OLEH:
I KADEK AGUS MAHENDRA PUTRA
1202106053
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA CEDERA KEPALA RINGAN
A.
1.
Definisi / Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(PERDOSI, 2007).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera Kepala ringan adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan
kesadaran dan amnesia kurang dari 30 menit dengan GCS 13-15 dan tidak mengalami
fraktur pada tengkorak.
2.
3.
Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois &
Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas
dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1
dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien
trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
4.
Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah
lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan
kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas tengkorak
terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas
yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan
lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek
pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai
pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput
menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup
(trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis
kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur.
Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo. 1996: 226).
Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga
jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera
kepala serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on Trauma,
2004, PERDOSSI, 2007).
1) Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-bendatajam/runcing.
II. Berdasarkan Beratnya Cedera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaianGlasgow
Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
GCS 13 - 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis
kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya
benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi
gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler.
Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di daerah
sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis
atau N.Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat,
disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma,
sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus,
serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya.
Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada
Subrachnoidalis Haematoma
Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada
Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks
yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
juga karena tekanan pada durameter
Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Sesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala adalah:
a. Epidural hematoma
Tanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal,
irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral
f)
g) Diaphoresis
h) Irama napas tidak teratur
2) Palpasi
a) Nyeri pada kepala
b) Denyut nadi meningkat
3) Auskultasi
a)
:4
:3
:2
: 5
: 3
: 2
: 1
8.
Mengikuti perintah
:6
Melokalisir nyeri
:5
Fleksi normal
:4
Fleksi abnormal
:3
Ekstensi abnormal
:2
:1
Pemeriksaan Diagnostik
a.
b.
c.
d.
e.
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
f.
g.
h.
i.
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j.
k.
Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering
trauma kepala disertai trauma leher.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syok. Atasi syok
dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line), beri cairan yang
memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)
h.
b.
c.
2) Tindakan hyperventilasi :
a.
b.
III. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera.
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun PCO2 < 25 mmHg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level
PCO2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau
tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV.
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
F. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat
hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.
G. Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam
fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa digunakan adalah diazepam dan
lorazepam.
10. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor cairan
otak, hipertermia, masalah mobilisasi.
12. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
13. Pathway
(Terlampir)
Analisa data :
Data Subjektif :
1) Klien mengatakan tidak bisa BAB
2) Klien mengatakan merasa asam di mulut
3) Klien mengeluh pusingklien mengeluh sesak
4) Klien mengeluh sulit mengeluarkan sputum
Data objektif :
1) Klien tampak gelisah
2) Klien tampak meringis
3) Pernafasan klien dangkal
4) RR klien : meningkat,
5) HR : meningkat, lemah, ireguler
6) TD : meningkat
7) Mulut klien kering
8) Turgor klien lambat
3.
4.
5.
6.
7.
berkeringat dingin.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot akibat
kerusakan kontrol volunter area motorik dan sensorik otak ditandai dengan
8.
9.
sensori)
Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis ditandai dengan klien
mengatakan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu, klien mengatakan tidak mampu
12. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan tidak dapat melakukan perawatan diri, klien dibantu dalam aktivitas mandi,
klien dibantu saat mengenakan pakaian, klien tampak kotor, kulit klien tampak
kusam.
III.Intervensi / Implementasi
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien 140/90
mmHg, Nadi klien cepat dan lemah, RR klien 24 kali/menit.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan status
neurologis klien dengan criteria hasil :
Pusing ((5)(None))
Status kognitif ( 5 Not compromised)
Tekanan darah dalam batas normal 120/80 mmHg (5 Not compromised)
Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) (5 Not Compromised)
RR dalam batas normal (16-20 x/menit) (5 Not Compromised)
Suhu tubuh dalam batas normal ((36-37)0,5 oC (5 Not Compromised)
Intervensi :
a. Pemberian oksigen terapi
Pertahankan kepatenan jalan nafas
Rasional : Mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah
terputusnya aliran oksigen ke otak sehingga mencegah terjadinya hipoksia
jaringan otak.
Ukur tekanan darah ketika pasien tidur, berbaring, sebelum dan sesudah
berubah posisi
Ukur suhu tubuh, pantau dan laporkan apabila ada tanda dan gejala hipotermi
dan hipertermi
Rasional : Diperlukan untuk memberikan intervensi selanjutnya dan mencegah
keadaan klien ke kondisi yang lebih buruk.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus yang banyak
ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum,
perubahan ritme dan frekuensi napas, suara napas tambahan ronchi.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... x jam diharapkan bersihan jalan
napas efektif, dengan kriteria hasil:
Respiratory status: airway patency (status pernapasan: kepatenan jalan napas)
1. Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no
deviation from normal range)
2. Irama pernapasn normal (skala 5 = no deviation from normal range)
3. Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
4. Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif (skala 5 = no deviation
from normal range)
5. Tidak ada akumulasi sputum (skala 5 = none)
Intervensi:
a)
b)
d)
e)
f)
g)
h)
broncodilator
meningkatkan
ukuran
lumen
percabangan
Respiratory Status
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
b) Vital Sign
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
Intervensi
Fluid management
Kaji tanda tanda vital klien
Rasional : peningkatan suhu meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan
melalui evaporesis
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indikator langsung keadekuatan volume cairan,
Anjurkan klien untuk banyak minum
Rasional : menggantikan cairan yang keluar sehingga dapat membantu
memulihkan keseimbangan cairan tubuh klien
Pantau masukan dan haluran dengan menghitung keseimbangan cairan.
Rasional : memberikan informasi mengenai keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan penggantian.
Kolaborasi pemberian cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : Adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan penggunaan parenteral
dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan
Respiratory Monitoring
Kaji kecepatan, kedalaman napas
Rasional : kecepatan biasanya meningkat, dan dalam kondisi dispnea terjadi
peningkatkan kerja napas.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi meningkatkan pengisian udara segmen paru yang
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
Bantu pasien mengatasi takut/ ansietas
Rasional : perasaan takut dan ansietas berat berhubungan dengan ketidakmampuan
bernapas dan dapat secara aktual meningkatkan konsumsi oksigen/ kebutuhan.
Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
ditandai dengan mulut klien kering, turgor kulit lambat, peningkatan suhu tubuh klien
meningkat, TD ( dibawah normal ), klien tampak lemah, nadi meningkat
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan kebutuhan
cairan klien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
a)
Intervensi:
Pain management (manajemen nyeri):
mengetahui
sejauhmana
efektifitas
intervensi
yang
compromised)
Intake cairan adekuat (5 not compromised)
Sensasi kecap baik (5 not compromised)
Intervensi :
a) Manajemen mual
Dorong pasien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual
Rasional : Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual
pada diri klien akan membantu klien saat mual muncul, sehingga klien dapat
melakukan manajemen mual secara mandiri.
Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, factor frekuensi, presipitasi
yang menyebabkan mual
Rasional : Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien.
Kaji riwayat diet meliputi makanan yang tidak disukai, disukai, dan budaya
makan
555 555
(5 Not compromised)
555 555
Klien tidak mengalami mati rasa pada daerah ekstremitas (5 Not compromised)
Intervensi :
a.
Bersama pasien batasi gerak bagian tubuh tubuh yang mengalami fraktur.
Rasional: memeprcepat proses penyembuhan tulang belakang dan mencegah
kerusakan yang berkepanjangan dari medulla spinalis
b.
Exercise promotion
Kaji kekuatan otot pasien
Rasional:
mengetahui
perkembangan
kekuatan
otot
klien
sehingga
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya latihan rentang gerak
pasif atau aktif pada bagian tubuh yang mengalami paraplegi dan yang tidak
fraktur jika memungkinkan
Rasional: mengehindari terjadinya atropi otot pada otot yang lama tidak
digunakan
Bersama pasien lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada bagian
tubuh yang paraplegi dan tidak fraktur
Rasional : untuk mencegah terjadinya atropi pada otot dan untuk melancarkan
aliran darah klien
Kolaborasi dengan ahli phisical terapi dalam memberikan latihan yang tepat
pada pasien untuk perkembangan dan kemajuan kondisi pasien
Rasional: membentu memulihkan kondisi klien jika kondisi farktur yang
dialami telah membaik
c. Traction/Immobilization care
Pertahankan traksi pada bagian tubuh yang fraktur agar tetap terpasang dengan
baik
Rasional: membantu proses penyembuahan bagian tulang yang fraktur
8. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi regulator biokimia (disfungsi
sensori)
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama . x 24 jam diharapkan klien dapat mengontrol risiko
dengan outcome :
Intervensi :
a. Environmental Management
Kurangi atau hilangkan barang barang keras dan berbahaya disekitar pasien
Rasional: lingkungan yang aman, memperkecil risiko cedera
Berikan pelindung yang nyaman dan tidak keras pada bed pasien
Rasional: memperkecil risiko cedera klien
b.
Neurologi Monitoring
Berikan rangsangan pada bagian tubuh pasien yang mengalami mati
rasa
Rasional: mengindentifikasi perkembangan mati rasa yang dialama klien
c.
Health Education
Ajarkan pada klien mengenai cara-cara untuk mengurangi terjadinya
risiko cedera
Rasional : dengan mengetahui cara mengurangi risiko cedera diharapkan risiko
terjadinya cedera dapat berkurang
Intervensi :
a. Bowel Management
8. IMPLEMENTASI
Implementasi dibuat berdasarkan intervensi yang telah rencanakan
9. EVALUASI
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran areteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien meningkat,
Nadi klien cepat dan lemah, RR klien meningkat.
Evaluasi :
Subjektif:
-
Objektif:
-
2. Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus yang banyak
ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum,
perubahan ritme dan frekuensi napas, suara napas tambahan ronchi, tidak ada batuk
efektif.
Evaluasi :
Subjektif:
-
Objektif:
-
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien 30x/menit ( diatas
normal : 16 20x/menit ), napas klien dangkal
Evaluasi :
Subjektif :
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Klien menyatakan tidak terjadi Diaphoresis
- Klien menyatakan tidak terjadi demam
- Klien menyatakan istirahat cukup
Objektif :
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
3.
4.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur karnium ditandai dengan
peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24 X/menit, S: 36,5 oC),
wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di kepala dengan skala 8 ( skala 1-10),
diaphoresis, dilatasi pupil.
Evaluasi:
Subjektif:
Objektif:
5.
Mual berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual,
klien mengeluh rasa asam di mulut, penurunan porsi makan dari 1 porsi menjadi
porsi, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan, klien tampak
berkeringat dingin.
Evaluasi:
Subjektif
- Klien mengatakan sudah tidak merasa mual
- Klien mengatakan sudah tidak muntah
- Klien mengatakan nafsu makannya meningkat
- Klien mengatakan sensasi kecap baik
Objektif
- Klien tampak menghabiskan makanan yang diberikan
- Intake cairan adekuat
- Tidak ada peningkatan saliva
6.
Objektif
-
7.
Objektif
8.
Objektif
-
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7. Widya
medika: Jakarta.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
4 : EGC
Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.
Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta