Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS
“CKB”

Dosen Pembimbing :
Ns. Nupratiwi, M. Kep

Disusun Oleh kelompok I:


Islamiati (821181005)
Jabalul rahman (821181007)
Sri Wahyuni (821181009)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) YARSI PONTIANAK
TAHUN AJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat


dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“keperawatan kritis “dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan
makalah ini mungkin ada hambatan, namun berkat bantuan serta dukungan dari
teman-teman dan bimbingan dari dosen pembimbing. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dengan adanya makalah ini, diharapkan
dapat membantu proses pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, atas bantuan
serta dukungan dan doa nya,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca makalah ini dan dapat mengetahui tentang profesi keperawatan. Kami
mohon maaf apabila makalah ini mempunyai banyak kekurangan, karena
keterbatasan penulis yang masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun, sangat diharapkan oleh kami
dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah sederhana ini
bermanfaat bagi pembaca maupun kami.

Pontianak, 10, oktober, 2021

Penyusun
Daftar isi
Kata pengantar

BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………..........2
A. Latar Belakang.................................................................................................................................2

B. Tujuan..............................................................................................................................................2

C. Metode Penulisan............................................................................................................................2

D. Ruang Lingkup Penulisan................................................................................................................2

E. Sistematika Penulisan......................................................................................................................2

BAB II: TINJAUAN TEORI..................................................................................2


A. Konsep Dasar...................................................................................................................................2

1. Pengertian........................................................................................................................................2

2. Etiologi ...........................................................................................................................................2

3. Anatomi Fisiologi............................................................................................................................2

4. Fatofisiologi.....................................................................................................................................2

5. Fatwhay...........................................................................................................................................2

6. Etiologi............................................................................................................................................2

7. Manifestasi Klinis............................................................................................................................2

8. Pemeriksaan Penunjang...................................................................................................................2

9. Penatalaksanaan Medis....................................................................................................................2

10. Komplikasi…………………..………………………………….....
………..2
BAB III: ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................2

BAB IV: KESIMPULAN dan SARAN..................................................................2


Kesimpulan..............................................................................................................................................2

Saran........................................................................................................................................................2

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang

terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen

yang ada, mulai dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau

kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian

dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar

terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson, 2012).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan

kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi

akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000

orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami

cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit, dua

pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki- laki lebih banyak

dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah semua pasien cedera

kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainya.

(Smeltzer and Bare,2012).

Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala

ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan

keperawatan cedera kepala atau askep cedera kepala baik cedera kepala

ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat harus ditangani
secara serius. Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada

sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai

pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma dari fungsi

otak yang diakibatkan dari cedera kepala.

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama

transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di

ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis

selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik

umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan

yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi

unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera

ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit. (Sjahrir, 2014).

Secara normal otak memerlukan 30-40% oksigen dari

kebutuhan oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak yang besar ini

disebabkan karena otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga

suplai oksigen yang masuk akan habis terpakai. Untuk

mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat maka diperlukan

keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan (demand)

oksigen otak. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral

blood flow yang besarnya berkisar 15-20% dari curah jantung(Black &

Hawks, 2009).

Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan

terlindungi oleh tulang-tulang yang kuat namun dapat juga mengalami


kerusakan. Salah satu penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya

trauma atau cedera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan

struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat terganggu (Black &

Hawks, 2009).

Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer

mengakibatkan kerusakan permanen pada jaringan otak atau

mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat

hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan

elektrolit, bahkan kegagalan bernafas dan gagal jantung (Arifin, 2013).

Akibat trauma pasien mengalami perubahan fisik maupun psikologis.

Akibat yang sering terjadi pada pasien cedera kepala berat antara lain

terjadi cedera otak sekunder, edema serebral, obstruksi jalan nafas, 2

peningkatan tekanan intrakranial, vasopasme, hidrosefalus, gangguan

metabolik, infeksi, dan kejang (Haddad, 2012).

Pasien yang mengalami penurunan kesadaran umumnya

mengalami gangguan jalan nafas, gangguan pernafasan dan gangguan

sirkulasi. Gangguan pernafasan biasanya disebabkan oleh gangguan

sentral akibat depresi pernafasan pada lesi di medula oblongata atau

akibat gangguan perifer, seperti : aspirasi, edema paru, emboli paru

yang dapat berakibat hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan yang dapat

dilakukan pada kondisi di atas adalah pemberian oksigen, cari dan atasi

faktor penyebab serta pemasangan ventilator. Pada pasien cedera


kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pernafasan, di rawat di ruang

perawatan intensif dan terpasang selang endotrakheal dengan ventilator

dan sampai kondisi klien menjadi stabil (Muttaqin, 2012 ; Hudak &

Gallo, 2010).

Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para

penggunakendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak

memakai helm. Halini menjadi tantangan yang sulit karena diantara

mereka datang dari golonganekonomi rendah sehingga secara sosio

ekonomi cukup sulit memperolehpelayanan kesehatan. Cedera kepala

diperkirakan akan terus meningkatseiring dengan meningkatnya

pengguna kendaraan bermotor roda dua dandiperkirakan 39% kenaikan

per tahun (Lumban toruan, 2015).

Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir

1.500.000 kasus cedera kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di

antaranya mengalami kecacatan dan

50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar

5.300.000 orang dengan kecacatan akibat cedera kepala (Moore

&Argur, 2016). Penyebab cedera kepala yang terbanyak adalah

kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%), dan cedera olahraga (10%).

Angka kejadian cedera kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia

merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke,

dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 penyakit terbanyak


yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2016).

B. Tujuan
Tujuan umum
Untuk mengetahui dan memahami CKB (Cidera Kepala Berat),
Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui pengertian CKB (Cidera Kepala Berat),
2. Untuk mengetahui jenis CKB (Cidera Kepala Berat),
3. Untuk mengetahui Mikanisme CKB (Cidera Kepala Berat),
4. Untuk mengetahui tanda dan gejalah CKB (Cidera Kepala Berat),
5. Untuk mengetahui patofisiologi CKB (Cidera Kepala Berat),
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan CKB (Cidera Kepala Berat),
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kelompok menggunakan metode
deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dengan
menggunakan menggunakan sumber dari berbagai jurnal serta dari
berbagai buku-buku.

D. Ruang Lingkup Penulisan


Dalam penulisan makalah ini kelompok menjelaskan tentang apa itu CKB
(Cidera Kepala Berat),
E. Sistematika Penulisan
Dalam makalah ini dipergunakan sestematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan:
Bab ini berisi tentang Latar belakang, Tujuan umum dan tujuan
khusus, Ruang lingkup, Metode penulisan, serta Sistematika penulisan
yang digunakan.
BAB II Tinjauan teori:
Bab ini menjelaskan mulai dari pengertian, jenis CKB (Cidera Kepala
Berat), dan, patofisiologi CKB (Cidera Kepala Berat), dan tanda gejalah
CKB (Cidera Kepala Berat),,
BAB III Asuhan keperawatan:
Dan di bab ini kami menjelaskan tentang asuhan keperawatan, mulai
dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi, dan evaluasi
BAB IV Penutup:
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari aplikasi
sistem pakar yang telah dibuat serta untuk pengembangan yang lebih lanjut

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi CKB
Cedera kepala atau trauma kapitisadalah suatu gangguan trauma
dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas dari otak. (Nugroho, 2015).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2013).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. Etiologic
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan
otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek
percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu
dapat disebabkan oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan
(NINDS,2013).
Penyebab cedera kepala berat adalah:
1. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan
cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal
meliputi kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
2. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan
cedera menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas
dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak atau kedua-duanya. Akibat trauma tergantung
pada:
a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
b. Akselerasi dan Deselerasi
c. Cup dan kontra cup Cedera cup adalah kerusakan pada
daerah dekat yang terbentur. Sedangkan cedera kontra cup
adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.
1) Lokasi benturan
2) Rotasi Pengubahan posisi pada kepala
menyebabkan trauma regangan dan robekan
substansia alba dan batang otak.
3) Depresi fraktur Kekuatan yang mendorong fragmen
tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya
CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir keluar ke
hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi
dengan CSS → infeksi →kejang.
C. Anatomi FisiologiCKB

1. Anatomi Kepala
a. Kulit kapala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila
robek, pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi
yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat
vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat
menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi.
b. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium
(dasar tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis
tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat
berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk /
menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka
(dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri
dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar
(tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang
mengandung aluralur artesia meningia anterior, indra dan
prosterion. Perdarahan pada arteriaarteria ini dapat menyebabkan
tertimbunya darah dalam ruang epidural.
c. Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan
diameter.
1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi
translusen, tidak elastis menempel ketat pada bagian
tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki
dengan sempurna. Fungsi durameter :
a) Melindungi otak
b) Menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri dari
durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan
vaskuler)
c) Membentuk periosteum tabula interna.
2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis,
tidak menempel pada dura. Diantara durameter dan
arachnoid terdapat ruang subdural yang merupakan ruangan
potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan
bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan
tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural
mempunyasedikit jaringan penyokong sehingga mudah
cedera dan robek pada trauma kepala.
3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan
pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan
membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya
menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di
sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan
antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan
struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap
ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang
subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada
tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan
cerebrospinal. Pada kedalam system vena.
d. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan
otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2
campuran:
1) Efek langsung trauma pada fungsi otak,
2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap
trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia
luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan
otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang
berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan
karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka
edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga
tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial).
e. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah
jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di
dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK
bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang
cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml),
cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen
ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa
Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk
ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari
komponen ini menyebabkan perubahan pada volume darah
cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK
yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang 0tak (Herniasi
batang otak) yang berakibat kematian.
D. Patofisiologi
Menurut iskandar (2004, dalam Tarwoto 2012) cedera kepala akan
memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila
dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini
disebabkan karena strukrur anatomic dan fisiologij dari isi ruang
tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat
yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan
tulang. Cedera otak dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder:
1. Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul saat
cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebankan deformasi jaringan. Kerusakan dapat berupa
fokal atau difus.
2. Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul akibat
komplikasi dari kerusakan primer tremasuk kerusakan oleh
karena hipoksia, iskemia, pembekakan otak, peninggian TIK,
hidrosefalus dan infeksi. Berdasarakan mekanismenya
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kerusakan
hipoksi-iskemi menyeluruh dan pembekakan otak menyeluruh.
Fokus utama pelaksanaan pasien-pasien yang mengalami cedera
kepala adalah mencegah trejadinya cedera otak sekunder. Pemberian
oksigenasi dan memelihara tekanan darah yang baik dan adekuat untuk
mencukupi perfusi otak adalah hal yang paling utama dan terutama
untuk mencegah dan membatasi terjadinya cedera otak sekunder.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi serebral seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di
kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa muntah, dan terjadi
kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat muncul masalah keperawatan
gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60
ml/menit/100 gr jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac
output. Trauma kepala menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel,
takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuuh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
E. Fatwhay

Kecelakaan lalu lintas

Cidera kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Teradapat luka di
Aliran darah keotak  tahanan kepala
vaskulerSistemik

Kontusiocerebri Kerusakan Sel otak 


O2  gangguan Rusaknya bagian kulit
metabolisme tek.
Pemb.darahPulmo
Kerusakan integritas
Asam laktat  jaringan kulit
tek. Hidrostatik

Gangguan autoregulasi
Oedem otak 
rangsangan simpatis
kebocoran cairan
Terjadi benturan benda asing kapiler
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
cerebral oedema paru cardiac output 
Penumpukan
Ketidak efektifan
cairan/secret
Ketidakefektif pola perfusi jaringan
napas perifer

Difusi O2
terhambat

Ketidakefektifbersihan
jalan napas

(Syair, 2017 )

F. Manifestasi klinis

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih


2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.
G. Pemeriksaan diagnosis

1. Pemeriksaan diagnostik

a. X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan


intracranial, fraktur tulang tengkorak
b. MRI: dengan/tanpa menggunakan kontras

c. Angiografi Serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral

d. EEG: memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang


patologis
e. BAER (Brain Auditory Evoked Respons): menentukan fungsi korteks
dan batang otak
f. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan
perubahan aktivitas metabolisme pada otak
2. Pemeriksaan laboratorium

a. AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi


(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK
b. Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari,
diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
c. Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum

d. CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn


subarachnoid (warna, komposisi, tekanan)
e. Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
f. Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
2. Foto polos kepala

Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk


pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas
lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari
inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, dan gangguan kesadaran

3. CT – Scan

Indikasi CT Scan adalah :

1. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang


setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya
karena syok, febris, dll).
4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari


GCS (Sthavira, 2012).
4. MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien


yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama
dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

5. EEG

Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin


untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif.
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah
studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap
dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap
terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa
perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada
pasien dengan cedera otak traumatik.

6. X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
H. Penatalaksanaan

Dollan et al (1996, dalam Tarwoto, 2012) mengemukakan bahwa


prinsip penatalaksaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan
serebral, karena organ otak sangat sensitive terhadap kebutuhan oksigen
dan glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan
keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan meningkatkan
suplai oksigen dan glukosa otak, dan dengan cara menurunkan kebutuhan
oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatkakan suplai oksigen di otak
dapat dilakukan melalui tindakan pemberian oksigen, mempertahankan
tekanan darah dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk
menurunkan kebutuhan (demand) oksigen otak dengan cara menurunkan
laju metabolism otak seperti menghindari keadaan kejang, stress, demam,
suhu lingkungan yang panas, dan aktivitas yang berlebihan.
Menurut Denise (2007, dalam Tarwoto, 2012) kestabilan oksigen
dan glukosa otak juga perlu diperhatikan tekanan intracranial dengan cara
mengontrol cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan CBF
ditentukan oleh berbagai factor seperti tekanan darah sistemik, cerebral
metabolic rate dan PaCO2. Pada keadaan hipertensi menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah otak hal ini akan menghambat oksigenasi
otak. Demikian juga pada peningkatan metabolism akan mengurangi
oksigenasi otak karena kebutuhan oksigen meningkat. Disamping itu,
pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema serebral, memperbaiki
metabolism otak dan mengurangi gejala peserta seperti nyeri kepala dan
menigkatkan kesdaran sangat diperlukan.
I. Komplikasi

1. Perdarahan intra cranial


2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi pada luka atau sepsis
6. Edema cerebral
7. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
8. Kebocoran cairan serobospinal
9. Nyeri kepala setelah penderita sadar
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam
hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna
kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa
jejas.

2. Pengkajian sekunder

a. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku,


berat badan, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, anggota keluarga, agama.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma,
posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
c. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang
keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
d. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi)
bradikardi, takikardi.
e. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi,
bingung, depresi dan impulsif.
f. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan
selera. Tanda : muntah, gangguan menelan.
g. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.

h. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia,
vertigo, sinkope, kehilanganpendengaran, gangguan
pengecapan dan penciuman, perubahan penglihatan seperti
ketajaman.
Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah
laku dan memoris.
i. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,
merintih.
j. Pernafasan
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi
oleh hiperventilasi nafas berbunyi)
k. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.
l. Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa
arti, bicara berulang-ulang, disartria.
3. Masalah Keperawatan
a. Resiko Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral
b. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

c. Ketidakefektifan pola nafas


d. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
e. Kerusakan integritas jaringan kulit
4. Prioritas Masalah
a. Ketidakefektifanperfusijaringan serebral
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
c. Ketidakefektifan pola nafas
d. Ketidak efketifan perfusi jaringan perifer
e. Kerusakan integritas jaringan kulit
5. Diagnosakeperawatan yang mungkinmuncul
a. Ketidakefektifanperfusijaringan serebral b/d Faktor resiko:

1. Perubahan status mental


2. Perubahan perilaku
3. Perubahan respon motorik
4. Perubahan reaksi pupil
5. Kesulitan menelan
6. Kelemahan atau paralisis ekstremitas
7. Paralisis
8. Ketidaknormalan dalam berbicara
b. Ketidakefektifanbersihan jalan nafas Faktor berhubungan:
1) Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok,
perokok pasif
2) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan
napas, spasme jalan napas
3) Fisiologis; kelainan dan penyakit Batasan
karakteristik:

Subjektif

1. Dispnea

Objektif

1. Suara napas tambahan


2. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3. Batuk tidak ada atau tidak efektif
4. Sianosis
5. Kesulitan untuk berbicara
6. Penurunan suara napas
7. Ortopnea
8. Gelisah
9. Sputum berlebihan
10. Mata terbelalak
c. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b/d Faktor
berhubungan:
1. diabtes militus
2. gaya hidup kurnag gerak
3. hipertensi
4. kurang pengetahuan tentang faktor pemberat
5. kurang pengetahuan tentang proses penyakit

6. merokok
Batasan karakteristik:
Subjektif

1. Perubahan sensasi
Objektif

1. Perubahan karakteristik kulit


2. Perubahan tekanan darah pada ekstremitas
3. Klaudikasi
4. Kelambatan penyembuhan
5. Nadi arteri lemah
6. Edema
7. Tanda human positif
8. Kulit pucat saat elevasi, dan tidak kembali saat diturunkan
9. Diskolorasi kulit
10. Perubahan suhu kulit
11. Nadi lemah atau tidak teraba
d. Kerusakan integritas jaringan kulit b/d Faktor berhubungan
1) Cedera jaringan
2) Jaringan rusak
Batasan karakteristik
1) Kerusakan pada lapisan kulit
2) Kerusakan pada permukaan kulit
e. Ketid kefektifan pola nafas Faktor berhubungan:
1) Ansietas
2) Cidera medula spinalis
3) Disfungsi neuromuskular
4) Gangguan neuromuskular
5) Gangguan neurologis
6) Hiperventilasi
7) Keletihan
8) Keletihan otot pernapasan
9) Nyeri
10) Obesitas
11) Posisi tubuh yang menghambat
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek
dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan
oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan
B. SARAN
1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan pihak akademik memberikan bimbingan dan sebagai

pengabdian kepada masyarakat terutama dalam praktik keperawatan

Gawat Darurat

2. Bagi Mahasiswa

Diharapkan dapat meningkatkan lagi proses asuhan keperawatan gawat

darurat baik secara teoritis maupun secara klinik agar proses asuhan

keperawatan dapat berjalan secara optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Almgren, B., Carl, J.W., Heinonen, & E., Hogman, M. 2014. Side effects of
endotracheal suction in pressure and volume controlled ventilation.
CHEST Journal, 125, 1077–1080. American Association for Respiratory
Care. 2010. Endotracheal Suctioning ofMechanically Ventilated
Patients With Artificial Airways AARC Clinical Practice Guidelines.
Anggraini & Hafifah. 2014. Hubungan Antara Oksigenasi Dan Tingkat
Kesadaran Pada Pasien Cedera Kepala Non Trauma Di ICU RSU
Ulin Banjarmasin. Semarang: Program Studi Ilmu Keperawatan
FakultasKedokteran Universitas Diponegoro.
AR, Iwan et al. 2015. Terapi Hiperosmolar Pada Cadera Otak Traumatika.
Jurnal Neurologi Indonesia diunduh pada tanggal 03 Desember 2015.
Arief, Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius. Arifin, M. Z. 2013. Cedera Kepala : Teori dan
Penanganan. Jakarta : Sagung Seto.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. Badan Penelitian
Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
Riset Kesehatan Dasar 2013.
Bayu, Irmawan. 2017. Pengaruh Tindakan Suction Terhadap Perubahan
Saturasi Oksigen Perifer Pada Pasien Yang Di Rawat Di Ruang ICU
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilimiah Sehat
Bebaya Vol. 1No. 2 Mei 2017. STIKES muhammadiyah
Samarinda.Berman, A. Snyder, S. Kozier, B. & Erb, G. 2009. Buku Ajar
Praktik Keperawatan Klinis, Edisi 5. Terjemahan Eny meiliya, Esty
Wahyuningsih, Devi Yulianti, & Fruriolina Ariani. Jakarta: PT. EGC.
Black & Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical Management For
Positive Outcome. Elseveir Saunders.
Brain Injury Association of America. 2006. Types of Brain Injury. of brain
injury. html. (Accessed 13September 2013).Carpenito, Lynda Juall.
2010. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Depkes. 2012. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Jakarta : EGC.
Debora, Yusnita, dkk. 2012. Perbedaan Jumlah Bakteri Pada Sistem Closed
Suction dan Sistem Open Suction Pada Penderita Dengan Ventilator
Mekanik.
Donges, M. E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih

Anda mungkin juga menyukai