Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN

OLEH:
GEDE EKA WAHYUDI
1202106008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA CEDERA KEPALA RINGAN

A.
1.

KONSEP DASAR PENYAKIT


Definisi / Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(PERDOSI, 2007).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera Kepala ringan adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan
kesadaran dan amnesia kurang dari 30 menit dengan GCS 13-15 dan tidak mengalami
fraktur pada tengkorak.

2.

Epidemiologi / Insiden Kasus


Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB) (American College of Surgeon Comitte on Trauma, 2004).
Berdasarkan data di bagian IRD RSUP Sanglah, jumlah kunjungan penderita
dengan cedera kepala selama tahun 2007 adalah 1417 orang yang terdiri dari 70% CKR,
18% CKS, dan 10% CKB serta 1066 orang diantaranya menjalani rawat inap. Selama

tahun 2008 jumlah kunjungan 1761 orang, yaitu 69% CKR, 21% CKS, dan 8,5% CKB,
serta 1248 orang rawat inap.
3.

Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois &
Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas
dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1
dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien
trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

4.

Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah
lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan
kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh

darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan
ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen
yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup
(trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis
kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur.
Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai

akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral


dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo. 1996: 226).

Gambar 1. Coup dan Countrecoup pada cedera kepala


5.

Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya
cedera kepala serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on
Trauma, 2004, PERDOSSI, 2007).
1) Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi
bendatajam/runcing.

karena

tembakan

maupun

tusukan

benda-

II. Berdasarkan Beratnya Cedera


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaianGlasgow
Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
GCS 13 - 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
Tidak ada fraktur tengkorak
b. Cedera kepala sedang
GCS 9 - 12
Saturasi oksigen > 90 %
Tekanan darah systole > 100 mmHg
Lama kejadian < 8 jam
Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30menit tetapi < 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral. Pada penderita yang tidak
dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi
verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi
membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilaiT
III. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi
pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan splintering.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak


atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.
Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami
trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare,
2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu
rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons
eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa
retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis
kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya
benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi
gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di
daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N.
Facialis atau N.Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus,
serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya.
Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada

frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.


Subduralis haematoma

Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter


dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke
arteri meninggi sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga
antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).

Subrachnoidalis Haematoma
Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada
praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks
yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
juga karena tekanan pada durameter

bagian bawah melebar sehingga

terjadilah subduralis haematoma.


4) Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar
kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik,
hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi /
komplikasi pada organ tubuh yang lain

Gambar 2. Klasifikasi Lesi intra cranial

6. Manifestasi klinis/ Tanda dan Gejala


Gejala klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah hilangnya
kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24 jam, GCS 9 12, saturasi
oksigen > 90 %, tekanan darah systole > 100 mmHg dan dapat mengalami fraktur
tengkorak. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Secara umum gejala
klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:

Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung


(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.

Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)

Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.

Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Gangguan dalam regulasi tubuh.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan


masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).

Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan, pengecapan, penciuman dan


pendengaran, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.

Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Sesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala adalah:
a. Epidural hematoma
Tanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal,
irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d. Perdarahan subarachnoid
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
1) Inspeksi
a) Klien tampak meringis
b) Klien tampak gelisah
c) Klien berkeringat dingin
d) Klien tampak pucat
e) Klien kehilangan kesadaran
f)

Pernafasan jadi dangkal dan cepat

g) Diaphoresis
h) Irama napas tidak teratur
2) Palpasi
a) Nyeri pada kepala
b) Denyut nadi meningkat
3) Auskultasi
a) Ada suara napas tambah
b) Bising usus menurun
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) untuk
menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
1) Respon membuka mata (E):

Buka mata spontan

:4

Bila dipanggil/rangsangan suara

:3

Bila dirangsang nyeri

:2

Tidak bereaksi dengan rangsang apapun : 1

2) Respon verbal (V):

Komunikasi verbal baik

Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4

Kata-kata tidak teratur

: 3

Suara tidak jelas

: 2

Tidak ada reaksi

: 1

: 5

3) Respon motorik (M):

8.

Mengikuti perintah

:6

Melokalisir nyeri

:5

Fleksi normal

:4

Fleksi abnormal

:3

Ekstensi abnormal

:2

Tidak ada reaksi

:1

Pemeriksaan Diagnostik

a.

CT Scan (tanpa atau dengan kontras): mengidentifikasi adanya hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

b.

Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

c.

X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan / edema), fragmen tulang.

d.

Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

e.

Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

f.

Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan


tekanan intrakranial.

g.

BAER: Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

h.

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i.

CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

j.

ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika


terjadi peningkatan tekanan intrakranial

k.

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.

9. Penatalaksanaan dan Terapi


Penanganan sebelum sampai di rumah sakit atau fasilitas yang lebih memadai :
I. Pada pertolongan pertama:
a.

Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab


sering trauma kepala disertai trauma leher.

b.

Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2 dan CO2

c.

Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT

d.

Pasang back board ( spinal board)

e.

Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.

f.

Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum


dilakukan penjahitan situsional.

g.

Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syok. Atasi syok
dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line), beri cairan yang
memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)

h.

Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula


obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.

II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit


Begitu diagnosa ditegakkan, penanganan harus segera dilakukan :
Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :

Pertahankan metabolisme otak yang adekuat

Mencegah dan mengatasi hypertensi

A. Mempertahankan kebutuhan metabilisme otak


1) Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian
oksigen ke otak, metabolisme perlu oksigen dan glukosa.
2) Usahakan PaO2 > 80 mmHg
3) Pertahankan PaCO2 26 28 mmHg
4) Transfusi darah mungkin diperlukan sebagai oxygen carrying capacity
B. Mencegah hypertensi intracranial
Hypertensi ini dapat terjadi akibat :
Masa lesi
Pembengkakan otak akut
Odema otak
Cara mengatasi HT. :
1) Lakukan hypokapnia
a.

Konsentrasi CO2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak

b.

CO2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume


intrakranial

c.

CO2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun

2) Tindakan hyperventilasi :
a.

Menurunkan intra serebral asidosis

b.

Meningkatkan metabolisme otak

III. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera.

A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi
otak menurun PCO2 < 25 mmHg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level
PCO2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau
tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV.
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
F. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat
hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.
G. Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam
fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa digunakan adalah diazepam dan
lorazepam.

10. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor cairan
otak, hipertermia, masalah mobilisasi.
12. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
13. Pathway
(Terlampir)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
1.

Analisa data :
Data Subjektif :
1) Klien mengatakan tidak bisa BAB
2) Klien mengatakan merasa asam di mulut
3) Klien mengeluh pusingklien mengeluh sesak
4) Klien mengeluh sulit mengeluarkan sputum
Data objektif :
1) Klien tampak gelisah
2) Klien tampak meringis
3) Pernafasan klien dangkal
4) RR klien : meningkat,
5) HR : meningkat, lemah, ireguler
6) TD : meningkat
7) Mulut klien kering
8) Turgor klien lambat
9) Klien tampak mengalami diaphoresis
10) Penurunan tonus otot pada ekstremitas
II. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke
cerebral terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien
2.

meningkat, Nadi klien cepat dan lemah, RR klien meningkat.


Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur karnium ditandai dengan
peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24 X/menit, S: 36,5 oC),
wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di kepala dengan skala 8 ( skala 1-

3.

10), diaphoresis, dilatasi pupil.


Mual berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan adanya
keluhan mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, penurunan porsi makan dari 1

porsi menjadi porsi, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan,
klien tampak berkeringat dingin.
III.Rencana keperawatan
(terlampir)

DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7. Widya
medika: Jakarta.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
4 : EGC

Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.


Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai