demografi/identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12
jam
b. Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:
 keluhan nyeri dada sebelah kanan
 lemah
 sesak nafas
c. Riwayat kesehatan keluarga : tanyakan pada angota keluarganya
adakah anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang sama
dengan pasien saat ini. Serta riwayat penyakit lainnya seperti:
 Darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung
d. Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah
mengalami penyakit yang sama dengan yang dialami saat ini atau
penyakit lain seperti:
 Riwayat asma
 Diabetes
 Stroke
 Gastritis
 Alergi
3)   Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum:
 Kesadaran:
4) Pemeriksaan penunjang:

13
 Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi: Terjadi peningkatan leukosit
  Cardiac enzyms: Terjadi peningkatan enzim
 Elektrokardiografi: Detak jantung
 Ekokardiografi: Pergerakan dinding jantung dan struktur jantung.
5) Pengkajian Primer
 Airways
 Breathing
 Circulation

B. DIAGNOSA
1) Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Vaskularisasi terganggu, Nyeri akut
DO: Aliran darah ke arteri
Gelisah, pucat koronari terganggu,
Iskemia,
As Laktat,
Nyeri akut
DS: Kontraktilitas jantung Penurunan Cardiac Output
DO: menurun,
riwayat penyakit Gagal jantung,
jantung konginetal Penurunan CO
DS: Rupture dalam pembuluh Perubahan perfusi jaringan
DO:  darah,
Pasien terlihat lemah Obstruksi pembuluh darah,
dan pucat karena O2 Aliran darah ke jaringan
jaringan menurun. terganggu,
Perubahan perfusi jaringan

2) Diagnosa Keperawatan yang muncul :

14
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
b. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan
penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
c. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya
suplai oksegen ke otot.

C. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria hasil : Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan
nyeri,melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri    1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri.
1. Selidiki keluhan nyeri dada, Pada iskemia miokardium nyeri dapat
memperhatikan awitan, faktor memburuk dengan inspirasi dalam,
pemberat atau penurun gerakan atau berbaring dan hilang
dengan duduk tegak atau membungkuk.
2. Ciptakan lingkungan yang 2. Memberikan lingkungan yang tenang
nyaman bagi pasien. dan tindakan kenyamanan. Misalnya
merubah posisi, menggunakan kompres
hangat, dan menggosok punggung.
Tindakan ini dapat meningkatkan
kenyamanan fisik dan emosional
pasien.
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai
indikasi:
1. Agen non steroid, mis: 1. Dapat menghilangkan nyeri,
indometasin(indocin);, menurunkan respon inflamasi.
ASA(aspirin)
2. Antipiretik mis: 2. Untuk menurunkan demam dan
ASA/asetaminofen (tylenol) meningkatkan kenyamanan.
3. Steroid 3. Diberikan untuk gejala yang lebih
berat.
4. Oksigen 3-4 liter/menit 4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen
untuk menurunkan beban kerja jantung
dan menurunkan ketidaknyamanan
karena iskemia.

b. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan


penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil : Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia.
Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi 1. Takikardia dan disritmia dapat
jantung : terjadi saat jantung berupaya untuk
 Auskultasi bunyi jantung. meningkatkan curahnya berespon
Perhatikan jarak / tonus terhadap demam. Hipoksia, dan
jantung, murmur, gallop S3 asidosis karena iskemia.
dan S4.
 Dorong tirah baring dalam
posisi semi fowler

2. Berikan tindakan kenyamanan 2. Memberikan deteksi dini dari


misalnya perubahan posisi dan terjadinya komplikasi misalnya GJK,
gosokan punggung, dan tamponade jantung.
aktivitas hiburan dalam toleransi
jantung
3. Dorong penggunaan teknik 3. Menurunkan beban kerja jantung,
menejemen stress misalnya memaksimalkan curah jantung.
latihan pernapasan dan
bimbingan imajinasi
4. Evaluasi keluhan lelah, dispnea, 4. Meningkatkan relaksasi dan
palpitasi, nyeri dada kontinyu. mengarahkan kembali perhatian
Perhatikan adanya bunyi napas  Perilaku ini dapat mengontrol
adventisius, demam ansietas, meningkatkan relaksasi dan
menurunkan kerja jantung
Kolaboratif
1. Berikan oksigen komplemen 1. Meningkatkan keseterdian oksigen
untuk fungsi miokard dan
menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat
dari hipoksia dan asidosis.
2. Berikan obat – obatan sesuai 2.  Dapat diberikan untuk meningkatkan
dengan indikasi misalnya kontraktilitas miokard dan
digitalis, diuretik menurunkan beban kerja jantung
pada adanya GJK ( miocarditis)
3. Antibiotic/ anti microbial IV 3.  Diberikan untuk mengatasi pathogen
yang teridentifikasi, mencegah
kerusakan jantung lebih lanjut.
4. Bantu dalam periokardiosintesis 4.  prosedur dapat dilakuan di tempat
darurat tidur untuk menurunkan tekanan
cairan di sekitar jantung.
5. Siapkan pasien untuk 5.  Penggantian katup mungkin
pembedahan bila diindikasikan diperlukan untuk memperbaiki curah
jantung

c. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai


oksegen ke otot.
Kriteria hasil : mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi
jaringan adekuat secara individual misalnya mental normal, tanda vital
stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/
haluaran seimbang.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
1.  Evaluasi status mental. 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi
Perhatikikan terjadinya sistemik pada otak.
hemiparalisis, afasia, kejang,
muntah, peningkatan TD.
2.  Selidiki nyeri dada, dispnea 2.  Emboli arteri, mempengaruhi jantung
tiba-tiba yang disertai dengan dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
takipnea, nyeri pleuritik, sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
sianosis, pucat atau disritmia kronis
3.  Tingkatkan tirah baring dengan 3. Dapat mencegah pembentukan atau
tepat migrasi emboli pada pasien
endokarditis. Tirah baring lama,
membawa resikonya sendiri tentang
terjadinya fenomena tromboembolic.
4. Dorong latihan aktif/ bantu 4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan
dengan rentang gerak sesuai aliran balik vena karenanya
toleransi. menurunkan resiko pembentukan
thrombus.
Kolaborasi
Berikan antikoagulan, contoh Heparin dapat digunakan secara
heparin, warfarin (coumadin) profilaksis bila pasien memerlukan tirah
baring lama, mengalami sepsis atau GJK,
dan/atau sebelum/sesudah bedah
penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada
perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk
terapi setelah penggantian katup jangka
panjang, atau adanya thrombus perifer.

D. IMPLEMENTASI
Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien
dari masalah status kesehatan klien yang dihadapi ke status kesehatan yang
lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon,
1994 dalam Potter & Terry 2011).

E. EVALUASI
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf
keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan
untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan
(Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan
myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
 Nyeri hilang atau terkontrol
 Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
 Suplai oksigen adekuat.
 Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
 Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen
pengobatan.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Infark miokard merupakan daerah nekrosis otot jantung sebagai
akibat berkurangnya pasokan darah koroner yang tiba-tiba, baik absolut
ataupun relatif. Penyebab paling sering ialah trombosis yang diperberat
pada, atau pendarahan dalam, plak ateromatosa dalam asteri koronaria
epikardial (Suddarth, 2014).
Infark miokard (IM) akut disebapkan oleh penyumbatan yang tiba-
tiba pada salah satu cabang dari arteria koronaria. Penyumbatan ini dapat
meluas dan mengganggu fungsi jantung atau mengakibatkan nekrosis
miokardium. Nekrosis akan meningalkan parut atau fibrosis pada
miokardium. Penyumbatan arteri koronaria dapat disebapkan oleh trombosis
koronaria (terbentuknya embolus dalam arteria koronaria), atau terjadi
proses aterosklorosis pada arteria koronaria (Baradero, 2000).
Infark tidak langsung terjadi total, trauma iskemik langsung berupa
jam, kemudian baru terjadi infark atau timbul nekrosis. Pada saat proses
iskemia berlangsung, lapisan subendokardium (karena sangat peka pada
kekurang oksigen) mengalami hipoksia, kemudian baru seluruh lapisan
miokardium. Iskemia mengganggu permeabilitas sel-sel miokardium
terhadap elektrolit-elektrolit yang menyebapkan menurunnya kontraktilitas
miokardium. Proses iskemi yang berlangsung lebih dari 35-45 menit akan
menimbulkan kerusakn sel-sel yang irevelsible dan nekrosis miokardium.
Fungsikontraktilitas pada bagian dengan nekrosis berhenti total dan
permanen (Baradero, 2000).

B. SARAN
Penulis menginginkan kepada semua pihak yang membaca
makalah ini khususnya Bapak dosen pengampu mata kuliah untuk
memberikan masukan berupa kritik atau saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan isi dari makalah ini.

LAMPIRAN.
Volume : 10, No.2, Agustus 2016, Halaman :1672-1681
ISSNPrint : 1978 – 1334, ISSN Online : 2460 –8661

EXERCISE PADA PASIEN DENGAN ST ELEVASI


MIOKARD INFARK (STEMI)
Lale Wisnu Andrayani
Abstrak: Penyakit jantung merupakan penyakit yang menempati posisi
tertinggi penyebab kematian dan kecacatan baik di dunia maupun di Indonesia.
Penyakit jantung dilaporkan sebagai penyebab kematian tertinggi di Amerika
(Overbaugh,2009). Data Riset Kesehatan Dasar (2007) melaporkan penyakit
jantung koroner (PJK) menempati penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Beberapa studi melaporkan terdapat penurunan insiden penyakit jantung
diantaranya penyakit jantung koroner, infark berulang dan tingkat mortalitas
penyakit jantung dengan menurunkan faktor risiko, diantaranya latihan fisik.
Namun, serangan infark miokard yang dialami setelah aktivitas fisik dan
intervensi bedrest saat penanganan awal dapat menimbulkan persepsi bahwa
latihan fisik harus dihindari setelah serangan infark miokard. Hal ini
menyebabkan perlunya informasi yang memadai dan tepat untuk meminimalkan
kesalahpahaman atau ketakutan pasien dalam memulai aktivitas fisik setelah
serangan dalam upaya pemulihan fungsi jantungnya. Metode: Mengidentifikasi
literatur yang relevan mengenai latihan fisik pada STEMI dalam bentuk artikel
dan hasil penelitian. Hasil: Empat (4) diantara artikel penelitian yang direview
adalah penelitian dengan desain randomized controlled trial (RCT). Secara
umum, keempat penelitian tersebut menemukan bahwa latihan fisik dapat
memberikan keuntungan yang signifikan baik secara langsung terhadap
pengembalian fungsi jantung maupun secara tidak langsung berupa penurunan
faktor risiko.. Meskipun demikian, terdapat 1 laporan survey yang menjelaskan
bahwa terdapat risiko injuri pada latihan fisik pada pasien STEMI, namun dapat
dimimalisir dengan pengetahuan dan pelaksanaan latihafisik yang sesuai
prosedur. Kesimpulan: latihan fisik dini pada paien STEMI memberikan
dampak positif yang menguntungkan bagi perbaikan fungsi jantung secara
umum, baik melalui mekanisme perbaikan langsung maupun melalui penurunan
faktor risiko. Maka perawat perlu berperan aktif dalam program latihan fisik
dengan menyediakan informasi dan memfasilitasi program rehabilitasi tersebut.

Kata Kunci: Latihan ,Pasien, STEMI.


DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
arpenito ( 2000),Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktek Klinis,Ed.6,EGC,
Jakarta
Doenges at al ( 2000 ),Rencana Asuhan Keperawatan,Ed.3,EGC,Jakarta
Price & Wilson (1995),Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit,Ed,4,EGC Jakarta
Soeparman & Waspadi(1990),Ilmu Penyakir Dalam,BP FKUI,Jakarta
Boedi Warsono;Diagnostik dan Pengobatan Penyakit Jantung: Lektor Madya
Fakultas kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 1984,hal 93-100.
Elliott M.Antman,Eugene Braunwald;Acute Myocardial Infarction;Harrison’s
Principles of Medicine 15th edition,2005,page 1-17.
Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,2004,hal 173-181.
Pramonohadi Prabowo;Penyakit Jantung Koroner,Lab/UPF Ilmu Penyakit
Jantung;FK Unair RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
Prof.dr.H.M.Sjaifoellah Noer,dkk.;Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Anda mungkin juga menyukai