Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KELOMPOK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


“KONSEP TEORI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
TRAUMA KEPALA”
(Fasilitator : Ns. H. L. Aries Fahrozi, M.Kep.)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1


 LIA ASLI LOTIM SRIDAYA (1709MK696)
 MUH. ISMAIL (1709MK700)
 SUDI LESTARI (1709MK704)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) HAMZAR
LOMBOK TIMUR
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat  Allah


SWT. yang telah memberikan kesehatan jasmani ataupun rohani, dan
memberikan nikmat serta kasih sayang-Nya kepada kita semua, sehingga kami
sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dan tak lupa pula kita haturkan sholawat dan serta salam kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah menuntun manusia dari jalan
yang gelap gulita menuju ke jalan yang terang benderang seperti yang sedang
kita rasakan sekarang ini.
Akhirnya, penulis bisa menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
di mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan pada makalah ini penulis akan
membahas suatu judul mengenai “Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Trauma Kepala”. Tentunya kami sebagai penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini. Penulis
menginginkan kepada semua pihak yang membaca makalah ini khususnya
Bapak dosen pengampu mata kuliah untuk memberikan masukan berupa kritik
atau saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi dari makalah ini.

Lombok Timur, 1 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar .............................................................................................ii
Daftar Isi .......................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan .........................................................................3
BAB II : TINJAUAN TEORI TRAUMA KEPALA ............................................4
2.1 Definisi .......................................................................................4
2.2 Anatomi & Fisiologi Otak ............................................................4
2.3 Etiologi .......................................................................................6
2.4 Klasifikasi ...................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................10
2.6 Patofisiologi ................................................................................11
2.7 Komplikasi ..................................................................................11
2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................13
2.9 Penatalaksanaan ........................................................................13
BAB III : KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA ..............15
3.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................15
3.2 Diagnosa Keperawatan ..............................................................19
3.3 Intervensi Keperawatan ..............................................................20
3.4 Implementasi Keperawatan ........................................................21
3.5 Evaluasi Keperawatan ................................................................22
BAB IV : PENUTUP ......................................................................................23
4.1 Kesimpulan .................................................................................23
4.2 Saran ..........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram,
2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan
kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih
dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen
(Widiyanto, 2007).
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif atau
non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa (trauma) mekanis eksternal
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian/kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Kasus
trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun
akibat kekerasan.
Angka kejadian trauma kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi
di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang
belum benar, serta rujukan yang terlambat (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2000) di
bagian kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera
kepala pada anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder
adalah terbentur oleh benda keras. Penyebab trauma kepala pada remaja
dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur,
selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian
menurun pada usia dewasa, kecelakaan kendaraan bermotor dan
kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan
oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Trauma kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih
kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal

1
ini disebabkan karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang
tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu
cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang
(Retnaningsih, 2008).
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang
gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik umum
serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang
sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur
vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan
saat pasien tiba di rumah sakit (Sjahrir, 2014).
Pemeriksaan klinis pada pasien trauma kepala secara umum
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara
lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.
Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal
saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat penting untuk menilai derajat
kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan
GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang
otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita trauma kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.

2
1.2 Tujuan Penulisan
a) Tujuan umum
 Mahasiswa/i mampu memahami konsep teori tentang trauma
kepala (cedera kapitis/kepala).
 Mahasiswa/i mampu memahami konsep asuhan keperawatan
pada pasien dengan trauma kepala (cedera kapitis/kepala).
b) Tujuan khusus
 Mahasiswa/i mampu memahami konsep teori tentang trauma
kepala (cedera kapitis/kepala) yang meliputi :
1. Definisi.
2. Anatomi & Fisiologi Otak.
3. Etiologi.
4. Klasifikasi.
5. Manifestasi Klinis.
6. Patofisiologi.
7. Komplikasi.
8. Pemeriksaan Penunjang.
9. Penatalaksanaan.
 Mahasiswa/i mampu memahami konsep asuhan keperawatan
pada pasien dengan trauma kepala (cedera kapitis/kepala) yang
meliputi tahap-tahap berikut :
1. Pengkajian keperawatan.
2. Diagnosa keperawatan.
3. Intervensi keperawatan.
4. Implementasi keperawatan.
5. Evaluasi keperawatan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa
(trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan
kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak
(Sastrodiningrat, 2009).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang
secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera
langsung atau deselarasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak (Pierce dan Neil, 2014).

2.2 Anatomi & Fisiologi Otak Manusia


Otak melaksanakan semua fungsi yang disadari. Otak
bertanggung jawab terhadap pengalaman-pengalaman berbagai macam
sensasi atau rangsangan terhadap kemampuan manusia untuk melakukan
gerakan-gerakan yang menuruti kemauan (disadari), dan kemampuan
untuk melaksanakan berbagai macam proses mental, seperti ingatan atau
memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat atau
kepribadian dan ramalan. Berikut adalah gambar untuk memperjelas
anatomi otak manusia :

4
a) Otak besar (serebrum)
Otak besar merupakan bagian terbesar dan terdepan dari otak manusia.
Otak besar mempunyai fungsi dalam mengatur semua aktivitas mental,
yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensia), ingatan (memori),
kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar terdiri atas Lobus Oksipitalis
sebagai pusat penglihatan, Lobus temporalis yang berfungsi sebagai
pusat pendengaran, dan Lobus frontalis yang berfungsi sebagai pusat
kepribadian dan pusat komunikasi.
b) Otak kecil (serebelum)
Otak kecil (serebelum) mempunyai fungsi utama dalam koordinasi
terhadap otot dan tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh. Bila ada
rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang
normal tidak mungkin dilaksanakan. Otak kecil juga berfungsi
mengkoordinasikan gerakan yang halus dan luwes.
c) Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Otak
tengah berfungsi penting pada refleks mata, tonus otot serta fungsi
posisi atau kedudukan tubuh.

5
d) Otak depan (diensefalon)
Otak depan terdiri atas dua bagian, yaitu thalamus yang berfungsi
menerima semua rangsang dari reseptor kecuali bau, dan hipothalamus
yang berfungsi dalam pengaturan suhu, pengaturan nutrisi, penjagaan
agar tetap bangun, dan penumbuhan sikap agresif.
e) Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol merupakan serabut saraf yang menghubungkan otak
kecil bagian kiri dan kanan. Selain itu, jembatan varol juga
menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang.

2.3 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama
trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas
sebanyak 20%, karena kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan
kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan
penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat
inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000
populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma
kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat (
Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut :
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya
(IRTAD, 1995).
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau

6
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain
(secara paksaan).
Menurut Borley & Grace (2006) cedera kepala dapat disebabkan
karena beberapa hal diantaranya adalah :
a) Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury)
atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
(Hudak & Gallo, 1996).
b) Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak
yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap
dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan
cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
c) Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada otak anak-anak yang elastis).
d) Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
e) Oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, misalnya :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
f) Trauma saat lahir, misalnya : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.
g) Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
h) Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi :
a) Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
b) Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.

7
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi :
a) Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan
keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur
dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup
yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak
(Sjamsuhidajat, 2010).
b) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar durameter tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
c) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan
penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
d) Contusio cerebri/luka memar
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau
hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
e) Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak

8
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri
kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
f) Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang
dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat
tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya :
 Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua
mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s
Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia
sampai anosmia.
 Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan
darah vena (A-V shunt).
 Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintasi magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS yaitu:
a) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit < 48 jam.
b) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan
pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial,
dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
c) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9 (George, 2009).

9
2.5 Manifestasi Klinis
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis di
belakang telinga, di atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah
membran timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa
trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung),
otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan
distribusi cedera otak :
a) Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan
cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b) Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau bahkan koma.
 Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
c) Cedera kepala berat, Diane C (2002)
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya
cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada
area tersebut.

10
2.6 Patofisiologi
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai
kepala dan otak sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi
otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma mengenai ekstrakranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala dan pembuluh
darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus–
menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi
hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan
peningkatan volume darah di otak sehingga tekanan intrakranial akan
meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan
perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cedera intrakranial
sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial, dampak peningkatan
tekanan intrakranial antara lain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace,
2006).

2.7 Komplikasi
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran
darah ke otak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
(bradikardi) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memperburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita cedera
kepala. Peningkatan vasokontriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu
darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.

11
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut (Rosjidi, 2007).
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg,dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian (Rosjidi,
2007).
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas
oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama
kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan,
jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan
medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara
perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan (Rosjidi, 2007).
4. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulang temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak
boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di
bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga (Rosjidi, 2007).
5. Infeksi
Frekuensi tengkorak atau luka terbuka dapat merobek membran
(meningen) sehingga kuman dengan mudah dapat masuk. Infeksi
meningen ini sangat berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial
untuk menyebar ke sistem saraf yang lain (Rosjidi, 2007).

12
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa
gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti Ct-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang.
6. Pungsi Lumbal CSS : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas
metabolisme pada otak.
8. GDA (Gas Darah Arteri) : mendeteksi keberadaan ventilasi atau
masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial
10. BAER (Brain Eauditory Evoked): menentukan fungsi dari kortek dan
batang otak (menurut Musliha, 2010).

2.9 Penatalaksanaan
1. Secara Umum, menurut Tunner (2000):
a. Airway
1) Atur posisi : posisi kepala datar dan tidak miring ke satu sisi
untuk mencegah penekanan/bendungan pada vena
jugularis.
2) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau
mulut.
b. Breathing 
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman.

13
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah,
saturasi oksigen.
c. Circulation 
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi, capillary
rafill time, sianosis pada kuku, bibir).
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya.
3) Monitoring tanda – tanda vital.
4) Monitoring intake dan output.
2. Secara Khusus, menurut Tunner (2000) :
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid,
pemberian steroid.
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting
prosedur.
c. Monitoring tekanan intrakranial: yang ditandai dengan sakit kepala
hebat, muntah proyektil dan papil edema.
d. Pemberian diet/nutrisi.
a)

14
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

3.1 Pengkajian Keperawatan


a) Pengkajian Umum
1) Identitas pasien & penanggung jawab :
 Nama :
 Umur :
 Jenis kelamis :
 Status perkawinan :
 Agama :
 Suku :
2) Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur
kepala terbuka ataupun tertutup.
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik /
pernafasan, kardiovaskuler dan metabolik.
 Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada riwayat penyakit menular/ genetik.
b) Pengkajian Primer
1) Airway
Perhatikan kepatenan jalan napas, apakah ada sumbatan,
sputum/ sekret, darah, benda asing dan sebagainya.
2) Breathing
 Melihat : adanya pengembangan dinding dada,
penggunaaan otot bantu nafas, pernapasan cuping hidung,
sianosis, respirasi cepat (takipnea).
 Mendengar : terdengar suara nafas stridor (indikasi adanya
obstruksi parsial jalan nafas).
 Merasakan : hembusan nafas.
3) Circulation

15
Akral dingin, kulit pucat, adanya perdarahan (di mulut, telinga,
hidung), capilarry refille time.
4) Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer Et all (
2000) penilaian GCS berdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
 Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
(a) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh, atentif,
dan orientatif).
(b) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi).
(c) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang.
(d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
(e) Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau
hematoma kulit kepala.
(f)  Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
 Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
(a) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau
stupor).
(b) Konkusi.
(c) Amnesia pasca trauma.
(d)  Muntah.
(e) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea
cairan serebrospinal).
 Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
(a) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma).
(b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif.
(c) Tanda neurologis fokal.
(d) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresikranium.
5) Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu ruangan, pertahankan suhu
ruangan yang normal.

16
c) Pengkajian Sekunder
1) Breathing (B1)
Perubahan system persyarafan tergantung gradasi dari perubahan
serebral akibat trauma kepala.
2) Blood (B2)
 Sering ditemukan syok hipovelemik pada cedera kepala
sedang dan berat. Tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardi  dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan
lemah karena homeostatis tubuh untuk menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer.
 Nadi bradikardi sebagai tanda perubahan perfusi jaringan
otak.
 Kulit pucat karena penurunan kadar hemoglobin dalam
darah.
 Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan
dan tanda-tanda awal dari syok.
 Terjadi retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus
sehingga elektrolit meningkat.
3) Brain (B3)
 Pengkajian tingkat kesadaran : letargi, stupor, semikomatosa
sampai koma.
 Pengkajian fungsi serebral.
 Pengkajian saraf cranial.
4) Bladder (B4)
 Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan
dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
 Setelah cedera kepala,klien dapat terjadi inkotinensia urine.
5) Bowel (B5)
 Terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan
muntah pada fase akut. Defekasi terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltic usus.
 Pemeriksaan rongga mulut terdapat mulut dan dehidrasi.
 Bising usus menurun atau hilang. Motilitas usus menurun.
6) Bone (B6)

17
Disfungsi motorik yaitu : kelemahan pada seluruh ekstrimitas. Kaji
warna kulit , suhu kelembapan dan turgor kulit, warna kebiruan.
Pucat pada wajah dan membran mukosa karena rendahnya kadar
hemoglobin atau syok. 

3.2 Diagnosa Keperawatan


a) Analisa Data

No SYMPTOM ETIOLOGI PROBLEM

1 DS: trauma kepala Ketidakefektifan perfusi


jaringan serebral

kerusakan pada tulang


DO: tengkorak
- KU : lemah, gelisah,
kesadaran stupor
- Pasien tampak meringis Perdarahan
menahan nyeri
- Palpebra edema dan ada
jejas (kebiruan) Penambahan volume
- Pupil anisokor intrakranial pada cavum
- Akral dingin serebral
- CRT > 2 detik

Kompresi pada vena sehingga


terjadi stagnai aliran darah

Peningkatan TIK

Penurunan aliran darah ke otak

Perubahan perfusi jaringan


serebral

2 DS: Trauma Ketidakefektifan


bersihan jalan
nafas
Jaringan otak rusak

DO:
- Suara nafas stridor Perubahan autoregulasi,
- Terdapat sumbatan oedema serebral
berupa darah dan lender
- Pasien terlihat sesak

18
dengan frekuensi nafas Kejang
37x/menit

Dispnea, obstruksi jalan


nafas, bersihan jalan nafas
terganggu

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas

3 DS: Peningkatan TIK Resiko kekurangan


volume cairan

gilus medialis lobus temporalis


tergeser
DO:
- Mukosa bibir kering
- Pasien tampak pucat dan mual muntah,
lemas
- Bising usus meningkat
- Konjungtiva anemis resiko kekurangan volume
cairan

b) Diagnosa prioritas
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas, ditandai dengan dispnea.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d penurunan ruangan
untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
perubahan kadar elktrolit serum (muntah).

3.3 Intervensi Keperawatan

19
No Diagnosa
Keperawatan Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Ketidakefektifan NOC: NIC:


bersihan jalan 1. Respiratory status : 1. Posisikan pasien untuk
nafas berhubungan ventilation memaksimalkan
dengan obstruksi 2. Respiratory status : ventilasi.
jalan nafas, airway patency 2. Monitor repirasi dan
ditandai dengan Setelah dilakukan asuhan status O2
dispnea keperawatan selama 1x30 3. Monitor adanya
menit, bersihan jalan nafas kecemasan pasien
dapat teratasi dengan terhadap oksigenasi
kriteria hasil : 4. Monitor TTV
1. Mendemontrasikan 5. Monitor pola nafas
batuk efektif dan suara 6. Lakukan fisio terapi
nafas yang bersih, tidak dada dan pasang mayo
ada sianosis dan jika perlu
dispnea (mampu 7. Keluarkan sekret
mengeluarkan sputum, dengan batuk atau
mampu bernapas suction
dengan mudah, tidak 8. Pertahankan jalan nafas
ada pursed lips). yang paten
2. Menunjukkan jalan 9. Observasi adanya
nafas yang paten (klien tanda-tanda
tidak merasa tercekik, hipoventilasi
irama nafas, frekuensi 10.Kolaborasi dengan
pernapasan dalam dokter dalam pemberian
rentang normal, tidak bronkodilator.
ada suara napas
abnormal).
3. Mampu
mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang
dapat menghambat
jalan nafas.

2 Ketidakefektifan perfusiNOC: NIC:


jaringan serebral 1. Circulation status 1. Monitor adanya daerah
b/d penurunan 2. Tissue perfusion : tertentu yang hanya
ruangan untuk cerebral peka terhadap
perfusi serebral, Setelah dilakukan tindakan panas/dingin/tajam/tum
sumbatan aliran keperawatan selama 1x 8 pul.
darah serebral jam perusi jaringan serebral 2. Monitor adanya
dapat tertasi dengan paratese
kriteria hasil : 3. Batasi gerakan pada
1. Tekanan sisteole dan leher, kepala dan

20
diastole dalam rentang punggung.
yang diharapkan 4. Monitor adanya
2. Tidak ada ortostatik tromboplebitis
hipertensi 5. Kolaborasi pemberian
3. Tidak ada tanda-tanda antibiotik untuk
peningkatan TIK mencegah terjadinya
4. Dapat berkomunikasi infeksi pada cedera
dengan jelas dan sesuai kepala terbuka.
kemampuan
5. Menunjukkan fungsi
sensori motorik cranial
yang utuh: tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-
gerakan involunter.

3 Resiko kekurangan NOC: NIC:


volume cairan 1. Fluid balance 1. Monitor TTV
berhubungan 2. Hydration 2. Monitor status hidrasi
dengan perubahan 3. Nutritional status : food (kelembaban membran
kadar elktrolit and fluid intake mukosa, nadi adekuat,
serum (muntah) Setelah dilakukan tindakan TD ortostatik)
keperawatan selama 1x8 3. Monitor intake dan urin
jam jam, kekuragan volume output
cairan pasien dapat teratasi 4. Monitor elektrolit
dengan kriteria hasil : 5. Monitor tanda dan
1. Mempertahankan urin gejala dari edema
output sesuai dengan 6. Monitor BB
usia dan BB 7. Kolaborasi dengan
2. TTV dalam batas dokter dalam pemberian
normal obat-obatan.
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas
turgor kulit baik,
membran mukosa
lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan.
4. Elektrolit, HB dalam
batas normal
5. PH urin dalam batas
normal

3.4 Implementasi Keperawatan


Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan
keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan tindakan pada klien
dengan gangguan trauma kepala difokuskan pada tindakan-tindakan yang

21
ditujukan pada upaya untuk mengembalikan tekanan intrakranial pada
kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 – 15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak
terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, pemenuhan
kebutuhan aktivitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi persepsi
sensori dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya
cedera berulang (Effendy, Nasrul, 1995: 40).

3.5 Evaluasi Keperawatan


Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik
dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam
melaksanakan rencana tindakan yang telah ditentukan untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan pasien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan adalah mengukir keberhasilan dari rencana
dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan pasien.
Kriteria keberhasilan pada klien dengan gangguan sistem
persyarafan akibat trauma kepala adalah klien berada pada kondisi
kesadaran penuh dengan nilai GCS: 15, tanpa adanya kecacatan fisik
dan gejala sisa (Nasrul Effendy, 1995: 46).

22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007). Ada beberapa jenis cedera
kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau askep
cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk
mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera
kepala.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang
gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik umum
serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang
sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur
vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan
saat pasien tiba di rumah sakit (Sjahrir, 2014).

4.2 Saran
Kepada para pembaca khususnya para petugas kesehatan harus
membaca materi di dalam makalah ini agar bisa mengerti tentang konsep
teori dan konsep asuhan keperawatan pada pasien trauma kepala (trauma
kapitis/kepala) serta mampu memberikan perawatan yang tepat pada
pasien dalam mempercepat proses rehabilitatif atau proses
penyembuhannya. Dan tak lupa pula saran dari kami sebagai penulis untuk
para pembaca khususnya bapak dosen pengampu mata kuliah untuk
menmberikan kritik yang berupa saran demi kesempurnaan isi dari
makalah kami ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amin H & Hardhi K. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan NANDA. Jogjakarta : MediAction.
Brain Injury Association of America. Types of Brain
Injury.  Http://www.biausa.org  [diakses 9 Januari 2013].
Musliha,S.Kep.,Ns. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia E/2. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai