Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecelakaan yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kecelakaan yang

melibatkan sepeda motor dan umumnya bagian tubuh yang mengalami cedera

adalah kepala dan anggota gerak atas maupun bawah (Mariana, 2017). Proporsi

pasien trauma yang dirawat di rumah sakit mayoritas akibat kecelakaan darat

(59,6%) sebagian besar (47,5%) mengalami cedera kepala (Riyadina, et. al., 2011

dikutip Sumarno, et. al., 2016). Cedera kepala sendiri merupakan salah satu

penyebab utama kematian dan kecacatan sehingga membutuhkan tindakan cepat

dan efisien untuk mencegah perburukan kondisi pasien (Ristanto, et. al., 2016).

Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di

batang otak dan mengakibatkan tonus dinding pembuluh darah menurun sehingga

cairan lebih mudah menembus dindingnya, sedangkan benturan yang terjadi dapat

menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi

lebih permeabel dan mengakibatkan edema (Soertidewi, 2012). Penderita cedera

kepala sering kali mengalami edema serebri atau perdarahan intrakranial sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) dan

terganggunya autoregulasi tekanan perfusi otak sehingga menjadi berbahaya dan

harus segera ditangani (Ware, 2005 dikutip Priasojo, 2017; Wahyudi, 2015).

Peningkatan TIK adalah komplikasi serius karena pekenanan pada pusat-pusat

1
vital di dalam otak (herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi,

2014 dikutip Alfianto, 2015).

Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada pasien trauma capitis salah

satunya adalah risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala. Intervensi mandiri untuk mengatasi masalah ini adalah

membatasi gerakan pada kepala, leher dan punggung, mengatur posisi head up 300

bila tanpa indikasi cidera tulang belakang (vetebrae), memberikan posisi semi

fowler dan kolaborasi untuk mencegah serta mengobati edema (Soertidewi, 2012;

Suryani, 2016).

Schneider, et. al. (2007) dikutip Supadi (2012) menyatakan bahwa untuk

menurunkan peningkatan tekanan intrakranial adalah dengan mengatur posisi

kepala elevasi 15-300 agar venous drainage dari serebral ke jantung meningkat dan

diharapkan venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga

dapat mengurangi edema intraserebral karena perdarahan. Bhalla (2007) dikutip

Sunardi dan Nelly (2011) juga menyebutkan bahwa pemberian posisi kepala flat 00

dan elevasi kepala 300 pada pasien cedera kepala akan memberikan keuntungan

dalam meningkatkan oksigenasi sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri dan

memperbaiki perfusi jaringan serebral karena adanya pengisian suplai oksigen ke

otak.

Berdasarkan fenomena yang ada, pasien dengan trauma capitis jarang

diberitahu tentang pentingnya posisi untuk mengurangi tekanan pada intrakranial.

Berdasarkan data tersebut, penulis tertarik untuk memaparkan tentang asuhan

2
keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien dengan trauma capitis dengan

memberikan posisi head up tilt 300.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Memaparkan tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien Trauma

Capitis

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran umum pasien Trauma Capitis

b. Mengetahui gambaran masalah asuhan keperawatan yang terjadi pada pasien

Trauma Capitis

c. Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien Trauma Capitis

C. Manfaat Penelitian

Hasil penulisan karya ilmiah ini kelak dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah akhir ini dapat

dipergunakan untuk mahasiswa, instansi pendidikan keperawatan dan

perkembangan ilmu keperawatan.

1. Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan

Informasi dari karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna bagi instansi

pendidikan PSIK FK UNSRI sebagai laporan hasil asuhan keperawatan

mahasiswa profesi ners pada pasien Trauma Capitis. Instansi juga dapat

menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta didik,

3
terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan medikal bedah

(KMB).

2. Bagi Mahasiswa

Karya ilmiah ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan

khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun praktik

asuhan keperawatan pada pasien Trauma Capitis. Mahasiswa keperawatan

diharapkan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan dengan tepat pada

pasien Trauma Capitis saat praktik di lapangan dengan pemahaman yang baik

terhadap asuhan keperawatan tersebut.

D. Metode Penelitian

Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus dengan

memberikan asuhan keperawatan pada pasien Trauma Capitis.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Trauma Capitis

Trauma capitis atau trauma kepala atau cedera kepala adalah segala bentuk

kekerasan yang menimpa kepala dan akan menyebabkan luka pada kulit kepala,

tulang tengkorak dan otak (Tasmono, 2011). Cedera kepala merupakan proses

dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang

menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2007 dikutip Suryani, 2016).

Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala

dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya dan Putri, 2013).

Cedera kepala (trauma kapitis) adalah suatu gangguan traumatik atau trauma

mekanik pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung, disertai atau

tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

kontinuitas otak sehingga menyebabkan gangguan fungsi neurologis, yaitu

gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen

dan merubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik,

intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan (Damanik, 2011 dikutip Suryani,

2016; Black dan Hawks, 2009 dikutip Wijayanti, 2013; Nasir, 2012).

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa trauma capitis

adalah cedera akibat pukulan/benturan pada kepala yang disertai atau tanpa

kehilangan kesadaran atau perdarahan intestitial sehingga menyebabkan gangguan

fungsi neurologis.

5
Klasifikasi dari trauma capitis menurut Nurarif dan Kusuma (2015), yaitu:

1. Berdasarkan keparahan cedera kepala

a. Cedera kepala ringan (CKR)

1) Tidak ada fraktur tengkorak

2) Tidak ada kontusio serebri

3) Skor GCS 13-15

4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi kurang dari 30 menit

b. Cedera kepala sedang (CKS)

1) Kehilangan kesadaran (amnesia) lebih dari 30 menit tapi kurang dari 24

jam

2) Muntah

3) Skor GCS 9-12

4) Dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)

c. Cedera kepala berat (CKB)

1) Skor GCS 3-8

2) Hilang kesadaran lebih dari 24 jam

3) Adanya kontusio serebri, laserasi atau hematoma intrakranial

2. Berdasarkan jenis cedera

a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak

dan jaringan otak

b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan gegar otak ringan

dan oedema serebral yang luas

6
B. Etiologi Trauma Capitis

Menurut Smeltzer (2001) dan Long (1996) dikutip Rahmi (2013)

menyebutkan bahwa etiologi dari trauma capitis sebagai berikut:

1. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,

misalnya tertembak peluru atau karena benda tajam

2. Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya sifatnya lebih

berat.

3. Cedera akselerasi

Merupakan peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala, baik disebabkan

oleh pukulan ataupun bukan dari pukulan.

4. Kontak benturan

Terjadi benturan atau tertabrak suatu objek.

5. Kecelakaan lalu lintas atau industri

6. Serangan yang disebabkan karena olahraga

7. Jatuh dan perkelahian

C. Patofisiologi Trauma Capitis

Pratiwi (2016) mengetakan bahwa cedera berperan dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi petofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan

aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,

seperti trauma akibat pukulan benda tumpul atau karena terkena lemparan benda

7
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah jika kepala membentur objek yang

secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini

mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa

kontak langsung seperti yang terjadi jika posisi badan diubah secara kasar dan

cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala

yang menyebabkan robekan pada subtansi alba dan batang otak.

Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera otak

primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saai atau

bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suat fenomena mekanik.

Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali

membuat fungsi stabil sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses

penyembuhan yang optimal.

Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar

pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragik

karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir mngakibatkan terjadinya

gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder

merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan

cedera primer dan lebih merupakan sebagai kemampuan autoregulasi serebral

berkurang atau tidak ada pada area cedera.

8
D. Web of Cautions (WOC) Trauma Capitis
Trauma kepala Benturan keras

Trauma pada jaringan Trauma akibat akselerasi Robekan dan distorsi


lunak atau deselerasi

Rusaknya jaringan Cedera jaringan otak Jaringan sekitar tertekan Ganggaun rasa
kepala nyaman

Hematoma Merangsang bradikinin,


Luka terbuka histamin dan
prostaglandin
Oedema dan vasodilatasi
Kerusakan integritas
kulit Impuls disampaikan
Risiko infeksi TIK meningkat talamus korteks serebri

Aliran darah ke otak Impuls dipersepsikan


menurun

Nyeri
Perubahan perfusi
jaringan serebral

Merangsang hipotalamus Merangsang inferior Kerusakan hemisfer Hipoksia jaringan Penurunan kesadaran
hifofisis motorik

9
Hipotalamus terviksasi Mengeluarkan steroid Penurunan kekuatan dan Pernapasan dangkal Retensi Na dan H2O
(pada di ensefalon) dan adrenal tahanan otot

Ketidakefektifan pola Tidak mampu


Penurunan produksi Sekresi HCl di gaster Hambatan mobilitas
napas menyampaikan kata-kata
ADH meningkat fisik

Hambatan komunikasi
Retensi Na dan H2O Mual dan muntah verbal

Oedema Risiko
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
Kelebihan volume kebutuhan tubuh
cairan

Bagan 1. Web of Cautions (WOC) Trauma Capitis (Nurarif dan Kusuma, 2015)

10
E. Manifestasi Klinis Trauma Capitis

Manurut Rahmi (2013), gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien

dengan cedera kepala bergantung pada tingkat keparahan cedera, yaitu:

1. Cedera kepala ringan

Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal, pusing,

kesulitan dalam berkonsentrasi, belajar dan bekerja, pelupa, depresi, emosi,

perasaannya berkurang dan cemas.

2. Cedera kepala sedang

Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan

bahkan koma, gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba, defisit

neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan

pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan

gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat

Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah

terjadinya penurunan kesadaran, pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak

ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

F. Pemeriksaan Penunjang Trauma Capitis

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), pemeriksaan yang perlu dilakukan

pada pasien dengan cedera kepala adalah:

11
1. CT Scan (tanpa/dengan kontras)

Mengidentifikasi adanya SOL dan hemoragik, menentukan ventrikuler,

serta pergeseran jaringan otak.

2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan jika bercampur

akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infark

dan kelainan pada pembuluh darah.

3. ENG (Elektro Nistagmo Gram)

Mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.

4. Angiografi Substraksi Digital

Memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan

lunak disekitarnya.

5. Angiografi Serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak

akibat oedema dan perdarahan trauma.

6. EEG (Elektro Ensefalo Gram)

Memperlihatkan keberadaan atau berkembangannya gelombang

patologis.

7. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur) dari garis tengah

karena perdarahan atau oedema.

8. BAEK (Brain Audition Euoked Tomografi)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

12
9. PET (Positron Emmision Tomografi)

Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme batang otak.

10. Fungsi Lumbal CSS

Menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.

11. AGD (Analisa Gas Darah)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan

meningkatkan tekanan intra kranial.

12. Kimia/Elektrolit Darah

Mengetahui adanya ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan

tekanan intra kranial atau perubahan mental.

13. Pemeriksaan Toksilogi

Mendeteksi obat yang mungkin bertangguang jawab terhadap penurunan

kesadaran.

14. Kadar Anti Konvulsan Darah

Mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

G. Glasglow Coma Scale

Menurut Greaves dan Hohnson (2002) dikutip Pratiwi (2016) menyebutkan

bahwa pemeriksaan pada cedera kepala paling baik dicapai dengan menggunakan

sistem skoring Glasglos Coma Scale (GCS) yang didasari oleh tiga pengukuran,

yaitu pembukaan mata, respon motorik dan respon verbal. Skor dari masing-

masing komponena dijumlahkan dan akan memberikan total nilai GCS dengan

terendah adalah 3, sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Fungsi utama dari GCS

13
bukan sekedar interprestasi pada satu kali pengukuran, tetapi juga menyediakan

penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dengan melakukan pengulangan

dalam penilaian untuk melihat perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih

buruk.

Glasglow Coma Scale


Skor 1 2 3 4 5 6
Mata
Mata terbuka Mata terbuka
Mata terbuka
Eye tidak dengan dengan respon - -
spontan
terbuka rangsangan suara
nyeri
Suara Kebingungan Berbicara
Tidak Berbicara tapi
erangan dan tidak normal dan
Verbal ada tidak -
tanpa kata- mengerti sadar
suara berkomunikasi
kata sekitar lingkungan
Ekstensi
Tidak Abnormal Fleksi/
lengan Melokalisasi Mematuhi
Motorik ada fleksi terhadap penarikan
terhadap nyeri perintah
gerakan nyeri terhadap nyeri
nyeri

H. Penatalaksanaan Trauma Capitis

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien cedera kepala

menurut Nurarif dan Kusuma (2015) adalah:

1. Dexamethason/Kalmetason sebagai pengobatan anti oedema serebral.

2. Terapi hiperventilasi (untuk trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

3. Analgesik.

4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis (maniotl 20%, glukosa 40%

atau gliserol).

14
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (Penisilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan Metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, Aminofusin dan Aminofel (18 jam

pertamadari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan

lunak.

7. Pembedahan (Burr Hole Explorasi)

I. Komplikasi Trauma Capitis

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Trauma Capitis menurut Nurarif

dan Kusuma (2015) adalah sebagai berikut:

1. Kerusakan otak irreversibel.

2. Paralisis saraffokal seperti anomsia (tidak dapat mencium bau-bauan).

3. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK dan septikema).

4. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis dan

abses otak).

5. Peningkatan tekanan intra kranial.

6. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi-sendi).

7. Infark, iskemia dan kematian.

15
TIK meningkat

Rangsang simpatis
Hipoksemia, hiperkapnia meningkat

Meningkatnya tahanan
Peningkatan hambatan vaskular sistemik dan
difusi O2 – CO2 tekanan darah

Sistem pembuluh darah


Edema paru pulmonal tekanan rendah

Rangsang simpatis
meningkat

Bagan 2. Mekanisme berulang (lingkaran setan) dari dampak cedera kepala

dengan peningkatan TIK dengan perubahan dari sistem pernafasan

(Muttaqin, 2008).

J. Masalah Keperawatan yang Lazim Muncul

Nurarif dan Kusuma (2015) dan PPNI (22017) menyebutkan bahwa

diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Trauma Capitis, yaitu:

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,

neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler

Ketidakefektifan pola nafas merupakan ketidakmampuan membersihkan

sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap

paten.

16
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema

serebral dan peningkatan tekanan intra kranial

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berarti klien berisiko

mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak.

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Nyeri akut merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset

mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung

kurang dari 3 bulan.

4. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan

pengeluaran urine dan elektrolit meningkat

Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berati klien berisiko

mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan perpindahan cairan dari

intravaskuler serta kadar serum elektrolit

5. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan sekresi HCl meningkat

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berarti klien

berisiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme.

6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rusaknya jaringan kepala.

Kerusakan integritas kulit merupakan kerusakan kulit (dermis dan/atau

epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang,

kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen).

17
7. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan jaringan sekitar yang tertekan.

Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan

sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial.

8. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan

kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari

satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.

9. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

kesadaran

Hambatan komunikasi verbal merupakan penurunan, perlambatan atau

ketiadaan kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim dan/atau

menggunakan sistem simbol.

10. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit

kepala

Resiko tinggi infeksi berarti klien berisiko mengalami peningkatan

terserang organisme patogenik.

K. Teori Asuhan Keperawatan pada Pasien Trauma Capitis

Asuhan keperawatan pada pasien trauma capitis menurut Muttaqin (2008),

Nurarif dan Kusuma (2015), PPNI (2017), Doenges (2012), Sunaryo, et. al. (2015)

dan Ali (2010) adalah sebagai berikut:

18
a. Pengkajian

Pengakajian dikumpulkan melalui wawancara langsung pada pasien

(autoanamnesa) maupun keluarga pasien (alloanamnesa). Selama pengumpulan

informasi ini, perawat melatih keterampilan perseptual dan obeservasional

dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran, sentuhan dan

penciuman. Lam dan kedalaman setiap pengkajian fisik tergantung pada kondisi

pasien sekarang dan kemendesakkan situasi, tetapi biasanya mencakup inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi dan data pengkajian fisik diperlihatkan dalam

data dasar pasien sebagai data objektif.

1. Biodata

Lahdiman, et. al. (2013) dikutip Awaloei, et. al. (2016) menyebutkan

bahwa persentase laki-laki untuk mengalami cedera kepala lebih tinggi

dibanding dengan perempuan.

2. Riwayat kesehatan

a) Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan,

tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai penurunan

tingat kesadaran.

b) Riwayat penyakit sekarang

Adanya riwayat trauma mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu

lintas, jatuh dari ketinggian atau trauma langsung ke kepala. Pengkajian

yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS < 15), konvulsi,

muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di

19
kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya likuor

dari hidung dan telinga serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan

pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam

intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai

perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif dan koma.

c) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat

hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit

jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin,

vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan.

d) Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi sebelumnya yang menderita

hipertensi dan diabetes melitus.

3. Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai

respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya an perubahan peran

klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam

kehidupan sehari-hari. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, seperti

ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang

salah (gangguan body image).

Adanya perubahan hubungan dan peran keluarga karena klien

mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola

20
persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada

harapan, mudah marah dan tidak kooperatif.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Pada cedera kepala, umumnya klien mengalami penurunan kesadaran

(cedera kepala ringan, GCS 13-15; cedera kepala sedang, GCS 9-12; cedera

kepala berat bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan

pada tanda-tanda vital.

2. B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan tergantung pada gradasi dari

perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada klien cedera kepala

berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien biasanya terpasang

ETT dengan ventilator di ruang perawatan intensif. Pada klien dengan

tingkat kesadaran composmentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak

ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan

kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

3. B2 (Blood)

Pengkajian sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang

sering terjadi pada klien cedera kepala sedang sampai berat. Hasil

pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada beberapa keadaan

dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,

takikardi dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan

21
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen

perifer. Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan

otak. Kulit terlihat pucat menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin

dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan

tanda-tanda awal syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala

akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon yang berdampak pada

kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air

oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit

sehingga memberikan risiko terjadinya keseimbangan cairan dan elektrolit

pada sistem kardiovaskular.

4. B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis, terutama

akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh

perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan epidural.

Pengkajian ini merupakan pemeriksaan fokus, seperti pemeriksaan tingkat

kesadaran, pengkajian fungsi serebral, pengkajian saraf kranial, pengkajian

sistem motorik dan sensorik.

5. B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, julah dan karakteristik urine

termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi

cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi paa ginjal. Setelah cedera

kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,

ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan

22
untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik

dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau

berkurang.

6. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubngakan dengan

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pada

nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik

usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan

neurologis luas.

7. B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh

ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan dan turgor kulit. Integritas

kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi

dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

c. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan

mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan

risiko tinggi. Label diagnosa keperawatan memberi format untuk

mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan. Jenis-

jenis diagnosa keperawatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

23
1) Diagnosis aktual

Diagnosis ini menggambarkan respon klien terhadap kondisi kesehatan

atau proses kehidupannya yang menyebabkan klien mengalami masalah

kesehatan. Tanda/gejala mayor dan minor dapat ditemukan dan divalidasi

pada klien.

2) Diagnosis risiko

Diagnosis ini menggambarkan respon klien terhadap kondisi kesehatan

atau proses kehidupannya yang dapat menyebabkan klien berisiko

mengalami masalah masalah kesehatan. Tidak ditemukan tanda/gejala mayor

dan minor pada klien, namun klien memiliki faktor risiko mengalami

masalah kesehatan.

3) Diagnosis promosi kesehatan

Diagnosis ini menggambarkan adanya keinginan dan motivasi klien

untuk meningkatkan kondisi kesehatannya ke tingkat yang lebih baik atau

optimal.

d. Prioritas Keperawatan

Prioritas keperawatan dituliskan dalam urutan tertentu untuk

memudahkan pengurutan diagnosa keperawatan berkaitan yang dipilihdan

tersaji dalam pedoman rencana keperawatan. Pada situasi pasien tertentu,

prioritas keperawatan berbeda berdasarkan kebutuhan khusus pasien dan dapat

beragam dari menit ke menit. Diagnosa keperawatan yang merupakan prioritas

hari ini mungkin menjadi kurang prioritas keesokan harinya tergantung pada

24
fluktuasi kondisi fisik dan psikososial pasien atau respon perubahan pasien

terhadap kondisi yang ada.

e. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku yang spesifik

yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh

perawat. Tindakan/intervensi keperawatan dipilih untuk membantu pasien

dalam mencapai hasil yang diharapkan dan tujuan pemulangan. Harapannya

dalah bahwa perilaku yang dipreskripsikan akan menguntungkan pasien dan

keluarga dalam cara yang dapat diprediksi dan berhubungan dengan masalah

yang diidentifikasi serta tujuan yang telah dipilih. Intervensi/tondakan

keperawatan dibagi menjadi mandiri (dilakukan perawat) dan kolaboratif

(dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya).

f. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang

dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan terkait dukungan, pengobatan dan tindakan untuk memperbaiki

kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga atau tindakan untuk mencegah

masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Secara operasional, ada 3

tahapan implementasi, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan terminasi.

25
g. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah langkah terakhir dari proses keperawatan

sebagai upaya untuk menentukan apakah seluruh proses sudah berjalan dengan

baik dan apakah tindakan berhasil dengan baik. Proses yang tidak sesuai dengan

rencana perlu ditinjau kembali dan dilakukan perbaikan. Apabila hasil tidak

mencapai tujuan, intervensi diulang kembali dengan beberapa perbaikan.

Tujuan yang tidak tercapai mungkin disebabkan oleh tujuan yang tidak jelas,

tindakan keperawatan tidak tepat, alat atau metode tidak tepat dan faktor

ekstrem yang tidak dapat dijelaskan/dikendalikan.

26
h. Rencana Asuhan Keperawatan

Rencana Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasionalisasi
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Buka jalan napas, gunakan 1. Memaksimalkan oksigen yang masuk

pola napas keperawatan 3x24 jam, pola teknik chin lift atau jaw ke dalam paru-paru

berhubungan napas efektif dengan kriteria thrust bila perlu

dengan obstruksi hasil: 2. Atur posisi semi fowler 2. Memudahkan ekspansi paru/ventilasi

trakeobronkial, a. Mendemonstrasikan batuk (head up 30-45°) paru dan menurunkan kemungkinan

neurovaskuler, efektif dan suara napas adanya lidah jatuh yang menyumbat

kerusakan medula yang bersih, tidak ada jalan napas

oblongata sianosis dan dypsneu 3. Keluarkan sekret dengan 3. Membersihkan jalan napas agar jalan

neuromaskuler b. Menunjukkan jalan napas batuk atau suction napas menjadi paten

paten (irama dan 4. Lakukan fisioterapi dada 4. Fisioterapi dada dapat membantu

frekuensi napas normal, bila perlu menjatuhkan sekret yang ada pada

tidak ada suara napas jalan napas

27
tambahan) 5. Kolaborasi dalam 5. Memaksimalkan oksigenasi pada

c. Tanda-tanda vital dalam pemberian terapi oksigen darah arteri dan membantu dalam

rentang normal sesuai indikasi pencegahan hipoksia

6. Berikan bronkodilator bila 6. Meningkatkan ukuran lumen

perlu percabangan trakeobronkial sehingga

menurunkan tahanan terhadap aliran

udara

7. Ajarkan teknik relaksasi 7. Mencegah/menurunkan atelektasis

(napas dalam atau kassa

lembab)

8. Monitor suara paru dan 8. Perubahan dapat menandakan awitan

pola pernapasan abnormal komplikasi pulmonal (umumnya

mengikuti cedera otak) atau

menandakan lokasi/luasnya

28
keterlibatan otak

9. Monitor tanda-tanda vital 9. Suhu, nadi, tekanan darah dan

pernapasan diharapkan dalam rentang

normal

10. Monitor adanya cushing 10. Memantau adanya tanda-tanda

triad tekanan nadi melebar, bradikardi dan

peningkatan sistolik

Perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status neurologi 1. Mengkaji adanya kecenderungan pada

serebral tidak keperawatan selama 3x24, tingkat kesadaran dan potensial

efektif jam diharapkan perfusi peningkatan TIK dan bermanfaat

berhubungan jaringan serebral klien dapat dalam menentukan lokasi. Perluasan

dengan oksigen adekuat dengan kriteria hasil: dan perkembangan kerusakan SSP

otak menurun a. Kesadaran membaik atau 2. Pantau tanda-tanda vital tiap 2. Memantau adanya tanda-tanda

tidak terjadi penurunan jam peningkatan TIK seperti bradikardi

29
b. TTV dalam batas normal ataupun hipertensi sistolik serta

c. Tidak ada sianosis hipertermia yang dapat menyebabkan

peningkatan TIK

3. Pantau adanya sianosis 3. Vasokontriksi sistemik akibat

penurunan curah jantung dapat

dimanifestasikan oleh perfusi kulit

yang berkurang

4. Pantau adanya peningkatan 4. Tanda-tanda peningkatan TIK seperti

TIK nyeri kepala yang hebat, muntah

proyektil, bradikardi dan hipertensi

sistolik

5. Posisikan kepala lebih 5. Meningkatkan aliran balik vena dari

tinggi 30-45 kepala sehingga akan mengurangi

kongesti dan oedema atau risiko

30
terjadinya peningkatan TIK

6. Kolaborasi: Pertahankan 6. Menurunkan hipoksemia yang dapat

oksigenasi adekuat meningkatkan vasokontriksi dan

volume darah serebral yang

meningkatkan TIK

7. Catat dan monitor balance 7. Memantau cairan total tubuh yang

cairan terintegrasi dengan perfusi jaringan

karena iskemia/trauma serebral dapat

mengakibatkan diabetes insipidus atau

SIADH

Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji mobilitas yang ada 1. Mengidentifikasi kemungkinan

mobilitas fisik keperawatan 3x24 jam, dan observasi terhadap kerusakan secara fungsional

berhubungan pasien dapat melakukan peningkatan kerusakan

dengan pergerakan fisik dengan 2. Kaji secara teratur fungsi 2. Mempengaruhi pilihan intervensi

31
hemiparesis, kriteria hasil : motorik yang akan dilakukan

kehilangan a. Tidak terjadi kontraktur 3. Pantau kulit dan membran 3. Tindakan pencegahan terhadap

keseimbangan dan otot dan footdrop mukosa terhadap iritasi, komplikasi yang serius seperti risiko

koordinasi, b. Pasien mampu kemerahan atau lecet-lecet berkembangnya trombosis vena

spastisitas dan menggunakan sisi tubuh dalam dan emboli pulmonal, terutama

cedera otak yang tidak sakit untuk setelah trauma

kompensasi hilangnya 4. Ajarkan keluarga pasien 4. Mengedukasi keluarga agar dapat

fungsi pada sisi yang untuk latihan ROM pasif melanjutkan asuhan setelah pasien

parese/plegi pada sisi ekstrimitas yang pulang ke rumah

sehat dan ROM pasif pada

sisi ekstrimitas yang

parese/plegi dalam

toleransi nyeri

Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri secara 1. Membantu membedakan penyebab,

32
berhubungan keperawatan 3x24 jam, nyeri komprehensif lokasi durasi, intensitas dan skala

dengan agen cedera diharapkapkan berkurang nyeri

fisik dengan kriteria hasil : 2. Berikan terapi tirah baring 2. Menurunkan stimulasi yang

- a. Mampu mengontrol (bedrest) selama 24 jam berlebihan yang dapat menyebabkan

nyeri (tahu penyebab pertama post serangan. nyeri

nyeri, mampu 3. Berikan obat sesuai 3. Menurunkan nyeri

menggunakan tehnik indikasi, contoh :

nonfarmakologi untuk a. Antiangina, contoh

mengurangi nyeri, nitrogliserin

mencari bantuan) b. Penyekat β, contoh

b. Melaporkan bahwa nyeri atenolol (Tenormin),

berkurang dengan pindolol (visken),

menggunakan propanolol (inderal)

manajemen nyeri 4. Anjurkan dan bimbing 4. Membantu dan mengontrol

33
c. Mampu mengenali nyeri pasien untuk tarik nafas mengalihkan nyeri, memusatkan

d. Menyatakan rasa dalam (teknik relaksasi), kembali perhatian dan meningkatkan

nyaman setelah nyeri telnik distraksi, dan koping

berkurang bimbingan imajinasi.

e. Tanda vital dalam 5. Monitor tanda-tanda vital 5. Peningkatan nyeri akan meningkatkan

rentang normal tanda-tanda vital

f. Tidak mengalami

gangguan tidur

Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi makanan 1. Mengurangi faktor risiko gangguan

nutrisi kurang dari keperawatan 3x24 jam, nutrisi

kebutuhan tubuh kebutuhan nutrisi tubuh klien 2. Kolaborasi dengan ahli gizi 2. Merupakan sumber untuk yang efektif

berhubungan terpenuhi dengan kriteria untuk menentukan jumlah untuk mengidentifikasi kenutuhan

dengan hasil: kalori dan nutrisi yang kalori/nutrisi tergantung pada usia,

ketidakmampuan 1. Adanya peningkatan berat dibutuhkan pasien BB, ukuran tubuh dan keadaan

34
menelan. badan sesuai dengan penyakit sekarang (trauma, penyakit

tujuan jantung/masalah metabolisme)

2. Berat badan ideal sesuai 3. Anjurkan pasien untuk 3. Membantu pembentukan sel darah

dengan tinggi badan meningkatkan intake Fe merah dalam absorbsi makanan

3. Mampu mengidentifikasi 4. Anjurkan pasien untuk 4. Memperthanakan kelembaban kulit

kebutuhan nutrisi meningkatkan protein dan dan cairan dalam tubuh

4. Tidak ada tanda-tanda vitamin C

malnutrisi 5. Monitor jumlah nutrisi dan 5. Mencapai kebutuhan nutrisi yang

5. Menunjukkkan kandungan kalori sesuai dengan IMT

peningkatan fungsi 6. Berikan informasi tentang 6. Mengedukasi pasien mengenai

pengecapan dari menelan kebutuhan nutrisi pentingnya nutrisi terhadap proses

6. Tidak terjadi penurunan penyembuhan penyakit

berat badan yang berarti 7. Kaji kemampuan pasien 7. Mengetahui keinginan pasien terhadap

untuk mendapatkan nutrisi nutrisi

35
yang dibutuhkan

8. Monitor adanya penurunan 8. Mengevaluasi keefektifan atau

berat badan kebutuhan pemberian nutrisi

9. Monitor tipe dan jumlah 9. Melibatkan pasien dalam pemilihan

aktivitas yang bisa menu

dilakukan

10. Monitor lingkungan selama 10. Sosialisasi waktu makan dengan

makan orang terdekat atau teman dapat

meningkatkan pemasukan dan

menormalkan fungsi makan

11. Monitor mual muntah 11. Mengetahui jumlah nutrisi yang

masuk dan keluar

12. Monitor kalori dan intake 12. Mengetahui status nutrisi pasien

nutrisi

36
Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Dorong pasien untuk 1. Meminimalisir kesalahan yang

komunikasi verbal keperawatan 3x24 jam, berkomunikasi secara kemungkinan terjadi karena

berhubungan kerusakankomunikasi verbal perlahan dan untuk perbedaan persepsi dari penerima

dengan afasia, dapatteratasi dengan kriteria mengulangi permintaan pesan

agrafia dan agnosia hasil: 2. Berdiri didepan pasien 2. Salah satu bentuk komunikasi

1. Komunikasi: penerimaan, ketika berbicara terapeutik dengan pasien

intrepretasi dan ekspresi 3. Gunakan kartu baca, kertas, 3. Kemampuan menulis kadang-kadang

pesan lisan, tulisan dan pensil, bahasa tubuh, melelahkan, selain itu dapat

non verbal meningkat gambar dan lain-lain untuk mengakibatkan frustasi dalam upaya

2. Komunikasi ekspresif: memfasiltasi komunikasi memenuhi kebutuhan komunikasi

ekpresi pesan verbal dua arah yang optimal

3. Komunikasi reseptif: 4. Dengarkan dengan penuh 4. Perhatian dan dukungan yang

penerimaan komunikasi perhatian diberikan pada klien akan

dan intrepretasi pesan meningkatkan harga diri dan

37
verbal dan atau non verbal mendorong kesinambungan usaha

4. Mampu mengontrol tersebut

respon ketakutan dan

kecemasan terhadap

ketidakmampuan

berbicara

5. Mampu

mengkomunikasikan

kebutuhan dengan

lingkungan sosial

38
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TRAUMA CAPITIS

A. Gambaran Kasus Kelolaan

Data Ny. M Tn. P Ny. R


Pengkajian Pasien berusia 50 tahun datang Pasien berusia 51 tahun datang Pasien berusia 37 tahun datang
diantar keluarganya ke RS dengan diantar keluarganya ke RS dengan diantar keluarganya ke RS dengan
keluhan terjatuh dari motor dan keluhan penurunan kesadaran keluhan penurunan kesadaran
mengalami penurunan kesadaran. kecelakaan terjatuh dari motor kecelakaan lalu lintas terjatuh dari
Keluarga mengatakan pasien dengan kepala terbentur benda motor terjatuh dari motor. Keluarga
mengidap penyakit hipertensi dan keras. Keluarga mengatakan pasien mengatakan pasien tidak pernah
diabetes melitus tidak pernah dirawat di RS dirawat di RS sebelumnya, tidak
sebelumnya, tidak ada penyakit ada penyakit menular, hipertensi
menular, hipertensi ataupun asma ataupun asma

Keadaan umum: composmentis, Keadaan umum: composmentis, Keadaan umum: composmentis,


GCS: E4M6V5, T 37,10C, TD GCS: E4M6V5, T 36,50C, TD GCS: E4M6V5, T 360C, TD 110/70
150/90 mmHg, HR 73 x/menit, RR 130/80 mmHg, HR 80 x/menit, RR mmHg, HR 80 x/menit, RR 18

39
24 x/menit, BB: 60 kg, TB: 159 cm, 20 x/menit, BB: 63 kg, TB: 165 cm, x/menit, BB: 60 kg, TB: 165 cm,
IMT: 23,73 IMT: 23,14 IMT: 22,03

Pernafasan: melalui hidung dan Pernafasan: melalui hidung, suara Pernafasan: melalui hidung, suara
terpasang nasal canule dengan nafas vesikuler, pola pernafasan nafas vesikuler, pola pernafasan
aliran oksigen 3 L/menit, suara eupneu, sputum (-), reflek batuk eupneu, sputum (-), reflek batuk
nafas vesikuler, pola pernafasan (+), sesak nafas (-), trauma dada (-) (+), sesak nafas (-), trauma dada (-)
takipneu, irama nafas periodik,
sputum (-), reflek batuk (+), sesak
nafas (+), trauma dada (+)

Nutrisi: ada nafsu makan, makan Nutrisi: ada nafsu makan, makan Nutrisi: ada nafsu makan, makan
dengan porsi sedang, tidak ada dengan porsi sedang, tidak ada dengan porsi sedang, tidak ada
mual dan muntah, tidak ada alergi mual dan muntah, tidak ada alergi mual dan muntah, tidak ada alergi
makanan makanan makanan

Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan Eleminasi: BAB 1 x/hari dengan
konsistensi lunak berwarna kuning, konsistensi lunak berwarna kuning, konsistensi lunak berwarna kuning,
BAK menggunakan kateter, urine BAK ± 6 x/hari, urine berwarna BAK ± 3 x/hari, urine berwarna

40
berwarna kuning jernih, urine kuning jernih, urine output ± 0,79 kuning jernih, urine output ± 0,57
output ± 0,60 cc/jam cc/jam cc/jam

Integumen: warna kulit sawo Integumen: warna kulit cokelat, Integumen: warna kulit cokelat,
matang, turgor kulit elastis, tekstur turgor kulit elastis, tekstur halus, turgor kulit elastis, tekstur halus,
halus, nyeri tekan (-), jaringan parut nyeri tekan (-), jaringan parut (+) terdapat bekas luka jahitan
(-) superfisial stage 1 pada daerah
frontal hingga partial yang
diperban, nyeri tekan (+), jaringan
parut (+), kemerahan (-), drainage
serosa

Psikososiospiritual: klien Psikososiospiritual: klien Psikososiospiritual: klien


mengharapkan dengan perawatan mengharapkan dengan perawatan mengharapkan dengan perawatan
yang diberikan dapat sembuh dan yang diberikan dapat sembuh dan yang diberikan dapat sembuh dan
klien yakin dengan pertolongan klien yakin dengan pertolongan klien yakin dengan pertolongan
Tuhan dapat sembuh, persepsi Tuhan dapat sembuh, persepsi Tuhan dapat sembuh, persepsi
penyakitnya sebagai musibah yang penyakitnya sebagai cobaan yang penyakitnya sebagai musibah yang
tidak dapat dihindari. Tetapi pasien tidak dapat dihindari. Tetapi pasien tidak dapat dihindari. Tetapi pasien

41
tidak dapat melakukan sholat hanya berdzikir karena tidak dapat tidak dapat melakukan sholat
selama dirawat di RS melakukan sholat selama dirawat di selama dirawat di RS
RS. Klien juga sering
mencemaskan keadaan rumahnya
Hasil Lab dan Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium
Terapi yang HEMATOLOGI HEMATOLOGI HEMATOLOGI
diberikan Hemoglobin (Hb) 11.1 g/dL Hemoglobin (Hb) 12.3 g/dL Hemoglobin (Hb) 11.8 g/dL
Eritrosit (RBC) 4.30 x 106/mm3 Eritrosit (RBC) 4.10 x 106/mm3 Eritrosit (RBC) 4.10 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 10.3 x 103/mm3 Leukosit (WBC) 9.7 x 103/mm3 Leukosit (WBC) 20.9 x 103/mm3
Hematokrit 45 % Hematokrit 40 % Hematokrit 32 %
Trombosit (PLT) 185 x 103/uL Trombosit (PLT) 315 x 103/uL Trombosit (PLT) 217 x 103/uL
RDW-CV 13.40 % Hitung jenis leukosit Hitung jenis leukosit
Hitung jenis leukosit - Basofil 0 % - Basofil 0 %
- Basofil 0 % - Eosinofil 0 % - Eosinofil 0 %
- Eosinofil 1 % - Netrofil 75 % - Netrofil 89 %
- Netrofil 62 % - Limfosit 10 % - Limfosit 5 %
- Limfosit 20 % - Monosit 5 % - Monosit 4 %
- Monosit 5 % ELEKTROLIT ELEKTROLIT
KIMIA KLINIK Kalsium (Ca) 11.3 mg/dL Kalsium (Ca) 8.8 mg/dL

42
HATI Natrium 145 mg/dL Natrium 140 mg/dL
Bilirubun total 0.60 mg/dL Kalium (K) 4.0 mg/dL Kalium (K) 4.0 mg/dL
Bilirubin Direk 0.20 mg/dL METABOLISME METABOLISME
ELEKTROLIT KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT
Kalsium (Ca) 8.0 mg/dL Glukosa sewaktu 152 mg/dL Glukosa sewaktu 132 mg/dL
Natrium 145 mg/dL
Kalium (K) 3.8 mg/dL
METABOLISME
KARBOHIDRAT
Glukosa sewaktu 212 mg/dL

Terapi obat yang klien dapat Terapi obat yang klien dapat Terapi obat yang klien dapat
berupa Tramadol 100 gr setiap 12 berupa Ceftriaxone 2 gr setiap 12 berupa Ceftriaxone 2 gr setiap 12
jam (IV), Manitol 150 ml setiap 6 jam (IV) dan Manitol 100 ml setiap jam (IV), Manitol 150 ml setiap 6
jam (IV), Ranitidine 50 mg setiap 6 jam (IV) jam (IV) dan Ranitidine 50 mg
12 jam (IV) dan Phenitoin 100 gr setiap 12 jam (IV)
setiap 8 jam (IV)
Analisa Data DS: DS: DS:
 Pasien mengaku sesak yang  Pasien mengeluh sakit kepala  Pasien mengeluh sakit kepala

43
hilang timbul yang hilang timbul yang hilang timbul
DO: DO: DO:
 Pola napas takipneu  GCS E4M6V5 (composmentis)  GCS E4M6V5 (composmentis)
 Irama napas periodik  TTV:  TTV:
 TTV: RR: 20 x/menit RR: 18 x/menit
RR: 24 x/menit HR: 80 x/menit HR: 80 x/menit
HR: 73 x/menit TD: 130/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
 Terpasang nasal canule dengan T: 36,5 0C T: 36 0C
aliran oksigen 3 L/menit  Riwayat terjatuh dari sepeda  Riwayat kecelakaan lalu lintas
motor dan kepala terbentur terjatuh dari sepeda motor dan
benda keras hingga mengalami mengalami penurunan
penurunan kesadaran kesadaran
Diagnosa Ketidakefektifan pola nafas Risiko ketidakefektifan perfusi Risiko ketidakefektifan perfusi
Keperawatan berhubungan dengan obstruksi jaringan serebral berhubungan jaringan serebral berhubungan
trakeobronkial, neurovaskuler, dengan oedema serebral dan dengan oedema serebral dan
kerusakan medula oblongata peningkatan tekanan intra kranial peningkatan tekanan intra kranial
neuromaskuler
Implementasi Pukul 14.30 WIB Pukul 15.15 WIB Pukul 14.25 WIB
1. Mengatur posisi semi fowler 1. Memonitor status neurologi: 1. Memonitor status neurologi:

44
2. Berkolaborasi dalam pemberian GCS E4M6V5 (composmentis) GCS E4M6V5 (composmentis)
terapi oksigen sesuai indikasi: Pukul 15.30 WIB Pukul 14.40 WIB
nasal canule dengan aliran 2. Memantau adanya sianosis: 2. Memantau adanya sianosis:
oksigen 3 L/menit tidak ada sianosis tidak ada sianosis
Pukul 16.00 WIB Pukul 17.45 WIB Pukul 16.40 WIB
3. Melakukan fisioterapi dada: 3. Memantau adanya peningkatan 3. Memantau adanya peningkatan
teknik clapping pada dinding TIK: nyeri kepala hilang timbul, TIK: nyeri kepala hilang timbul,
dada muntah proyektil (-), hipertensi muntah proyektil (-), hipertensi
Pukul 16.30 WIB (-), bradikardi (-), pupil isokor (-), bradikardi (-), pupil isokor
4. Memonitor tanda-tanda vital Pukul 18.15 WIB Pukul 17.10 WIB
TD: 150/90 mmHg 4. Memposisikan kepala lebih 4. Memposisikan kepala lebih
HR: 88 x/menit tinggi: 300 - 450 tinggi: 300 - 450
RR: 24 x/menit Pukul 18.45 WIB Pukul 18.50 WIB
0
T: 37 C 5. Berkolaborasi dengan 5. Berkolaborasi dengan
Pukul 17.30 WIB pertahankan oksigenasi adekuat: pertahankan oksigenasi adekuat:
5. Memonitor suara paru dan pola nasal canule dengan aliran nasal canule dengan aliran
pernapasan abnormal: suara oksigen 3 L/menit oksigen 3 L/menit
paru vesikuler, pola napas Pukul 20.10 WIB Pukul 20.20 WIB
takipneu, irama napas periodik 6. Memantau tanda-tanda vital 6. Memantau tanda-tanda vital

45
Pukul 19.00 WIB RR: 18 x/menit RR: 18 x/menit
6. Mengajarkan teknik relaksasi HR: 78 x/menit HR: 73 x/menit
napas dalam TD: 130/80 mmHg TD: 120/70 mmHg
Pukul 20.00 WIB T: 36,8 oC T: 36,5 oC
7. Memonitor adanya cushing
triad: nadi melebar (-),
bradikardi (-), TD 140/90
mmHg
Evaluasi Pukul 20.30 WIB Pukul 20.40 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S:
S:
 Pasien masih merasa sakit  Pasien masih merasa sakit
 Pasien masih merasa sesak yang
kepala yang hilang timbul kepala yang hilang timbul
hilang timbul
O:  Pasien mengaku tidak merasa  Pasien mengaku tidak merasa
mual ataupun muntah mual ataupun muntah
 Suara paru vesikuler
O: O:
 Pola napas takipneu
 GCS E4M6V5 (composmentis)  GCS E4M6V5 (composmentis)
 Irama napas periodik
 RR: 18 x/menit  RR: 18 x/menit
 RR: 22 x/menit
 HR: 78 x/menit  HR: 73 x/menit
 HR: 80 x/menit
 TD: 130/80 mmHg  TD: 120/70 mmHg
 TD: 140/90 mmHg

46
 T: 36,8 oC  T: 36,8 oC  T: 36,5 oC
 Tidak ada tanda-tanda cushing  Tidak ada sianosis  Tidak ada sianosis
triad  Bradikardi (-)  Bradikardi (-)
A:  Pupil isokor  Pupil isokor
Ketidakefektifan pola napas teratasi A: A:
sebagian Risiko ketidakefektifan perfusi Risiko ketidakefektifan perfusi
P: jaringan serebral teratasi sebagian jaringan serebral teratasi sebagian
Intervensi dilanjutkan P: P:
Intervensi dilanjutkan Intervensi dilanjutkan
Analisa data DS: DS: DS:
 Pasien mengeluh pusing dan  Pasien mengeluh nyeri kepala  Pasien mengeluh sakit kepala
sakit kepala DO: DO:
DO:  P: nyeri bila terlalu banyak  P: nyeri bila terlalu banyak
 GCS E4M6V5 (composmentis) beraktivitas beraktivitas
 TTV:  Q: nyeri seperti dicengkeram  Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
RR: 24 x/menit  R: nyeri pada kepala  R: nyeri pada kepala
HR: 73 x/menit  S: skala nyeri 2  S: skala nyeri 3
TD: 150/90 mmHg  T: nyeri hilang timbul  T: nyeri hilang timbul
0
T: 37,1 C  Pasien tampak meringis sesekali  Pasien tampak meringis sesekali

47
 Riwayat terjatuh dari motor  TTV:  TTV:
dengan kepala membentur sudut HR: 80 x/menit HR: 80 x/menit
jalan karena dibonceng dan rok TD: 130/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
yang dipakai pasien terjepit
diantara rantai dan roda gear
motor
Diagnosa Risiko ketidakefektifan perfusi Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri akut berhubungan dengan
Keperawatan jaringan serebral berhubungan agen cedera fisik agen cedera fisik
dengan oedema serebral dan
peningkatan tekanan intra kranial
Implementasi Pukul 14.45 WIB Pukul 14.15 WIB Pukul 14.20 WIB
1. Memonitor status neurologi: 1. Memberikan O2 sesuai terapi: 1. Memberikan O2 sesuai terapi:
GCS E4M6V5 (composmentis) nasal canule dengan aliran nasal canule dengan aliran
Pukul 15.00 WIB oksigen 3 L/menit oksigen 3 L/menit
2. Memantau adanya sianosis: 2. Memberikan posisi semifowler 2. Memberikan posisi semifowler
tidak ada sianosis Pukul 14.50 WIB Pukul 14.35 WIB
Pukul 17.00 WIB 3. Mengajarkan dan membimbing 3. Mengajarkan dan membimbing
3. Memantau adanya peningkatan pasien untuk tarik nafas dalam pasien untuk tarik nafas dalam
TIK: nyeri kepala hilang timbul, untuk mengurangi nyeri untuk mengurangi nyeri

48
muntah proyektil (-), hipertensi Pukul 15.55 WIB Pukul 15.10 WIB
(+), bradikardi (-), pupil isokor 4. Melakukan pengkajian nyeri 4. Melakukan pengkajian nyeri
Pukul 17.15 WIB secara komprehensif secara komprehensif
4. Memposisikan kepala lebih P: nyeri bila terlalu banyak P: nyeri bila terlalu banyak
tinggi: 300 - 450 beraktivitas beraktivitas
Pukul 18.30 WIB Q: nyeri seperti dicengkeram Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
5. Berkolaborasi dengan R: nyeri pada kepala R: nyeri pada kepala
pertahankan oksigenasi adekuat: S: skala nyeri 2 S: skala nyeri 3
nasal canule dengan aliran T: nyeri hilang timbul T: nyeri hilang timbul
oksigen 3 L/menit Pukul 19.15 WIB Pukul 19.10 WIB
Pukul 19.45 WIB 5. Menganjurkan pasien untuk 5. Menganjurkan pasien untuk
6. Memantau tanda-tanda vital tirah baring (bedrest) tirah baring (bedrest)
TD: 150/90 mmHg
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
T: 37 0C
Evaluasi Pukul 20.30 WIB Pukul 20.40 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S: S:
 Pasien masih merasa sakit  Pasien masih merasa sakit  Pasien masih merasa sakit

49
kepala yang hilang timbul kepala dan nyeri dada pada yang kepala dan nyeri dada pada yang
 Pasien mengaku tidak merasa hilang timbul hilang timbul
mual ataupun muntah O: O:
O:  Pasien tampak meringis  Pasien tampak meringis
 GCS E4M6V5 (composmentis)  P: nyeri bila terlalu banyak  P: nyeri bila terlalu banyak
 RR: 22 x/menit beraktivitas beraktivitas
 HR: 80 x/menit  Q: nyeri seperti dicengkeram  Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
 TD: 140/90 mmHg  R: nyeri pada kepala  R: nyeri pada kepala
 T: 36,8 oC  S: skala nyeri 2  S: skala nyeri 3
 Tidak ada sianosis  T: nyeri hilang timbul  T: nyeri hilang timbul
 Bradikardi (-)  RR: 18 x/menit  RR: 18 x/menit
 Pupil isokor  HR: 78 x/menit  HR: 73 x/menit
A:  TD: 130/70 mmHg  TD: 120/70 mmHg
Risiko ketidakefektifan perfusi  T: 36,8 oC  T: 36,5 oC
jaringan serebral teratasi sebagian A: A:
P: Nyeri akut teratasi sebagian Nyeri akut teratasi sebagian
Intervensi dilanjutkan P: P:
Intervensi dilanjutkan Intervensi dilanjutkan
Analisa data DS: DS: DS:

50
 Pasien mengeluh nyeri pada  Pasien menginginkan agar dapat  Pasien mengatakan nyeri bila
dada dan kepala keluar dari rumah sakit luka ditekan
DO:  Pasien mengatakan ingin DO:
 P: nyeri kepala dan dada bila kembali bekerja untuk mencari  Terdapat bekas luka sectio
ditekan pasca kecelakaan rezeki dan mencukupi caesaria pada abdomen
 Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk kebutuhan rumah tangga  Terdapat bekas luka jahitan
 R: nyeri pada thoraks dan  Keluarga pasien juga superfisial stage 1 pada daerah
kepala mengatakan pasien sering frontal hingga parital yang
 S: skala nyeri 3 berpikir dan mencemaskan diperban
 T: nyeri hilang timbul keadaan rumah  Drainage: serosa
 Pasien tampak meringis sesekali DO:  Kemerahan (-)
 TTV:  Pasien terlihat sering melamun  TTV:
HR: 73 x/menit  TTV: RR: 18 x/menit
TD: 150/90 mmHg RR: 20 x/menit HR: 80 x/menit
HR: 80 x/menit TD: 110/70 mmHg
TD: 130/80 mmHg T: 36 0C
Diagnosa Nyeri akut berhubungan dengan Ansietas berhubungan dengan Gangguan integritas kulit
Keperawatan agen cedera fisik perubahan dalam status ekonomi berhubungan dengan faktor
dan kesehatan mekanik

51
Implementasi Pukul 14.30 WIB Pukul 15.35 WIB Pukul 15.40 WIB
1. Memberikan O2 sesuai terapi: 1. Menggunakan pendekatan yang 1. Memonitor tanda dan gejala
nasal canule dengan aliran menenangkan infeksi pada area luka:
oksigen 3 L/menit 2. Mendengarkan dengan penuh kemerahan (-), bengkak (-),
2. Memberikan posisi semifowler perhatian panas (-), nyeri tekan (+)
Pukul 14.50 WIB 3. Menjelaskan semua prosedur 2. Mengajarkan pasien untuk
3. Mengajarkan dan membimbing dan apa yang dirasakan selama mobilisasi (ubah posisi) setiap 2
pasien untuk tarik nafas dalam prosedur: pasien mengaku jam sekali
untuk mengurangi nyeri mengerti bila ia akan segera Pukul 16.10
Pukul 16.15 WIB dipulangkan bila benar-benar 3. Membersihkan area sekitar
4. Melakukan pengkajian nyeri sudah sembuh jahitan menggunakan lidi kapas
secara komprehensif 4. Memahami perspektif pasien steril
P: nyeri bila dada ditekan pasca terhadap situasi stres 4. Mengajarkan untuk menjaga
kecelakaan 5. Mendorong pasien untuk kulit agar tetap bersih dan
Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk mengungkapkan perasaannya: kering
R: nyeri pada thoraks dan pasien mengaku cemas dengan
kepala keadaan rumah karena yang di
S: skala nyeri 3 rumah hanya anak laki-lakinya
T: nyeri hilang timbul saja yang sudah SMA

52
5. Melakukan masase sebagai 6. Mendorong keluarga untuk
teknik distraksi untuk menemani pasien
mengurangi nyeri Pukul 19.15 WIB
Pukul 18.00 WIB 7. Melakukan back/neck rub
6. Berkolaborasi pemberian 8. Menginstruksikan pasien untuk
analgesik sesuai indikasi: menggunakan teknik relaksasi
Tramadol 2 x 100 gr per IV
7. Menganjurkan pasien untuk
tirah baring (bedrest)
Evaluasi Pukul 20.45 WIB Pukul 20.50 WIB Pukul 20.50 WIB
S: S: S:
 Pasien masih merasa sakit  Pasien mengaku mengerti bila ia  Pasien mengatakan nyeri bila
kepala dan nyeri dada pada yang akan segera dipulangkan bila luka ditekan
hilang timbul benar-benar sudah sembuh O:
O:  Pasien mengungkapkan rasa  Tanda-tanda infeksi (-)
 Pasien tampak meringis cemas terhadap keadaan rumah  RR: 18 x/menit
 P: nyeri bila dada ditekan pasca karena yang di rumah hanya ada  HR: 73 x/menit
kecelakaan anak laki-lakinya saja yang  TD: 120/70 mmHg
 Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk sudah SMA  T: 36,5 oC

53
 R: nyeri pada thoraks dan O: A:
kepala  Pasien tampak melamun Gangguan integritas kulit teratasi
 S: skala nyeri 2  RR: 18 x/menit sebagian
 T: nyeri hilang timbul  HR: 78 x/menit P:

 RR: 22 x/menit  TD: 130/70 mmHg Intervensi dilanjutkan

 HR: 80 x/menit  T: 36,8 oC


 TD: 140/90 mmHg A:
 T: 36,8 oC Ansietas teratasi sebagian
A: P:
Nyeri akut teratasi sebagian Intervensi dilanjutkan
P:
Intervensi dilanjutkan

54
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Kasus Berdasarkan Teori dan Hasil Penelitian

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian dilakukan melalui wawancara langsung pada pasien

(autoanamnesa) dan keluarga pasien (alloanamnesa), pemeriksaan fisik

secara head to toe pada pasien serta didukung oleh data sekunder dari rumah

sakit berupa hasil laboratorium. Data pengkajian yang digali berupa

identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat biologis, riwayat keluarga,

aspek psikososial dan pengkajian fisik secara ABCD dan sistem.

Berdasarkan hasil pengkajian dari ketiga pasien kelolaan dengan kasus

Trauma Capitis didapatkan bahwa ketiga pasien kelolaan mengalami cedera

perlambatan (deselarasi) karena kecelakaan sepeda motor. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati dan Esma (2016) bahwa dari

41 responden cedera kepala, 39% diantaranya berada pada kategori

deselarasi dimana cedera terjadi karena kepala membentur objek yang

secara relatif tidak bergerak seperti badan mobil atau tanah. Hal ini

didukung oleh pernyataan Mariana (2017) bahwa di Indonesia, kecelakaan

yang paling banyak terjadi adalah kecelakaan yang melibatkan sepeda motor

dan umumnya bagian tubuh yang mengalami cedera adalah kepala dan

anggota gerak atas maupun bawah.

Hasil pengkajian pada ketiga pasien kelolaan dengan kasus Trauma

Capitis, dilihat dari kegawatan ketiga pasien berada dalam kategori ringan.

55
Menurut Irawan, et. al. (2010), kategori ringan pada cedera kepala adalah

tidak adanya fraktur tengkorak, tidak contusio cerebral dan hematoma,

merasa pusing dan luka lecet superfisial. Hal ini dapat terjadi karena ketiga

pasien kelolaan menggunakan kelengkapan dalam berkendara yang sudah

memenuhi syarat standar seperti mengenakan helm standar. Kebijakan dari

pemerintah untuk memakai kelengkapan dalam berkendara bertujuan untuk

mengantisipasi cedera-cedera yang terjadi saat kecelakaan (Putra, 2016).

Hal ini dikarenakan helm efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

cedera di kepala maupun tingkat cederanya (WHO, 2014).

Bila dilihat usia dari ketiga pasien kelolaan, Ny. M berusia 50 tahun,

Tn. P berusia 51 tahun dan Ny. R berusia 37 tahun. Hal ini menunjukkan

bahwa usia tidak memiliki hubungan dengan tingkat kejadian cedera kepala

di rumah sakit. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Coronando, et. al. (2011) yang menyebutkan bahwa pasien cedera

kepala lebih banyak terjadi pada mereka dengan usia 0-44 tahun atau usia

produktif, terutama pada usia 18-40 tahun karena pada usia tersebut

seseorang memiliki kemampuan yang maksimal untuk beraktifitas sehingga

menyebabkan tingkat mobilitas menjadi tinggi. Putra (2016) juga

menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kecelakaan yang menyebabkan

cedera kepala paling banyak dialami oleh remaja yang berumur dibawah 25

tahun karena para remaja masih berada pada taraf emosi yang belum stabil

sehingga tidak memiliki kehati-hatian dalam mengendarai kendaraan

Ketiga pasien kelolaan, yaitu Ny. M, Tn. P dan Ny. R juga

mengeluhkan sakit kepala. Hal tersebut sesuai dengan teori yang

56
mengatakan bahwa tanda dan gejala lainnya dari peningkatan tekanan

intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang hebat, muntah proyektil,

hipertensi, bradikardi, pupil anisokor dan juga penurunan kesadaran

(Wahyudi, 2015). Nyeri kepala ini sebagai salah satu penanda adanya

peningkatan TIK di dalam otak. Penderita cedera kepala sering kali

mengalami edema serebri atau perdarahan intrakranial sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP)

dan terganggunya autoregulasi tekanan perfusi otak, otak menjadi tidak

terlindungi dari perubahan hemodinamika tubuh serta menurunnya perfusi

jaringan serebral (Ware, 2005 dan Temperano, 2007 dikutip Priasojo, 2017;

Deem, 2006 dikutip Wijayanti, 2013). Peningkatan TIK adalah komplikasi

serius karena pekenanan pada pusat-pusat vital di dalam otak (herniasi) dan

dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014 dikutip Alfianto,

2015).

Hasil pengkajian pada ketiga pasien dengan kasus Trauma Capitis

dilihat dari terapi cairan yang diberikan adalah ketiga pasien kelolaan sama-

sama diberikan terapi cairan manitol. Manitol digunakan untuk menurunkan

tekanan intra kranial yang meningkat dan diberikan secara bolus intravena

(Iskandar, 2017). Manitol secara cepat menurunkan viskositas darah dan

mengurangi diameter pembuluh darah sebagai kompensasi fungsi

autoregulasi cerebral blood flow (CBF) sehingga terjadi penurunan volume

darah serebral dan penurunan tekanan intra kranial (Rachman, et. al., 2015).

Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Damayanthi, et. al. (2013)

menyebutkan bahwa manitol dinilai kurang efektif dibandingkan salin

57
hipertonik dalam menurunkan tekanan intra kranial karena efek osmosis dari

manitol sebagian besar disebabkan oleh rheologi sehingga efek manitol

terlambat 15-30 menit sampai tercipta gradien gradien osmotik antara sel

dan plasma.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian pada ketiga pasien kelolaan, didapatkan

bahwa diagnosa prioritas pada ketiga pasien adalah risiko ketidakfektifan

perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial yang dibuktikan dengan pasien yang

mengeluh sakit kepala. Diagnosa yang diangkat merupakan diagnosis risiko

dimana diagnosis ini menggambarkan respon klien terhadap kondisi

kesehatan atau proses kehidupannya yang dapat menyebabkan klien berisiko

mengalami masalah masalah kesehatan. Tidak ditemukan tanda/gejala

mayor dan minor pada klien, namun klien memiliki faktor risiko mengalami

masalah kesehatan (Doenges, 2012).

Penderita cedera kepala sering kali mengalami edema serebri atau

perdarahan intrakranial sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial dan terganggunya autoregulasi tekanan perfusi otak sehingga

menjadi berbahaya dan harus segera ditangani (Ware, 2005 dikutip Priasojo,

2017; Wahyudi, 2015). Peningkatan TIK adalah komplikasi serius karena

pekenanan pada pusat-pusat vital di dalam otak (herniasi) dan dapat

mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014 dikutip Alfianto, 2015).

58
3. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan ketiga kasus pasien kelolaan, intervensi yang diberikan

untuk diagnosa risiko ketidakfektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan oedema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial berupa

membantu memberikan posisi head up tilt 300. Posisi head up tilt

merupakan posisi untuk menaikan kepala (elevasi) dari tempat tidur sekitar

300 sampai 600 dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar (Bahrudin, 2009).

Kepala elevasi juga merupakan prosedur keperawatan konvensional yang

dilakukan secara rutin untuk individu dengan luka pada otak dengan

hipertensi intrakranial (Ismiana, 2014).

Posisi head up tilt 300 bertujuan untuk menjamin pemenuhan

oksigenasi pasien agar terhindar dari hipoksia serta tekanan intrakranial

mungkin akan menjadi stabil dalam rentang normal sehingga posisi ini lebih

efektif dalam menjaga tingkat kesadaran karena mempengaruhi posisi

anatomi tubuh manusia yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien

(Pertami, et. al., 2017). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Mahfoud,

et. al. (2009) bahwa tekanan intrakranial pada semua pasien meningkat

ketika posisi pasien 00. Nilai tekanan intrakranial kemudian turun secara

signifikan ketika posisi dirubah dari 00 ke 600. Nilai intracranial pressure

pulse amplitude (ICPPA) turun dari posisi 0º ke 30º. Nilai ICPPA naik

secara signifikan dari posisi 30º-60º dan nilainya turun lagi dari posisi 60º

ke 0º. ICPPA minimum ditemukan pada pasien dengan head elevation 30º.

Pada posisi head elevation 60º terjadi penurunan signifikan nilai CPP dan

MAP.

59
4. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Setelah dilakukan serangkaian kegiatan yang dilakukan yang

berorientasi pada tujuan dan kriterian hasil peningkatan pada tekanan

perfusi serebral pada pasien dengan cedera kepala, maka langkah terakhir

yang dilakukan adalah mengevaluasi seluruh proses yang telah dijalankan.

Berdasarkan hasil evaluasi dari ketiga pasien kelolaan, didapatkan hasil

bahwa pada Ny. M, tiga diagnosa yang diangkat teratasi sebagaian; satu dari

tiga diagnosa yang diangakat pada Tn. P teratasi dan sisanya teratasi

sebagian; serta tiga diagnosa yang diangkat pada Ny. R teratasi sebagian.

Hal tersebut dikarenakan satu diagnosa yang teratasi pada Tn. P

merupakan diagnosa ansietas yang berhubungan dengan perubahan dalam

status ekonomi dan kesehatan. Sedangkan diagnosa lainnya merupakan

diagnosa risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan oedema serebral dan peningkatan intrakranial, diagnosa

ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,

neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler serta diagnosa

nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Diagnosa-diagnosa yang

belum teratasi tersebut dikarenakan keterbatasan waktu penulis yang

diberikan hanya selama satu minggu dalam memberikan asuhan

keperawatan sehingga hasil yang didapat belum optimal.

B. Implikasi Keperawatan

Berdasarkan ketiga kasus yang dijadikan kelolaan didapatkan bahwa

ketiga pasien kelolaan mengalami risiko ketidakefektifan perfusi jaringan

60
serebral dengan tindakan keperawatan membantu memberikan posisi

semifowler dan meninggikan kepala pasien 300, berkolaborasi memberikan

terapi oksigen melalui nasal canule dengan aliran oksigen 3 L/menit dan terapi

cairan manitol 20tpm, serta memantau tanda dan gejala bila terjadi peningkatan

tekanan intra kranial lainnya seperti muntah proyektil, bradikardi, ataupun

hipertensi. Bila pasien mengeluh sakit kepala, maka tindakan keperawatan

yang dilakukan adalah mengkaji nyeri secara komprehensif (PQRST),

memonitor tanda-tanda vital, mengajarkan teknik relaksasi napas dalam,

memberikan terapi musik serta membimbing imajinasi pasien untuk

mengurangi nyeri.

Hal perlu diajarkan pada pasien dengan Trauma Capitis adalah

pentingnya untuk mempertahankan posisi head up tilt 300. Posisi kepala elevasi

300 sangat disarankan karena pada saat posisi 300, tekanan arteri intra kranial

menjadi minimum dan tekanan perfusi serebral dapat meningkat dibandingkan

posisi terlentang, sedangkan posisi > 400 akan menurunkan perfusi otak

(Pertami, et. al., 2017). Mengatur posisi kepala elevasi 15-300 juga akan

membuat venous drainage dari serebral ke jantung meningkat dan diharapkan

venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga dapat

mengurangi edema intraserebral karena perdarahan (Schneider, et. al., 2007

dikutip Supadi, 2012).

Teori yang mendasari elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh

di atas jantung dengan vetebralis axis akan menyebabkan cairan serebro spinal

(CSS) terdistribusi dari kranial ke ruang subarachnoid spinal serta

memfasilitasi venus return serebral (Sunardi dan Nelly, 2011). Hal ini sesuai

61
dengan hasil penelitian yang dilakukan Bhalla (2007) dikutip Sunardi dan

Nelly (2011) bahwa pemberian posisi kepala flat 00 dan elevasi kepala 300 pada

pasien cedera kepala akan memberikan keuntungan dalam meningkatkan

oksigenasi sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri dan memperbaiki

perfusi jaringan serebral karena adanya pengisian suplai oksigen ke otak.

Selain itu, Meng, et. al. (2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa

terdapat penurunan signifikan tetapi kecil terhadap volume darah otak dan

saturasi oksigen jaringan otak setelah dilakukan head-up tilt 300 pada pasien

sehat tanpa gangguan intrakranial.

62
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengkajian dilakukan berdasarkan wawancara, pemeriksaan fisik dan hasil

laboratorium pada ketiga pasien kelolaan.

2. Diagnosa keperawatan yang timbul pada ketiga pasien kelolaan dengan

Trauma Capitis yaitu pada Ny. M, Tn. P dan Ny. R yaitu risiko

ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema

serebral dan peningkatan tekanan intra kranial dan nyeri akut berhubungan

dengan agen cedera fisik dan biologis.

3. Intervensi yang paling banyak dilakukan pada masalah keperawatan risiko

ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dengan membantu memberikan

posisi semifowler dan meninggikan kepala pasien 300, berkolaborasi

memberikan terapi oksigen melalui nasal canule dengan aliran oksigen 3

L/menit dan terapi cairan manitol 20tpm, serta memantau tanda dan gejala

bila terjadi peningkatan tekanan intra kranial lainnya seperti muntah

proyektil, bradikardi, ataupun hipertensi.

4. Masalah-masalah keperawatan pada pasien kelolaan sebagian besar teratasi

sebagian. Pada Ny. M, Tn. P dan Ny. R adalah masalah risiko

ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema

serebral dan peningkatan tekanan intra kranial dan nyeri akut berhubungan

dengan agen cedera fisik dan biologis. Sedangkan pada masalah lainnya

yaitu pada Ny. M adalah masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan

63
dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula

oblongata neuromaskuler, Tn. P dengan masalah ansietas berhubungan

dengan perubahan dalam status ekonomi dan kesehatan dan Ny. R dengan

masalah gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.

5. Pemberian posisi kepala 300 serta posisi semi fowler sangat disarankan

karena pada saat posisi 300, tekanan arteri intrakranial menjadi minimum

dan tekanan perfusi serebral dapat meningkat dibandingkan posisi

terlentang. Posisi semi fowler sendiri digunakan sebagai upaya untuk

mengurangi rasa sakit pada kepala yang dirasakan oleh pasien karena

adanya peningkatan tekanan intra kranial dalam otak.

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan untuk mengembangkan ilmu keperawatan yang aplikatif

terhadap penatalaksanaan pasien dengan Trauma Capitis agar masalah-

masalah yang ada dapat teratasi secara optimal dari berbagai aspek serta

sabagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien

Trauma Capitis yang dirawat maupun rawat jalan.

2. Bagi Praktik Keperawatan

Diharapkan perawat dapat mengedukasi pasien Trauma Capitis

tentang pentingnya head up tilt, khususnya perawat medikal bedah dalam

memberikan asuhan keperawatan dan dapat menjalankan perannya sebagai

care provider, dalam hal ini perawat memberikan asuhan keperawatan

berupa intervensi non farmakologis.

64
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, G & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial

pada Stroke. CDK-238. 43(3): 180-184. http://cdkjournal.com/. Diakses pada

tanggal 1 Agustus 2018 pukul 09:50 WIB.

Alfianto, A. (2015). Pemberian posisi kepala flat (00) dan elevasi (300) terhadap

tekanan intra kranial pada asuhan keperawatan tn. k dengan stroke non

hemoragik di instalasi gawat darurat (igd) rs. dr. moewardi surakarta [karya

tulis ilmiah. Surakarta: STIKES Kusuma Husada. Tidak dipublikasikan.

Ali, Z. (2010). Pengantar keperawatan keluarga. Jakarta: ECG.

Awaloei, C, et. al. (2016). Gambaran cedera kepala yang menyebabkan kematian

di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof Dr. R. D. Kandou periode

Juni 2015 - Juli 2016. Jurnal e-Clinic. 4(2): 1-5. http://ejournal.unsrat.ac.id/.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 09:45 WIB.

Bahrudin, M. (2009). Posisi dalam Stabilitas TIK. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 09:55 WIB.

Coronado, V, et. al. (2011). Surveillance for Traumatic Brain Injury Related

Deaths 1997-2000. Centers for Disease and Prevention. 60: 1-32.

http://ncbi.nih.gov/. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2018 pukul 05:50 WIB.

Damayanthi, A, et. al. (2013). Pemberian Salin Hipertonik 3% selama Kraniotomi

pada Pasien dengan Cedera Otak Traumatik memberikan Relaksasi Otak yang

Lebih Baik dibandingkan dengan Manitol 20%. Jurnal Neuroanestesia

Indonesia. 2(3): 135-39. http://inasnacc.org/. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 11:00 WIB.

65
Doenges, M. (2012). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan

dan pendokumentasian perawatan pasien, edisi 3. Jakarta: ECG.

Irawan, H, et. al. (2010). Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma

Score dalam Memprediksi Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya.

Majalah Kedokteran Indonesia. http://researchgate.net/. Diakses pada tanggal

10 Agustus 2018 puul 06:00 WIB.

Iskandar. (2017). Diagnosis dan Penanganan Cedera Kepala di Daerah Rural.

National Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”. Banda Aceh:

16-17 September 2017.

Ismiana, D. (2014). Pemberian posisi kepala terhadap perfusi jaringan serebral

pada asuhan keperawatan sdr. b dengan close fraktur impresi regio frontal di

ruang mawar ii rsud dr. moewardi surakarta [karya tulis ilmiah]. Surakarta:

STIKES Kusuma Husada.

Mariana, T. (2017). Hubungan antara Karakteristik Demografi dengan Status

Keparahan Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Sepeda Motor di

Kabupaten Sleman Yogyakarta (Analisis Data Sekunder HDSS 2015 dan

2016 [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.

Meng, L, et. al. (2012). Head-up Tilt and Hyperventilation Produce Similiar

Changes in Cerebral Oxygenation and Blood Volume: An Observational

Comparison Study Using Frequency-domain Near-infrared Spectroscopy.

NIH Public Access. 59(4): 1-16. http://ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses pada

tanggal 1 Agustus pukul 10:10 WIB.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

66
Nasir, M. (2012). Asuhan keperawatan pada ny. a dengan cedera kepala sedang

di instalasi gawat darurat rsud sragen [karya ilmiah akhir]. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah. Tidak dipublikasikan.

Nurarif, H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan

diagnosa medis dan nanda nic-noc edisi revisi jilid 3. Yogyakarta:

Mediaction Publishing.

Pertami, B, et. al. (2017). Effect of Head-up Position on Intracranial Pressure

Change in Patients with Head Injury in Surgical Ward of General Hopital of

Dr. R. Soedarsono Pasuruan. Public Health of Indonesia. 3(3): 89-95.

http://stikbar.org/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 10:25 WIB.

PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia, definisi dan indikator

diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional

Indonesia.

Pratiwi, P. (2016). Asuhan keperawatan akhir profesi pada pasien dengan trauma

capitis [laporan akhir profesi]. Indralaya: Universitas Sriwijaya. Tidak

dipublikasikan.

Priasojo, A. (2017). Evaluasi perubahan gejala peningkatan intracranial pada

pasien cedera kepala setelah dilakukan posisi Elevasi 150-300 di igd rsud

dr.soedirman kebumen [skripsi]. Gombong: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Muhammadiyah. Tidak dipublikasikan.

Putra, A. (2016). Gambaran penanganan pasien cedera kepala di instalasi gawat

darurat rsu pku muhammadiyah bantul [skripsi]. Yogyakarta: STIKES

Jenderal Achmad Yani. Tidak dipublikasikan.

67
Rachman, A, et. al. (2015). Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika.

Jurnal Neuroanestesi Indonesia. 4(2): 119-133. http://inasnacc.org/. Diakses

pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 11:05 WIB.

Rahmi, R. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat

perkotaan pada pasien cedera kepala di rsup fatmawati [karya ilmiah akhir

ners]. Depok: Universitas Indonesia.

Ristanto, R, et. al. (2016). Akurasi Revised Trauma Score sebagai Prediktor

Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti. 4(2): 76-

90. http://jurnal.poltekkes-soepraoen.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 10:00 WIB.

Soertidewi, L. (2012). Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-

193. 39(5): 327-331. http://kalbemed.com/. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 15:00 WIB.

Sumarno, et. al. (2016). Glasgow Coma Scale (GCS), Tekanan Darah dan Kadar

Hemoglobin sebagai Prediktor Kematian pada Pasien Cedera Kepala. Jurnal

Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 12(3): 132-143.

http://ejournal.stikesgombong.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018

pukul 09:30 WIB.

Sunardi & Nelly, Y. (2011). Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Flat 00 dan

Elevasi 300 terhadap Tekanan Intra Kranial Pasien Stroke Iskemik di RSCM

Jakarta. Jurnal Publikasi dan Komunikasi Karya Ilmiah Bidang Kesehatan.

1-5. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 09:53 WIB.

Sunaryo, et. al. (2015). Asuhan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Andi Offset.

68
Supadi. (2012). Pengaruh Elevasi Posisi Kepala pada Klien Stroke Hemoragik

terhadap Tekanan Rata-rata Arterial, Tekanan Darah dan Tekanan

Intrakranial di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2011.

Jurnal Kesmasindo. 5(2): 154-168. http://jos.unsoed.ac.id/. Diakses pada

tanggal 1 Agustus 2018 pukul 09:15 WIB.

Suryani, L. (2016). Pemberian posisi semi fowler terhadap stabilitas

hemodinamik asuhan keperawatan tn. e dengan cedera kepala ringan di

ruang igd rumah sakit salatiga [karya tulis ilmiah]. Surakarta: STIKES

Kusuma Husada. Tidak dipublikasikan.

Suryati, I & Esma, W. (2016). Hubungan Mekanisme Cedera dan Usia dengan

Nilai GCS pada Pasien Cedera Kepala di Ruang IGD Rumah Sakit Umum dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi. 125-132. http://jurnal.stikesperintis.ac.id/.

Diakses pada tanggal 10 Agustus 2018 pukul 05:45 WIB.

Tasmono, H. (2012). Trauma Kepala pada Kecelakaan Sepeda Motor di Malang

Raya 2006-2007. Santika Medika: Jurnal Bidang Kedokteran dan Kesehatan.

7(14): 71-77. http://ejournal.umm.ac.id/. Diakses pada tanggal 23 Desember

2017 pukul 06:31 WIB.

Wahyudi, D. (2015). Head Up in Management Intracranial for Head Injury. Jurnal

Kesehatan Komunitas Indonesia. 11(1): 1092-1099. http://lppm.unsil.ac.id/.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 08:55 WIB.

Wijaya & Putri. (2013). Keperawatan medikal bedah (keperawatan dewasa).

Yogyakarta: Nuha Medika.

69
Wijayanti, A. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat

perkotaan pada pasien cedera kepala di ruang irna a lantai 3 utara rsup

fatmawati jakarta [karya ilmiah akhir ners]. Depok: Universitas Indonesia.

WHO (World Health Organization). (2014). Helm: manual keselamatan jalan

untuk pengambil keputusan dan praktisi. Jakarta: CFM Publishing.

70

Anda mungkin juga menyukai