Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN

OLEH:
I KADEK AGUS MAHENDRA PUTRA
1202106053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA CEDERA KEPALA RINGAN
A.

KONSEP DASAR PENYAKIT

1.

Definisi / Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(PERDOSI, 2007).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera Kepala ringan adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan
kesadaran dan amnesia kurang dari 30 menit dengan GCS 13-15 dan tidak mengalami
fraktur pada tengkorak.

2.

Epidemiologi / Insiden Kasus


Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB) (American College of Surgeon Comitte on Trauma, 2004).
Berdasarkan data di bagian IRD RSUP Sanglah, jumlah kunjungan penderita
dengan cedera kepala selama tahun 2007 adalah 1417 orang yang terdiri dari 70% CKR,
18% CKS, dan 10% CKB serta 1066 orang diantaranya menjalani rawat inap. Selama
tahun 2008 jumlah kunjungan 1761 orang, yaitu 69% CKR, 21% CKS, dan 8,5% CKB,
serta 1248 orang rawat inap.

3.

Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois &
Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas
dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1
dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien
trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

4.

Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah
lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan
kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas tengkorak
terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas
yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan
lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek
pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai
pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput
menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).

Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup
(trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis
kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur.
Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan

intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo. 1996: 226).

Gambar 1. Coup dan Countrecoup pada cedera kepala


5.

Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga
jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera
kepala serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on Trauma,
2004, PERDOSSI, 2007).
1) Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-bendatajam/runcing.
II. Berdasarkan Beratnya Cedera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaianGlasgow
Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
GCS 13 - 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.

Tidak ada fraktur tengkorak


b. Cedera kepala sedang
GCS 9 - 12
Saturasi oksigen > 90 %
Tekanan darah systole > 100 mmHg
Lama kejadian < 8 jam
Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30menit tetapi < 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral. Pada penderita yang tidak
dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal
diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak
dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi
nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun
dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilaiT
III. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu
masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak
atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.
Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami
trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare,
2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu
rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons
eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa

retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis
kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya
benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi
gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler.
Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di daerah
sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis
atau N.Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat,
disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma,
sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus,
serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya.
Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada

frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.


Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan
corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri
meninggi sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).

Subrachnoidalis Haematoma
Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada

praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,


karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks
yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
juga karena tekanan pada durameter

bagian bawah melebar sehingga

terjadilah subduralis haematoma.


4) Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar
kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik,
hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi /
komplikasi pada organ tubuh yang lain

Gambar 2. Klasifikasi Lesi intra cranial

6. Manifestasi klinis/ Tanda dan Gejala


Gejala klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah hilangnya
kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24 jam, GCS 9 12, saturasi
oksigen > 90 %, tekanan darah systole > 100 mmHg dan dapat mengalami fraktur
tengkorak. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Secara umum gejala
klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:

Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung


(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.

Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)

Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.

Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Gangguan dalam regulasi tubuh.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan


masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).

Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan, pengecapan, penciuman dan


pendengaran, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.

Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Sesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala adalah:
a. Epidural hematoma
Tanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal,
irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,


hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d. Perdarahan subarachnoid
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
1) Inspeksi
a)

Klien tampak meringis

b) Klien tampak gelisah


c)

Klien berkeringat dingin

d) Klien tampak pucat


e)

Klien kehilangan kesadaran

f)

Pernafasan jadi dangkal dan cepat

g) Diaphoresis
h) Irama napas tidak teratur
2) Palpasi
a) Nyeri pada kepala
b) Denyut nadi meningkat
3) Auskultasi
a)

Ada suara napas tambah

b) Bising usus menurun


Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) untuk
menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
1) Respon membuka mata (E):

Buka mata spontan

:4

Bila dipanggil/rangsangan suara

:3

Bila dirangsang nyeri

:2

Tidak bereaksi dengan rangsang apapun : 1

2) Respon verbal (V):

Komunikasi verbal baik

Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4

: 5

Kata-kata tidak teratur

: 3

Suara tidak jelas

: 2

Tidak ada reaksi

: 1

3) Respon motorik (M):

8.

Mengikuti perintah

:6

Melokalisir nyeri

:5

Fleksi normal

:4

Fleksi abnormal

:3

Ekstensi abnormal

:2

Tidak ada reaksi

:1

Pemeriksaan Diagnostik
a.

CT Scan (tanpa atau dengan kontras): mengidentifikasi adanya hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

b.

Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

c.

X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan / edema), fragmen tulang.

d.

Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

e.

Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

f.

Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan


tekanan intrakranial.

g.

BAER: Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

h.

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i.

CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

j.

ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika


terjadi peningkatan tekanan intrakranial

k.

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.

9. Penatalaksanaan dan Terapi


Penanganan sebelum sampai di rumah sakit atau fasilitas yang lebih memadai :

I. Pada pertolongan pertama:


a.

Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering
trauma kepala disertai trauma leher.

b.

Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2 dan CO2

c.

Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT

d.

Pasang back board ( spinal board)

e.

Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.

f.

Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum


dilakukan penjahitan situsional.

g.

Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syok. Atasi syok
dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line), beri cairan yang
memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)

h.

Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula


obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.

II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit


Begitu diagnosa ditegakkan, penanganan harus segera dilakukan :
Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :

Pertahankan metabolisme otak yang adekuat

Mencegah dan mengatasi hypertensi

A. Mempertahankan kebutuhan metabilisme otak


1) Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian
oksigen ke otak, metabolisme perlu oksigen dan glukosa.
2) Usahakan PaO2 > 80 mmHg
3) Pertahankan PaCO2 26 28 mmHg
4) Transfusi darah mungkin diperlukan sebagai oxygen carrying capacity
B. Mencegah hypertensi intracranial
Hypertensi ini dapat terjadi akibat :
Masa lesi
Pembengkakan otak akut
Odema otak
Cara mengatasi HT. :
1) Lakukan hypokapnia
a.

Konsentrasi CO2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak

b.

CO2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume


intrakranial

c.

CO2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun

2) Tindakan hyperventilasi :
a.

Menurunkan intra serebral asidosis

b.

Meningkatkan metabolisme otak

III. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera.
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun PCO2 < 25 mmHg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level
PCO2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau
tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV.
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
F. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat
hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.
G. Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam
fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa digunakan adalah diazepam dan
lorazepam.
10. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor cairan
otak, hipertermia, masalah mobilisasi.
12. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
13. Pathway
(Terlampir)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


I. Pengkajian
1.

Analisa data :
Data Subjektif :
1) Klien mengatakan tidak bisa BAB
2) Klien mengatakan merasa asam di mulut
3) Klien mengeluh pusingklien mengeluh sesak
4) Klien mengeluh sulit mengeluarkan sputum
Data objektif :
1) Klien tampak gelisah
2) Klien tampak meringis
3) Pernafasan klien dangkal
4) RR klien : meningkat,
5) HR : meningkat, lemah, ireguler
6) TD : meningkat
7) Mulut klien kering
8) Turgor klien lambat

9) Klien tampak mengalami diaphoresis


10) Klien berakral dingin.
11) Bising usus menurun
12) Tampak dilatasi pupil
13) Penurunan tonus otot pada ekstremitas
II. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien meningkat,
2.

Nadi klien cepat dan lemah, RR klien meningkat.


Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus yang banyak
ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum,

3.

perubahan ritme dan frekuensi napas, suara napas tambahan ronchi.


Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien ( diatas normal :

4.

16 20x/menit ), pernapasan dangkal


Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
ditandai dengan mulut klien kering, turgor kulit lambat, peningkatan suhu tubuh

5.

klien meningkat, klien tampak lemah, nadi meningkat


Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur karnium ditandai dengan
peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24 X/menit, S: 36,5 oC),
wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di kepala dengan skala 8 ( skala 1-

6.

10), diaphoresis, dilatasi pupil.


Mual berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual,
klien mengeluh rasa asam di mulut, penurunan porsi makan dari 1 porsi menjadi
porsi, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan, klien tampak

7.

berkeringat dingin.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot akibat
kerusakan kontrol volunter area motorik dan sensorik otak ditandai dengan

8.

penurunan tonus otot pada ekstremitas.


Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi regulator biokimia (disfungsi

9.

sensori)
Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis ditandai dengan klien
mengatakan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu, klien mengatakan tidak mampu

mengeluarkan feses, bising usus klien 1 kali/menit


10. Risiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
11. Kurang pengetahuan klien dan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai fraktur cranium dan vertebra ditandai dengan klien tidak dapat
menyebutkan penyebab penyakitnya, klien tidak dapat menyebutkan peengobatan
penyakitnya, dan klien dapat menyebutkan prognosis penyakitnya.

12. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan tidak dapat melakukan perawatan diri, klien dibantu dalam aktivitas mandi,
klien dibantu saat mengenakan pakaian, klien tampak kotor, kulit klien tampak
kusam.
III.Intervensi / Implementasi
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien 140/90
mmHg, Nadi klien cepat dan lemah, RR klien 24 kali/menit.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan status
neurologis klien dengan criteria hasil :

Pusing ((5)(None))
Status kognitif ( 5 Not compromised)
Tekanan darah dalam batas normal 120/80 mmHg (5 Not compromised)
Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) (5 Not Compromised)
RR dalam batas normal (16-20 x/menit) (5 Not Compromised)
Suhu tubuh dalam batas normal ((36-37)0,5 oC (5 Not Compromised)

Intervensi :
a. Pemberian oksigen terapi
Pertahankan kepatenan jalan nafas
Rasional : Mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah
terputusnya aliran oksigen ke otak sehingga mencegah terjadinya hipoksia
jaringan otak.

Monitor aliran oksigen


Rasional : Untuk mempertahankan masukan oksigen adekuat sesuai dengan
kebutuhan.

Monitor posisi kenyamanan klien (semifowler 15-350) tanpa bantal


Rasional : Untuk menjaga kontinuitas masukan oksigen.

b. Pantau tanda-tanda vital


Monitor tanda-tanda vital
Rasional: memonitor tanda-tanda vital penting untuk mengetahui keadaan
umum dan status keefektifan perfusi jaringan.

Ukur tekanan darah ketika pasien tidur, berbaring, sebelum dan sesudah
berubah posisi

Rasional : Pengukuran tekanan darah pada berbagai posisi dibutuhkan untuk


mengetahui perubahan tekanan darah ortostatik.

Ukur tekanan darah setelah pasien mendapatkan terapi


Rasional : Pengukuran tekanan darah setelah mendapatkan medikasi penting
untuk mengetahui keefektifan terapi.

Ukur suhu tubuh, pantau dan laporkan apabila ada tanda dan gejala hipotermi
dan hipertermi
Rasional : Diperlukan untuk memberikan intervensi selanjutnya dan mencegah
keadaan klien ke kondisi yang lebih buruk.

Monitor kualitas dan frekuensi nadi


Rasional : Adanya bradikardi dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan
otak.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus yang banyak
ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum,
perubahan ritme dan frekuensi napas, suara napas tambahan ronchi.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... x jam diharapkan bersihan jalan
napas efektif, dengan kriteria hasil:
Respiratory status: airway patency (status pernapasan: kepatenan jalan napas)
1. Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no
deviation from normal range)
2. Irama pernapasn normal (skala 5 = no deviation from normal range)
3. Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
4. Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif (skala 5 = no deviation
from normal range)
5. Tidak ada akumulasi sputum (skala 5 = none)
Intervensi:
a)

Airway Management (manajemen jalan nafas):


a)

Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.


Rasional: bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan sekret atau sekret
berlebih di jalan nafas.

b)

Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.

Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya


pernapasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret ke jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
c)

Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan


penghisapan sesuai keperluan.
Rasional: mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan bia
klien tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.

d)

Bantu klien untuk batuk dan nafas dalam.


Rasional: memaksimalkan pengeluaran sputum.

e)

Ajarkan batuk efektif.


Rasional: membantu mempermudah pengeluaran sekret.

f)

Anjurkan asupan cairan adekuat.


Rasional: mengoptimalkan keseimbangan cairan dan membantu mengencerkan
sekret sehingga mudah dikeluarkan.

g)

Kolaborasi pemberian oksigen.


Rasional: meringankan kerja paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

h)

Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.


Rasional:

broncodilator

meningkatkan

ukuran

lumen

percabangan

trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.


3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien 30x/menit ( diatas
normal : 16 20x/menit ), napas klien dangkal
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan pola napasa
klien efektif, dengan kriteria hasil :
a)

Respiratory Status
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
b) Vital Sign
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
Intervensi

Fluid management
Kaji tanda tanda vital klien
Rasional : peningkatan suhu meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan
melalui evaporesis
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indikator langsung keadekuatan volume cairan,
Anjurkan klien untuk banyak minum
Rasional : menggantikan cairan yang keluar sehingga dapat membantu
memulihkan keseimbangan cairan tubuh klien
Pantau masukan dan haluran dengan menghitung keseimbangan cairan.
Rasional : memberikan informasi mengenai keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan penggantian.
Kolaborasi pemberian cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : Adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan penggunaan parenteral
dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan
Respiratory Monitoring
Kaji kecepatan, kedalaman napas
Rasional : kecepatan biasanya meningkat, dan dalam kondisi dispnea terjadi
peningkatkan kerja napas.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi meningkatkan pengisian udara segmen paru yang
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
Bantu pasien mengatasi takut/ ansietas
Rasional : perasaan takut dan ansietas berat berhubungan dengan ketidakmampuan
bernapas dan dapat secara aktual meningkatkan konsumsi oksigen/ kebutuhan.
Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
ditandai dengan mulut klien kering, turgor kulit lambat, peningkatan suhu tubuh klien
meningkat, TD ( dibawah normal ), klien tampak lemah, nadi meningkat
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan kebutuhan
cairan klien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
a)

Fluid balance (keseimbangan cairan)


- Turgor kulit elastic
- Mukosa bibir lembab
- Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )
- Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)

- Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)


- Klien tidak mengeluh haus
b) Blood loss severity (kehilangan banyak darah)
- Klien tidak mengalami hematuria
- Tidak terjadi perdarahan vagina
- Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)
- Membran mukosa tidak pucat
- Hb dalam batas normal ( > 11 )
- Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )
Intervensi
Fluid management
Kaji tanda tanda vital klien
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi.
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indikator langsung keadekuatan volume cairan,
Anjurkan klien untuk banyak minum
Rasional : menggantikan cairan yang keluar sehingga dapat membantu
memulihkan keseimbangan cairan tubuh klien
Kolaborasi pemberian cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : Adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral
dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.
Shock prevention
Pantau status sirkulasi seperti tekanan darah, perubahan warna kulit, temperatur
kulit, irama jantung, nadi dan CRT.
Rasional : Mengetahui tingkat sirkulasi klien sehingga mempermudah pencegahan
syok.
Pantau intake dan output klien
Rasional : Mengetahui tingkat balance cairan sebagai indikator pencegahan syok
Pantau suhu tubuh dan status RR klien
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi.
Pantau hasil pemeriksaan laboratorium seperti tingkat hemoglobin, hematokrit,
elektrolit
Rasional : menentukan tingkat cairan dalam tubuh,
Pantau kondisi membran mukosa klien
Rasional : membran mukosa merupakan salah satu bagian tubuh yang cepat
menunjukkan tingkat kekurangan cairan

Bleeding reduction : postpartum uterus


Hitung jumlah darah yang keluar
Rasional : Mengetahui tingkat perdarahan klien.
Kaji tanda tanda vital setiap 15 menit
Rasional : TTV abnormal merupakan tanda perburukan kondisi klien.
Melakukan pemasangan kateter pada klien
Rasional : Untuk memantau output urine
Kolaborasi untuk persiapan tindakan operasi histerektomy jika diperlukan
Rasional : Histerektomy dilakukan apabila kondisi klien sudah terdapat kerusakan
jaringan menyeluruh dan nekrosis jaringan
Kolaborasi untuk pemberian tranfusi
Rasional : untuk menangulangi penurunan yang signifikan cairan dalam tubuh.
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur karnium ditandai dengan
peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24 X/menit, S: 36,5 oC),
wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di kepala dengan skala 8 ( skala 1-10),
diaphoresis, dilatasi pupil.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan nyeri terkontrol,
dengan kriteria hasil:
a. Pain level (level nyeri):
-

Klien melaporkan nyeri berkurang

RR dalam batas normal (16-20 kali/menit)


Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)
Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)

b. Pain control ( kontrol nyeri ) :


-

Klien dapat mengenali onset nyeri

Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri

Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen


nyeri non farmakologis

Klien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.

Klien melaporkan nyeri terkontrol.

Intervensi:
Pain management (manajemen nyeri):

Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi lokasi,


karasteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, serta faktorfaktor yang dapat memicu nyeri.
Rasional: Pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang dialami
klien meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri serta factor-faktor yang dapat memicu nyeri klien
sehinggga dapat menentukan intervensi yang tepat.
Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari ketidaknyamanan.
Rasional: Dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal
maka dapat membantu mengetahui tingkat dan perkembangan nyeri
klien.
Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji pengalaman nyeri dan
menyampaikan penerimaan terhadap respon klien terhadap nyeri.
Rasional: Membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.
Kaji tanda-tanda vital klien.
Rasional: Peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut nadi
umumnya menandakan adanya peningkatan nyeri yang dirasakan.
Kaji pengetahuan dan pengalaman klien terhadap nyeri klien.
Rasional: Membantu mengetahui hal efektif yang pernah dilakukan klien
dalam menangani nyerinya.
Diskusikan bersama klien mengenai faktor-faktor yang dapat memperburuk
nyeri klien.
Rasional: Membantu menghindari hal yang dapat memperburuk nyeri klien.
Evaluasi bersama klien dan tim medis mengenai riwayat keefektifan intervensi
nyeri yang pernah diberikan pada klien.
Rasional: Untuk

mengetahui

sejauhmana

efektifitas

intervensi

yang

sebelumnya pernah diberikan, sebagai bahan evaluasi dalam


melakukan intervensi
berikutnya.
Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
Rasional: Membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien.

Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis: teknik terapi


musik, distraksi, guided imagery, masase dll).
Rasional: Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta membantu
klien untuk mengontrol nyerinya.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.
6. Mual berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual,
klien mengeluh rasa asam di mulut, penurunan porsi makan dari 1 porsi menjadi
porsi, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan, klien tampak
berkeringat dingin.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x24 jam diharapkan menunjukkan
penurunan derajat mual dan muntah, dengan out come :

Frekuensi mual (5 none)


Frekuensi muntah (5 none)
Tidak ada peningkatan sekresi saliva (5 none)
Menunjukkan peningkatan nafsu makan, dengan criteria hasil :

Keinginan klien untuk makan meningkat (5 not compromised)


Intake makanan adekuat (porsi makan yang disediakan habis) (5 not

compromised)
Intake cairan adekuat (5 not compromised)
Sensasi kecap baik (5 not compromised)

Intervensi :
a) Manajemen mual
Dorong pasien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual
Rasional : Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual
pada diri klien akan membantu klien saat mual muncul, sehingga klien dapat
melakukan manajemen mual secara mandiri.
Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, factor frekuensi, presipitasi
yang menyebabkan mual
Rasional : Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien.
Kaji riwayat diet meliputi makanan yang tidak disukai, disukai, dan budaya
makan

Rasional : Untuk mengetahui makanan yang dapat menurunkan dan


meningkatkan nafsu makan klien selama tidak ada kontra indikasi.
Kontrol lingkungan sekitar yang menyebabkan mual
Rasional : Faktor-faktor seperti pemandangan dan bau yang tidak sedap saat
makan dapat meningkatkan perasaan mual pada klien.
Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi mual (relaksasi, guide
imagery, distraksi)
Rasional : Teknik manajemen mual nonfarmakologi dapat membantu mengurangi
mual secara nonfarmakologi dan tanpa efek samping.
Dukung istirahat dan tidur yang adekuat untuk meringankan nausea
Rasional : Tidur dan istirahat dapat membantu klien lebih relaks sehingga
mengurangi mual yang dirasakan.
Ajarkan untuk melakukan oral hygine untuk mendukung kenyaman dan
mengurangi rasa mual
Rasional : Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan
menimbulkan mual.
Anjurkan untuk makan sedikit demi sedikit
Rasional : Pemberian makan secara sedikit demi sedikit baik untuk mengurangi
rasa penuh dan enek di perut.
Anjurkan untuk makan tinggi karbohidrat dan rendah lemak
Rasional : Makan tinggi karbohidrat dapat meningkatkan asupan energi.
Makanan tinggi lemak dapat meningkatkan stimulasi mual, sehingga dianjurkan
klien untuk megonsumsi makanan rendah lemak.
Pantau masukan nutrisi sesuai kebutuhan kalori
Rasional : Kebutuhan kalori perlu dipertimbangkan untuk tetap mempertahankan
asupan nutrisi adekuat.
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot akibat
kerusakan kontrol volunter area motorik dan sensorik otak ditandai dengan penurunan
tonus otot pada ekstremitas.
Tujuan:
Setelah diberikan askep selama .. x 24 jam diharapkan klien dapat menlakukan
mobilisasi dengan outcome :
Keseimbangan tubuh klien baik (5 Not compromised)

Koordinasi antara anggota gerak baik (5 Not compromised)


Pergerakan otot baik (5 Not compromised)
diharapkan status neurologis klien : spinal sensory/motorik berfungsi dengan baik
Reflex tendon (5 Not compromised)
Kekuatan otot

555 555

(5 Not compromised)

555 555
Klien tidak mengalami mati rasa pada daerah ekstremitas (5 Not compromised)
Intervensi :
a.

Bed Rest care


Jelaskan pada pasien tentang kemungkinan untuk bed rest selama beberapa
waktu
Rasional: memberitahukan kemungkinan yang terjadi bila klien tidak mampu
bergerak dalam waktu lama sehingga tidak menimbulkan kecemasan bagi klien
dank lien dapat turut berperan dalam proses penyembuhannya.

Jaga agar linen tetap bersih dan kering.


Rasional : untuk mencegah terjadinya infeksi dan dekubitus pada pasien.

Bantu pasien dalam melakukan ADL


Rasional : pasien yang mengalami imobilisasi/bed rest tidak dapat melakukan
ADL, maka perawat harus membantu klien.

Bersama pasien batasi gerak bagian tubuh tubuh yang mengalami fraktur.
Rasional: memeprcepat proses penyembuhan tulang belakang dan mencegah
kerusakan yang berkepanjangan dari medulla spinalis

b.
Exercise promotion
Kaji kekuatan otot pasien
Rasional:

mengetahui

perkembangan

kekuatan

otot

klien

sehingga

memudahkan untuk melakukan intervensi selanjutnya.

Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya latihan rentang gerak
pasif atau aktif pada bagian tubuh yang mengalami paraplegi dan yang tidak
fraktur jika memungkinkan
Rasional: mengehindari terjadinya atropi otot pada otot yang lama tidak
digunakan

Bersama pasien lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada bagian
tubuh yang paraplegi dan tidak fraktur

Rasional : untuk mencegah terjadinya atropi pada otot dan untuk melancarkan
aliran darah klien

Kolaborasi dengan ahli phisical terapi dalam memberikan latihan yang tepat
pada pasien untuk perkembangan dan kemajuan kondisi pasien
Rasional: membentu memulihkan kondisi klien jika kondisi farktur yang
dialami telah membaik

c. Traction/Immobilization care
Pertahankan traksi pada bagian tubuh yang fraktur agar tetap terpasang dengan
baik
Rasional: membantu proses penyembuahan bagian tulang yang fraktur
8. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi regulator biokimia (disfungsi
sensori)
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama . x 24 jam diharapkan klien dapat mengontrol risiko
dengan outcome :

Memonitor factor risiko yang ada di lingkungan (5 consistenly demonstrated)

Momnitor tingkah laku yang berisiko (5 consistenly demonstrated)

Klien melakukan strategi control risiko (5 consistenly demonstrated)

Intervensi :
a. Environmental Management

Identifikasi keamanan yang dibutuhkan pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik


dan kognitif serta kebiasaan pasien
Rasional: memeperkecil factor terjadinya cedera

Kaji kemampuan pasien dalam merasakan dan mendiskripsikan ruangan yang


diberikan
Rasional: dengan mengetahui ruangan yang diberikan dan kondisi didalamnya
diharapkan risiko terjadinya cedera dapat berkurang.

Kurangi atau hilangkan barang barang keras dan berbahaya disekitar pasien
Rasional: lingkungan yang aman, memperkecil risiko cedera

Berikan pelindung yang nyaman dan tidak keras pada bed pasien
Rasional: memperkecil risiko cedera klien

Pertahankan agar bed tetap nyaman, bersih


Rasional: memastikan klien merasa aman dan nyaman dengan tempan tidurnya

Bantu pasien dalam melakukan kegiatan yang mungkin berbahaya baginya.


Rasional: memastikan keamanan klien

b.

Neurologi Monitoring
Berikan rangsangan pada bagian tubuh pasien yang mengalami mati
rasa
Rasional: mengindentifikasi perkembangan mati rasa yang dialama klien

c.

Health Education
Ajarkan pada klien mengenai cara-cara untuk mengurangi terjadinya
risiko cedera
Rasional : dengan mengetahui cara mengurangi risiko cedera diharapkan risiko
terjadinya cedera dapat berkurang

9. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis ditandai dengan klien


mengatakan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu, klien mengatakan tidak mampu
mengeluarkan feses, bising usus klien 1 kali/menit
Tujuan:
Setelah diberikan askep selama . x 24 jam diharapkan edengan outcome : liminasi
fekal klien normal, dngan criteria hasil :

Frekuensi BAB kembali sesuai kebiasaan pasien (5 not compromised)

Feses klien lembek dan berbentuk (5 not compromised)

Tidak ada konstipasi (5 none)

Bising usus dalam batas normal (3-12 kali/menit)

Intervensi :
a. Bowel Management

Catat waktu terakhir pasien BAB, konsistensi, warna, jumlah


Rasional: mengakaji lebih dalam mengenai konstipasi yang dialami klien.

Ajarkan pasien untuk mengonsumsi makanan yang mengandung serat seperi


pepaya
Rasional: makanan yang mengandung serat memperlancar dalam mengeluarkan
feses

Kolaborasi pemberian obat suposituria sesuai indikasi


Rasional: merangsang klien untuk BAB

Anjurkan pasien untuk tidak menahan nahan keinginan untuk BAB


Rasional: menahan keinginan BAB dapat memperberat terjadinya konstipasi

Ajarkan pasien untuk meningkatkan hidrasi


Rasional : tingkat hidrasi yang adekuat dapat merangsang proses defekasi.

Anjurkan klien untuk tidak mengejan


Rasional : mengejan dapat meningkatkan TIK dan memperburuk kondisi klien

8. IMPLEMENTASI
Implementasi dibuat berdasarkan intervensi yang telah rencanakan
9. EVALUASI
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran areteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, Tekanan Darah klien meningkat,
Nadi klien cepat dan lemah, RR klien meningkat.
Evaluasi :
Subjektif:
-

Klien mengatakan tidak pusing

Objektif:
-

Status mental klien baik (GCS =15)


Tekanan darah dalam batas normal 120/80 mmHg
Nadi dalam batas normal (80 kali/menit)
RR dalam batas normal 18 x/menit
Suhu tubuh dalam batas normal 37oC

2. Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus yang banyak
ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum,
perubahan ritme dan frekuensi napas, suara napas tambahan ronchi, tidak ada batuk
efektif.
Evaluasi :
Subjektif:
-

Klien mengungkapkan mampu mengeluarkan sputum secara efektif

Objektif:
-

Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt)

Irama pernapasan normal

Kedalaman pernapasan normal

Tidak ada akumulasi sputum

Klien tidak sesak napas

3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien 30x/menit ( diatas
normal : 16 20x/menit ), napas klien dangkal
Evaluasi :
Subjektif :
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Klien menyatakan tidak terjadi Diaphoresis
- Klien menyatakan tidak terjadi demam
- Klien menyatakan istirahat cukup
Objektif :
- RR dalam batas normal
- Kedalaman napas normal.
- Tidak terjadi Diaphoresis
- Tidak terjadi demam
- Istirahat cukup
3.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif


ditandai dengan mulut klien kering, turgor kulit lambat, peningkatan suhu tubuh klien
meningkat, TD ( dibawah normal ), klien tampak lemah, nadi meningkat 120x/mnt
Evaluasi:
Subjektif:
- Klien mengungkapkan perdarahan berkurang
- Klien mengungkapkan tidak demam.
Objektif
- Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)
- Membran mukosa tidak pucat/ lembab
- Hb dalam batas normal ( > 11 )
- Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )
- Turgor kulit elastic
- Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )
- Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)
- Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)

4.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur karnium ditandai dengan
peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24 X/menit, S: 36,5 oC),
wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di kepala dengan skala 8 ( skala 1-10),
diaphoresis, dilatasi pupil.
Evaluasi:
Subjektif:

Klien nyeri berkurang

Klien mengatakan dapat mengenali onset nyeri

Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri

Klien melaporkan nyeri terkontrol

Objektif:

5.

Wajah klien tampak relaks

Klien tidak tampak berkeringat dingin

RR dalam batas normal (16-20 kali/menit)


Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)
Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80 mmHg)

Mual berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual,
klien mengeluh rasa asam di mulut, penurunan porsi makan dari 1 porsi menjadi
porsi, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan, klien tampak
berkeringat dingin.
Evaluasi:
Subjektif
- Klien mengatakan sudah tidak merasa mual
- Klien mengatakan sudah tidak muntah
- Klien mengatakan nafsu makannya meningkat
- Klien mengatakan sensasi kecap baik
Objektif
- Klien tampak menghabiskan makanan yang diberikan
- Intake cairan adekuat
- Tidak ada peningkatan saliva

6.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan


neuromuscular ditandai dengan klien tidak mampu menggerakkan kedua kakinya,
tonus otot klien pada ekstremitas bawah adalah 0.
Evaluasi:
Subjektif
-

Klien mengatakan sudah bisa menggerakkan ektremitasnya

Objektif
-

Keseimbangan tubuh klien baik

Koordinasi antara anggota gerak baik

Pergerakan otot baik

Reflex tendon normal

Kekuatan otot 555

Klien tidak mengalami mati rasa pada daerah ekstremitas

7.

Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi regulator biokimia (disfungsi


sensori)
Evaluasi :
Subjektif
-

Klien mengatakan tidak ada cedera

Klien mengatakan sudah melakukan strategi control risiko

Objektif

8.

Di lingkungan sekitar klien tidak ada benda berbahaya

Klien tidak menunjukkan perilaku berisiko

Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis ditandai dengan klien


mengatakan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu, klien mengatakan tidak mampu
mengeluarkan feses, bising usus klien 1 kali/menit
Evaluasi :
Subjektif
-

Klien mengatakan frekuensi BAB kembali sesuai kebiasaan yaitu 1 kali/hari

Klien mengatakan fesesnya lembek dan berbentuk

Objektif
-

Klien sudah tidak mengalami konstipasi

Bising usus klien 7 kali/menit

DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7. Widya
medika: Jakarta.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
4 : EGC
Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.
Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai