Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KGD)

ISUSUN OLEH:

PELIA PELTRESIA
2230282140

CI AKADEMIK CI KLINIK

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
T.A 2023
A. Definisi / Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen (PERDOSI, 2007).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera Kepala ringan adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan
kesadaran dan amnesia kurang dari 30 menit dengan GCS 13-15 dan tidak mengalami
fraktur pada tengkorak.

B. Epidemiologi / Insiden Kasus


Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB) (American College of Surgeon Comitte on Trauma, 2004).
Berdasarkan data di bagian IRD RSUP Sanglah, jumlah kunjungan penderita
dengan cedera kepala selama tahun 2007 adalah 1417 orang yang terdiri dari 70%
CKR, 18% CKS, dan 10% CKB serta 1066 orang diantaranya menjalani rawat inap.
Selama tahun 2008 jumlah kunjungan 1761 orang, yaitu 69% CKR, 21% CKS, dan
C. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois &
Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu
lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu
sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat
inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

D. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah
lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan
dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh
darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan
ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah
meningen yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).

Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma


tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis
kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur.
Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif
tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi
secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti
yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan
kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena
kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo. 1996: 226).

Gambar 1. Coup dan Countrecoup pada cedera kepala

E. Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya
cedera kepala serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on
Trauma, 2004, PERDOSSI, 2007).
1) Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun
cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan
benda-bendatajam/runcing.
II. Berdasarkan Beratnya Cedera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada
penilaianGlasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
• GCS 13 - 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.

• Tidak ada fraktur tengkorak


b. Cedera kepala sedang
• GCS 9 - 12
• Saturasi oksigen > 90 %
• Tekanan darah systole > 100 mmHg
• Lama kejadian < 8 jam
• Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30menit tetapi < 24 jam
• Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
• GCS 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral. Pada penderita yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi
membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi
nilai“T”
III. Berdasarkan
Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi
pintu
masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed
fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai
berikut:
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘splintering’.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.
Selain retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya
retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis
kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada
kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang
mengalami trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando
Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur
basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung)
dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada
foramen magnum bisa

retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur


basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit.
Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit
kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada
umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya
korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia
retrograddan antegrad).
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di
daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan
N. Facialis atau N.Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,
keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan
(decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
• Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak
dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-
cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain,
seperti pada
frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
• Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter
dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
ke arteri meninggi sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi
rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi
tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan
Intra Kranial).
• Subrachnoidalis Haematoma
Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti
pada

F. Manifestasi klinis/ Tanda dan Gejala


Gejala klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah hilangnya
kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24 jam, GCS 9 – 12,
saturasi oksigen > 90 %, tekanan darah systole > 100 mmHg dan dapat mengalami
fraktur tengkorak. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Secara umum
gejala klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:
 Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
 Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
 Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
 Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
 Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
 Gangguan dalam regulasi tubuh.
 Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian
 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).
 Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan, pengecapan, penciuman
dan pendengaran, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif
terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
 Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Sesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala adalah:
a. Epidural hematoma
Tanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian
dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d. Perdarahan subarachnoid
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.

G. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
1) Inspeksi
a) Klien tampak meringis
b) Klien tampak gelisah
c) Klien berkeringat dingin
d) Klien tampak pucat
e) Klien kehilangan kesadaran
f) Pernafasan jadi dangkal dan cepat
g) Diaphoresis
h) Irama napas tidak teratur
2) Palpasi
a) Nyeri pada kepala
b) Denyut nadi meningkat
3) Auskultasi
a) Ada suara napas tambah
b) Bising usus menurun

Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) untuk
menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
1) Respon membuka mata (E):
 Buka mata spontan 4
 Bila dipanggil/rangsangan suara 3
 Bila dirangsang nyeri 2
 Tidak bereaksi dengan rangsang apapun 1
2) Respon verbal (V):
 Komunikasi verbal baik : 5
 Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4
 Kata-kata tidak teratur : 3
 Suara tidak jelas : 2
 Tidak ada reaksi : 1
3) Respon motorik (M):
 Mengikuti perintah 6
 Melokalisir nyeri 5
 Fleksi normal 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi abnormal 2
Tidak ada reaksi 1

H. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras): mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
f. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

I. Penatalaksanaan dan Terapi


Penanganan sebelum sampai di rumah sakit atau fasilitas yang lebih memadai :
I. Pada pertolongan pertama:
a. Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab
sering trauma kepala disertai trauma leher.
b. Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2 dan CO2
c. Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
d. Pasang back board ( spinal board)
e. Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
f. Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum
dilakukan penjahitan situsional.
g. Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syok. Atasi syok
dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line), beri cairan yang
memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)
h. Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula
obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.
II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit
Begitu diagnosa ditegakkan, penanganan harus segera
dilakukan : Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara
:
 Pertahankan metabolisme otak yang adekuat
 Mencegah dan mengatasi hypertensi

A. Mempertahankan kebutuhan metabilisme otak


1) Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian
oksigen ke otak, metabolisme perlu oksigen dan glukosa.
2) Usahakan PaO2 > 80 mmHg
3) Pertahankan PaCO2 26 – 28 mmHg
4) Transfusi darah mungkin diperlukan sebagai “oxygen carrying capacity”
B. Mencegah hypertensi
intracranial Hypertensi ini dapat
terjadi akibat :
 Masa lesi
 Pembengkakan otak akut
 Odema otak
Cara mengatasi HT. :
1) Lakukan hypokapnia
a. Konsentrasi CO2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak
b. CO2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume
intrakranial
c. CO2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun
2) Tindakan hyperventilasi :
a. Menurunkan intra serebral asidosis
b. Meningkatkan metabolisme otak

III. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera.
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL. Kadar Natrium harus
dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema
otak dan harus dicegah dan diobati.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak. Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena
perfusi otak menurun PCO2 < 25 mmHg , hiperventilasi harus dicegah.
Pertahankan level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan
atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita
hypotensi karena akan memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
F. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila
terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan
tekanan darah.
G. Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai
dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa digunakan adalah
diazepam dan lorazepam.

J. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor
cairan otak, hipertermia, masalah mobilisasi.

K. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari
cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.

L. RENCANA DIAGNOSA

No Dx Kep SLKI SIKI

1 Resiko perfusi Setelah diberikan Manajemen peningkatan


serebral tidak asuhan keperawatan tekanan
efektif dibuktikan selama 3x24 jam intrakranial:(kode
dengancedera diharapkan resiko intervensi:
kepala,atresklerosi perfusi serebrak tidak I.06194 hal.205
siaorta, efektif dapat teratasi
hipertensi,embolis dengan kriteria hasil : Observasi:
me.
 Tingkat kesadaran  Identifikasi
Kode Dx: D.0017 dari skala 3( penyebab
hal.51 sedang) ke skala peningkatan
5 (meningkat) TIK(misalnya
lesi,gangguan
 Tekanan metabolisme,ed
intrakranial dari emaserebr
skala 3(sedang) ke
skala 5(menurun)  Monitor
tanda/gejala
 Sakit kepala dari peningkatan
skala 3(sedang) ke TIK(misalnya
skala 5(menurun) tekanadarah
meningkat,teka
 Nilai rata-rata nan nadi
tekanan darah dari melebar,
skala 3(sedang) ke
skala 5(membaik). bradikardi,pola
nafas

ireguler,kesada
Kode
luaran : ran menurun)
L.02014
(hal.86)

2 Nyeri akut Ti Tingkat Nyeri Menurun MANAJEMEN NYERI


(L.08066) (I. 08238)

1. Observasi

 lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas,
intensitas nyeri

 Identifikasi
skala nyeri

 Identifikasi
respon nyeri non
verbal

 Identifikasi
faktor yang
memperberat
dan
memperingan
nyeri

 Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan
tentang nyeri

 Identifikasi
pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri

 Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup

 Monitor
keberhasilan
terapi
komplementer
yang sudah
diberikan

 Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik

2. Terapeutik

 Berikan teknik
nonfarmakologi
s untuk
mengurangi rasa
nyeri (mis.
TENS,
hypnosis,
akupresur, terapi
musik,
biofeedback,
terapi pijat,
aroma terapi,
teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin,
terapi bermain)

 Control
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)

 Fasilitasi
istirahat dan
tidur

 Pertimbangkan
jenis dan
sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi
meredakan nyeri

3. Edukasi
 Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri

 Jelaskan strategi
meredakan nyeri

 Anjurkan
memonitor nyri
secara mandiri

 Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat

 Ajarkan teknik
nonfarmakologi
s untuk
mengurangi rasa
nyeri

4. Kolaborasi

 Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu

PEMBERIAN ANALGETIK
(I.08243)

1. Observasi

 Identifikasi
karakteristik
nyeri (mis.
Pencetus,
pereda, kualitas,
lokasi,
intensitas,
frekuensi,
durasi)

 Identifikasi
riwayat alergi
obat

 Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik (mis.
Narkotika, non-
narkotika, atau
NSAID) dengan
tingkat
keparahan nyeri

 Monitor tanda-
tanda vital
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik

 Monitor
efektifitas
analgesik

2. Terapeutik

 Diskusikan jenis
analgesik yang
disukai untuk
mencapai
analgesia
optimal, jika
perlu

 Pertimbangkan
penggunaan
infus kontinu,
atau bolus
opioid untuk
mempertahanka
n kadar dalam
serum

 Tetapkan target
efektifitas
analgesic untuk
mengoptimalkan
respon pasien

 Dokumentasika
n respon
terhadap efek
analgesic dan
efek yang tidak
diinginkan
3. Edukasi

 Jelaskan efek
terapi dan efek
samping obat

4. Kolaborasi

 Kolaborasi
pemberian dosis
dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St.
Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri:
Mosby Elsevier
Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7. Widya
medika: Jakarta.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Edisi 4 : EGC
Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.
Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai