PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
melibatkan sepeda motor dan umumnya bagian tubuh yang mengalami cedera
adalah kepala dan anggota gerak atas maupun bawah (Mariana, 2017). Proporsi
pasien trauma yang dirawat di rumah sakit mayoritas akibat kecelakaan darat
(59,6%) sebagian besar (47,5%) mengalami cedera kepala (Riyadina, et. al., 2011
dikutip Sumarno, et. al., 2016). Cedera kepala sendiri merupakan salah satu
dan efisien untuk mencegah perburukan kondisi pasien (Ristanto, et. al., 2016).
batang otak dan mengakibatkan tonus dinding pembuluh darah menurun sehingga
cairan lebih mudah menembus dindingnya, sedangkan benturan yang terjadi dapat
kepala sering kali mengalami edema serebri atau perdarahan intrakranial sehingga
harus segera ditangani (Ware, 2005 dikutip Priasojo, 2017; Wahyudi, 2015).
1
vital di dalam otak (herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi,
Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada pasien trauma capitis salah
dengan trauma kepala. Intervensi mandiri untuk mengatasi masalah ini adalah
membatasi gerakan pada kepala, leher dan punggung, mengatur posisi head up 300
bila tanpa indikasi cidera tulang belakang (vetebrae), memberikan posisi semi
fowler dan kolaborasi untuk mencegah serta mengobati edema (Soertidewi, 2012;
Suryani, 2016).
Schneider, et. al. (2007) dikutip Supadi (2012) menyatakan bahwa untuk
kepala elevasi 15-300 agar venous drainage dari serebral ke jantung meningkat dan
diharapkan venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga
Sunardi dan Nelly (2011) juga menyebutkan bahwa pemberian posisi kepala flat 00
dan elevasi kepala 300 pada pasien cedera kepala akan memberikan keuntungan
otak.
2
keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien dengan trauma capitis dengan
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Capitis
2. Tujuan Khusus
Trauma Capitis
C. Manfaat Penelitian
kepentingan dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah akhir ini dapat
Informasi dari karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna bagi instansi
mahasiswa profesi ners pada pasien Trauma Capitis. Instansi juga dapat
menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta didik,
3
terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan medikal bedah
(KMB).
2. Bagi Mahasiswa
pasien Trauma Capitis saat praktik di lapangan dengan pemahaman yang baik
D. Metode Penelitian
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
Trauma capitis atau trauma kepala atau cedera kepala adalah segala bentuk
kekerasan yang menimpa kepala dan akan menyebabkan luka pada kulit kepala,
tulang tengkorak dan otak (Tasmono, 2011). Cedera kepala merupakan proses
menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2007 dikutip Suryani, 2016).
Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala
Cedera kepala (trauma kapitis) adalah suatu gangguan traumatik atau trauma
mekanik pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung, disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen
2016; Black dan Hawks, 2009 dikutip Wijayanti, 2013; Nasir, 2012).
adalah cedera akibat pukulan/benturan pada kepala yang disertai atau tanpa
fungsi neurologis.
5
Klasifikasi dari trauma capitis menurut Nurarif dan Kusuma (2015), yaitu:
jam
2) Muntah
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan gegar otak ringan
6
B. Etiologi Trauma Capitis
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,
2. Trauma tumpul
berat.
3. Cedera akselerasi
4. Kontak benturan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul atau karena terkena lemparan benda
7
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah jika kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung seperti yang terjadi jika posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala
Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera otak
primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saai atau
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali
membuat fungsi stabil sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragik
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir mngakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan
8
D. Web of Cautions (WOC) Trauma Capitis
Trauma kepala Benturan keras
Rusaknya jaringan Cedera jaringan otak Jaringan sekitar tertekan Ganggaun rasa
kepala nyaman
Nyeri
Perubahan perfusi
jaringan serebral
Merangsang hipotalamus Merangsang inferior Kerusakan hemisfer Hipoksia jaringan Penurunan kesadaran
hifofisis motorik
9
Hipotalamus terviksasi Mengeluarkan steroid Penurunan kekuatan dan Pernapasan dangkal Retensi Na dan H2O
(pada di ensefalon) dan adrenal tahanan otot
Hambatan komunikasi
Retensi Na dan H2O Mual dan muntah verbal
Oedema Risiko
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
Kelebihan volume kebutuhan tubuh
cairan
Bagan 1. Web of Cautions (WOC) Trauma Capitis (Nurarif dan Kusuma, 2015)
10
E. Manifestasi Klinis Trauma Capitis
Manurut Rahmi (2013), gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien
gangguan pergerakan.
Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
11
1. CT Scan (tanpa/dengan kontras)
Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan jika bercampur
akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infark
lunak disekitarnya.
5. Angiografi Serebral
patologis.
7. Sinar X
12
9. PET (Positron Emmision Tomografi)
kesadaran.
bahwa pemeriksaan pada cedera kepala paling baik dicapai dengan menggunakan
sistem skoring Glasglos Coma Scale (GCS) yang didasari oleh tiga pengukuran,
yaitu pembukaan mata, respon motorik dan respon verbal. Skor dari masing-
masing komponena dijumlahkan dan akan memberikan total nilai GCS dengan
terendah adalah 3, sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Fungsi utama dari GCS
13
bukan sekedar interprestasi pada satu kali pengukuran, tetapi juga menyediakan
dalam penilaian untuk melihat perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih
buruk.
vasodilatasi.
3. Analgesik.
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis (maniotl 20%, glukosa 40%
atau gliserol).
14
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (Penisilin) atau untuk infeksi
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, Aminofusin dan Aminofel (18 jam
lunak.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Trauma Capitis menurut Nurarif
abses otak).
15
TIK meningkat
Rangsang simpatis
Hipoksemia, hiperkapnia meningkat
Meningkatnya tahanan
Peningkatan hambatan vaskular sistemik dan
difusi O2 – CO2 tekanan darah
Rangsang simpatis
meningkat
(Muttaqin, 2008).
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Trauma Capitis, yaitu:
sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap
paten.
16
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
metabolisme.
epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang,
17
7. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan jaringan sekitar yang tertekan.
kesadaran
10. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala
Nurarif dan Kusuma (2015), PPNI (2017), Doenges (2012), Sunaryo, et. al. (2015)
18
a. Pengkajian
penciuman. Lam dan kedalaman setiap pengkajian fisik tergantung pada kondisi
palpasi, perkusi dan auskultasi dan data pengkajian fisik diperlihatkan dalam
1. Biodata
Lahdiman, et. al. (2013) dikutip Awaloei, et. al. (2016) menyebutkan
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
tingat kesadaran.
yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS < 15), konvulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di
19
kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya likuor
dari hidung dan telinga serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan
3. Pengkajian psikososiospiritual
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, seperti
20
persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
(cedera kepala ringan, GCS 13-15; cedera kepala sedang, GCS 9-12; cedera
kepala berat bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan
2. B1 (Breathing)
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada klien cedera kepala
berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien biasanya terpasang
ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan
3. B2 (Blood)
sering terjadi pada klien cedera kepala sedang sampai berat. Hasil
takikardi dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
21
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen
tanda-tanda awal syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air
4. B3 (Brain)
5. B4 (Bladder)
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi paa ginjal. Setelah cedera
22
untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
berkurang.
6. B5 (Bowel)
mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubngakan dengan
neurologis luas.
7. B6 (Bone)
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan dan turgor kulit. Integritas
kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk
dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
c. Diagnosa Keperawatan
mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan
23
1) Diagnosis aktual
pada klien.
2) Diagnosis risiko
dan minor pada klien, namun klien memiliki faktor risiko mengalami
masalah kesehatan.
optimal.
d. Prioritas Keperawatan
hari ini mungkin menjadi kurang prioritas keesokan harinya tergantung pada
24
fluktuasi kondisi fisik dan psikososial pasien atau respon perubahan pasien
e. Intervensi Keperawatan
yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh
keluarga dalam cara yang dapat diprediksi dan berhubungan dengan masalah
f. Implementasi Keperawatan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
25
g. Evaluasi Keperawatan
sebagai upaya untuk menentukan apakah seluruh proses sudah berjalan dengan
baik dan apakah tindakan berhasil dengan baik. Proses yang tidak sesuai dengan
rencana perlu ditinjau kembali dan dilakukan perbaikan. Apabila hasil tidak
Tujuan yang tidak tercapai mungkin disebabkan oleh tujuan yang tidak jelas,
tindakan keperawatan tidak tepat, alat atau metode tidak tepat dan faktor
26
h. Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasionalisasi
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Buka jalan napas, gunakan 1. Memaksimalkan oksigen yang masuk
pola napas keperawatan 3x24 jam, pola teknik chin lift atau jaw ke dalam paru-paru
dengan obstruksi hasil: 2. Atur posisi semi fowler 2. Memudahkan ekspansi paru/ventilasi
neurovaskuler, efektif dan suara napas adanya lidah jatuh yang menyumbat
oblongata sianosis dan dypsneu 3. Keluarkan sekret dengan 3. Membersihkan jalan napas agar jalan
neuromaskuler b. Menunjukkan jalan napas batuk atau suction napas menjadi paten
paten (irama dan 4. Lakukan fisioterapi dada 4. Fisioterapi dada dapat membantu
frekuensi napas normal, bila perlu menjatuhkan sekret yang ada pada
27
tambahan) 5. Kolaborasi dalam 5. Memaksimalkan oksigenasi pada
c. Tanda-tanda vital dalam pemberian terapi oksigen darah arteri dan membantu dalam
udara
lembab)
menandakan lokasi/luasnya
28
keterlibatan otak
normal
peningkatan sistolik
Perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status neurologi 1. Mengkaji adanya kecenderungan pada
dengan oksigen adekuat dengan kriteria hasil: dan perkembangan kerusakan SSP
otak menurun a. Kesadaran membaik atau 2. Pantau tanda-tanda vital tiap 2. Memantau adanya tanda-tanda
29
b. TTV dalam batas normal ataupun hipertensi sistolik serta
peningkatan TIK
yang berkurang
sistolik
30
terjadinya peningkatan TIK
meningkatkan TIK
SIADH
Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji mobilitas yang ada 1. Mengidentifikasi kemungkinan
mobilitas fisik keperawatan 3x24 jam, dan observasi terhadap kerusakan secara fungsional
dengan pergerakan fisik dengan 2. Kaji secara teratur fungsi 2. Mempengaruhi pilihan intervensi
31
hemiparesis, kriteria hasil : motorik yang akan dilakukan
kehilangan a. Tidak terjadi kontraktur 3. Pantau kulit dan membran 3. Tindakan pencegahan terhadap
keseimbangan dan otot dan footdrop mukosa terhadap iritasi, komplikasi yang serius seperti risiko
spastisitas dan menggunakan sisi tubuh dalam dan emboli pulmonal, terutama
fungsi pada sisi yang untuk latihan ROM pasif melanjutkan asuhan setelah pasien
parese/plegi dalam
toleransi nyeri
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri secara 1. Membantu membedakan penyebab,
32
berhubungan keperawatan 3x24 jam, nyeri komprehensif lokasi durasi, intensitas dan skala
fisik dengan kriteria hasil : 2. Berikan terapi tirah baring 2. Menurunkan stimulasi yang
33
c. Mampu mengenali nyeri pasien untuk tarik nafas mengalihkan nyeri, memusatkan
e. Tanda vital dalam 5. Monitor tanda-tanda vital 5. Peningkatan nyeri akan meningkatkan
f. Tidak mengalami
gangguan tidur
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi makanan 1. Mengurangi faktor risiko gangguan
kebutuhan tubuh kebutuhan nutrisi tubuh klien 2. Kolaborasi dengan ahli gizi 2. Merupakan sumber untuk yang efektif
berhubungan terpenuhi dengan kriteria untuk menentukan jumlah untuk mengidentifikasi kenutuhan
dengan hasil: kalori dan nutrisi yang kalori/nutrisi tergantung pada usia,
ketidakmampuan 1. Adanya peningkatan berat dibutuhkan pasien BB, ukuran tubuh dan keadaan
34
menelan. badan sesuai dengan penyakit sekarang (trauma, penyakit
2. Berat badan ideal sesuai 3. Anjurkan pasien untuk 3. Membantu pembentukan sel darah
berat badan yang berarti 7. Kaji kemampuan pasien 7. Mengetahui keinginan pasien terhadap
35
yang dibutuhkan
dilakukan
12. Monitor kalori dan intake 12. Mengetahui status nutrisi pasien
nutrisi
36
Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Dorong pasien untuk 1. Meminimalisir kesalahan yang
komunikasi verbal keperawatan 3x24 jam, berkomunikasi secara kemungkinan terjadi karena
berhubungan kerusakankomunikasi verbal perlahan dan untuk perbedaan persepsi dari penerima
agrafia dan agnosia hasil: 2. Berdiri didepan pasien 2. Salah satu bentuk komunikasi
intrepretasi dan ekspresi 3. Gunakan kartu baca, kertas, 3. Kemampuan menulis kadang-kadang
pesan lisan, tulisan dan pensil, bahasa tubuh, melelahkan, selain itu dapat
non verbal meningkat gambar dan lain-lain untuk mengakibatkan frustasi dalam upaya
37
verbal dan atau non verbal mendorong kesinambungan usaha
kecemasan terhadap
ketidakmampuan
berbicara
5. Mampu
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
38
BAB III
39
24 x/menit, BB: 60 kg, TB: 159 cm, 20 x/menit, BB: 63 kg, TB: 165 cm, x/menit, BB: 60 kg, TB: 165 cm,
IMT: 23,73 IMT: 23,14 IMT: 22,03
Pernafasan: melalui hidung dan Pernafasan: melalui hidung, suara Pernafasan: melalui hidung, suara
terpasang nasal canule dengan nafas vesikuler, pola pernafasan nafas vesikuler, pola pernafasan
aliran oksigen 3 L/menit, suara eupneu, sputum (-), reflek batuk eupneu, sputum (-), reflek batuk
nafas vesikuler, pola pernafasan (+), sesak nafas (-), trauma dada (-) (+), sesak nafas (-), trauma dada (-)
takipneu, irama nafas periodik,
sputum (-), reflek batuk (+), sesak
nafas (+), trauma dada (+)
Nutrisi: ada nafsu makan, makan Nutrisi: ada nafsu makan, makan Nutrisi: ada nafsu makan, makan
dengan porsi sedang, tidak ada dengan porsi sedang, tidak ada dengan porsi sedang, tidak ada
mual dan muntah, tidak ada alergi mual dan muntah, tidak ada alergi mual dan muntah, tidak ada alergi
makanan makanan makanan
Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan
konsistensi lunak berwarna kuning, konsistensi lunak berwarna kuning, konsistensi lunak berwarna kuning,
BAK menggunakan kateter, urine BAK ± 6 x/hari, urine berwarna BAK ± 3 x/hari, urine berwarna
40
berwarna kuning jernih, urine kuning jernih, urine output ± 0,79 kuning jernih, urine output ± 0,57
output ± 0,60 cc/jam cc/jam cc/jam
Integumen: warna kulit sawo Integumen: warna kulit cokelat, Integumen: warna kulit cokelat,
matang, turgor kulit elastis, tekstur turgor kulit elastis, tekstur halus, turgor kulit elastis, tekstur halus,
halus, nyeri tekan (-), jaringan parut nyeri tekan (-), jaringan parut (+) terdapat bekas luka jahitan
(-) superfisial stage 1 pada daerah
frontal hingga partial yang
diperban, nyeri tekan (+), jaringan
parut (+), kemerahan (-), drainage
serosa
41
tidak dapat melakukan sholat hanya berdzikir karena tidak dapat tidak dapat melakukan sholat
selama dirawat di RS melakukan sholat selama dirawat di selama dirawat di RS
RS. Klien juga sering
mencemaskan keadaan rumahnya
Hasil Lab dan Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium
Terapi yang HEMATOLOGI HEMATOLOGI HEMATOLOGI
diberikan Hemoglobin (Hb) 11.1 g/dL Hemoglobin (Hb) 12.3 g/dL Hemoglobin (Hb) 11.8 g/dL
Eritrosit (RBC) 4.30 x 106/mm3 Eritrosit (RBC) 4.10 x 106/mm3 Eritrosit (RBC) 4.10 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 10.3 x 103/mm3 Leukosit (WBC) 9.7 x 103/mm3 Leukosit (WBC) 20.9 x 103/mm3
Hematokrit 45 % Hematokrit 40 % Hematokrit 32 %
Trombosit (PLT) 185 x 103/uL Trombosit (PLT) 315 x 103/uL Trombosit (PLT) 217 x 103/uL
RDW-CV 13.40 % Hitung jenis leukosit Hitung jenis leukosit
Hitung jenis leukosit - Basofil 0 % - Basofil 0 %
- Basofil 0 % - Eosinofil 0 % - Eosinofil 0 %
- Eosinofil 1 % - Netrofil 75 % - Netrofil 89 %
- Netrofil 62 % - Limfosit 10 % - Limfosit 5 %
- Limfosit 20 % - Monosit 5 % - Monosit 4 %
- Monosit 5 % ELEKTROLIT ELEKTROLIT
KIMIA KLINIK Kalsium (Ca) 11.3 mg/dL Kalsium (Ca) 8.8 mg/dL
42
HATI Natrium 145 mg/dL Natrium 140 mg/dL
Bilirubun total 0.60 mg/dL Kalium (K) 4.0 mg/dL Kalium (K) 4.0 mg/dL
Bilirubin Direk 0.20 mg/dL METABOLISME METABOLISME
ELEKTROLIT KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT
Kalsium (Ca) 8.0 mg/dL Glukosa sewaktu 152 mg/dL Glukosa sewaktu 132 mg/dL
Natrium 145 mg/dL
Kalium (K) 3.8 mg/dL
METABOLISME
KARBOHIDRAT
Glukosa sewaktu 212 mg/dL
Terapi obat yang klien dapat Terapi obat yang klien dapat Terapi obat yang klien dapat
berupa Tramadol 100 gr setiap 12 berupa Ceftriaxone 2 gr setiap 12 berupa Ceftriaxone 2 gr setiap 12
jam (IV), Manitol 150 ml setiap 6 jam (IV) dan Manitol 100 ml setiap jam (IV), Manitol 150 ml setiap 6
jam (IV), Ranitidine 50 mg setiap 6 jam (IV) jam (IV) dan Ranitidine 50 mg
12 jam (IV) dan Phenitoin 100 gr setiap 12 jam (IV)
setiap 8 jam (IV)
Analisa Data DS: DS: DS:
Pasien mengaku sesak yang Pasien mengeluh sakit kepala Pasien mengeluh sakit kepala
43
hilang timbul yang hilang timbul yang hilang timbul
DO: DO: DO:
Pola napas takipneu GCS E4M6V5 (composmentis) GCS E4M6V5 (composmentis)
Irama napas periodik TTV: TTV:
TTV: RR: 20 x/menit RR: 18 x/menit
RR: 24 x/menit HR: 80 x/menit HR: 80 x/menit
HR: 73 x/menit TD: 130/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
Terpasang nasal canule dengan T: 36,5 0C T: 36 0C
aliran oksigen 3 L/menit Riwayat terjatuh dari sepeda Riwayat kecelakaan lalu lintas
motor dan kepala terbentur terjatuh dari sepeda motor dan
benda keras hingga mengalami mengalami penurunan
penurunan kesadaran kesadaran
Diagnosa Ketidakefektifan pola nafas Risiko ketidakefektifan perfusi Risiko ketidakefektifan perfusi
Keperawatan berhubungan dengan obstruksi jaringan serebral berhubungan jaringan serebral berhubungan
trakeobronkial, neurovaskuler, dengan oedema serebral dan dengan oedema serebral dan
kerusakan medula oblongata peningkatan tekanan intra kranial peningkatan tekanan intra kranial
neuromaskuler
Implementasi Pukul 14.30 WIB Pukul 15.15 WIB Pukul 14.25 WIB
1. Mengatur posisi semi fowler 1. Memonitor status neurologi: 1. Memonitor status neurologi:
44
2. Berkolaborasi dalam pemberian GCS E4M6V5 (composmentis) GCS E4M6V5 (composmentis)
terapi oksigen sesuai indikasi: Pukul 15.30 WIB Pukul 14.40 WIB
nasal canule dengan aliran 2. Memantau adanya sianosis: 2. Memantau adanya sianosis:
oksigen 3 L/menit tidak ada sianosis tidak ada sianosis
Pukul 16.00 WIB Pukul 17.45 WIB Pukul 16.40 WIB
3. Melakukan fisioterapi dada: 3. Memantau adanya peningkatan 3. Memantau adanya peningkatan
teknik clapping pada dinding TIK: nyeri kepala hilang timbul, TIK: nyeri kepala hilang timbul,
dada muntah proyektil (-), hipertensi muntah proyektil (-), hipertensi
Pukul 16.30 WIB (-), bradikardi (-), pupil isokor (-), bradikardi (-), pupil isokor
4. Memonitor tanda-tanda vital Pukul 18.15 WIB Pukul 17.10 WIB
TD: 150/90 mmHg 4. Memposisikan kepala lebih 4. Memposisikan kepala lebih
HR: 88 x/menit tinggi: 300 - 450 tinggi: 300 - 450
RR: 24 x/menit Pukul 18.45 WIB Pukul 18.50 WIB
0
T: 37 C 5. Berkolaborasi dengan 5. Berkolaborasi dengan
Pukul 17.30 WIB pertahankan oksigenasi adekuat: pertahankan oksigenasi adekuat:
5. Memonitor suara paru dan pola nasal canule dengan aliran nasal canule dengan aliran
pernapasan abnormal: suara oksigen 3 L/menit oksigen 3 L/menit
paru vesikuler, pola napas Pukul 20.10 WIB Pukul 20.20 WIB
takipneu, irama napas periodik 6. Memantau tanda-tanda vital 6. Memantau tanda-tanda vital
45
Pukul 19.00 WIB RR: 18 x/menit RR: 18 x/menit
6. Mengajarkan teknik relaksasi HR: 78 x/menit HR: 73 x/menit
napas dalam TD: 130/80 mmHg TD: 120/70 mmHg
Pukul 20.00 WIB T: 36,8 oC T: 36,5 oC
7. Memonitor adanya cushing
triad: nadi melebar (-),
bradikardi (-), TD 140/90
mmHg
Evaluasi Pukul 20.30 WIB Pukul 20.40 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S:
S:
Pasien masih merasa sakit Pasien masih merasa sakit
Pasien masih merasa sesak yang
kepala yang hilang timbul kepala yang hilang timbul
hilang timbul
O: Pasien mengaku tidak merasa Pasien mengaku tidak merasa
mual ataupun muntah mual ataupun muntah
Suara paru vesikuler
O: O:
Pola napas takipneu
GCS E4M6V5 (composmentis) GCS E4M6V5 (composmentis)
Irama napas periodik
RR: 18 x/menit RR: 18 x/menit
RR: 22 x/menit
HR: 78 x/menit HR: 73 x/menit
HR: 80 x/menit
TD: 130/80 mmHg TD: 120/70 mmHg
TD: 140/90 mmHg
46
T: 36,8 oC T: 36,8 oC T: 36,5 oC
Tidak ada tanda-tanda cushing Tidak ada sianosis Tidak ada sianosis
triad Bradikardi (-) Bradikardi (-)
A: Pupil isokor Pupil isokor
Ketidakefektifan pola napas teratasi A: A:
sebagian Risiko ketidakefektifan perfusi Risiko ketidakefektifan perfusi
P: jaringan serebral teratasi sebagian jaringan serebral teratasi sebagian
Intervensi dilanjutkan P: P:
Intervensi dilanjutkan Intervensi dilanjutkan
Analisa data DS: DS: DS:
Pasien mengeluh pusing dan Pasien mengeluh nyeri kepala Pasien mengeluh sakit kepala
sakit kepala DO: DO:
DO: P: nyeri bila terlalu banyak P: nyeri bila terlalu banyak
GCS E4M6V5 (composmentis) beraktivitas beraktivitas
TTV: Q: nyeri seperti dicengkeram Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
RR: 24 x/menit R: nyeri pada kepala R: nyeri pada kepala
HR: 73 x/menit S: skala nyeri 2 S: skala nyeri 3
TD: 150/90 mmHg T: nyeri hilang timbul T: nyeri hilang timbul
0
T: 37,1 C Pasien tampak meringis sesekali Pasien tampak meringis sesekali
47
Riwayat terjatuh dari motor TTV: TTV:
dengan kepala membentur sudut HR: 80 x/menit HR: 80 x/menit
jalan karena dibonceng dan rok TD: 130/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
yang dipakai pasien terjepit
diantara rantai dan roda gear
motor
Diagnosa Risiko ketidakefektifan perfusi Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri akut berhubungan dengan
Keperawatan jaringan serebral berhubungan agen cedera fisik agen cedera fisik
dengan oedema serebral dan
peningkatan tekanan intra kranial
Implementasi Pukul 14.45 WIB Pukul 14.15 WIB Pukul 14.20 WIB
1. Memonitor status neurologi: 1. Memberikan O2 sesuai terapi: 1. Memberikan O2 sesuai terapi:
GCS E4M6V5 (composmentis) nasal canule dengan aliran nasal canule dengan aliran
Pukul 15.00 WIB oksigen 3 L/menit oksigen 3 L/menit
2. Memantau adanya sianosis: 2. Memberikan posisi semifowler 2. Memberikan posisi semifowler
tidak ada sianosis Pukul 14.50 WIB Pukul 14.35 WIB
Pukul 17.00 WIB 3. Mengajarkan dan membimbing 3. Mengajarkan dan membimbing
3. Memantau adanya peningkatan pasien untuk tarik nafas dalam pasien untuk tarik nafas dalam
TIK: nyeri kepala hilang timbul, untuk mengurangi nyeri untuk mengurangi nyeri
48
muntah proyektil (-), hipertensi Pukul 15.55 WIB Pukul 15.10 WIB
(+), bradikardi (-), pupil isokor 4. Melakukan pengkajian nyeri 4. Melakukan pengkajian nyeri
Pukul 17.15 WIB secara komprehensif secara komprehensif
4. Memposisikan kepala lebih P: nyeri bila terlalu banyak P: nyeri bila terlalu banyak
tinggi: 300 - 450 beraktivitas beraktivitas
Pukul 18.30 WIB Q: nyeri seperti dicengkeram Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
5. Berkolaborasi dengan R: nyeri pada kepala R: nyeri pada kepala
pertahankan oksigenasi adekuat: S: skala nyeri 2 S: skala nyeri 3
nasal canule dengan aliran T: nyeri hilang timbul T: nyeri hilang timbul
oksigen 3 L/menit Pukul 19.15 WIB Pukul 19.10 WIB
Pukul 19.45 WIB 5. Menganjurkan pasien untuk 5. Menganjurkan pasien untuk
6. Memantau tanda-tanda vital tirah baring (bedrest) tirah baring (bedrest)
TD: 150/90 mmHg
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
T: 37 0C
Evaluasi Pukul 20.30 WIB Pukul 20.40 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S: S:
Pasien masih merasa sakit Pasien masih merasa sakit Pasien masih merasa sakit
49
kepala yang hilang timbul kepala dan nyeri dada pada yang kepala dan nyeri dada pada yang
Pasien mengaku tidak merasa hilang timbul hilang timbul
mual ataupun muntah O: O:
O: Pasien tampak meringis Pasien tampak meringis
GCS E4M6V5 (composmentis) P: nyeri bila terlalu banyak P: nyeri bila terlalu banyak
RR: 22 x/menit beraktivitas beraktivitas
HR: 80 x/menit Q: nyeri seperti dicengkeram Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
TD: 140/90 mmHg R: nyeri pada kepala R: nyeri pada kepala
T: 36,8 oC S: skala nyeri 2 S: skala nyeri 3
Tidak ada sianosis T: nyeri hilang timbul T: nyeri hilang timbul
Bradikardi (-) RR: 18 x/menit RR: 18 x/menit
Pupil isokor HR: 78 x/menit HR: 73 x/menit
A: TD: 130/70 mmHg TD: 120/70 mmHg
Risiko ketidakefektifan perfusi T: 36,8 oC T: 36,5 oC
jaringan serebral teratasi sebagian A: A:
P: Nyeri akut teratasi sebagian Nyeri akut teratasi sebagian
Intervensi dilanjutkan P: P:
Intervensi dilanjutkan Intervensi dilanjutkan
Analisa data DS: DS: DS:
50
Pasien mengeluh nyeri pada Pasien menginginkan agar dapat Pasien mengatakan nyeri bila
dada dan kepala keluar dari rumah sakit luka ditekan
DO: Pasien mengatakan ingin DO:
P: nyeri kepala dan dada bila kembali bekerja untuk mencari Terdapat bekas luka sectio
ditekan pasca kecelakaan rezeki dan mencukupi caesaria pada abdomen
Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk kebutuhan rumah tangga Terdapat bekas luka jahitan
R: nyeri pada thoraks dan Keluarga pasien juga superfisial stage 1 pada daerah
kepala mengatakan pasien sering frontal hingga parital yang
S: skala nyeri 3 berpikir dan mencemaskan diperban
T: nyeri hilang timbul keadaan rumah Drainage: serosa
Pasien tampak meringis sesekali DO: Kemerahan (-)
TTV: Pasien terlihat sering melamun TTV:
HR: 73 x/menit TTV: RR: 18 x/menit
TD: 150/90 mmHg RR: 20 x/menit HR: 80 x/menit
HR: 80 x/menit TD: 110/70 mmHg
TD: 130/80 mmHg T: 36 0C
Diagnosa Nyeri akut berhubungan dengan Ansietas berhubungan dengan Gangguan integritas kulit
Keperawatan agen cedera fisik perubahan dalam status ekonomi berhubungan dengan faktor
dan kesehatan mekanik
51
Implementasi Pukul 14.30 WIB Pukul 15.35 WIB Pukul 15.40 WIB
1. Memberikan O2 sesuai terapi: 1. Menggunakan pendekatan yang 1. Memonitor tanda dan gejala
nasal canule dengan aliran menenangkan infeksi pada area luka:
oksigen 3 L/menit 2. Mendengarkan dengan penuh kemerahan (-), bengkak (-),
2. Memberikan posisi semifowler perhatian panas (-), nyeri tekan (+)
Pukul 14.50 WIB 3. Menjelaskan semua prosedur 2. Mengajarkan pasien untuk
3. Mengajarkan dan membimbing dan apa yang dirasakan selama mobilisasi (ubah posisi) setiap 2
pasien untuk tarik nafas dalam prosedur: pasien mengaku jam sekali
untuk mengurangi nyeri mengerti bila ia akan segera Pukul 16.10
Pukul 16.15 WIB dipulangkan bila benar-benar 3. Membersihkan area sekitar
4. Melakukan pengkajian nyeri sudah sembuh jahitan menggunakan lidi kapas
secara komprehensif 4. Memahami perspektif pasien steril
P: nyeri bila dada ditekan pasca terhadap situasi stres 4. Mengajarkan untuk menjaga
kecelakaan 5. Mendorong pasien untuk kulit agar tetap bersih dan
Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk mengungkapkan perasaannya: kering
R: nyeri pada thoraks dan pasien mengaku cemas dengan
kepala keadaan rumah karena yang di
S: skala nyeri 3 rumah hanya anak laki-lakinya
T: nyeri hilang timbul saja yang sudah SMA
52
5. Melakukan masase sebagai 6. Mendorong keluarga untuk
teknik distraksi untuk menemani pasien
mengurangi nyeri Pukul 19.15 WIB
Pukul 18.00 WIB 7. Melakukan back/neck rub
6. Berkolaborasi pemberian 8. Menginstruksikan pasien untuk
analgesik sesuai indikasi: menggunakan teknik relaksasi
Tramadol 2 x 100 gr per IV
7. Menganjurkan pasien untuk
tirah baring (bedrest)
Evaluasi Pukul 20.45 WIB Pukul 20.50 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S: S:
Pasien masih merasa sakit Pasien mengaku mengerti bila ia Pasien mengatakan nyeri bila
kepala dan nyeri dada pada yang akan segera dipulangkan bila luka ditekan
hilang timbul benar-benar sudah sembuh O:
O: Pasien mengungkapkan rasa Tanda-tanda infeksi (-)
Pasien tampak meringis cemas terhadap keadaan rumah RR: 18 x/menit
P: nyeri bila dada ditekan pasca karena yang di rumah hanya ada HR: 73 x/menit
kecelakaan anak laki-lakinya saja yang TD: 120/70 mmHg
Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk sudah SMA T: 36,5 oC
53
R: nyeri pada thoraks dan O: A:
kepala Pasien tampak melamun Gangguan integritas kulit teratasi
S: skala nyeri 2 RR: 18 x/menit sebagian
T: nyeri hilang timbul HR: 78 x/menit P:
54
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pengkajian Keperawatan
secara head to toe pada pasien serta didukung oleh data sekunder dari rumah
identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat biologis, riwayat keluarga,
dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati dan Esma (2016) bahwa dari
secara relatif tidak bergerak seperti badan mobil atau tanah. Hal ini
yang paling banyak terjadi adalah kecelakaan yang melibatkan sepeda motor
dan umumnya bagian tubuh yang mengalami cedera adalah kepala dan
Capitis, dilihat dari kegawatan ketiga pasien berada dalam kategori ringan.
55
Menurut Irawan, et. al. (2010), kategori ringan pada cedera kepala adalah
merasa pusing dan luka lecet superfisial. Hal ini dapat terjadi karena ketiga
Bila dilihat usia dari ketiga pasien kelolaan, Ny. M berusia 50 tahun,
Tn. P berusia 51 tahun dan Ny. R berusia 37 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa usia tidak memiliki hubungan dengan tingkat kejadian cedera kepala
di rumah sakit. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Coronando, et. al. (2011) yang menyebutkan bahwa pasien cedera
kepala lebih banyak terjadi pada mereka dengan usia 0-44 tahun atau usia
produktif, terutama pada usia 18-40 tahun karena pada usia tersebut
cedera kepala paling banyak dialami oleh remaja yang berumur dibawah 25
tahun karena para remaja masih berada pada taraf emosi yang belum stabil
56
mengatakan bahwa tanda dan gejala lainnya dari peningkatan tekanan
(Wahyudi, 2015). Nyeri kepala ini sebagai salah satu penanda adanya
jaringan serebral (Ware, 2005 dan Temperano, 2007 dikutip Priasojo, 2017;
serius karena pekenanan pada pusat-pusat vital di dalam otak (herniasi) dan
2015).
dilihat dari terapi cairan yang diberikan adalah ketiga pasien kelolaan sama-
tekanan intra kranial yang meningkat dan diberikan secara bolus intravena
darah serebral dan penurunan tekanan intra kranial (Rachman, et. al., 2015).
Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Damayanthi, et. al. (2013)
57
hipertonik dalam menurunkan tekanan intra kranial karena efek osmosis dari
terlambat 15-30 menit sampai tercipta gradien gradien osmotik antara sel
dan plasma.
2. Diagnosa Keperawatan
mayor dan minor pada klien, namun klien memiliki faktor risiko mengalami
menjadi berbahaya dan harus segera ditangani (Ware, 2005 dikutip Priasojo,
58
3. Intervensi Keperawatan
merupakan posisi untuk menaikan kepala (elevasi) dari tempat tidur sekitar
300 sampai 600 dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar (Bahrudin, 2009).
dilakukan secara rutin untuk individu dengan luka pada otak dengan
mungkin akan menjadi stabil dalam rentang normal sehingga posisi ini lebih
(Pertami, et. al., 2017). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Mahfoud,
et. al. (2009) bahwa tekanan intrakranial pada semua pasien meningkat
ketika posisi pasien 00. Nilai tekanan intrakranial kemudian turun secara
pulse amplitude (ICPPA) turun dari posisi 0º ke 30º. Nilai ICPPA naik
secara signifikan dari posisi 30º-60º dan nilainya turun lagi dari posisi 60º
ke 0º. ICPPA minimum ditemukan pada pasien dengan head elevation 30º.
Pada posisi head elevation 60º terjadi penurunan signifikan nilai CPP dan
MAP.
59
4. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
perfusi serebral pada pasien dengan cedera kepala, maka langkah terakhir
bahwa pada Ny. M, tiga diagnosa yang diangkat teratasi sebagaian; satu dari
tiga diagnosa yang diangakat pada Tn. P teratasi dan sisanya teratasi
sebagian; serta tiga diagnosa yang diangkat pada Ny. R teratasi sebagian.
B. Implikasi Keperawatan
60
serebral dengan tindakan keperawatan membantu memberikan posisi
terapi oksigen melalui nasal canule dengan aliran oksigen 3 L/menit dan terapi
cairan manitol 20tpm, serta memantau tanda dan gejala bila terjadi peningkatan
mengurangi nyeri.
pentingnya untuk mempertahankan posisi head up tilt 300. Posisi kepala elevasi
300 sangat disarankan karena pada saat posisi 300, tekanan arteri intra kranial
posisi terlentang, sedangkan posisi > 400 akan menurunkan perfusi otak
(Pertami, et. al., 2017). Mengatur posisi kepala elevasi 15-300 juga akan
venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga dapat
Teori yang mendasari elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh
di atas jantung dengan vetebralis axis akan menyebabkan cairan serebro spinal
memfasilitasi venus return serebral (Sunardi dan Nelly, 2011). Hal ini sesuai
61
dengan hasil penelitian yang dilakukan Bhalla (2007) dikutip Sunardi dan
Nelly (2011) bahwa pemberian posisi kepala flat 00 dan elevasi kepala 300 pada
Selain itu, Meng, et. al. (2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa
terdapat penurunan signifikan tetapi kecil terhadap volume darah otak dan
saturasi oksigen jaringan otak setelah dilakukan head-up tilt 300 pada pasien
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma Capitis yaitu pada Ny. M, Tn. P dan Ny. R yaitu risiko
serebral dan peningkatan tekanan intra kranial dan nyeri akut berhubungan
L/menit dan terapi cairan manitol 20tpm, serta memantau tanda dan gejala
serebral dan peningkatan tekanan intra kranial dan nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik dan biologis. Sedangkan pada masalah lainnya
63
dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula
dengan perubahan dalam status ekonomi dan kesehatan dan Ny. R dengan
5. Pemberian posisi kepala 300 serta posisi semi fowler sangat disarankan
karena pada saat posisi 300, tekanan arteri intrakranial menjadi minimum
mengurangi rasa sakit pada kepala yang dirasakan oleh pasien karena
B. Saran
masalah yang ada dapat teratasi secara optimal dari berbagai aspek serta
64
DAFTAR PUSTAKA
Alfianto, A. (2015). Pemberian posisi kepala flat (00) dan elevasi (300) terhadap
tekanan intra kranial pada asuhan keperawatan tn. k dengan stroke non
hemoragik di instalasi gawat darurat (igd) rs. dr. moewardi surakarta [karya
Awaloei, C, et. al. (2016). Gambaran cedera kepala yang menyebabkan kematian
Bahrudin, M. (2009). Posisi dalam Stabilitas TIK. Diakses pada tanggal 1 Agustus
Coronado, V, et. al. (2011). Surveillance for Traumatic Brain Injury Related
pada Pasien dengan Cedera Otak Traumatik memberikan Relaksasi Otak yang
65
Doenges, M. (2012). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan
Irawan, H, et. al. (2010). Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma
Score dalam Memprediksi Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya.
National Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”. Banda Aceh:
pada asuhan keperawatan sdr. b dengan close fraktur impresi regio frontal di
ruang mawar ii rsud dr. moewardi surakarta [karya tulis ilmiah]. Surakarta:
Meng, L, et. al. (2012). Head-up Tilt and Hyperventilation Produce Similiar
66
Nasir, M. (2012). Asuhan keperawatan pada ny. a dengan cedera kepala sedang
Mediaction Publishing.
Indonesia.
Pratiwi, P. (2016). Asuhan keperawatan akhir profesi pada pasien dengan trauma
dipublikasikan.
pasien cedera kepala setelah dilakukan posisi Elevasi 150-300 di igd rsud
67
Rachman, A, et. al. (2015). Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika.
perkotaan pada pasien cedera kepala di rsup fatmawati [karya ilmiah akhir
Ristanto, R, et. al. (2016). Akurasi Revised Trauma Score sebagai Prediktor
Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti. 4(2): 76-
Sumarno, et. al. (2016). Glasgow Coma Scale (GCS), Tekanan Darah dan Kadar
Sunardi & Nelly, Y. (2011). Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Flat 00 dan
Elevasi 300 terhadap Tekanan Intra Kranial Pasien Stroke Iskemik di RSCM
Sunaryo, et. al. (2015). Asuhan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Andi Offset.
68
Supadi. (2012). Pengaruh Elevasi Posisi Kepala pada Klien Stroke Hemoragik
ruang igd rumah sakit salatiga [karya tulis ilmiah]. Surakarta: STIKES
Suryati, I & Esma, W. (2016). Hubungan Mekanisme Cedera dan Usia dengan
Nilai GCS pada Pasien Cedera Kepala di Ruang IGD Rumah Sakit Umum dr.
69
Wijayanti, A. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan pada pasien cedera kepala di ruang irna a lantai 3 utara rsup
70